Home / CEO / Anak Kembar Milik Hot CEO / Bab 4. Tekad Baru

Share

Bab 4. Tekad Baru

“A- Apa?”

“Kau tidak menginginkan bayi ini. Kalau kau hamil seperti Marry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.”

Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie, rekan kerjanya yang seharusnya memberikan dukungan, malah memberinya ultimatum yang menyiksa.

“Kau gila, Jessie!” Amber memekik tertahan, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan. “Anak ini … adalah darah dagingku.”

Namun, jawaban dingin Jessie membuat Amber terdiam. “Amber, aku tahu ini sulit, tapi kau harus menghadapi kenyataan. Jika kau tidak mengambil tindakan berdasarkan sentimen dangkalmu, konsekuensinya akan lebih berat. Kau bisa kehilangan semuanya. Kuliah, pekerjaan, masa depanmu…”

“Tapi….”

“Kau siap menghadapi semua ini? Bayi itu akan merenggut seluruh hidupmu, dan kau tidak akan punya waktu untuk mencapai cita-citamu.” Jessie bersedekap. “Buatlah pilihan. Sebagai temanmu, aku hanya bisa mendukungmu dengan cara ini. Kau tahu, ketika bayi itu dilahirkan dan kau tidak bisa bertanggung jawab atasnya, maka kau akan jadi ibu yang kejam bagi anakmu. Lebih baik jika mereka tidak lahir ke dunia.”

Amber menangis, tangisnya dipenuhi dengan rasa putus asa dan kebingungan. Semua yang dia rencanakan dan impikan sekarang terancam sirna karena kehamilannya yang tak terduga.

“Maksudmu aku harus ... menggugurkannya?” ucap Amber dengan suara tercekat.

Jessie menyodorkan pil itu lagi pada Amber. “Ambil ini, Amber. Mantapkan hatimu. Kau bisa melewati ini. Aku akan ada di sini untukmu.”

Amber menatap Jessie dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa terjepit di antara pilihan yang sulit. Di satu sisi, dia ingin mempertahankan impian dan rencananya. Di sisi lain, dia merasa tidak siap untuk menghadapi konsekuensi membesarkan anak sendirian.

Dengan hati yang hancur, Amber menerima pil itu dari tangan Jessie. Dia merasakan keputusasaan yang menyelimutinya, tetapi di dalam hatinya, terdapat api keberanian yang menggelora. Dia harus melakukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan juga untuk bayi yang belum lahir.

Amber menelan pil itu dengan gemetar. Dia menutup mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia merasa seperti melangkah ke dalam jurang yang gelap, tetapi dia memilih untuk tetap maju, kendati langkahnya terasa berat.

“Aku tidak bisa melakukannya, Jessie,” bisik Amber, suaranya hampir tercekat oleh emosi.

Jessie memberikan senyuman lembut. “Kau bisa melakukannya, Amber. Aku yakin kau akan menemukan kekuatanmu.”

Amber mengangguk, mencoba memperkuat hatinya. Dia tahu perjuangan belum berakhir, tetapi dia telah memutuskan untuk menghadapinya dengan kepala tegak.

“Lakukan ini demi masa depanmu.” ujar Jessie lagi, “kau kuat Amber. Kau bisa melakukannya.”

Amber tidak menjawab, mereka kembali bekerja seperti biasa. Akan tetapi selama sisa shift-nya, Amber terus merenungkan saran dari Jessie. Dia memikirkan konsekuensi dari keputusan apa pun yang dia ambil.

Pulang ke apartemennya, Amber duduk di tepi tempat tidurnya dengan foto hasil tes kehamilannya di tangannya. Dia menatap gambar kecil itu, bertanya-tanya tentang apa yang sebaiknya dia lakukan.

“Apa yang harus aku lakukan?” bisik Amber pada dirinya sendiri. Pikirannya terus berputar, dan dia tak bisa tidur.

Akhirnya, Amber menatap pil yang diberikan Jessie padanya. Dia menggenggamnya erat-erat, namun masih ragu. Keputusan besar harus diambilnya, dan dia tahu waktu terus berjalan. Amber merasa seperti dunia runtuh di atasnya. Di dalam kamarnya yang redup, dia duduk di tepi tempat tidur dengan tatapan kosong, tangan gemetar memegang foto hasil tes kehamilannya. Semua keputusan yang harus diambil terasa begitu berat dan tak terlalu jelas.

