Keempat orang di dalam rumah sederhana itu kini sudah di sofa, dengan saling memandang hangat.Daniah duduk diantara Glen dan Ayahnya. Sementara Ken, duduk di hadapan mereka terhalang meja."Daniah, Ayah mertua. Ah, maksudnya calon Ayah mertua." terdengar Glen mulai berbicara dengan sedikit gugup."Sekarang kan status Daniah sudah resmi bercerai dari Ricard. Jadi, saat ini juga didepan Ayah Daniah langsung, aku.. Aku ingin meminta restu untuk menikahi Daniah. Apa boleh Ayah mertua?"Ken ingin tertawa mendengar ucapan Glenyang cukup menggelikan baginya.'Apa boleh? Kalau dijawab tidak, mampus!' hati Ken terkekeh kekeh."Orang melamar mah, harusnya. Bolehkah saya menikahi putri anda Pak?" sela Ken yang membuat Glen melotot."Bringsik kamu itu Ken. Jika orang tua sedang berunding, diam lah dulu!" bentak Glen."Oh, baiklah para orang tua. Silahkan dilanjut." sahut Ken masih terkikik.Glen menarik nafas, kembali menoleh pada Ayah Daniah."Bagaimana Ayah?""Ah, iya Nak Glen. Ayah memang h
Di jalanan yang masih sepi. Hanya masih terlihat beberapa pengguna jalan saja. Mobil yang dikendarai Ken terus melaju dengan kecepatan yang sedang.Setelah beberapa jam di perjalanan, akhirnya mobil itu pun tiba juga di rumah besar milik Glen.Para penjaga tentu saja langsung menyambut kedatangan mereka.Ken turun dan membukakan pintu untuk Glen.Tak ingin membangunkan Daniah yang masih pulas, Glen akhirnya menggendongnya. Memasuki pintu dan menaiki tangga menuju kamarnya.Dibaringkan kekasihnya itu di ranjang. Glen menarik selimut untuk Daniah. Menatap wajah itu untuk beberapa saat, kemudian melangkah meninggalkannya untuk membersihkan diri.Setelah selesai, Glen kembali. Masih melihat Daniah terlelap. "Kamu pasti sangat lelah." bisiknya.Glen melangkah keluar kamar.Di ujung sana, ia melihat Ken yang sudah mengenakan baju kantor, melangkah menghampirinya."Kamu mau ke kantor Ken? Yang benar saja. Kamu tidak lelah?" tanya Glen.Ken mendengus, "Sebenarnya Lelah. Tapi, aku ada urusan.
"Ken, siapa lagi dia? Kamu bilang tidak suka ada wanita manapun yang masuk ke ruangan itu. Lalu dia? Jangan bilang jika dia juga pacarmu!" tanya Sella, melirik tangan Ken yang sudah menggenggam erat tangan Rimbun."Dia memang bukan pacarku. Tapi calon istriku. Iya kan sayang?" menoleh pada Rimbun yang seketika menarik wajahnya mundur."Bu, bukan! Bukan.." Rimbun reflek menjawab, beruntung sempat melirik wajah Ken yang sudah melotot ke arahnya."Bukan urusanmu maksudnya. Mau aku pacarnya atau calon istrinya itu bukan urusanmu." Rimbun akhirnya berkata demikian pada Sella."Kamu bilang apa? Bukan urusan ku?" Sella mendekat."Wanita murahan! Kamu tau, Ken itu milikku. Kamu yang merebutnya dariku. Dasar pelakor!" Bentak Sella, membuat Rimbun terbelalak."Eh, Ngatain aku Pelakor. Siapa yang merebutnya? Kalau dia milikmu, Ambil saja. Aku juga tidak mau kok?" sahut Rimbun ringan. Membuat Ken sungguh geram dengan jawaban Rimbun.'Astaga...! Kenapa malah menjawab begitu bodoh?'"Ken!" Sella b
Saat ini, Kayla berada di Kapolres.Duduk terisak menghapus air matanya dihadapan Ricard. Sementara Pria itu hanya menunduk, tak berani menatap wajah Kayla sedikitpun."Kenapa bisa seperti ini Ric? Kenapa? Kenapa kamu memilih berurusan dengan Glen? Kamu tau dia orang seperti apa! Kamu nekad!""Maafkan aku Kay, maafkan aku.""Kamu sudah keterlaluan, Glen tidak mungkin mengampuni mu kali ini. Dan kamu tau apa ancaman hukum untuk mu?" Kayla mengangkat wajah Ricard yang masih tetap menunduk itu."Seumur hidup Ric. Kamu akan dipenjara seumur hidup karena percobaan pembunuhan berencana mu pada Glen dan juga Ken! Belum lagi kasus penjualan atas diri Mira yang kamu lakukan! Dan terakhir kamu malah mencoba memeras Glen Dimana otakmu Ricard??""Kay, aku melakukan ini karena aku membenci Glen. Kamu tau itu dari dulu kan?""Tapi tidak harus seperti ini! Kamu susah sendiri jadinya.""Kay, bantu aku. Lepaskan aku dari sini. Ku mohon Kay. Hanya kamu yang bisa membantuku!" Ricard mengiba."Mana bisa
