Tujuh tahun kemudian ….
Angin sore berhembus lembut, mengibarkan beberapa helai rambut Aleena yang tergerai di bahunya. Matanya berbinar penuh kehangatan saat melihat kedua buah hatinya berlari kecil mendekat dengan seragam sekolah mereka yang masih rapi. Meski lelah mengurus restoran yang telah ia bangun selama lima tahun terakhir, semua itu terbayar lunas saat mendengar celoteh ceria Aiden dan Evelyn. "Bagaimana dengan hari-hari pertama sekolahnya?" tanya Aleena, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Ia berjongkok, menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan dua bocah yang kini berdiri di hadapannya. "Seru! Teman-temanku sangat tampan semuanya, Mommy!" seru Aiden dengan mata berbinar dan ekspresi penuh semangat. Bocah kecil itu bahkan menepukkan kedua tangannya seperti seseorang yang sedang berbicara tentang hal paling menarik di dunia. Aleena langsung menyentil kening anak sulungnya dengan gemas. "Dasar centil! Apakah hanya itu yang kau ingat, hm?" tanyanya dengan nada geli. Sementara itu, Evelyn—atau yang lebih akrab dipanggil Eve—hanya menghela napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah tak percaya dengan perilaku saudara kembarnya. Siang itu, Aleena kembali menjemput mereka dari sekolah seperti biasanya. Waktu terasa berjalan begitu cepat. Seolah baru kemarin ia berjuang seorang diri, menggendong bayi-bayi mungilnya setelah diusir oleh pria yang tak memiliki sedikit pun perasaan untuk mereka. Namun kini, kedua anaknya tumbuh menjadi pribadi yang ceria dan penuh semangat. "Mom, aku lapar," rengek Evelyn, menggoyangkan tangan Aleena yang menggandengnya. "Hari ini aku ingin makan pasta, Mom." Aleena terkekeh melihat tingkah manja anak perempuannya. “Baiklah, aku akan membuatkan pasta untuk kalian.” "No, Mommy. Aku ingin ayam goreng," protes Aiden saat Aleena membukakan pintu mobil untuk mereka berdua. “Oh, Aiden. Bukankah kau sudah makan ayam goreng pagi tadi? Dan kau ingin makan ayam goreng lagi?” Eve mendengus, kedua tangannya terlipat di dada sambil menggelengkan kepalanya penuh ketidakpercayaan. “Biarkan saja. Ini perutku dan kau tidak berhak protes padaku!” seru Aiden tak mau kalah. “Kau tidak punya rasa kasihan ya, pada Mommy? Mommy harus memasak dua kali kalau kau ingin ayam goreng, Aiden!” cetus Eve dengan nada cemprengnya yang khas. Aleena hanya bisa menghela napas panjang. 'Ah... here we go again,’ batinnya. Perang kecil antara si kembar kembali terjadi, seperti yang sudah-sudah. Ia ikut masuk ke dalam mobil diiringi rentetan protes dari dua anaknya yang masih sibuk mempertahankan keinginan masing-masing. Sungguh, tak perlu lagu galau yang tengah hits untuk menghiburnya. Suara riuh rendah pertengkaran kecil Aiden dan Evelyn selalu ada hampir setiap saat, menjadi musik latar dalam kehidupannya. Sambil menyalakan mesin mobil, Aleena akhirnya menengahi, “Aiden, Eve. Kita akan makan siang sesuai dengan permintaan kalian.” “Yeay!” seru Aiden dan Eve serempak dengan penuh semangat, seketika lupa dengan perdebatan sengit mereka beberapa detik lalu. Aleena tersenyum kecil. Hidup sebagai seorang ibu tunggal memang tak mudah, tetapi melihat kedua anaknya tumbuh dengan penuh kebahagiaan, ia tahu bahwa semua perjuangannya selama ini tak sia-sia. ** "Fusilli snowy chip-nya satu, calamari-nya satu, dan iced lychee tea-nya satu ya," pesannya dengan nada santai pada pramusaji yang mencatat dengan cekatan. Setelah ditinggal sendiri, Liam mengambil dokumen yang baru saja ia tanda tangani