“Jadi, ini alasanmu batal menikahiku, Liam?" tanya Aleena dengan suara bergetar, matanya yang sendu menatap tajam ke arah pria yang pernah ia percayai sepenuh hati.
Ia tak tahu lagi harus berkata apa selain itu. Rasa kecewa, marah, dan sakit hati bercampur aduk dalam dadanya.
Liam tidak segera menjawab. Justru seorang wanita yang duduk di sebelahnya lebih dulu bersuara. "Apa? Menikah? Apa yang kau katakan? Memangnya kau siapa? Kenapa meminta kekasihku menikahimu?"
Rentetan pertanyaan itu meluncur tajam dari bibir Laluna, wanita yang kini tengah menggandeng tangan Liam dengan posesif.
Aleena menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ingin rasanya ia memberitahu wanita itu bahwa ia sedang mengandung anak dari pria yang kini duduk di hadapannya.
Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Liam sudah lebih dulu bangkit dari tempat duduknya. Pria itu menghampirinya dengan ekspresi datar dan tatapan yang begitu dingin.
"Ya, ini alasanku tidak bisa menikahimu. Jadi, sekarang pergilah. Kau sudah tahu alasannya," ucapnya tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Aleena terpaku. Bibirnya bergetar, hatinya serasa diremukkan menjadi serpihan kecil yang tak mungkin bisa disatukan lagi. Sakitnya begitu menusuk, jauh lebih menyakitkan daripada luka fisik apa pun.
"Baiklah. Aku akan pergi," ucapnya lirih, berusaha tetap tegar meskipun hatinya hampir hancur berkeping-keping.
"Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal!"
Liam menyeringai tipis, lalu dengan santai berkata, "Itu lebih bagus." Tangannya meraih gagang pintu, membukanya lebar-lebar seolah tidak sabar ingin mengusir Aleena keluar dari kehidupannya.
Aleena menatapnya sekali lagi, penuh kebencian yang membara. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah kembali ke tempat ini, tidak ke kantor, tidak ke apartemen, bahkan tidak ke rumah Liam sekalipun.
Ia melangkah keluar dengan hati yang remuk, menahan isak tangis yang ingin pecah.
Setelah keluar dari gedung itu, ia berjalan tanpa arah, membiarkan angin menyapu wajahnya yang dingin.
Kedua tangannya perlahan mengusap perutnya yang masih rata, menyadari kenyataan pahit yang harus ia hadapi sendiri.
"Aku harus pergi jauh darinya. Aku tidak sudi bertemu dengannya lagi," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.
Usia kandungannya baru menginjak delapan minggu, namun luka di hatinya terasa seperti bertahun-tahun lamanya.
Ia merasa hancur, tak pernah membayangkan akan membesarkan anaknya seorang diri. Namun, di tengah kepedihannya, ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah membiarkan anaknya merasakan penderitaan yang sama.
"Maafkan aku, sayang..." lirihnya sambil mengusap perutnya dengan penuh kasih. "Kau harus lahir tanpa seorang ayah. Tapi aku berjanji akan menyayangi dan melindungimu dengan seluruh hidupku."
Tanpa menoleh ke belakang, Aleena melangkah pergi dari kota itu, membawa luka dan harapan yang baru.
Ia tak tahu apa yang menantinya di masa depan, tetapi satu hal yang pasti: ia akan bertahan, demi anaknya, demi kehidupannya yang baru, tanpa Liam.
**
Aleena berdiri mematung di depan jendela apartemennya, menatap jalanan kota yang mulai diterangi lampu-lampu temaram.
Hatinya terasa sesak. Berapa lama Liam telah mempermainkannya? Sejak kapan dia dan wanita itu menjalin hubungan? Apakah selama ini Aleena hanya salah satu dari sekian banyak wanita di hidup Liam?
Benar-benar gila.
Aleena menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menahan gejolak emosi yang membakar dadanya.
Tangannya refleks mengusap perutnya yang mulai membuncit. Di dalam sana, ada kehidupan kecil yang kini menjadi alasan terbesarnya untuk bertahan.
“Apa kau yakin akan tinggal di sini dan membesarkan anakmu seorang diri?” suara Jenny, sahabatnya, membuyarkan lamunannya.
Aleena mengangguk mantap. “Ya. Aku akan tetap di sini. Aku ingin membuka café di seberang sana.”
