“Mark, apakah sudah ada perkembangan mengenai gadis itu dari para pengawal yang kau kirim untuk melakukan penyisiran di wilayah sekitar hotel?” tanya Julian tanpa menoleh dari jendela.
“Kami tidak dapat menemukannya, Tuan.” Mark menghela napas, “kami sudah meminta orang menyisir ke seluruh hotel sejak waktu itu, tapi belum ada titik terang. Tapi saya sudah membawakan data CCTV seluruh hotel ini untuk diperiksa.”
Julian memicing tajam, “Sudah tiga minggu, kau pikir masih berguna?”
“Jadi, Anda tidak ingin saya memeriksanya?”
“Periksa, Mark,” kesal Julian dingin.
Mark mengangguk singkat menanggapi perintah bosnya itu. Dia merasa agak aneh. Tidak biasanya Julian mencari gadis malam yang dia tiduri sampai sebegitunya. Terlebih lagi, Julian sama sekali tidak menemui wanita penghibur lain sejak malam yang dia habiskan bersama wanita mabuk misterius yang membawa kabur kemeja dan celananya itu. Ini jelas bukan sikap Julian. Namun, Mark sadar kalau dia juga tidak mungkin mempertanyakan bosnya.
Julian berdiri tegak di depan jendela besar yang menghadap ke pantai Los Angeles, air laut memantulkan cahaya matahari pagi dengan gemerlapan. Beberapa minggu sudah berlalu, kemarin Julian terlalu sibuk untuk sekadar mencari tahu tentang wanita misterius yang menggantikan Kattie. Namun, sekarang rasa bersalah terus saja menggerogotinya tanpa ampun. Asisten pribadinya, Mark, duduk di seberang meja dengan laptop terbuka, sibuk meneliti data dari berbagai kamera CCTV di hotel tempat mereka menginap.
“Bagaimana, sudah ketemu?”
Tolonglah, Tuan! Ini baru lima belas menit sejak perintah itu diberikan!
Mark menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil melihat layar laptop. “Saya masih belum menerima kabar, Tuan. Namun, tampaknya wanita itu benar-benar mabuk saat itu. Dia terlihat bingung dan berjalan dengan tidak stabil menuju lantai yang salah.”
Julian mengernyitkan dahi, melihat apa yang ditunjuk Mark. “Mabuk, ya? Jadi dia masuk ke kamarku secara tidak sengaja?”
Mark mengangguk. “Sepertinya begitu, Tuan. Tidak ada tanda-tanda dia berniat melakukan hal lain.”
“Baiklah,” ucap Julian, namun pandangannya tetap suram. “Dan mengenai darah di tempat tidur? Apa itu Artinya aku baru saja memerawani seorang gadis mabuk yang polos?”
Mark menatap Julian serba salah. “Sa- saya belum menemukan penjelasan pasti. Namun, untuk masalah itu…..”
“Sudahlah.” Julian merenung sejenak, mencoba merangkai potongan-potongan puzzle dalam pikirannya. Dia menggigit bibirnya, lalu tiba-tiba menoleh ke arah Mark. “Aku ingin kau terus mencari informasi tentang gadis itu. Periksa setiap detail, bahkan jika kau harus memeriksa seluruh Los Angeles. Aku ingin tahu siapa dia.”
Mark mengangguk tegas. “Baik, Tuan. Saya akan memulai pencarian segera.”
Julian menghela napas panjang. Dia mengambil jas dan menariknya ke pundak. “Aku akan keluar sebentar. Laporkan jika kau menemukan sesuatu.”
Keluar dari kamar hotel, Julian merasa angin sejuk pagi menyapu wajahnya. Langkahnya mantap meski pikirannya kacau. Dia berjalan melintasi pantai yang tenang, tetapi gelombang masalah dalam benaknya tak berhenti.
Gadis itu masih misteri bagi Julian. Jika dia benar-benar bukan seorang wanita bayaran, mengapa dia bisa salah masuk kamar? Memangnya mabuk membuat orang jadi idiot? Dan mengapa ada darah perawan di tempat tidurnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sambil dia terus berjalan.
