“Astaga, kepalaku pusing sekali,” gerutu Amber sambil memijat keningnya.
Dengan rambut pirang yang berantakan dan mata berkaca-kaca, Amber berdiri di lorong hotel yang remang-remang. Gaunnya yang indah kusut dan berlumuran noda, mencerminkan keadaan hatinya yang hancur.
“Apa salahku, Tuhan! Kenapa hidupku jadi begini?”
Dia baru saja kehilangan seorang ayah, dan diusir oleh ibu tirinya yang licik, kata-kata kasar dan penghinaan wanita itu masih terngiang di telinganya. Amber tak tahu harus ke mana, hanya rasa sakit dan frustrasi yang menemaninya.
Tanpa tujuan, Amber berjalan sempoyongan, kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lemah karena alkohol. Dia tersandung beberapa kali, hampir jatuh, tetapi berhasil bangkit kembali.
Akhirnya, dia sampai di depan sebuah pintu kamar hotel. Dia mengeluarkan kartu pass dari tasnya yang berantakan, berusaha keras untuk menempelkannya ke sensor.
“Klik!”
Pintu tak kunjung terbuka. Amber mencoba lagi, dan lagi, tapi sia-sia. Rasa frustrasi mulai menggerogoti dirinya.
“Kenapa tidak mau terbuka?!” teriaknya dengan suara parau, air mata mengalir deras di pipinya. “Kau juga ingin menyiksaku, huh?” tanya Amber kepada pintu di hadapannya.
Amber mulai merancau, menendang pintu dengan kakinya yang lemah. Dia menggedor-gedor gagang pintu dengan panik, tak peduli dengan suara gaduh yang ditimbulkannya.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Di balik pintu berdiri seorang pria, raut wajahnya terkejut melihat Amber yang mabuk dan berantakan.
“Ughhh, akhirnya terbuka,” Amber terhuyung masuk tanpa memedulikan pria itu. “Aku pikir pintu ini juga akan bersikap jahat padaku.”
Pria itu menatapnya dengan heran. “Hey, dengan penampilan seperti ini kah kau akan melayani tamumu?”
Amber tidak menggubris Julian, dia membanting tubuh di atas kasur yang empuk dan mulai memejam meskipun mulutnya masih merancau tak jelas.
“Yang benar saja, apa Megan sedang mempermainkanku? Bisa-bisanya dia mengirim gadis mabuk untukku.” Julian Kingston mengira Amber adalah wanita bayaran yang dia pesan untuk memuaskannya malam ini. Julian merasa kesal, karena gadis di depannya sangat tidak profesional, berani sekali gadis itu datang dengan kondisi berantakan. “Hey, beginikah cara mucikarimu mendidik anak buahnya?”
Amber menggelengkan kepalanya. “Tidak,” isaknya. “Jangan salahkan ayahku. Dia memang bodoh karena menikahi wanita ular itu, tapi semua ini bukan salah Dad. Aku yang salah, aku yang kekanakan. Andai saja aku tidak meninggalkan rumah….”
“Shit … bagaimana mungkin dalam keadaan melantur dan kacau seperti ini dia tetap kelihatan cantik.” Julian mengumpat dan berbicara sendiri. “Kurasa kau memang sebaiknya segera kutiduri.” Julian mencari-cari pengaman di dompetnya, tapi dia tidak menemukan apa pun.
Biasanya dia tidak menggunakan pengaman ketika berhubungan dengan gadis-gadis milik Megan Brown, Julian sudah mendapat jaminan kalau semua pelacur binaan Megan telah menjalani pemeriksaan kesehatan dan vaksin rutin. Namun, kali ini, melihat sosok Amber yang berantakan, Julian sedikit sanksi. Dia merogoh saku celana, mencari gawai untuk menghubungi Megan. Sialnya, Megan sedang tidak bisa mengangkat telepon. Julian pun ingat, ketika dia mengunjungi rumah bordir yang Megan kelolah, betapa temannya itu sangat hati-hati dan teliti dalam menjaga kesehatan anak -buahnya, serta kesehatan para tamunya.
