Terbangun oleh kilau keemasan matahari Los Angeles yang menyusup melalui jendela kaca kamar hotel, Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.
Tunggu. Ke mana perginya tubuh itu?
Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan Amber. “Ke mana perginya gadis itu?”
Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menyisir kamar presiden suit yang di sewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan Amber, seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Yang Julian dapat hanya gaun robek Amber yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik.
“Gadis itu benar–benar aneh.” Julian geleng-geleng dan memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyerang. Dia merasa harus segera berpakaian, dan ketika akan memunguti pakaiannya, Julian sadar, ada yang hilang. Kemeja dan celananya tak ada. “Tidak mungkin. Apakah gadis itu yang mencurinya? Tapi dia meninggalkan benda ini… sepertinya berharga.”
Jika diingat-ingat, gadis itu hanya memakai gaun, jelas saja ketika gaunya robek, tak bisa dipakai, dia harus memungut sesuatu untuk dikenakan. Julian kesal, dia meninju kasur dan menghempaskan selimut ke lantai. Rahangnya hampir jatuh ke bumi ketika mendapati noda darah di area tempat dia menggagahi Amber semalam. “Da-darah? Tidak mungkin, tidak mungkin dia masih perawan, bukan?”
Buru-buru Julian mencari ponselnya, dia ingin menghubungi Megan untuk meminta penjelasan. Namun belum sempat niat itu terlaksana, dia melihat ada satu pesan dari Megan menyembul di layarnya.
Megan Brown: Tuan Kingston, mohon maaf, Kattie tidak bisa kukirim ke sana malam ini. Dia minta izin menemani kakaknya yang sedang melahirkan tanpa suami. Atas dasar kemanusiaan, aku tidak bisa mendesaknya untuk tetap bekerja. Uangmu telah aku kembalikan beserta kompensasi dari kami karena membatalkan pesanan secara tiba-tiba. Semoga hubungan baik kita tetap terjaga.
Pria dengan brewok tipis di sekitar dagunya itu langsung terduduk lemas di ranjang. “Jadi … siapa gadis semalam?”
***
Di sisi lain Amber dengan mengenakan kemeja dan celana kedodoran milik Julian, sedang menangis sambil menatap cermin di hadapannya. Tadi pagi, setelah mendapatkan kesadarannya, Amber baru ingat kalau dia salah masih kamar hotel semalam. Dia mencoba mencari kartu pass kamar hotelnya sendiri, yang ternyata terjatuh di sekitar pintu kamar Julian. Buru-buru Amber pergi dari sana, dan bersembunyi di kamar hotelnya yang berjarak dua kamar saja dari kamar Julian.
Tubuhnya sakit semua, tapi hatinya lebih remuk lagi. Amber menyesali kebodohannya yang memilih menghilangkan stres dengan cara minim minuman keras. Andai saja dia tidak mabuk, dia tidak akan kehilangan kegadisan secara mengenaskan. Amber bahkan tidak bisa menuntut pria yang semalam membuka paksa kedua kakinya, karena bagaimana pun, semua ini salahnya.
Masih jelas di ingatan Amber, kemarin siang, langit Los Angeles begitu cerah di musim semi yang seakan tak sejalan dengan duka yang menyelimuti pemakaman elit mendiang ayahnya. Di bawah naungan pepohonan palem yang menjulang tinggi, kerabat dan kolega Adam Hayes berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Amber Hayes juga berdiri di tengah kerumunan, matanya berkaca-kaca dan pipinya basah oleh air mata. Dia masih tak percaya bahwa ayahnya telah pergi secepat ini, bahkan sebelum mereka sempat berdamai.
Satu tahun yang lalu, Amber menentang pernikahan Adam dengan Anette Celeste, ibu tirinya yang ambisius. Amber memilih meninggalkan rumah dan hidup sendiri di asrama kampus. Keputusannya itu memicu pertengkaran besar dengan Adam, dan mereka tak pernah berbicara lagi sejak saat itu.
Penyesalan mencengkeram hati Amber. Dia membayangkan bagaimana jika dia tetap di sisi ayahnya, mungkin dia bisa menemani Adam di saat-saat terakhirnya. Pikiran itu bagaikan pisau yang menusuk hatinya, membuatnya sesak napas dan sulit untuk berdiri tegak. Di sekelilingnya, orang-orang memberikan kata-kata penghiburan dan pelukan hangat. Namun, Amber tak bisa merasakannya. Dia merasa hampa dan terisolasi, terjebak dalam lautan kesedihan dan penyesalannya sendiri.
Upacara pemakaman berlangsung dengan khidmat. Pendeta menyampaikan pidato yang menyentuh tentang kehidupan Adam, mengenang kebaikan dan prestasinya. Kata-kata itu bagaikan melodi yang indah, tetapi tak mampu meredakan duka di hati Amber. Ketika tiba saatnya untuk memberikan penghormatan terakhir, Amber melangkah maju dengan kaki gemetar. Dia menatap peti mati ayahnya, teringat semua kenangan indah bersama Adam. Air matanya mengalir deras, membasahi gaun hitamnya yang anggun.