dengan seorang klien. Proyek besar menantinya di kota ini, dan ia tak ingin kehilangan fokus. Namun, sebelum ia sempat benar-benar mendalami pekerjaannya, suara kecil yang tak ia duga mengusik perhatiannya. "Jangan bilang pada Mommy, Eve. Aku mengambil ini semua dari kotak yang belum Mommy rapikan." Liam mengangkat kepalanya sekilas, mendengar nada rahasia yang terdengar dari seorang anak laki-laki di belakangnya. Ia mengerutkan kening, perlahan menyapu pandangannya ke sekitar. Di lantai dua restoran ini, hanya ada dirinya, seseorang yang duduk jauh di sudut ruangan, dan dua bocah kecil yang nampaknya sudah hampir selesai dengan makanan mereka. "Ke mana orang tua mereka? Kenapa hanya berdua saja?" batin Liam, jemarinya tanpa sadar berhenti menyentuh dokumen. "Ayo kita cari Daddy," suara bocah laki-laki itu terdengar lagi, nadanya mantap dan penuh tekad. "Mommy sering memandangi foto itu ketika hendak tidur." Liam menegakkan bahunya, berusaha mengabaikan obrolan itu, namun suara renyah dan polos dari kedua anak kecil tersebut terus menarik perhatiannya. Ia kembali menatap dokumennya, mencoba membaca ulang beberapa kalimat di sana, tetapi pikirannya mulai bercabang. "Oh, Aiden. Kau sudah mencuri milik Mommy! Itu salah besar, Aiden!" suara si bocah perempuan terdengar gemas. "Bukan mencuri, aku hanya meminjam saja," kilah bocah laki-laki yang kini ia ketahui bernama Aiden. Liam menaruh kembali dokumennya ke dalam tas, lalu pura-pura memainkan ponselnya. Namun, telinganya tetap awas menangkap percakapan dua bocah di belakangnya. "Miss Grande bilang, kota ini sangat luas, jadi tidak akan bisa menemukan Daddy dengan cepat, Aiden. Lagi pula, bukankah Daddy sudah berada di surga? Itu yang selalu Mommy katakan pada kita." Liam menahan napas. Kata-kata itu menusuk udara, membawa serta nuansa pilu yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. "Tapi kan katanya Ayah udah ada di surga. Emang surga adanya di Jakarta?" Liam menoleh sedikit, ekspresi terkejutnya tersamarkan oleh kilatan lampu restoran yang memantul di layar ponselnya. "No, Eve. Daddy ada di sini, di kota ini. Itu hanya karangan Mommy saja agar kita tidak terus menerus bertanya tentang Daddy," balas Aiden, tetap bersikeras dengan keyakinannya. Bocah perempuan yang dipanggil Eve itu terdiam. Mungkin otaknya yang kecil sedang mencoba memproses kata-kata kakaknya. "Tapi, Aiden …." "Aku pernah mendengar Mommy dan Aunty Jenny membahas tentang Daddy kita, Eve." Liam menekan bibirnya agar tidak terkekeh. Astaga, bocah laki-laki ini pasti cukup merepotkan ibunya dengan semua tingkah dan rasa ingin tahunya yang luar biasa. Namun, tawa yang hendak keluar dari bibir Liam menguap begitu saja saat suara Eve terdengar lagi, kali ini lebih lirih, lebih lemah. "Jadi, Mommy telah membohongi kita?" tanyanya, dengan raut wajah yang entah mengapa terasa begitu menyedihkan meski Liam tidak benar-benar melihatnya.Pertanyaan yang diucapkan dengan sedih itu menusuk ke relung hati Liam, membuatnya ikut merasakan kesedihan yang entah bagaimana caranya menjalar ke dalam dirinya. Suara lirih itu seolah membawa luka yang terpendam, membuat hatinya terhimpit oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.Liam menghela napas pelan, mencoba memahami percakapan dua bocah yang hanya bisa ia lihat puncak kepalanya dari balik meja. Dari obrolan mereka, satu hal yang bisa ia simpulkan—sang ibu telah menyembunyikan sesuatu. Sebuah kebenaran yang barangkali terlalu menyakitkan untuk diungkapkan, terutama tentang sosok ayah mereka.Saat bersamaan, tatapan Liam tertarik pada selembar foto yang jatuh di lantai, tepat di samping mejanya. Ia mengulurkan tangan, mengambilnya dengan niat baik untuk mengembalikannya pada pemiliknya. Namun, ketika tanpa sengaja ia membalik foto itu, dunianya seakan berhenti berputar.Tangannya gemetar. Napasnya tercekat.Di sana, dalam lembaran foto berukuran 4R itu, ada dua wajah yang begit