Sesaat kemudian, ketidakpastian dan rasa bersalah yang menghantuinya membuat Julian berhenti. Dia menghela napas lagi, kemudian mengeluarkan ponselnya dan memanggil Mark. Kalau dia benar-benar sekadar salah kamar, maka Julian adalah pria brengsek yang merenggut kesuciannya. Sial.
“Mark, tolong pastikan kau mendapatkan informasi tentang wanita itu. Aku ingin tahu siapa dia, dari mana dia, dan apa yang terjadi semalam. Beritahu aku setiap perkembangannya. Aku ingin jawaban.”
Mark mengangguk di ujung telepon. “Saya akan melakukan yang terbaik, Tuan. Saya akan menghubungi Anda segera jika ada kabar.”
“Lakukan penyisiran ke seluruh Los Angeles jika diperlukan.”
***
Amber duduk di ruang tunggu klinik dokter kandungan, jantungnya berdegup kencang. Hatinya tersekat rasa sesak, seolah di dalam sana sedang tercampur aduk antara kecemasan dan ketakutan. Sejenak dia menyesap aroma antiseptik ruangan, mencoba menenangkan diri. Ini adalah langkah pertama yang besar bagi dirinya.
Ketika pintu ruang pemeriksaan terbuka, seorang perawat memanggil namanya. Amber berdiri perlahan, langkahnya ragu namun penuh tekad. Dia mengikuti perawat ke ruangan kecil yang penuh dengan peralatan medis modern.
Dokter kandungan yang ramah menyambutnya dengan senyuman. “Selamat datang, Nona Hayes. Saya Dokter Reynolds. Bagaimana perasaanmu hari ini?”
Amber menggelengkan kepala sambil tersenyum gugup. “Saya agak gugup, Dok. Ini pertama kalinya saya melakukan ini.”
Dokter Reynolds mengangguk penuh pengertian. “Tidak apa-apa, Nona. Kami akan membuat Anda merasa nyaman. Mari kita mulai dengan pemeriksaan ultrasonografi, ya?”
Amber mengangguk, dan dengan hati berdebar, dia berbaring di meja pemeriksaan. Dokter Reynolds menyiapkan alat ultrasonografi, dan sebentar kemudian, gambar embrio kecil mulai muncul di layar monitor.
“Ini adalah embrio bayi Anda,” ujar dokter sambil menunjuk layar. “Usianya sekitar empat minggu, dan perkembangannya normal dan sehat.”
Air mata Amber menitik bahagia. Dia menatap gambar kecil yang berdetak di layar itu dengan penuh keajaiban. “Itu... itu anak saya,” gumamnya dengan suara tercekat.
Dokter Reynolds tersenyum lembut. “Iya, Nona. Kalua dilihat dari embrionya, sepertinya Anda sedang mengandung anak kembar, dan semuanya baik-baik saja.”
“Ke-kembar?” Amber tidak paham lagi bagaimana Tuhan mengatur semua ini. Setelah masalah demi masalah datang bertubi, kini diturunkan anugerah kombo untuknya.
Dokter menjelaskan lebih detail, sampai Amber benar-benar memahami kondisinya dan kondisi janin di dalam perutnya. Setelah pemeriksaan selesai, Amber diberi berkas medisnya dan beberapa informasi terkait kehamilan. Dia meninggalkan ruang dokter dengan langkah yang ringan namun pikiran yang berat. Amber melangkah keluar dari klinik dengan perasaan bingung dan putus asa. Udara sekitarnya terasa berat, seolah menekan dadanya. Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan tanpa jawaban.
Apa yang seharusnya dia lakukan?
Bagaimana dia bisa menghadapi semua ini sendirian?