“Dad,” Amber berbisik, suaranya tercekat oleh isak tangis. “Maafkan Amber, Dad. Amber tidak bermaksud menentang Daddy. Kenapa Dad meninggalkan Amber secepat ini?” Kata-katanya menggema di udara, diiringi oleh tangisan keluarga dan kerabat yang tersentuh. Amber mencium peti mati ayahnya dengan penuh kasih sayang, seakan ingin menyampaikan perpisahan yang tak terucapkan.
Pemakaman Adam Hayes telah usai, tapi duka Amber masih membara. Dia harus belajar untuk hidup dengan penyesalannya dan berusaha untuk memaafkan dirinya sendiri. Namun ternyata pukulan lain datang. Kematian Adam membuat seluruh kreditur jadi agresif menagih hutang ibu tiri Amber. Semua harta Adam disita dan sebagian dibekukan, sampai persidangan Anette membuktikan bahwa Adam tak ada sangkut paut dengan kasus penggelapan dana yang dilakukan istrinya.
Dunia cerah Amber seketika gelap, dia kehilangan tumpuan dan tunjangan finansial. Amber bingung harus apa? Harus ke mana? Kemarin, yang dia pikirkan hanyalah tinggal di hotel selama di Los Angeles, sebelum kembali ke New York. Namun dalam semalam, takdir lagi-lagi mengirimkan pemainan mencengangkan pada Amber.
“Aku harus bagaimana sekarang?” isak Amber tak berdaya. “Dad, tolonglah putrimu, aku hancur. Rasanya sakit sekali, Dad.”
Usai berjam-jam menangis, meratapi kehidupannya yang runtuh seketika saat sang ayah, satu-satunya pilar dalam hidupnya, meninggal dunia. Di tengah rasa duka yang mendalam, Amber harus bangkit dan menata ulang hidupnya yang hancur. Dengan tekad yang kuat, Amber memutuskan untuk kembali ke New York untuk melanjutkan kuliahnya.
Di kota yang penuh dengan hiruk pikuk dan peluang, Amber memulai babak baru dalam hidupnya. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan keras, serta menyeimbangkan antara studi dan mencari pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perjalanan Amber tidak mudah. Ia sering dihadapkan dengan berbagai rintangan dan cobaan. Namun, Amber tidak pernah menyerah. Ia selalu ingat pesan ayahnya untuk selalu tegar dan pantang menyerah.
Tiga minggu berlalu, Amber perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukannya. Dia berhasil mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang sesuai dengan minatnya. Belajar dan bekerja di New York membuka mata Amber tentang banyak hal. Dia belajar tentang arti kemandirian, kerja keras, dan arti uang bagi kehidupan. Namun beberapa hari terakhir ini dia merasa kurang enak badan. Dia mengalami pusing dan mual parah setiap pagi. Awalnya Amber pikir dirinya mengalami asam lambung, tapi ketika sadar tamu bulanannya telat datang. Amber mulai terpikirkan kemungkinan terburuk. Dan ternyata benar, testpack yang dicelupkan ke urinnya menampilkan dua garis merah. Tangan Amber gemetar, matanya berkaca-kaca melihat itu.
“A-aku, hamil?”
“Mark, apakah sudah ada perkembangan mengenai gadis itu dari para pengawal yang kau kirim untuk melakukan penyisiran di wilayah sekitar hotel?” tanya Julian tanpa menoleh dari jendela.“Kami tidak dapat menemukannya, Tuan.” Mark menghela napas, “kami sudah meminta orang menyisir ke seluruh hotel sejak waktu itu, tapi belum ada titik terang. Tapi saya sudah membawakan data CCTV seluruh hotel ini untuk diperiksa.”Julian memicing tajam, “Sudah tiga minggu, kau pikir masih berguna?”“Jadi, Anda tidak ingin saya memeriksanya?”“Periksa, Mark,” kesal Julian dingin.Mark mengangguk singkat menanggapi perintah bosnya itu. Dia merasa agak aneh. Tidak biasanya Julian mencari gadis malam yang dia tiduri sampai sebegitunya. Terlebih lagi, Julian sama sekali tidak menemui wanita penghibur lain sejak malam yang dia habiskan bersama wanita mabuk misterius yang membawa kabur kemeja dan celananya itu. Ini jelas bukan sikap Julian. Namun, Mark sadar kalau dia juga tidak mungkin mempertanyakan bosnya.J
“A- Apa?”“Kau tidak menginginkan bayi ini. Kalau kau hamil seperti Marry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.”Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie, rekan kerjanya yang seharusnya memberikan dukungan, malah memberinya ultimatum yang menyiksa.“Kau gila, Jessie!” Amber memekik tertahan, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan. “Anak ini … adalah darah dagingku.”Namun, jawaban dingin Jessie membuat Amber terdiam. “Amber, aku tahu ini sulit, tapi kau harus menghadapi kenyataan. Jika kau tidak mengambil tindakan berdasarkan sentimen dangkalmu, konsekuensinya akan lebih berat. Kau bisa kehilangan semuanya. Kuliah, pekerjaan, masa depanmu…”“Tapi….”“Kau siap menghadapi semua ini? Bayi itu akan merenggut seluruh hidupmu, dan kau