Aleena awalnya tak memperhatikan siapa yang sejak tadi tengah berjongkok di antara Aiden dan Eve. Fokusnya masih tertuju pada mereka, hingga tanpa sadar pandangannya akhirnya beralih ke sosok yang sudah bertahun-tahun berusaha ia hindari. Seketika tenggorokannya tercekat, dan tubuhnya langsung panas dingin.Liam.Lelaki itu seperti tak menua walau tujuh tahun telah berlalu. Wajahnya tetap sama, hanya sedikit lebih matang dengan garis-garis halus yang hampir tak terlihat. Sorot matanya tajam, penuh kehati-hatian, seolah sedang menelanjangi pikirannya. Aleena menelan ludah dengan susah payah.Tatapan Aleena tak sengaja turun ke lengannya. Sepertinya Liam kembali menambah tato lagi. Sebuah desain baru menghiasi lengan kanan atasnya, samar terlihat dari lengan kemeja yang digulungnya. Tubuhnya pun masih setegap yang dulu, bahkan massa ototnya tampak bertambah pesat. Aleena bisa melihat perbedaan mencolok dalam penampilan Liam kali ini."Hai." Suaranya lirih, lebih seperti gumaman yang
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi setelah sekian lama menghilang dan melahirkan darah dagingku, Elena. Mereka anak-anakku, dan mereka berhak tahu siapa ayah mereka!" ucap Liam dengan suara tegas, penuh penekanan.Mata Aleena langsung membulat, dadanya naik turun menahan gejolak emosi yang mendesak ingin meledak. Bisa-bisanya pria itu datang begitu saja, mengklaim hak atas anak-anak yang bahkan tidak pernah diakuinya sejak dalam kandungan. Pria itu seolah lupa dengan segala kepedihan yang telah ia sebabkan."Kau… menginginkan mereka?" suara Aleena bergetar, setengah tak percaya. "Bukankah kau sendiri yang telah mengusirku? Kau bahkan berselingkuh dengan banyak wanita! Aku mencari tahu semuanya, Liam. Dan rupanya bukan hanya Laluna saja yang dekat denganmu, tapi banyak!"Aleena menghela napas panjang setelah mengucapkan kata-kata itu. Dadanya terasa sesak, matanya mulai berkaca-kaca, mengingat betapa ia pernah berharap pria itu berubah, namun semua hanya harapan kosong. Beberapa bula
"Aku tidak bisa menikahimu. Jadi, jangan memintaku untuk bertanggung jawab atas kehamilanmu, Aleena."Bagai petir di siang bolong, kata-kata itu menghantam Aleena tanpa ampun.Dunianya yang semula berputar dalam keyakinan bahwa pria yang dicintainya akan bertanggung jawab, seketika runtuh menjadi kepingan yang berserakan.Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan itu tak lagi cukup untuk membuatnya bertahan.Suara Liam terdengar dingin, tanpa emosi. Seakan-akan hubungan yang mereka jalani selama ini tidak berarti apa-apa.Seakan-akan semua janji yang pernah terucap hanyalah angin lalu yang tak pernah memiliki bobot.Aleena menatap pria itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca, hatinya berteriak, menolak untuk percaya bahwa ini nyata."A—apa yang membuatmu berubah pikiran, Liam? Kau bilang kau akan menikahiku setelah tahu keberadaan bayi di perutku,” suaranya lirih, bergetar menahan luka yang mulai mengoyak.Liam hanya menatapnya datar, seolah tak tergoyahkan sedi