Jenny menatapnya dengan ekspresi tak percaya. “Kenapa tidak kau gugurkan saja, Aleena? Liam tidak menerima kehadiran bayinya sendiri.”
Aleena menarik napas panjang, lalu menggeleng pelan. Ada keteguhan dalam sorot matanya.
“Tidak akan, Jenny. Aku tidak akan pernah menggugurkan kandunganku! Biar saja Liam tidak mau bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anakku tanpa sosok ayah di sampingnya.”
Jenny menghela napas kasar. Wajahnya dipenuhi amarah dan kekecewaan. “Liam benar-benar gila! Bisa-bisanya dia mengusirmu, padahal kau sedang mengandung anaknya? Lalu sekarang dia sudah punya wanita lain? Oh my God. Kau benar-benar salah memilih pasangan, Aleena.”
Aleena tersenyum miris. Pahit. Pedih.
“Ya. Aku tahu itu.” Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam kesunyian malam. “Awalnya aku pikir dia akan menjadi cinta terakhirku. Rupanya aku salah. Aku telah mencintai pria Casanova. Seorang pemain wanita yang memiliki banyak perempuan di hidupnya.” Aleena mengusap pipinya yang mulai basah.
“Dan yang lebih buruknya lagi, aku telah mengandung anak dari pria seperti itu. Aku hanya salah satu dari sekian banyak korban.”
Ia kemudian mengangkat wajahnya, menatap Jenny dengan sorot mata penuh tekad. “Aku bersumpah tidak akan pernah mengenalkan anakku padanya. Sebab dia sendiri yang menuduh bahwa ini bukan anaknya.”
Tujuh tahun kemudian ….Angin sore berhembus lembut, mengibarkan beberapa helai rambut Aleena yang tergerai di bahunya. Matanya berbinar penuh kehangatan saat melihat kedua buah hatinya berlari kecil mendekat dengan seragam sekolah mereka yang masih rapi. Meski lelah mengurus restoran yang telah ia bangun selama lima tahun terakhir, semua itu terbayar lunas saat mendengar celoteh ceria Aiden dan Evelyn."Bagaimana dengan hari-hari pertama sekolahnya?" tanya Aleena, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Ia berjongkok, menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan dua bocah yang kini berdiri di hadapannya."Seru! Teman-temanku sangat tampan semuanya, Mommy!" seru Aiden dengan mata berbinar dan ekspresi penuh semangat. Bocah kecil itu bahkan menepukkan kedua tangannya seperti seseorang yang sedang berbicara tentang hal paling menarik di dunia.Aleena langsung menyentil kening anak sulungnya dengan gemas. "Dasar centil! Apakah hanya itu yang kau ingat, hm?" tanyanya dengan nada geli.Seme
Pertanyaan yang diucapkan dengan sedih itu menusuk ke relung hati Liam, membuatnya ikut merasakan kesedihan yang entah bagaimana caranya menjalar ke dalam dirinya. Suara lirih itu seolah membawa luka yang terpendam, membuat hatinya terhimpit oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.Liam menghela napas pelan, mencoba memahami percakapan dua bocah yang hanya bisa ia lihat puncak kepalanya dari balik meja. Dari obrolan mereka, satu hal yang bisa ia simpulkan—sang ibu telah menyembunyikan sesuatu. Sebuah kebenaran yang barangkali terlalu menyakitkan untuk diungkapkan, terutama tentang sosok ayah mereka.Saat bersamaan, tatapan Liam tertarik pada selembar foto yang jatuh di lantai, tepat di samping mejanya. Ia mengulurkan tangan, mengambilnya dengan niat baik untuk mengembalikannya pada pemiliknya. Namun, ketika tanpa sengaja ia membalik foto itu, dunianya seakan berhenti berputar.Tangannya gemetar. Napasnya tercekat.Di sana, dalam lembaran foto berukuran 4R itu, ada dua wajah yang begit