Setelah mencoba mencari solusi dan tetap tidak menemukan jawaban, Amber memutuskan untuk tetap pergi bekerja di kafe tempatnya bekerja paruh waktu di pusat kota. Dia memerlukan uang untuk menghidupi dirinya sendiri, terlebih lagi sekarang dia harus memikirkan kehidupan baru di rahimnya.
Saat Amber tiba di kafe, suasana terasa tegang. Dia melihat senior barista-nya, Marry, keluar dari ruang manajer dengan wajah muram. Amber mendekati Megan dengan hati-hati.
“Marry, apa yang terjadi?” tanya Amber, mencoba menahan kegelisahannya.
Marry menghela nafas. “Mereka memecatku, Amber. Alasannya? Karena aku hamil.”
Amber terdiam. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Tidak mungkin ... ba … bagaimana bisa?”
Marry memandang Amber dengan simpati. “Oh, Amber, kenapa kau jadi ketakutan begitu? Apa kau juga hamil?” Marry menyadari ekspresi Amber yang kacau. “Apa yang akan kau lakukan? Wajahmu pucat … mungkin sebentar lagi kau juga … dipecat.”
Amber menggelengkan kepala, mata penuh kebingungan. “Aku tidak tahu, Marry. Aku tidak hamil. A-aku … aku hanya agak demam dan flu.”
Marry menggenggam tangan Amber dengan lembut. “Dengarkan, Amber. Aku tahu ini sulit. Tapi kau bisa melakukan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri. Ada opsi untuk mengugurkan bayi ini, jika kau rasa itu adalah pilihan terbaik.”
Amber terdiam. Gugup dan penuh pertanyaan dalam benaknya. “Mengugurkan bayi?”
Marry mengangguk. “Aku tidak bisa memberikanmu jawaban, tapi kau harus memikirkan baik-baik apa yang kau inginkan untuk masa depanmu. Dan … jangan sampai ketahuan.”
Amber mengucapkan terima kasih pada Marry, namun kebingungannya masih menghantuinya. Dia kembali ke dapur kafe, sambil mencoba menjalankan tugasnya dengan pikiran yang melayang-layang.
“Amber, kau banyak melamun hari ini!” Jessie memekik saat Amber menumpahkan cream untuk ketiga kalinya. “Jelaskan padaku apa yang terjadi. Kau pasti punya segudang masalah di kepala kecilmu itu!”
Amber mendekati Jessie, kemudian berbisik, “A-aku… aku hamil, Jessie.”
Jessie membulatkan matanya, dia terdiam sejenak, kemudian beralih ke lokernya dan mengambil sesuatu. Begitu dia kembali, Jessie menyelipkan sebuah pil di tangan Amber.
“Ambil ini, gugurkan kandunganmu.”
“A- Apa?”“Kau tidak menginginkan bayi ini. Kalau kau hamil seperti Marry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.”Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie, rekan kerjanya yang seharusnya memberikan dukungan, malah memberinya ultimatum yang menyiksa.“Kau gila, Jessie!” Amber memekik tertahan, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan. “Anak ini … adalah darah dagingku.”Namun, jawaban dingin Jessie membuat Amber terdiam. “Amber, aku tahu ini sulit, tapi kau harus menghadapi kenyataan. Jika kau tidak mengambil tindakan berdasarkan sentimen dangkalmu, konsekuensinya akan lebih berat. Kau bisa kehilangan semuanya. Kuliah, pekerjaan, masa depanmu…”“Tapi….”“Kau siap menghadapi semua ini? Bayi itu akan merenggut seluruh hidupmu, dan kau
Empat tahun kemudian….Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Victor bisa menghabiskan berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya agak guguk memikirkan akan kembali ke Los An