“Oke, yakin saja, anak buah Megan tidak mungkin membawa penyakit macam-macam untukku.” Julian sudah membayar mahal, dia tidak akan menyia-nyiakan santapan di hadapannya. Tentu saja, tidak, apalagi Amber cukup menggiurkan. Gadis berambut pirang itu mungkin berusia sekitar 20-an. Meski tanpa riasan, Amber memancarkan kecantikan yang memukau. Rambut pirangnya yang panjang terurai indah, bagaikan ombak yang berkilauan di bawah sinar matahari. Matanya yang saat ini terpejam itu berwarna biru langit, jernih dan penuh kepedihan, bagaikan dua batu safir yang berkilauan. Bibirnya yang tipis dan merah muda, Julian membayangkan bagaimana rasanya melumat bibir itu dengan bibirnya.
Perawakan Amber pun tak kalah ideal. Tubuhnya ramping dan tinggi semampai, dengan lekuk tubuh yang sempurna. Kulitnya halus dan mulus, berwarna putih cerah seperti porselen. Dia memiliki kaki yang jenjang dan ramping, serta pinggang yang menggiurkan. Amber adalah gadis yang menawan, dengan kecantikan yang alami, di luar fakta bahwa saat ini dia bau alkohol dan teler di hadapan Julian.
“Hey, bisakah kau bangun dan laksanakan tugasmu?” Julian menepuk ringan lengan Amber.
Amber mencoba membuka mata, dengan sisa-sisa kesadaran, dia bergumam, “Aku sudah tidak punya apa-apa, harta ayah disita dan dibekukan akibat hutang si perempuan ular itu….”
“Apa maksudmu, sadarlah, atau aku akan merendammu di bathtub.” Dengan arogan Julian mengancam. Namun di sisi lain dia juga sadar, ancamannya sia-sia, sebab gadis mabuk tetaplah gadis mabuk. Dengan harga diri yang sedikit terluka, Julian melepaskan pakaiannya. Lalu lanjut menurunkan paksa gaun Amber. Meskipun sempat sedikit kesulitan, tapi bukan hal sulit bagi Julian untuk merobek-robek gaun tipis gadis di depannya. “Hmmm, tubuh yang sempurna.”
“Dingin…,” keluh Amber sembari memeluk tubuh telanjangnya.
Julian tak menggubris celetukan Amber. Dia bergerak kembali ke arah si gadis, mengaitkan tangannya di bawah lutut Amber dan kembali duduk di antara kedua kaki si rambut pirang. “Persetan dengan pemanasan. Lagian siapa yang akan melakukan pemanasan pada gadis mabuk?”
Sebelum menggerakkan pinggulnya ke atas kaki Amber yang telah dia buka, Julian mengocok juniornya dengan tangan kanan. Ekor depan itu dengan cepat mengeras dan membengkak maksimal. Dia mulai dengan menekan tepat di liang yang paling Julian butuhkan saat ini. Tubuh Julian turun, agar kepalanya sejajar dengan kepala Amber. Sebuah ciuman didaratkan, awalnya lembut, tapi makin lama makin brutal.
“Mmmmffftt, apa yang kau lakukan!” Amber mencakarnya, walaupun kepalanya berat dan matanya berkunang-kunang, Amber bisa merasakan bahwa bahaya akan segera dia alami.
Satu tangan Julian menangkup satu rembulan kembar Amber, meremasnya, mempermainkan putingnya. Erangan lolos dari bibir Amber. Mata perak Julian terangkat dan terkunci dengan mata Amber saat lidahnya keluar dan dia menusukkan juniornya dengan kuat, agar bisa menyusup ke dalam celah surgawi Amber. Gadis itu berteriak sambil menarik segenggam seprai.
“Ya Tuhan, ternyata kau manis sekali,” Julian terengah-engah sambil menundukkan kepalanya untuk menaruh lidahnya pada mulut Amber lagi.
“Tolong hentikan….” Amber merintih.
Kehangatan napas Julian di wajah Amber memandikan denyut yang diciptakannya pada sang gadis. “Kau bercanda. Malam ini akan jadi malam yang panjang, Sayang. Kurasa kau tak seburuk penilaianku saat pertama kali melihatmu tadi.”