Aleena awalnya tak memperhatikan siapa yang sejak tadi tengah berjongkok di antara Aiden dan Eve. Fokusnya masih tertuju pada mereka, hingga tanpa sadar pandangannya akhirnya beralih ke sosok yang sudah bertahun-tahun berusaha ia hindari. Seketika tenggorokannya tercekat, dan tubuhnya langsung panas dingin.Liam.Lelaki itu seperti tak menua walau tujuh tahun telah berlalu. Wajahnya tetap sama, hanya sedikit lebih matang dengan garis-garis halus yang hampir tak terlihat. Sorot matanya tajam, penuh kehati-hatian, seolah sedang menelanjangi pikirannya. Aleena menelan ludah dengan susah payah.Tatapan Aleena tak sengaja turun ke lengannya. Sepertinya Liam kembali menambah tato lagi. Sebuah desain baru menghiasi lengan kanan atasnya, samar terlihat dari lengan kemeja yang digulungnya. Tubuhnya pun masih setegap yang dulu, bahkan massa ototnya tampak bertambah pesat. Aleena bisa melihat perbedaan mencolok dalam penampilan Liam kali ini."Hai." Suaranya lirih, lebih seperti gumaman yang
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi setelah sekian lama menghilang dan melahirkan darah dagingku, Elena. Mereka anak-anakku, dan mereka berhak tahu siapa ayah mereka!" ucap Liam dengan suara tegas, penuh penekanan.Mata Aleena langsung membulat, dadanya naik turun menahan gejolak emosi yang mendesak ingin meledak. Bisa-bisanya pria itu datang begitu saja, mengklaim hak atas anak-anak yang bahkan tidak pernah diakuinya sejak dalam kandungan. Pria itu seolah lupa dengan segala kepedihan yang telah ia sebabkan."Kau… menginginkan mereka?" suara Aleena bergetar, setengah tak percaya. "Bukankah kau sendiri yang telah mengusirku? Kau bahkan berselingkuh dengan banyak wanita! Aku mencari tahu semuanya, Liam. Dan rupanya bukan hanya Laluna saja yang dekat denganmu, tapi banyak!"Aleena menghela napas panjang setelah mengucapkan kata-kata itu. Dadanya terasa sesak, matanya mulai berkaca-kaca, mengingat betapa ia pernah berharap pria itu berubah, namun semua hanya harapan kosong. Beberapa bula
Aleena mengusap wajahnya dengan frustasi, ucapannya tadi masih menggema di telinganya.Tatapannya berubah dingin saat ia menatap wajah pria di hadapannya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya yang bergejolak hebat di dalam dada."Kau benar-benar tidak tahu malu, ya?" suaranya terdengar tajam, penuh kemarahan yang telah lama ia pendam."Setelah bertahun-tahun meninggalkan kami, bahkan tidak mau mengakui keberadaan mereka, kini kau dengan begitu mudahnya ingin hadir dan mengaku sebagai ayah mereka? Kau pikir aku akan membiarkan itu terjadi?"Aleena menggelengkan kepalanya, seolah tak percaya dengan keberanian Liam yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang pernah mengisi hidupnya, namun juga yang menghancurkan segalanya."Biarkan aku menjadi ayah mereka, Aleena," suara Liam terdengar lebih lembut kali ini, seolah memohon."Aku tahu kau masih marah padaku, dan aku pantas mendapatkannya. Tapi mereka butuh seorang ayah. Kau pikir aku tidak tahu bahwa mereka mencariku?“
Pagi itu, mentari bersinar hangat di ufuk timur, menyelimuti kota dengan sinar keemasannya.Aleena sudah terbiasa dengan rutinitasnya setiap pagi—menyiapkan sarapan, memastikan kedua anaknya mengenakan seragam dengan rapi, lalu mengantarkan mereka ke sekolah.Hari ini pun, seperti biasa, ia menurunkan Eve dan Aiden di depan gerbang sekolah mereka.“Belajar yang fokus. Mommy akan menjemput kalian lagi. Dan kau, Aiden. Jangan nakal!” ucapnya lembut, meski ada sedikit nada tegas yang terselip dalam suaranya.Aiden hanya mengerucutkan bibir merahnya, matanya yang bulat dan jenaka menatap Aleena seolah tak terima dengan peringatan itu.Anak laki-lakinya memang penuh energi dan sedikit usil, tetapi justru itulah yang membuatnya semakin menggemaskan di mata Aleena.Tak kuasa menahan dorongan dalam hatinya, ia pun mencubit pipi tembem Aiden yang terasa lembut di tangannya.“Bye, Mommy!”Eve dan Aiden melambaikan tangan mereka dengan semangat, sebelum berlari masuk ke halaman sekolah bersama t