“Silakan lewat sini, Nona,” pandu Mark, mengantarkan Clara ke kursi Julian.Kaki Clara menginjakkan diri di lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles karena suasananya yang tenang dan berkelas. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara. Di sudut ruangan, duduklah sosok pria yang selama ini Clara puja, Julian Kingston, pengusaha muda sukses yang disegani. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran dan sinis. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar dia. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah di tentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara.“Lama sekali, aku sampai berp
Mouren Inc memang selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Tentu saja ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Violet di daycare.Namun, Tuan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit. “Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?”Amber mengernyit bingung, ah, dasar atasan menyebalkan, memangnya kami sedekat itu sampai dia bisa langsung memanggil nama depanku?!“Ta- tapi….”Amber mengepalkan tangannya di bawah meja, tapi aku harus menjemput anak-anakku yang lucu dan imut!“Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Clara, putri pemilik perusahaan yang baru kembali k
Pesta pertunangan Julian dan Clara digelar megah di salah satu hall hotel bintang lima yang mewah di pusat kota Los Angeles. Ratusan tamu elit dari berbagai kalangan bisnis dan sosial hadir untuk merayakan persatuan antara Kingston Corporation dan Mouren Inc. Amber, salah satu karyawan Mouren Inc yang baru dipindahkan ke sana, tentu saja mendapatkan undangan ke pesta tersebut.Hari pesta pertunangan tiba. Amber duduk di depan meja rias di kamarnya, memandang dirinya sendiri di cermin dengan gaun malam yang elegan. Rambutnya dikepang indah, dan makeupnya dipoles dengan cermat. Namun, di dalam hatinya, Amber merasa gelisah. Dia sebenarnya tidak berniat datang ke pesta ini.“Jessie, aku rasa aku tidak bisa pergi,” kata Amber dengan cemas saat mengeluh pada sahabatnya.Jessie, yang sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk si kembar, mendengus di telepon. “Amber, sudahlah. Ini kesempatan bagus untukmu bersosialisasi di perusahaan baru. Ayo, berikan senyum terbaikmu dan hadir di pesta itu.”
Julian menatap dengan mata terbelalak saat dia menyaksikan Amber berlalu di hadapannya. Sebuah rasa kebingungan menyelimuti pikirannya, tetapi saat Amber, Jessie, dan si kembar melangkah menuju pintu keluar, Julian tiba-tiba menyadari sesuatu.“Astaga, gadis itu. Sial, dia adalah gadis mabuk yang selama ini aku cari,” desis Julian pelan, seperti menyusur angin. Segera saja Julian memanggil Mark. “Itu ... itu dia.”“Siapa, Tuan?” tanya Mark, melirik ke arah Amber yang menghilang di tengah keramaian lobi hotel.Julian menggelengkan kepala, mencoba mengatasi kebingungannya. “Dia adalah wanita mabuk yang aku cari selama ini.”“Anda yakin, benar-benar gadis itu yang Anda lihat sebelumnya?” Mark mencoba memastikan.“Pernahkah mataku salah melihat atau salah menilai selama ini, Mark?”“Maaf, Tuan, bukan maksud saya—”Julian mendesah keras. “Sudahlah, nanti saja kita bicarakan. Pesta masih berlangsung, aku tidak boleh terganggu oleh hal lain.” Julian masuk ke dalam lagi setelah mengucapkan itu