“Jadi, ini alasanmu batal menikahiku, Liam?" tanya Aleena dengan suara bergetar, matanya yang sendu menatap tajam ke arah pria yang pernah ia percayai sepenuh hati.Ia tak tahu lagi harus berkata apa selain itu. Rasa kecewa, marah, dan sakit hati bercampur aduk dalam dadanya.Liam tidak segera menjawab. Justru seorang wanita yang duduk di sebelahnya lebih dulu bersuara. "Apa? Menikah? Apa yang kau katakan? Memangnya kau siapa? Kenapa meminta kekasihku menikahimu?"Rentetan pertanyaan itu meluncur tajam dari bibir Laluna, wanita yang kini tengah menggandeng tangan Liam dengan posesif.Aleena menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ingin rasanya ia memberitahu wanita itu bahwa ia sedang mengandung anak dari pria yang kini duduk di hadapannya.Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Liam sudah lebih dulu bangkit dari tempat duduknya. Pria itu menghampirinya dengan ekspresi datar dan tatapan yang begitu dingin."Ya, ini alasanku tidak bisa menikahimu. Jadi, sekarang pergil
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi setelah sekian lama menghilang dan melahirkan darah dagingku, Elena. Mereka anak-anakku, dan mereka berhak tahu siapa ayah mereka!" ucap Liam dengan suara tegas, penuh penekanan.Mata Aleena langsung membulat, dadanya naik turun menahan gejolak emosi yang mendesak ingin meledak. Bisa-bisanya pria itu datang begitu saja, mengklaim hak atas anak-anak yang bahkan tidak pernah diakuinya sejak dalam kandungan. Pria itu seolah lupa dengan segala kepedihan yang telah ia sebabkan."Kau… menginginkan mereka?" suara Aleena bergetar, setengah tak percaya. "Bukankah kau sendiri yang telah mengusirku? Kau bahkan berselingkuh dengan banyak wanita! Aku mencari tahu semuanya, Liam. Dan rupanya bukan hanya Laluna saja yang dekat denganmu, tapi banyak!"Aleena menghela napas panjang setelah mengucapkan kata-kata itu. Dadanya terasa sesak, matanya mulai berkaca-kaca, mengingat betapa ia pernah berharap pria itu berubah, namun semua hanya harapan kosong. Beberapa bula
Aleena awalnya tak memperhatikan siapa yang sejak tadi tengah berjongkok di antara Aiden dan Eve. Fokusnya masih tertuju pada mereka, hingga tanpa sadar pandangannya akhirnya beralih ke sosok yang sudah bertahun-tahun berusaha ia hindari. Seketika tenggorokannya tercekat, dan tubuhnya langsung panas dingin.Liam.Lelaki itu seperti tak menua walau tujuh tahun telah berlalu. Wajahnya tetap sama, hanya sedikit lebih matang dengan garis-garis halus yang hampir tak terlihat. Sorot matanya tajam, penuh kehati-hatian, seolah sedang menelanjangi pikirannya. Aleena menelan ludah dengan susah payah.Tatapan Aleena tak sengaja turun ke lengannya. Sepertinya Liam kembali menambah tato lagi. Sebuah desain baru menghiasi lengan kanan atasnya, samar terlihat dari lengan kemeja yang digulungnya. Tubuhnya pun masih setegap yang dulu, bahkan massa ototnya tampak bertambah pesat. Aleena bisa melihat perbedaan mencolok dalam penampilan Liam kali ini."Hai." Suaranya lirih, lebih seperti gumaman yang
Pertanyaan yang diucapkan dengan sedih itu menusuk ke relung hati Liam, membuatnya ikut merasakan kesedihan yang entah bagaimana caranya menjalar ke dalam dirinya. Suara lirih itu seolah membawa luka yang terpendam, membuat hatinya terhimpit oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.Liam menghela napas pelan, mencoba memahami percakapan dua bocah yang hanya bisa ia lihat puncak kepalanya dari balik meja. Dari obrolan mereka, satu hal yang bisa ia simpulkan—sang ibu telah menyembunyikan sesuatu. Sebuah kebenaran yang barangkali terlalu menyakitkan untuk diungkapkan, terutama tentang sosok ayah mereka.Saat bersamaan, tatapan Liam tertarik pada selembar foto yang jatuh di lantai, tepat di samping mejanya. Ia mengulurkan tangan, mengambilnya dengan niat baik untuk mengembalikannya pada pemiliknya. Namun, ketika tanpa sengaja ia membalik foto itu, dunianya seakan berhenti berputar.Tangannya gemetar. Napasnya tercekat.Di sana, dalam lembaran foto berukuran 4R itu, ada dua wajah yang begit