Brak!Suara benturan keras memenuhi ruangan bar yang semula dipenuhi percakapan ringan dan dentingan gelas.Seisi ruangan sempat menoleh, namun kembali sibuk dengan urusan masing-masing saat menyadari sumber suara itu hanyalah seorang pria yang sedang tenggelam dalam amarah dan keputusasaan.Kevin, yang tengah duduk santai sambil menikmati beer-nya, sontak menoleh ke arah Liam yang baru saja membanting gelas whiskey dengan kasar ke atas meja bar.Mata pria itu gelap, dipenuhi kemarahan dan luka yang tak terucapkan.Jemarinya mengepal di atas permukaan meja yang kini basah oleh whiskey yang tumpah, sementara napasnya memburu seakan menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dirinya.“Ada apa denganmu, Liam? Datang-datang minum lalu membanting gelasnya dengan keras,” tanya Kevin, geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang tampak berantakan.Liam mengusap wajahnya dengan kasar, seolah ingin menghapus kepedihan yang baru saja menghempaskannya begitu dalam.Matanya merah, buka
“Paman John!”Seruan riang itu meluncur dari bibir mungil Aiden dan Evelyn, dua anak kembar yang berusia enam tahun.Keduanya berlari dengan langkah kecil namun penuh semangat ke arah pria yang berdiri bersandar pada mobil hitamnya. John menoleh, lalu menyunggingkan senyum hangat khasnya.“Halo, anak-anak pintar. Hari ini Paman menjemput kalian lagi,” ujar John seraya membuka kedua lengannya, membiarkan si kembar memeluknya dengan penuh antusias.“Yeay!” seru Aiden, matanya berbinar cerah. “Senang sekali bisa dijemput oleh Paman John lagi. Apakah Mommy sedang sibuk, Paman?”John mengangguk, menatap lembut bocah laki-laki itu. “Ya. Mommy kalian sedang sibuk. Jadi, Paman yang menjemput kalian.”Evelyn mengangguk-angguk, seolah memahami sesuatu yang penting. Sementara itu, Aiden menatap John dengan tatapan penuh harap.“Asyiik! Apakah kami boleh jajan dulu, Paman? Tapi, jangan beritahu Mommy. Pleaassee!” pinta Aiden, menyatukan kedua telapak tangannya dengan ekspresi penuh permohonan.Jo
Aleena terdiam, jantungnya berdegup kencang seakan ingin menerobos keluar dari rongga dadanya.Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir Liam masih menggantung di udara, menusuk relung hatinya dengan getir. Ia bahkan tak sanggup menatap pria itu, tak ingin melihat wajah yang kini dipenuhi aura mengancam.“Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, Aleena,” bisik Liam dengan suara rendah yang sarat ketegasan. Jemarinya yang kokoh namun lembut mengusap bibir Aleena, seakan ingin menghapus keraguan yang tertinggal di sana.Tatapan Liam melekat pada wajahnya, dalam dan menuntut, sebelum tiba-tiba, tanpa aba-aba, pria itu menyambar bibirnya.Aleena terkejut, matanya membelalak penuh keterkejutan saat bibir Liam menekan miliknya dengan intensitas yang mendominasi.Aleena meronta, kedua tangannya berusaha mendorong tubuh Liam menjauh, tapi sia-sia. Tenaga pria itu jauh lebih besar darinya. Ia terperangkap dalam ciuman yang memabukkan sekaligus menyesakkan, berusaha sekuat tenaga untuk me
Dua jam setelah John pergi, Liam yang sedari tadi menahan diri akhirnya tak bisa lagi mengabaikan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.Dengan langkah lebar, ia menuju ruang kerja Aleena, hatinya penuh dengan kemarahan dan rasa tak terima.Saat pintu terbuka dengan keras, Aleena yang sedang fokus pada dokumen-dokumen di mejanya langsung tersentak.Ia mengangkat wajahnya dengan kaget, matanya membulat melihat sosok Liam berdiri di ambang pintu dengan ekspresi murka."Apa yang kau lakukan di sini?" protes Aleena tajam, mencoba menutupi keterkejutannya.Liam tak menjawab. Ia melangkah mendekat, tatapan matanya tajam dan menusuk. Dalam sekejap, ia mencengkeram kedua tangan Aleena dengan kuat, membuat wanita itu mengernyit kesakitan."Apa kau sengaja membuatku marah, hah?" suara Liam terdengar geram.Aleena mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh Liam."Jangan pura-pura tidak tahu, Aleena," lanjut Liam dengan suara yang lebih rendah, namun sarat dengan emo
