“Mark, apakah sudah ada perkembangan mengenai gadis itu dari para pengawal yang kau kirim untuk melakukan penyisiran di wilayah sekitar hotel?” tanya Julian tanpa menoleh dari jendela.
“Kami tidak dapat menemukannya, Tuan.” Mark menghela napas, “kami sudah meminta orang menyisir ke seluruh hotel sejak waktu itu, tapi belum ada titik terang. Tapi saya sudah membawakan data CCTV seluruh hotel ini untuk diperiksa.”
Julian memicing tajam, “Sudah tiga minggu, kau pikir masih berguna?”
“Jadi, Anda tidak ingin saya memeriksanya?”
“Periksa, Mark,” kesal Julian dingin.
Mark mengangguk singkat menanggapi perintah bosnya itu. Dia merasa agak aneh. Tidak biasanya Julian mencari gadis malam yang dia tiduri sampai sebegitunya. Terlebih lagi, Julian sama sekali tidak menemui wanita penghibur lain sejak malam yang dia habiskan bersama wanita mabuk misterius yang membawa kabur kemeja dan celananya itu. Ini jelas bukan sikap Julian. Namun, Mark sadar kalau dia juga tidak mungkin mempertanyakan bosnya.
Julian berdiri tegak di depan jendela besar yang menghadap ke pantai Los Angeles, air laut memantulkan cahaya matahari pagi dengan gemerlapan. Beberapa minggu sudah berlalu, kemarin Julian terlalu sibuk untuk sekadar mencari tahu tentang wanita misterius yang menggantikan Kattie. Namun, sekarang rasa bersalah terus saja menggerogotinya tanpa ampun. Asisten pribadinya, Mark, duduk di seberang meja dengan laptop terbuka, sibuk meneliti data dari berbagai kamera CCTV di hotel tempat mereka menginap.
“Bagaimana, sudah ketemu?”
Tolonglah, Tuan! Ini baru lima belas menit sejak perintah itu diberikan!
Mark menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil melihat layar laptop. “Saya masih belum menerima kabar, Tuan. Namun, tampaknya wanita itu benar-benar mabuk saat itu. Dia terlihat bingung dan berjalan dengan tidak stabil menuju lantai yang salah.”
Julian mengernyitkan dahi, melihat apa yang ditunjuk Mark. “Mabuk, ya? Jadi dia masuk ke kamarku secara tidak sengaja?”
Mark mengangguk. “Sepertinya begitu, Tuan. Tidak ada tanda-tanda dia berniat melakukan hal lain.”
“Baiklah,” ucap Julian, namun pandangannya tetap suram. “Dan mengenai darah di tempat tidur? Apa itu Artinya aku baru saja memerawani seorang gadis mabuk yang polos?”
Mark menatap Julian serba salah. “Sa- saya belum menemukan penjelasan pasti. Namun, untuk masalah itu…..”
“Sudahlah.” Julian merenung sejenak, mencoba merangkai potongan-potongan puzzle dalam pikirannya. Dia menggigit bibirnya, lalu tiba-tiba menoleh ke arah Mark. “Aku ingin kau terus mencari informasi tentang gadis itu. Periksa setiap detail, bahkan jika kau harus memeriksa seluruh Los Angeles. Aku ingin tahu siapa dia.”
Mark mengangguk tegas. “Baik, Tuan. Saya akan memulai pencarian segera.”
Julian menghela napas panjang. Dia mengambil jas dan menariknya ke pundak. “Aku akan keluar sebentar. Laporkan jika kau menemukan sesuatu.”
Keluar dari kamar hotel, Julian merasa angin sejuk pagi menyapu wajahnya. Langkahnya mantap meski pikirannya kacau. Dia berjalan melintasi pantai yang tenang, tetapi gelombang masalah dalam benaknya tak berhenti.
Gadis itu masih misteri bagi Julian. Jika dia benar-benar bukan seorang wanita bayaran, mengapa dia bisa salah masuk kamar? Memangnya mabuk membuat orang jadi idiot? Dan mengapa ada darah perawan di tempat tidurnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sambil dia terus berjalan.
Sesaat kemudian, ketidakpastian dan rasa bersalah yang menghantuinya membuat Julian berhenti. Dia menghela napas lagi, kemudian mengeluarkan ponselnya dan memanggil Mark. Kalau dia benar-benar sekadar salah kamar, maka Julian adalah pria brengsek yang merenggut kesuciannya. Sial.
