Beranda / CEO / Anak Kembar Milik Hot CEO / Bab 2. Gadis Itu Ke Mana?

Share

Bab 2. Gadis Itu Ke Mana?

Terbangun oleh kilau keemasan matahari Los Angeles yang menyusup melalui jendela kaca kamar hotel, Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.

Tunggu. Ke mana perginya tubuh itu?

Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan Amber. “Ke mana perginya gadis itu?”

Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menyisir kamar presiden suit yang di sewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan Amber, seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Yang Julian dapat hanya gaun robek Amber yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik.

“Gadis itu benar–benar aneh.” Julian geleng-geleng dan memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyerang. Dia merasa harus segera berpakaian, dan ketika akan memunguti pakaiannya, Julian sadar, ada yang hilang. Kemeja dan celananya tak ada. “Tidak mungkin. Apakah gadis itu yang mencurinya? Tapi dia meninggalkan benda ini… sepertinya berharga.”

Jika diingat-ingat, gadis itu hanya memakai gaun, jelas saja ketika gaunya robek, tak bisa dipakai, dia harus memungut sesuatu untuk dikenakan. Julian kesal, dia meninju kasur dan menghempaskan selimut ke lantai. Rahangnya hampir jatuh ke bumi ketika mendapati noda darah di area tempat dia menggagahi Amber semalam. “Da-darah? Tidak mungkin, tidak mungkin dia masih perawan, bukan?”

Buru-buru Julian mencari ponselnya, dia ingin menghubungi Megan untuk meminta penjelasan. Namun belum sempat niat itu terlaksana, dia melihat ada satu pesan dari Megan menyembul di layarnya.

Megan Brown: Tuan  Kingston, mohon maaf, Kattie tidak bisa kukirim ke sana malam ini. Dia minta izin menemani kakaknya yang sedang melahirkan tanpa suami. Atas dasar kemanusiaan, aku tidak bisa mendesaknya untuk tetap bekerja. Uangmu telah aku kembalikan beserta kompensasi dari kami karena membatalkan pesanan secara tiba-tiba. Semoga hubungan baik kita tetap terjaga.

Pria dengan brewok tipis di sekitar dagunya itu langsung terduduk lemas di ranjang. “Jadi … siapa gadis semalam?”

***

Di sisi lain Amber dengan mengenakan kemeja dan celana kedodoran milik Julian, sedang menangis sambil menatap cermin di hadapannya. Tadi pagi, setelah mendapatkan kesadarannya, Amber baru ingat kalau dia salah masih kamar hotel semalam. Dia mencoba mencari kartu pass kamar hotelnya sendiri, yang ternyata terjatuh di sekitar pintu kamar Julian. Buru-buru Amber pergi dari sana, dan bersembunyi di kamar hotelnya yang berjarak dua kamar saja dari kamar Julian.

Tubuhnya sakit semua, tapi hatinya lebih remuk lagi. Amber menyesali kebodohannya yang memilih menghilangkan stres dengan cara minim minuman keras. Andai saja dia tidak mabuk, dia tidak akan kehilangan kegadisan secara mengenaskan. Amber bahkan tidak bisa menuntut pria yang semalam membuka paksa kedua kakinya, karena bagaimana pun, semua ini salahnya.

Masih jelas di ingatan Amber, kemarin siang, langit Los Angeles begitu cerah di musim semi yang seakan tak sejalan dengan duka yang menyelimuti pemakaman elit mendiang ayahnya. Di bawah naungan pepohonan palem yang menjulang tinggi, kerabat dan kolega Adam Hayes berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Amber Hayes juga berdiri di tengah kerumunan, matanya berkaca-kaca dan pipinya basah oleh air mata. Dia masih tak percaya bahwa ayahnya telah pergi secepat ini, bahkan sebelum mereka sempat berdamai.

Satu tahun yang lalu, Amber menentang pernikahan Adam dengan Anette Celeste, ibu tirinya yang ambisius. Amber memilih meninggalkan rumah dan hidup sendiri di asrama kampus. Keputusannya itu memicu pertengkaran besar dengan Adam, dan mereka tak pernah berbicara lagi sejak saat itu.