Amber menggelengkan kepala dan memejamkan matanya erat-erat. Cengekeraman daging lembut milik Amber membuat dunia Julian seperti akan meledak dalam warna-warni dan napasnya memburu sementara kenikmatan menjalari dirinya.
“Menyingkirlah, akh.” Suaranya tegang dan urat di lehernya menonjol saat Amber menekankan kata itu lebih dalam.
Julian mulai kewalahan karena Amber meronta di bawahnya. “Jangan bergerak. Kumohon Sayang, jangan bergerak,” pinta Julian sambil menahan pinggul Amber.
Kemudian Julian mendorong lebih jauh ke dalam, Amber menggigit bibir, merasakan sesak dan sengatan rasa sakit di kewanitaannya. Julian mundur lalu pinggulnya digerakkan ke depan dengan satu dorongan keras. Rasa sakit yang panas mengiris tubuh Amber dan gadis itu berteriak lebih lantang, meremas lengan Julian erat-erat pada saat gelombang rasa sakit mengguncang tubuhnya.
Amber bisa mendengar napas Julian yang cepat dan keras. Julian menutup matanya dan menundukkan kepalanya ke belakang. Dia mengerang saat mulai bergerak lebih cepat. Pria itu bisa merasakan gairahnya naik lebih tinggi lagi. Julian mengangkat pinggul Amber untuk memenuhi dorongannya dan itu sepertinya membuat si gadis panik. “Brengsek, kau luar biasa. Sangat ketat. Pirang, kau sangat ketat,” puji Julian ketika cairan panasnya memenuhi milik Amber.
Beberapa detik setelah denyut terakhir, Julian akhirnya menggulingkan tubuhnya ke amping tubuh Amber. Dia tidak kelelahan, Julian hanya dimabuk kenikmatan. Belum pernah Julian merasakan seks senikmat dan semanis ini dengan pelacur lain yang dia tiduri. Dia bahkan sudah memikirkan akan membuat Amber mengerang sepanjang malam ini, tapi melihat gadis di sampingnya meringkuk sambil berlinang air mata, Julian menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang Amber.
“Mungkin mabuk membuatmu lebih emosional. Baiklah, kau boleh istirahat dulu, nanti kita lanjutkan setelah kau merasa lebih baik….”
Terbangun oleh kilau keemasan matahari Los Angeles yang menyusup melalui jendela kaca kamar hotel, Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.Tunggu. Ke mana perginya tubuh itu?Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan Amber. “Ke mana perginya gadis itu?”Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menyisir kamar presiden suit yang di sewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan Amber, seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Yang Julian dapat hanya gaun robek Amber yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik.“Gadis itu benar–benar aneh.” Julian geleng-geleng dan memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyerang. Dia mer
“Mark, apakah sudah ada perkembangan mengenai gadis itu dari para pengawal yang kau kirim untuk melakukan penyisiran di wilayah sekitar hotel?” tanya Julian tanpa menoleh dari jendela.“Kami tidak dapat menemukannya, Tuan.” Mark menghela napas, “kami sudah meminta orang menyisir ke seluruh hotel sejak waktu itu, tapi belum ada titik terang. Tapi saya sudah membawakan data CCTV seluruh hotel ini untuk diperiksa.”Julian memicing tajam, “Sudah tiga minggu, kau pikir masih berguna?”“Jadi, Anda tidak ingin saya memeriksanya?”“Periksa, Mark,” kesal Julian dingin.Mark mengangguk singkat menanggapi perintah bosnya itu. Dia merasa agak aneh. Tidak biasanya Julian mencari gadis malam yang dia tiduri sampai sebegitunya. Terlebih lagi, Julian sama sekali tidak menemui wanita penghibur lain sejak malam yang dia habiskan bersama wanita mabuk misterius yang membawa kabur kemeja dan celananya itu. Ini jelas bukan sikap Julian. Namun, Mark sadar kalau dia juga tidak mungkin mempertanyakan bosnya.J