Dalam keputusasaan yang melanda, Amber merasa amarah meluap-luap di dalam dirinya. Amarah pada ibu tirinya yang telah merusak hidupnya dengan ambisi dan keangkuhannya. Amarah pada pria yang merenggut kesuciannya dan membiarkannya terjerumus ke dalam masalah yang begitu besar.

Tiba-tiba, tanpa pikir panjang lagi, Amber bangkit dari tempat tidurnya dan berlari keluar dari apartemennya. Langkahnya cepat memecah hening malam. Dia berjalan tanpa arah, hanya ingin melepaskan amarah dan kebingungannya. Di jalanan yang ramai, Amber merasakan emosi yang memenuhi dadanya. Rasa frustrasi, keputusasaan, dan kemarahan menciptakan dorongan yang tak terbendung. Amber berhenti di tengah jalan, menatap langit malam yang gelap. Dan kemudian, dengan tiba-tiba, Amber melepaskan teriakan keras. Suaranya memenuhi ruang kosong, menggema di antara bangunan-bangunan tinggi. Orang-orang yang lewat menoleh ke arahnya, heran dengan pemandangan seorang wanita muda yang tampak putus asa.

“Kenapa ini terjadi padaku?!” teriak Amber dengan penuh emosi. “Mengapa aku harus menghadapi semua ini sendiri?!”

Tatapan orang-orang di sekitarnya membuat Amber semakin marah. Dia merasa terkekang oleh pandangan mereka, tetapi pada saat yang sama, dia juga merasa lega bisa melepaskan semua yang ada di dalam hatinya.

Amber berjalan kembali ke apartemennya dengan langkah yang lambat. Dia masih merasa putus asa, tapi ada sedikit kelegaan di dalam hatinya. Kepalanya terasa berat, tapi dia tahu bahwa suatu saat nanti, dia harus menemukan jalan keluar dari keadaan yang rumit ini.

Dalam kegelapan kamar yang redup, Amber duduk di tepi tempat tidur dan menatap foto tes kehamilannya sekali lagi. Dia merenung dalam-dalam, mencari kekuatan dan keberanian untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Di dalam saku jaketnya, dia meraba pil yang diberikan Jessie padanya. Pil yang mengandung rencana untuk mengakhiri kehidupan yang baru saja ditemukan di dalam rahimnya.

Saat Amber duduk di ruang keluarga di apartemennya, dia menatap pil tersebut dengan tajam. Kepalanya penuh dengan suara-suara ragu dan perdebatan dalam diri. Dia tahu konsekuensi dari keputusannya, dan betapa sulitnya membawa dua kehidupan tak bersalah. Namun, Amber tidak tega untuk mengakhiri kehidupan yang ada di dalam rahimnya, bukan hanya karena perasaan bersalahnya.

Sejenak, Amber menatap foto hasil ultrasonografi yang baru saja dia terima dari dokter. Bayi kecil itu memberi kekuatan baru pada hatinya. Dia tahu bahwa semua ini adalah konsekuensi dari pilihannya, dan sekarang dia harus bertanggung jawab atas dua kehidupan yang ada di dalam dirinya.

Malam itu, Amber tidak bisa tidur. Pikirannya berputar dan mengulang momen di klinik tadi. Dia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa dia bertekad untuk membesarkan kedua anaknya. Meskipun rintangan dan kesulitan akan ada di depannya, Amber siap untuk menghadapinya.

Pagi menjelang, Amber menyimpan pil itu kembali ke dalam botolnya. Dia menyadari bahwa keputusan ini akan mengubah seluruh hidupnya, tetapi dia siap untuk melangkah maju dengan penuh keyakinan. Amber memeluk dirinya sendiri dengan mantap, menutup mata sejenak untuk memberikan doa pada anak yang akan tumbuh di dalam rahimnya.

“Aku sudah memutuskan. Aku akan merawat dan membesarkan kalian dengan caraku, bertahanlah anak-anakku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status