“Mark, tolong pastikan kau mendapatkan informasi tentang wanita itu. Aku ingin tahu siapa dia, dari mana dia, dan apa yang terjadi semalam. Beritahu aku setiap perkembangannya. Aku ingin jawaban.”
Mark mengangguk di ujung telepon. “Saya akan melakukan yang terbaik, Tuan. Saya akan menghubungi Anda segera jika ada kabar.”
“Lakukan penyisiran ke seluruh Los Angeles jika diperlukan.”
***
Amber duduk di ruang tunggu klinik dokter kandungan, jantungnya berdegup kencang. Hatinya tersekat rasa sesak, seolah di dalam sana sedang tercampur aduk antara kecemasan dan ketakutan. Sejenak dia menyesap aroma antiseptik ruangan, mencoba menenangkan diri. Ini adalah langkah pertama yang besar bagi dirinya.
Ketika pintu ruang pemeriksaan terbuka, seorang perawat memanggil namanya. Amber berdiri perlahan, langkahnya ragu namun penuh tekad. Dia mengikuti perawat ke ruangan kecil yang penuh dengan peralatan medis modern.
Dokter kandungan yang ramah menyambutnya dengan senyuman. “Selamat datang, Nona Hayes. Saya Dokter Reynolds. Bagaimana perasaanmu hari ini?”
Amber menggelengkan kepala sambil tersenyum gugup. “Saya agak gugup, Dok. Ini pertama kalinya saya melakukan ini.”
Dokter Reynolds mengangguk penuh pengertian. “Tidak apa-apa, Nona. Kami akan membuat Anda merasa nyaman. Mari kita mulai dengan pemeriksaan ultrasonografi, ya?”
Amber mengangguk, dan dengan hati berdebar, dia berbaring di meja pemeriksaan. Dokter Reynolds menyiapkan alat ultrasonografi, dan sebentar kemudian, gambar embrio kecil mulai muncul di layar monitor.
“Ini adalah embrio bayi Anda,” ujar dokter sambil menunjuk layar. “Usianya sekitar empat minggu, dan perkembangannya normal dan sehat.”
Air mata Amber menitik bahagia. Dia menatap gambar kecil yang berdetak di layar itu dengan penuh keajaiban. “Itu... itu anak saya,” gumamnya dengan suara tercekat.
Dokter Reynolds tersenyum lembut. “Iya, Nona. Kalua dilihat dari embrionya, sepertinya Anda sedang mengandung anak kembar, dan semuanya baik-baik saja.”
“Ke-kembar?” Amber tidak paham lagi bagaimana Tuhan mengatur semua ini. Setelah masalah demi masalah datang bertubi, kini diturunkan anugerah kombo untuknya.
Dokter menjelaskan lebih detail, sampai Amber benar-benar memahami kondisinya dan kondisi janin di dalam perutnya. Setelah pemeriksaan selesai, Amber diberi berkas medisnya dan beberapa informasi terkait kehamilan. Dia meninggalkan ruang dokter dengan langkah yang ringan namun pikiran yang berat. Amber melangkah keluar dari klinik dengan perasaan bingung dan putus asa. Udara sekitarnya terasa berat, seolah menekan dadanya. Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan tanpa jawaban.
Apa yang seharusnya dia lakukan?
Bagaimana dia bisa menghadapi semua ini sendirian?
Setelah mencoba mencari solusi dan tetap tidak menemukan jawaban, Amber memutuskan untuk tetap pergi bekerja di kafe tempatnya bekerja paruh waktu di pusat kota. Dia memerlukan uang untuk menghidupi dirinya sendiri, terlebih lagi sekarang dia harus memikirkan kehidupan baru di rahimnya.
Saat Amber tiba di kafe, suasana terasa tegang. Dia melihat senior barista-nya, Marry, keluar dari ruang manajer dengan wajah muram. Amber mendekati Megan dengan hati-hati.
“Marry, apa yang terjadi?” tanya Amber, mencoba menahan kegelisahannya.
Marry menghela nafas. “Mereka memecatku, Amber. Alasannya? Karena aku hamil.”
Amber terdiam. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Tidak mungkin ... ba … bagaimana bisa?”