Setelah mengunci pintu apartemen Jessie dengan hati-hati agar tidak mengganggu Victor dan Violet yang sedang tidur, Amber dan Jessie duduk di ruang tamu yang redup. Dalam keheningan yang tegang, Amber merasa berat untuk membuka mulut.“Amber, kau berhutang penjelasan padaku. Apa yang terjadi tadi?” tanya Jessie dengan nada cemas. “Kenapa kau terlihat begitu gelisah? Apakah semuanya baik-baik saja? Benarkah kau melihat ayah si kembar?”“Satu-satu, Jessie.” Amber menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Iya, tadi di pesta ... aku bertemu dengan ayah si kembar.”Jessie menatap Amber dengan tatapan terkejut. “Ayah si kembar? Bagaimana itu bisa terjadi? Apa dia ....?”Amber mengangguk, wajahnya pucat. “Dia adalah tunangan dari putri keluarga Mouren, pemilik Mouren Inc.”“Putri perusahaan tempatmu bekerja…” Jessie mengerutkan kening, mencoba memahami implikasi dari apa yang baru saja diungkapkan Amber. “Jadi, ayah si kembar ad
Di sebuah restoran mewah bintang lima di tengah kota, Julian dan Clara duduk bersama ibu Julian, Gracey, untuk makan siang. Suasana restoran tenang dan elegan, dengan pemandangan kota yang terhampar di luar jendela tinggi. Mereka dikelilingi oleh aura kemewahan yang memancar dari setiap sudut ruangan.Gracey tersenyum lembut sambil menatap anak dan calon menantunya bergantian. “Jadi, bagaimana kabar kalian berdua? Bagaimana persiapan pernikahan?”Clara, dengan senyuman manisnya, menjawab, “Kami sangat bahagia, Aunty. Persiapan pernikahan berjalan lancar dan kami berdua sangat menantikan hari spesial itu.”Julian bergeser di kursinya, menatap ibunya dengan penuh perhatian. “Dan bagaimana dengan Mom sendiri? Apa kabar sejak terakhir kali kita bertemu?”Gracey tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit sibuk dengan pekerjaan dan urusan rumah tangga. Tidak apa-apa.”Saat percakapan mereka berlanjut, pintu restoran terbuka dan seorang tamu memasuki ruangan. Tamu itu membawa
Waktu berlalu dengan cepat. Sudah beberapa bulan sejak Hector dan Hugo lahir, dan hidup Amber kini penuh dengan kesibukan. Setiap hari, dia terfokus mengurus dua bayi kembar mereka, sementara Julian mengambil alih tugas mengasuh Victor dan Violet setiap kali ada waktu. Gracey sering mampir dan kadang menginap untuk membantu Amber, memberikan sedikit kelonggaran dari tugas berat sebagai ibu baru.Suatu malam, saat mereka akhirnya bisa duduk berdua di sofa setelah anak-anak tertidur, Julian memandang Amber dengan lembut. Wajah istrinya terlihat lelah, tetapi tetap memancarkan kehangatan dan kasih sayang.“Amber,” panggil Julian pelan, membuat Amber menoleh. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”“Apa itu, Sayang?” Amber bertanya sambil menyesuaikan posisi duduknya, mencoba meredakan kelelahan di tubuhnya.“Aku ingin memberikanmu sesuatu sebagai hadiah,” kata Julian dengan serius. “Hadiah yang spesial.”Amber mengerutkan kening, sedikit terkejut. “Hadiah? Untuk apa?”Julian tersenyum han
Waktu berlalu dengan cepat, dan kehamilan Amber kini sudah mencapai bulan terakhir. Setiap hari terasa penuh dengan harapan dan kegembiraan. Ketika Amber dan Julian melakukan USG beberapa minggu sebelumnya, mereka terkejut dan senang mengetahui bahwa bayi yang dikandung Amber ternyata kembar. Namun, sebagai kejutan, mereka memutuskan untuk tidak mengungkap jenis kelamin bayi tersebut, menjaga agar momen kelahiran menjadi lebih spesial.Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Amber merasakan kontraksi yang semakin intens, dan Julian segera membawa Amber ke rumah sakit. Ketegangan dan kegembiraan memenuhi udara saat mereka memasuki ruang bersalin. Julian menggenggam tangan Amber erat, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas.“Grandma, sebentar lagi adik bayi akan lahir, ya?” tanya Violet dengan wajah polosnya.Gracey yang ikut ke rumah sakit mengangguk pelan, “iya sayang. Mommy akan melahirkan adik bayi untuk kalian.”“Apa prosesnya cepat?” tanya Victor dengan wajah khawatir, “bany