“A- Apa?”“Kau tidak menginginkan bayi ini. Kalau kau hamil seperti Marry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.”Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie, rekan kerjanya yang seharusnya memberikan dukungan, malah memberinya ultimatum yang menyiksa.“Kau gila, Jessie!” Amber memekik tertahan, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan. “Anak ini … adalah darah dagingku.”Namun, jawaban dingin Jessie membuat Amber terdiam. “Amber, aku tahu ini sulit, tapi kau harus menghadapi kenyataan. Jika kau tidak mengambil tindakan berdasarkan sentimen dangkalmu, konsekuensinya akan lebih berat. Kau bisa kehilangan semuanya. Kuliah, pekerjaan, masa depanmu…”“Tapi….”“Kau siap menghadapi semua ini? Bayi itu akan merenggut seluruh hidupmu, dan kau
Empat tahun kemudian….Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Victor bisa menghabiskan berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya agak guguk memikirkan akan kembali ke Los An
“Silakan lewat sini, Nona,” pandu Mark, mengantarkan Clara ke kursi Julian.Kaki Clara menginjakkan diri di lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles karena suasananya yang tenang dan berkelas. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara. Di sudut ruangan, duduklah sosok pria yang selama ini Clara puja, Julian Kingston, pengusaha muda sukses yang disegani. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran dan sinis. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar dia. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah di tentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara.“Lama sekali, aku sampai berp
Mouren Inc memang selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Tentu saja ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Violet di daycare.Namun, Tuan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit. “Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?”Amber mengernyit bingung, ah, dasar atasan menyebalkan, memangnya kami sedekat itu sampai dia bisa langsung memanggil nama depanku?!“Ta- tapi….”Amber mengepalkan tangannya di bawah meja, tapi aku harus menjemput anak-anakku yang lucu dan imut!“Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Clara, putri pemilik perusahaan yang baru kembali k
Pesta pertunangan Julian dan Clara digelar megah di salah satu hall hotel bintang lima yang mewah di pusat kota Los Angeles. Ratusan tamu elit dari berbagai kalangan bisnis dan sosial hadir untuk merayakan persatuan antara Kingston Corporation dan Mouren Inc. Amber, salah satu karyawan Mouren Inc yang baru dipindahkan ke sana, tentu saja mendapatkan undangan ke pesta tersebut.Hari pesta pertunangan tiba. Amber duduk di depan meja rias di kamarnya, memandang dirinya sendiri di cermin dengan gaun malam yang elegan. Rambutnya dikepang indah, dan makeupnya dipoles dengan cermat. Namun, di dalam hatinya, Amber merasa gelisah. Dia sebenarnya tidak berniat datang ke pesta ini.“Jessie, aku rasa aku tidak bisa pergi,” kata Amber dengan cemas saat mengeluh pada sahabatnya.Jessie, yang sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk si kembar, mendengus di telepon. “Amber, sudahlah. Ini kesempatan bagus untukmu bersosialisasi di perusahaan baru. Ayo, berikan senyum terbaikmu dan hadir di pesta itu.”
Julian menatap dengan mata terbelalak saat dia menyaksikan Amber berlalu di hadapannya. Sebuah rasa kebingungan menyelimuti pikirannya, tetapi saat Amber, Jessie, dan si kembar melangkah menuju pintu keluar, Julian tiba-tiba menyadari sesuatu.“Astaga, gadis itu. Sial, dia adalah gadis mabuk yang selama ini aku cari,” desis Julian pelan, seperti menyusur angin. Segera saja Julian memanggil Mark. “Itu ... itu dia.”“Siapa, Tuan?” tanya Mark, melirik ke arah Amber yang menghilang di tengah keramaian lobi hotel.Julian menggelengkan kepala, mencoba mengatasi kebingungannya. “Dia adalah wanita mabuk yang aku cari selama ini.”“Anda yakin, benar-benar gadis itu yang Anda lihat sebelumnya?” Mark mencoba memastikan.“Pernahkah mataku salah melihat atau salah menilai selama ini, Mark?”“Maaf, Tuan, bukan maksud saya—”Julian mendesah keras. “Sudahlah, nanti saja kita bicarakan. Pesta masih berlangsung, aku tidak boleh terganggu oleh hal lain.” Julian masuk ke dalam lagi setelah mengucapkan itu