Empat tahun kemudian….Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Victor bisa menghabiskan berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya agak guguk memikirkan akan kembali ke Los An
“Silakan lewat sini, Nona,” pandu Mark, mengantarkan Clara ke kursi Julian.Kaki Clara menginjakkan diri di lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles karena suasananya yang tenang dan berkelas. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara. Di sudut ruangan, duduklah sosok pria yang selama ini Clara puja, Julian Kingston, pengusaha muda sukses yang disegani. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran dan sinis. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar dia. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah di tentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara.“Lama sekali, aku sampai berp
Mouren Inc memang selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Tentu saja ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Violet di daycare.Namun, Tuan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit. “Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?”Amber mengernyit bingung, ah, dasar atasan menyebalkan, memangnya kami sedekat itu sampai dia bisa langsung memanggil nama depanku?!“Ta- tapi….”Amber mengepalkan tangannya di bawah meja, tapi aku harus menjemput anak-anakku yang lucu dan imut!“Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Clara, putri pemilik perusahaan yang baru kembali k
Pesta pertunangan Julian dan Clara digelar megah di salah satu hall hotel bintang lima yang mewah di pusat kota Los Angeles. Ratusan tamu elit dari berbagai kalangan bisnis dan sosial hadir untuk merayakan persatuan antara Kingston Corporation dan Mouren Inc. Amber, salah satu karyawan Mouren Inc yang baru dipindahkan ke sana, tentu saja mendapatkan undangan ke pesta tersebut.Hari pesta pertunangan tiba. Amber duduk di depan meja rias di kamarnya, memandang dirinya sendiri di cermin dengan gaun malam yang elegan. Rambutnya dikepang indah, dan makeupnya dipoles dengan cermat. Namun, di dalam hatinya, Amber merasa gelisah. Dia sebenarnya tidak berniat datang ke pesta ini.“Jessie, aku rasa aku tidak bisa pergi,” kata Amber dengan cemas saat mengeluh pada sahabatnya.Jessie, yang sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk si kembar, mendengus di telepon. “Amber, sudahlah. Ini kesempatan bagus untukmu bersosialisasi di perusahaan baru. Ayo, berikan senyum terbaikmu dan hadir di pesta itu.”
Julian menatap dengan mata terbelalak saat dia menyaksikan Amber berlalu di hadapannya. Sebuah rasa kebingungan menyelimuti pikirannya, tetapi saat Amber, Jessie, dan si kembar melangkah menuju pintu keluar, Julian tiba-tiba menyadari sesuatu.“Astaga, gadis itu. Sial, dia adalah gadis mabuk yang selama ini aku cari,” desis Julian pelan, seperti menyusur angin. Segera saja Julian memanggil Mark. “Itu ... itu dia.”“Siapa, Tuan?” tanya Mark, melirik ke arah Amber yang menghilang di tengah keramaian lobi hotel.Julian menggelengkan kepala, mencoba mengatasi kebingungannya. “Dia adalah wanita mabuk yang aku cari selama ini.”“Anda yakin, benar-benar gadis itu yang Anda lihat sebelumnya?” Mark mencoba memastikan.“Pernahkah mataku salah melihat atau salah menilai selama ini, Mark?”“Maaf, Tuan, bukan maksud saya—”Julian mendesah keras. “Sudahlah, nanti saja kita bicarakan. Pesta masih berlangsung, aku tidak boleh terganggu oleh hal lain.” Julian masuk ke dalam lagi setelah mengucapkan itu
Setelah mengunci pintu apartemen Jessie dengan hati-hati agar tidak mengganggu Victor dan Violet yang sedang tidur, Amber dan Jessie duduk di ruang tamu yang redup. Dalam keheningan yang tegang, Amber merasa berat untuk membuka mulut.“Amber, kau berhutang penjelasan padaku. Apa yang terjadi tadi?” tanya Jessie dengan nada cemas. “Kenapa kau terlihat begitu gelisah? Apakah semuanya baik-baik saja? Benarkah kau melihat ayah si kembar?”“Satu-satu, Jessie.” Amber menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Iya, tadi di pesta ... aku bertemu dengan ayah si kembar.”Jessie menatap Amber dengan tatapan terkejut. “Ayah si kembar? Bagaimana itu bisa terjadi? Apa dia ....?”Amber mengangguk, wajahnya pucat. “Dia adalah tunangan dari putri keluarga Mouren, pemilik Mouren Inc.”“Putri perusahaan tempatmu bekerja…” Jessie mengerutkan kening, mencoba memahami implikasi dari apa yang baru saja diungkapkan Amber. “Jadi, ayah si kembar ad