Pagi itu, Amber merasa tidak enak badan. Sudah beberapa hari terakhir tubuhnya lemah, disertai pusing dan mual yang semakin parah. Namun, hari ini, saat mereka mengunjungi rumah orang tua Julian, Gracey dan James, mual itu terasa lebih kuat. Amber dan Julian sengaja membawa si kembar, Victor dan Violet, untuk bermain di rumah kakek dan nenek mereka. Namun, suasana hangat yang biasanya menyelimuti mereka saat berkumpul kali ini terasa berbeda.Julian duduk di sebelah Amber di ruang tamu, matanya penuh kekhawatiran. “Sayang, kau terlihat pucat. Ada apa? Kau sakit?” tanyanya lembut.Amber mengerutkan kening, tangannya memegang perutnya. “Aku merasa pusing dan mual, tapi tidak demam.”Julian semakin cemas. “Ini sudah beberapa hari. Mungkin kita perlu ke dokter.”Sebelum Amber sempat menjawab, rasa mual itu datang lebih kuat. “Hoeekk!” Amber menahan muntah, lalu melambaikan tangan ke arah Julian. “Julian, tolong... menjauh sebentar,” pintanya dengan lemah.Julian mundur dengan bingung. Ini
Setahun telah berlalu sejak Amber dan Julian mengikat janji suci dalam pernikahan mereka. Kehidupan mereka yang damai penuh dengan cinta, kebahagiaan, dan tawa anak-anak yang mengisi rumah mereka. Namun, di balik senyum Amber yang selalu cerah, ada kegelisahan yang tak kunjung hilang. Meskipun pernikahan mereka telah memasuki usia setahun, Amber belum juga hamil lagi. Rasa cemas dan bersalah mulai menghantui pikirannya, terutama karena Julian dan anak-anak pernah sangat menginginkan kehadiran adik bayi untuk Victor dan Violet.Hari itu, setelah mengantar Victor dan Violet ke taman kanak-kanak, Amber memutuskan untuk duduk sejenak di taman sekolah, menikmati ketenangan pagi. Saat dia duduk, Amber melihat seorang wanita di bangku lain yang tampak kelelahan dan sedih. Merasa iba, Amber menghampirinya.“Hai, kau baik-baik saja?” Amber menyapa dengan lembut.Wanita itu, yang terlihat terkejut dengan perhatian Amber, tersenyum kecil meski kesedihan masih terpancar di wajahnya. “Oh, hai… Iy
Sepulang dari bulan madu yang indah dan penuh kenangan di Eropa, Amber dan Julian kembali ke rumah mereka dengan hati yang hangat. Namun, kehangatan itu segera terganggu oleh dua sosok kecil yang sudah tak sabar menunggu di depan pintu.“Mommy! Daddy!” teriak Victor dan Violet serempak, wajah mereka bersinar-sinar penuh antusiasme.Gracey mengikuti dibelakang mereka. Kemudian memeluk Amber dengan hangat. “Bagaimana? Kalian menghabiskan waktu dengan baik di sana, kan?”“Sangat menyenangkan, Mom,” Amber mengurai pelukan, dia memberikan bingkisan yang terpisah pada Gracey. “Ini hadiah yang khusus aku bawakan dari setiap negara yang kami kunjungi.”“Tidak perlu repot-repot, Sayang.” Gracey menerima bingkisan itu, “tapi karena ini dari menantu kesayanganku, akan aku terima dengan senang hati.”“Mommy, Mommy!” Violet membentangkan tangannya, “peluk Vio! Aku sangat rindu pada Mommy!”Victor ikut membentangkan tangan, “jangan lupa aku juga anak kalian.” Ucapnya dengan malu-malu.Julian berde