Marry memandang Amber dengan simpati. “Oh, Amber, kenapa kau jadi ketakutan begitu? Apa kau juga hamil?” Marry menyadari ekspresi Amber yang kacau. “Apa yang akan kau lakukan? Wajahmu pucat … mungkin sebentar lagi kau juga … dipecat.”
Amber menggelengkan kepala, mata penuh kebingungan. “Aku tidak tahu, Marry. Aku tidak hamil. A-aku … aku hanya agak demam dan flu.”
Marry menggenggam tangan Amber dengan lembut. “Dengarkan, Amber. Aku tahu ini sulit. Tapi kau bisa melakukan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri. Ada opsi untuk mengugurkan bayi ini, jika kau rasa itu adalah pilihan terbaik.”
Amber terdiam. Gugup dan penuh pertanyaan dalam benaknya. “Mengugurkan bayi?”
Marry mengangguk. “Aku tidak bisa memberikanmu jawaban, tapi kau harus memikirkan baik-baik apa yang kau inginkan untuk masa depanmu. Dan … jangan sampai ketahuan.”
Amber mengucapkan terima kasih pada Marry, namun kebingungannya masih menghantuinya. Dia kembali ke dapur kafe, sambil mencoba menjalankan tugasnya dengan pikiran yang melayang-layang.
“Amber, kau banyak melamun hari ini!” Jessie memekik saat Amber menumpahkan cream untuk ketiga kalinya. “Jelaskan padaku apa yang terjadi. Kau pasti punya segudang masalah di kepala kecilmu itu!”
Amber mendekati Jessie, kemudian berbisik, “A-aku… aku hamil, Jessie.”
Jessie membulatkan matanya, dia terdiam sejenak, kemudian beralih ke lokernya dan mengambil sesuatu. Begitu dia kembali, Jessie menyelipkan sebuah pil di tangan Amber.
“Ambil ini, gugurkan kandunganmu.”
“A- Apa?”“Kau tidak menginginkan bayi ini. Kalau kau hamil seperti Marry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.”Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie, rekan kerjanya yang seharusnya memberikan dukungan, malah memberinya ultimatum yang menyiksa.“Kau gila, Jessie!” Amber memekik tertahan, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan. “Anak ini … adalah darah dagingku.”Namun, jawaban dingin Jessie membuat Amber terdiam. “Amber, aku tahu ini sulit, tapi kau harus menghadapi kenyataan. Jika kau tidak mengambil tindakan berdasarkan sentimen dangkalmu, konsekuensinya akan lebih berat. Kau bisa kehilangan semuanya. Kuliah, pekerjaan, masa depanmu…”“Tapi….”“Kau siap menghadapi semua ini? Bayi itu akan merenggut seluruh hidupmu, dan kau
Empat tahun kemudian….Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Victor bisa menghabiskan berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya agak guguk memikirkan akan kembali ke Los An
“Silakan lewat sini, Nona,” pandu Mark, mengantarkan Clara ke kursi Julian.Kaki Clara menginjakkan diri di lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles karena suasananya yang tenang dan berkelas. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara. Di sudut ruangan, duduklah sosok pria yang selama ini Clara puja, Julian Kingston, pengusaha muda sukses yang disegani. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran dan sinis. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar dia. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah di tentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara.“Lama sekali, aku sampai berp
Mouren Inc memang selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Tentu saja ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Violet di daycare.Namun, Tuan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit. “Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?”Amber mengernyit bingung, ah, dasar atasan menyebalkan, memangnya kami sedekat itu sampai dia bisa langsung memanggil nama depanku?!“Ta- tapi….”Amber mengepalkan tangannya di bawah meja, tapi aku harus menjemput anak-anakku yang lucu dan imut!“Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Clara, putri pemilik perusahaan yang baru kembali k
Pesta pertunangan Julian dan Clara digelar megah di salah satu hall hotel bintang lima yang mewah di pusat kota Los Angeles. Ratusan tamu elit dari berbagai kalangan bisnis dan sosial hadir untuk merayakan persatuan antara Kingston Corporation dan Mouren Inc. Amber, salah satu karyawan Mouren Inc yang baru dipindahkan ke sana, tentu saja mendapatkan undangan ke pesta tersebut.Hari pesta pertunangan tiba. Amber duduk di depan meja rias di kamarnya, memandang dirinya sendiri di cermin dengan gaun malam yang elegan. Rambutnya dikepang indah, dan makeupnya dipoles dengan cermat. Namun, di dalam hatinya, Amber merasa gelisah. Dia sebenarnya tidak berniat datang ke pesta ini.“Jessie, aku rasa aku tidak bisa pergi,” kata Amber dengan cemas saat mengeluh pada sahabatnya.Jessie, yang sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk si kembar, mendengus di telepon. “Amber, sudahlah. Ini kesempatan bagus untukmu bersosialisasi di perusahaan baru. Ayo, berikan senyum terbaikmu dan hadir di pesta itu.”