Penyesalan mencengkeram hati Amber. Dia membayangkan bagaimana jika dia tetap di sisi ayahnya, mungkin dia bisa menemani Adam di saat-saat terakhirnya. Pikiran itu bagaikan pisau yang menusuk hatinya, membuatnya sesak napas dan sulit untuk berdiri tegak. Di sekelilingnya, orang-orang memberikan kata-kata penghiburan dan pelukan hangat. Namun, Amber tak bisa merasakannya. Dia merasa hampa dan terisolasi, terjebak dalam lautan kesedihan dan penyesalannya sendiri.

Upacara pemakaman berlangsung dengan khidmat. Pendeta menyampaikan pidato yang menyentuh tentang kehidupan Adam, mengenang kebaikan dan prestasinya. Kata-kata itu bagaikan melodi yang indah, tetapi tak mampu meredakan duka di hati Amber. Ketika tiba saatnya untuk memberikan penghormatan terakhir, Amber melangkah maju dengan kaki gemetar. Dia menatap peti mati ayahnya, teringat semua kenangan indah bersama Adam. Air matanya mengalir deras, membasahi gaun hitamnya yang anggun.

“Dad,” Amber berbisik, suaranya tercekat oleh isak tangis. “Maafkan Amber, Dad. Amber tidak bermaksud menentang Daddy. Kenapa Dad meninggalkan Amber secepat ini?” Kata-katanya menggema di udara, diiringi oleh tangisan keluarga dan kerabat yang tersentuh. Amber mencium peti mati ayahnya dengan penuh kasih sayang, seakan ingin menyampaikan perpisahan yang tak terucapkan.

Pemakaman Adam Hayes telah usai, tapi duka Amber masih membara. Dia harus belajar untuk hidup dengan penyesalannya dan berusaha untuk memaafkan dirinya sendiri. Namun ternyata pukulan lain datang. Kematian Adam membuat seluruh kreditur jadi agresif menagih hutang ibu tiri Amber. Semua harta Adam disita dan sebagian dibekukan, sampai persidangan Anette membuktikan bahwa Adam tak ada sangkut paut dengan kasus penggelapan dana yang dilakukan istrinya.

Dunia cerah Amber seketika gelap, dia kehilangan tumpuan dan tunjangan finansial. Amber bingung harus apa? Harus ke mana? Kemarin, yang dia pikirkan hanyalah tinggal di hotel selama di Los Angeles, sebelum kembali ke New York. Namun dalam semalam, takdir lagi-lagi mengirimkan pemainan mencengangkan pada Amber.

“Aku harus bagaimana sekarang?” isak Amber tak berdaya. “Dad, tolonglah putrimu, aku hancur. Rasanya sakit sekali, Dad.”

Usai berjam-jam menangis, meratapi kehidupannya yang runtuh seketika saat sang ayah, satu-satunya pilar dalam hidupnya, meninggal dunia. Di tengah rasa duka yang mendalam, Amber harus bangkit dan menata ulang hidupnya yang hancur. Dengan tekad yang kuat, Amber memutuskan untuk kembali ke New York untuk melanjutkan kuliahnya.

Di kota yang penuh dengan hiruk pikuk dan peluang, Amber memulai babak baru dalam hidupnya. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan keras, serta menyeimbangkan antara studi dan mencari pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Perjalanan Amber tidak mudah. Ia sering dihadapkan dengan berbagai rintangan dan cobaan. Namun, Amber tidak pernah menyerah. Ia selalu ingat pesan ayahnya untuk selalu tegar dan pantang menyerah.

Tiga minggu berlalu, Amber perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukannya. Dia berhasil mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang sesuai dengan minatnya. Belajar dan bekerja di New York membuka mata Amber tentang banyak hal. Dia belajar tentang arti kemandirian, kerja keras, dan arti uang bagi kehidupan. Namun beberapa hari terakhir ini dia merasa kurang enak badan. Dia mengalami pusing dan mual parah setiap pagi. Awalnya Amber pikir dirinya mengalami asam lambung, tapi ketika sadar tamu bulanannya telat datang. Amber mulai terpikirkan kemungkinan terburuk. Dan ternyata benar, testpack yang dicelupkan ke urinnya menampilkan dua garis merah. Tangan Amber gemetar, matanya berkaca-kaca melihat itu.

“A-aku, hamil?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status