Segera setelah pesta pernikahan selesai, Julian membawa Amber pergi berbulan madu. Meninggalkan Victor dan Violet dibawah pengawasan Gracey dan James. Perjalanan mereka dimulai dari Paris, kota yang tak pernah kehilangan pesonanya sebagai tujuan romantis. Mereka tiba di Paris pada malam hari, disambut oleh gemerlapnya lampu kota dan Menara Eiffel yang menjulang megah, seakan mengucapkan selamat datang kepada mereka. Julian telah merencanakan segalanya dengan cermat. Dia memilih hotel yang elegan dengan pemandangan langsung ke Menara Eiffel.Malam pertama mereka di Paris dihabiskan dengan makan malam romantis di sebuah restoran mewah di tepi Sungai Seine. Di bawah sinar lilin yang redup dan dengan latar belakang Menara Eiffel yang berkilauan, mereka menikmati hidangan Prancis yang lezat, ditemani oleh alunan musik lembut yang dimainkan oleh musisi lokal.“Kita akhirnya di sini,” kata Julian sambil menggenggam tangan Amber di atas meja. “Ini adalah awal dari kehidupan baru kita, dan ak
Hari itu tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang, terutama oleh Amber dan Julian. Pernikahan mereka diatur dengan sempurna, setiap detail dipikirkan dengan seksama untuk memastikan bahwa momen ini akan menjadi kenangan indah seumur hidup. Para tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka, memberikan suasana mewah tetapi tidak menghilangkan kesan hangat di sekitar gereja besar yang dikelilingi taman penuh bunga berwarna-warni.Di ruang tunggu pengantin wanita, Amber berkumpul bersama Gracey dan kedua anaknya, Victor dan Violet. Dengan gaun pengantin putih yang anggun, Amber tampak seperti sosok peri yang tenang dan penuh cinta. Matanya bersinar, tetapi di balik itu, ada sedikit kegugupan yang wajar. Ini bukan hanya tentang pernikahan, melainkan awal dari kehidupan baru. Tidak hanya baginya, tetapi juga bagi Julian, terutama Victor dan Violet.Gracey, mengenakan gaun biru langit, menghampiri Amber dengan senyum penuh arti. Dia telah melihat banyak perubahan dalam
Hari-hari menjelang pernikahan Julian dan Amber terasa seperti mimpi yang hampir menjadi kenyataan. Setelah sekian lama dilanda berbagai cobaan, akhirnya momen bahagia itu tiba juga. Julian yang perfeksionis, tak ingin melewatkan satupun detail dalam persiapan pernikahan mereka. Dia ingin pernikahan ini menjadi simbol cinta yang tidak akan pernah terlupakan oleh siapapun.Pagi itu, matahari bersinar cerah, seakan turut merayakan kebahagiaan mereka. Julian, Amber, dan si kembar, berkumpul di butik tempat mereka akan fitting pakaian pernikahan. Butik tersebut telah disulap menjadi tempat yang penuh dengan keanggunan, dihiasi dengan bunga segar dan kain-kain sutra yang menambah kesan mewah.Amber berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih yang anggun. Gaun itu terbuat dari sutra lembut yang membalut tubuhnya dengan sempurna, dihiasi renda halus yang menyatu dengan kulitnya, serta manik-manik berkilauan yang memantulkan cahaya lampu kristal di atasnya. Saat Amber melih
Seminggu setelah kejadian yang mengguncang keluarga Kingston, Amber akhirnya diizinkan pulang. Kondisinya sudah jauh membaik setelah melewati masa pemulihan yang intensif. Hari itu, Julian, James, Gracey, dan si kembar menjemputnya di rumah sakit.Saat pintu rumah sakit terbuka, wajah-wajah penuh harapan menyambut Amber dengan sukacita. Sementara Amber yang berdiri di ambang pintu tersenyum tipis penuh kehangatan. Si kembar lantas berlari kecil menuju Amber, wajah mereka bersinar dengan kegembiraan yang tak terbendung.“Mommy!” seru Victor dan Violet serempak, keduanya melompat ke dalam pelukan Amber dengan semangat yang menggebu-gebu.“Mommy! Aku merindukanmu!” ujar Violet yang semakin mengeratkan pelukan.“Aku juga!” seru Victor tidak mau kalah.Amber tidak bisa menahan air matanya. Dia merindukan anak-anaknya lebih dari apa pun selama masa pemulihan ini. Pelukan mereka adalah sesuatu yang dia impikan setiap malam di rumah sakit. Dengan mata berkaca-kaca, dia membalas pelukan mere