Tujuh tahun kemudian ….Angin sore berhembus lembut, mengibarkan beberapa helai rambut Aleena yang tergerai di bahunya. Matanya berbinar penuh kehangatan saat melihat kedua buah hatinya berlari kecil mendekat dengan seragam sekolah mereka yang masih rapi. Meski lelah mengurus restoran yang telah ia bangun selama lima tahun terakhir, semua itu terbayar lunas saat mendengar celoteh ceria Aiden dan Evelyn."Bagaimana dengan hari-hari pertama sekolahnya?" tanya Aleena, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Ia berjongkok, menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan dua bocah yang kini berdiri di hadapannya."Seru! Teman-temanku sangat tampan semuanya, Mommy!" seru Aiden dengan mata berbinar dan ekspresi penuh semangat. Bocah kecil itu bahkan menepukkan kedua tangannya seperti seseorang yang sedang berbicara tentang hal paling menarik di dunia.Aleena langsung menyentil kening anak sulungnya dengan gemas. "Dasar centil! Apakah hanya itu yang kau ingat, hm?" tanyanya dengan nada geli.Seme
“Jadi, ini alasanmu batal menikahiku, Liam?" tanya Aleena dengan suara bergetar, matanya yang sendu menatap tajam ke arah pria yang pernah ia percayai sepenuh hati.Ia tak tahu lagi harus berkata apa selain itu. Rasa kecewa, marah, dan sakit hati bercampur aduk dalam dadanya.Liam tidak segera menjawab. Justru seorang wanita yang duduk di sebelahnya lebih dulu bersuara. "Apa? Menikah? Apa yang kau katakan? Memangnya kau siapa? Kenapa meminta kekasihku menikahimu?"Rentetan pertanyaan itu meluncur tajam dari bibir Laluna, wanita yang kini tengah menggandeng tangan Liam dengan posesif.Aleena menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ingin rasanya ia memberitahu wanita itu bahwa ia sedang mengandung anak dari pria yang kini duduk di hadapannya.Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Liam sudah lebih dulu bangkit dari tempat duduknya. Pria itu menghampirinya dengan ekspresi datar dan tatapan yang begitu dingin."Ya, ini alasanku tidak bisa menikahimu. Jadi, sekarang pergil
"Aku tidak bisa menikahimu. Jadi, jangan memintaku untuk bertanggung jawab atas kehamilanmu, Aleena."Bagai petir di siang bolong, kata-kata itu menghantam Aleena tanpa ampun.Dunianya yang semula berputar dalam keyakinan bahwa pria yang dicintainya akan bertanggung jawab, seketika runtuh menjadi kepingan yang berserakan.Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan itu tak lagi cukup untuk membuatnya bertahan.Suara Liam terdengar dingin, tanpa emosi. Seakan-akan hubungan yang mereka jalani selama ini tidak berarti apa-apa.Seakan-akan semua janji yang pernah terucap hanyalah angin lalu yang tak pernah memiliki bobot.Aleena menatap pria itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca, hatinya berteriak, menolak untuk percaya bahwa ini nyata."A—apa yang membuatmu berubah pikiran, Liam? Kau bilang kau akan menikahiku setelah tahu keberadaan bayi di perutku,” suaranya lirih, bergetar menahan luka yang mulai mengoyak.Liam hanya menatapnya datar, seolah tak tergoyahkan sedi