Pagi itu, suasana di Alen’s Resto cukup ramai dengan para pelanggan yang datang untuk menikmati sarapan mereka. Jenny, yang sedang bertugas di bagian depan restoran, dengan sigap menyambut setiap tamu yang masuk.Namun, langkahnya terhenti seketika ketika melihat sosok yang begitu dikenalnya berdiri di ambang pintu.Liam.Pria itu melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan setelan formal yang membuatnya tampak begitu profesional.Di belakangnya, tiga orang klien mengikuti, terlihat siap untuk melakukan pertemuan bisnis. Jenny menghela napas pelan, merasa kesal sekaligus terkejut dengan kehadiran Liam di sini.‘Kenapa dia harus datang ke sini? Bukannya masih banyak restoran lain yang bisa dipilih?’ gumam Jenny dalam hati.Tanpa menunggu lebih lama, ia berbalik dan langsung menuju ruang kerja Aleena. Di dalam ruangan itu, Aleena tengah fokus memeriksa data keuangan restoran, tanpa menyadari ada tamu tak terduga di luar.“Aleena, kau tidak akan percaya siapa yang baru saja datang,”
Suara bel pintu berdenting berulang kali, menggema di dalam rumah, mengusik ketenangan malam yang mulai merayap.Aleena menghela napas panjang, berusaha mengabaikannya, tetapi suara itu tak kunjung berhenti. Dengan kesal, ia melangkah cepat menuju pintu dan menariknya dengan gerakan kasar.Begitu melihat siapa yang berdiri di balik pintu, ia langsung memutar bola matanya dengan jengkel.“Ada apa lagi, Liam? Apa kau tuli? Aku sudah bilang, aku tidak ingin bertemu denganmu lagi!” Nada suaranya tegas, tajam seperti belati yang siap menusuk siapa pun yang berani mengusik batasannya.Namun, Liam tak bergeming. Ia tetap berdiri di sana, wajahnya penuh dengan pertanyaan yang mendesak untuk segera mendapatkan jawaban.“Apa benar, kau akan menikah dengan John?” tanyanya tanpa basa-basi.Aleena sontak membelalakkan matanya, dadanya berdesir mendengar nama itu keluar dari bibir Liam. “Da—dari mana kau tahu tentang John?” suaranya bergetar, antara terkejut dan tak percaya.Liam memejamkan matanya
Hati ayah mana yang tidak sakit mendengar ucapan dari anaknya sendiri yang tidak mengakuinya sebagai ayah?Liam benar-benar terdiam, seakan tak percaya dengan kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir putranya.Sorot matanya meredup, dadanya terasa sesak, seolah dihantam oleh kenyataan yang pahit.“Tapi, Aiden….” ucap Liam lirih, mencoba meraih kembali hubungan yang nyaris hancur.Aiden menatap Eve dengan dingin, tatapannya tajam, tak tergoyahkan. “Apa? Kau mau mengelak ucapanku?” suaranya terdengar dingin, penuh ketegasan.John yang sejak tadi mengamati ketegangan di antara mereka hanya bisa menghela napas pelan.Ia mengusap lembut pucuk kepala Evelyn dan tersenyum menenangkannya. “Sudah, jangan berdebat lagi,” ujarnya dengan nada lembut, mencoba meredakan suasana yang semakin memanas.Namun, Liam tak bisa tinggal diam. Ia butuh kepastian, ia perlu jawaban. Dengan rahangnya yang mengeras, ia menatap John dengan tatapan tajam penuh tanda tanya.“Siapa sebenarnya kau?” tanyanya deng