Julian menatap dengan mata terbelalak saat dia menyaksikan Amber berlalu di hadapannya. Sebuah rasa kebingungan menyelimuti pikirannya, tetapi saat Amber, Jessie, dan si kembar melangkah menuju pintu keluar, Julian tiba-tiba menyadari sesuatu.“Astaga, gadis itu. Sial, dia adalah gadis mabuk yang selama ini aku cari,” desis Julian pelan, seperti menyusur angin. Segera saja Julian memanggil Mark. “Itu ... itu dia.”“Siapa, Tuan?” tanya Mark, melirik ke arah Amber yang menghilang di tengah keramaian lobi hotel.Julian menggelengkan kepala, mencoba mengatasi kebingungannya. “Dia adalah wanita mabuk yang aku cari selama ini.”“Anda yakin, benar-benar gadis itu yang Anda lihat sebelumnya?” Mark mencoba memastikan.“Pernahkah mataku salah melihat atau salah menilai selama ini, Mark?”“Maaf, Tuan, bukan maksud saya—”Julian mendesah keras. “Sudahlah, nanti saja kita bicarakan. Pesta masih berlangsung, aku tidak boleh terganggu oleh hal lain.” Julian masuk ke dalam lagi setelah mengucapkan itu
Setelah mengunci pintu apartemen Jessie dengan hati-hati agar tidak mengganggu Victor dan Violet yang sedang tidur, Amber dan Jessie duduk di ruang tamu yang redup. Dalam keheningan yang tegang, Amber merasa berat untuk membuka mulut.“Amber, kau berhutang penjelasan padaku. Apa yang terjadi tadi?” tanya Jessie dengan nada cemas. “Kenapa kau terlihat begitu gelisah? Apakah semuanya baik-baik saja? Benarkah kau melihat ayah si kembar?”“Satu-satu, Jessie.” Amber menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Iya, tadi di pesta ... aku bertemu dengan ayah si kembar.”Jessie menatap Amber dengan tatapan terkejut. “Ayah si kembar? Bagaimana itu bisa terjadi? Apa dia ....?”Amber mengangguk, wajahnya pucat. “Dia adalah tunangan dari putri keluarga Mouren, pemilik Mouren Inc.”“Putri perusahaan tempatmu bekerja…” Jessie mengerutkan kening, mencoba memahami implikasi dari apa yang baru saja diungkapkan Amber. “Jadi, ayah si kembar ad
Di sebuah restoran mewah bintang lima di tengah kota, Julian dan Clara duduk bersama ibu Julian, Gracey, untuk makan siang. Suasana restoran tenang dan elegan, dengan pemandangan kota yang terhampar di luar jendela tinggi. Mereka dikelilingi oleh aura kemewahan yang memancar dari setiap sudut ruangan.Gracey tersenyum lembut sambil menatap anak dan calon menantunya bergantian. “Jadi, bagaimana kabar kalian berdua? Bagaimana persiapan pernikahan?”Clara, dengan senyuman manisnya, menjawab, “Kami sangat bahagia, Aunty. Persiapan pernikahan berjalan lancar dan kami berdua sangat menantikan hari spesial itu.”Julian bergeser di kursinya, menatap ibunya dengan penuh perhatian. “Dan bagaimana dengan Mom sendiri? Apa kabar sejak terakhir kali kita bertemu?”Gracey tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit sibuk dengan pekerjaan dan urusan rumah tangga. Tidak apa-apa.”Saat percakapan mereka berlanjut, pintu restoran terbuka dan seorang tamu memasuki ruangan. Tamu itu membawa