“Paman John!”Seruan riang itu meluncur dari bibir mungil Aiden dan Evelyn, dua anak kembar yang berusia enam tahun.Keduanya berlari dengan langkah kecil namun penuh semangat ke arah pria yang berdiri bersandar pada mobil hitamnya. John menoleh, lalu menyunggingkan senyum hangat khasnya.“Halo, anak-anak pintar. Hari ini Paman menjemput kalian lagi,” ujar John seraya membuka kedua lengannya, membiarkan si kembar memeluknya dengan penuh antusias.“Yeay!” seru Aiden, matanya berbinar cerah. “Senang sekali bisa dijemput oleh Paman John lagi. Apakah Mommy sedang sibuk, Paman?”John mengangguk, menatap lembut bocah laki-laki itu. “Ya. Mommy kalian sedang sibuk. Jadi, Paman yang menjemput kalian.”Evelyn mengangguk-angguk, seolah memahami sesuatu yang penting. Sementara itu, Aiden menatap John dengan tatapan penuh harap.“Asyiik! Apakah kami boleh jajan dulu, Paman? Tapi, jangan beritahu Mommy. Pleaassee!” pinta Aiden, menyatukan kedua telapak tangannya dengan ekspresi penuh permohonan.Jo
Brak!Suara benturan keras memenuhi ruangan bar yang semula dipenuhi percakapan ringan dan dentingan gelas.Seisi ruangan sempat menoleh, namun kembali sibuk dengan urusan masing-masing saat menyadari sumber suara itu hanyalah seorang pria yang sedang tenggelam dalam amarah dan keputusasaan.Kevin, yang tengah duduk santai sambil menikmati beer-nya, sontak menoleh ke arah Liam yang baru saja membanting gelas whiskey dengan kasar ke atas meja bar.Mata pria itu gelap, dipenuhi kemarahan dan luka yang tak terucapkan.Jemarinya mengepal di atas permukaan meja yang kini basah oleh whiskey yang tumpah, sementara napasnya memburu seakan menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dirinya.“Ada apa denganmu, Liam? Datang-datang minum lalu membanting gelasnya dengan keras,” tanya Kevin, geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang tampak berantakan.Liam mengusap wajahnya dengan kasar, seolah ingin menghapus kepedihan yang baru saja menghempaskannya begitu dalam.Matanya merah, buka
Pagi itu, mentari bersinar hangat di ufuk timur, menyelimuti kota dengan sinar keemasannya.Aleena sudah terbiasa dengan rutinitasnya setiap pagi—menyiapkan sarapan, memastikan kedua anaknya mengenakan seragam dengan rapi, lalu mengantarkan mereka ke sekolah.Hari ini pun, seperti biasa, ia menurunkan Eve dan Aiden di depan gerbang sekolah mereka.“Belajar yang fokus. Mommy akan menjemput kalian lagi. Dan kau, Aiden. Jangan nakal!” ucapnya lembut, meski ada sedikit nada tegas yang terselip dalam suaranya.Aiden hanya mengerucutkan bibir merahnya, matanya yang bulat dan jenaka menatap Aleena seolah tak terima dengan peringatan itu.Anak laki-lakinya memang penuh energi dan sedikit usil, tetapi justru itulah yang membuatnya semakin menggemaskan di mata Aleena.Tak kuasa menahan dorongan dalam hatinya, ia pun mencubit pipi tembem Aiden yang terasa lembut di tangannya.“Bye, Mommy!”Eve dan Aiden melambaikan tangan mereka dengan semangat, sebelum berlari masuk ke halaman sekolah bersama t
Aleena mengusap wajahnya dengan frustasi, ucapannya tadi masih menggema di telinganya.Tatapannya berubah dingin saat ia menatap wajah pria di hadapannya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya yang bergejolak hebat di dalam dada."Kau benar-benar tidak tahu malu, ya?" suaranya terdengar tajam, penuh kemarahan yang telah lama ia pendam."Setelah bertahun-tahun meninggalkan kami, bahkan tidak mau mengakui keberadaan mereka, kini kau dengan begitu mudahnya ingin hadir dan mengaku sebagai ayah mereka? Kau pikir aku akan membiarkan itu terjadi?"Aleena menggelengkan kepalanya, seolah tak percaya dengan keberanian Liam yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang pernah mengisi hidupnya, namun juga yang menghancurkan segalanya."Biarkan aku menjadi ayah mereka, Aleena," suara Liam terdengar lebih lembut kali ini, seolah memohon."Aku tahu kau masih marah padaku, dan aku pantas mendapatkannya. Tapi mereka butuh seorang ayah. Kau pikir aku tidak tahu bahwa mereka mencariku?“