"Kenapa Tuan ikut masuk???" Teriak Rimbun spontan saat melihat Ken masuk dan malah menutup pintu.Yang diteriaki tak menggubris, matanya beredar. Pandangan yang begitu menyakitkan matanya bagi Ken. Kamar seorang gadis sungguh berantakan. Beberapa gantungan baju tergeletak di lantai dan dibiarkan begitu saja. Bahkan bekas nasi bungkus dan Es Teh masih terlihat menumpuk di pojokan ruangan. Menambah sempit saja.Ken duduk di kasur tak berseprai yang tergeletak dilantai. Lalu membaringkan tubuhnya dengan kedua tangan tertumpu dibawah kepalanya. Menatap langit langit kamar kost sempit itu. Bau apek, hanya itu yang bisa dicium oleh hidung Ken."Apa kamu tidak TBC tinggal di kamar ini? Ini seperti kandang Ayam." ucap Ken melirik Rimbun yang berdiri di sudut dengan bibir yang manyun."Begini begini aku punya tempat tinggal. Dari pada harus tinggal di pinggir Rel Kereta Api atau di bawah Jembatan, hayoo." sahut Rimbun.Ken langsung duduk. "Kalau begitu rapih kan! Kamu ini anak gadis! Seperti
Glen melirik wanitanya yang sedang bersandar di sisi ranjang dengan mengelus perutnya itu.Pria itu segera menghampiri dan duduk disampingnya dengan tatapan yang cukup khawatir."Ada apa? Apa ada keluhan?"Daniah tersenyum menatap kekhawatiran Glen."Tidak. Aku hanya ingin menyentuhnya.""Kalau begitu, aku juga ingin menyentuhnya." Glen menyentuh perut Daniah. Namun segera ditepis oleh Daniah."Jangan ikut menyentuhnya, Glen!"Glen mendongak. "Kenapa? Dia milikku juga." dengan nada memelas."Ya. Tapi belum resmi.""Sebentar lagi akan resmi Niah. Aku ingin menyentuhnya. Ayolah. Kenapa kamu pelit?" iba Glen, membuat Daniah tertawa."Cengeng sekali. Baiklah, kamu boleh menyentuhnya sesukamu." Daniah menarik tangan Glen dan menaruh di perutnya."Sentuhlah. Dia milikmu.""Ah, iya." Buru-buru Glen meraba disana."Jangan kemana-mana. Cukup disini saja." ucap Daniah."Memang kenapa kalau kemana-mana? Beberapa hari lagi kamu sudah akan menjadi milikku seutuhnya. Jadi tidak ada masalah lagi b
Daniah sungguh terkejut ketika melihat sebuah kilatan pisau yang sudah digenggam pria itu. Seketika Daniah mundur."Si-siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?" Daniah terbata.Pria itu melepas maskernya. Sungguh membuat Daniah tercengang ketika sangat mengenali wajah itu."Hah! Kamu...! Bagaimana mungkin?" Daniah menutup mulutnya karena sangat terkejut, terus menarik mundur kakinya. Dan pria itu terus mendekat."Ya. Ini aku Daniah! Kamu masih mengenalku bukan?""Mau apa? Kamu mau apa?? Pergi! Jangan menggangguku!" teriak Daniah."Aku datang kemari, untuk membunuhmu dan bayi Glen. Aku akan membuatnya menyesal sudah menghancurkan aku. Aku akan membunuhmu dan calon bayinya, Daniah!""Kamu tidak boleh melakukan itu Ricard! Jika kamu melakukannya, maka Glen tidak akan mengampunimu lagi. Jangan lakukan itu Ricard!" tubuh Daniah seketika gemetaran, wajahnya telah pucat.Brug...!!Pria itu mendorong tubuh Daniah dengan sangat kuat, hingga Daniah terpelanting ke lantai."Argh....!!" Daniah
Glen dan Ken, tidak ada yang tidak khawatir. Keduanya sama-sama diliputi rasa takut yang mendalam.Duduk sebentar, lalu berdiri. Berjalan mondar-mandir kemudian duduk lagi. Begitu terus hingga beberapa waktu lamanya.Sampai dari ujung sana terlihat Fic berlari kecil mendekat, dengan baju yang sudah berganti.Fic mengerem langkahnya mendadak ketika mata tajam milik Glen menatapnya, seperti mata tombak yang siap menghujam dadanya. Fic menunduk.Wajahnya berubah pias seketika saat Glen sudah memutar tubuhnya.Baru saja Glen hendak melangkah mendekat, tiba-tiba pintu ruangan terbuka."Dimana suami pasien?" sang Dokter bertanya.Ketiga pria itu langsung berlari mendekat."Bagaimana keadaannya?" serempak mereka bertanya membuat Sang Dokter pria itu bingung menatap mereka bertiga secara bergantian.Ketiganya saling melempar pandangan. 'Kenapa bisa bareng sih?'"Yang mana suami Pasien?" Dokter mengulang pertanyaan."Saya Dokter! Bagaimana keadaannya?" sahut cepat Glen dengan mendekatkan lang
Fic tidak menyadari perasaan yang tumbuh di antara mereka. Orang lain juga sama, tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam hati Ellena. Namun, suatu saat Ellena tidak mampu menahan lagi dan mulai mengekspresikan perasaannya dengan lebih jelas. Fic hanya menganggap bahwa Ellena begitu karena belum dewasa dan belum mengerti perasaannya. Suatu hari, Ellena yang sudah bukan remaja lagi, mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini terpendam.Fic merasa seolah tersambar petir dan sulit memahami apa yang sedang terjadi. "Mana mungkin?" batin Fic. "Aku hanya seorang kepala pelayan, dan usia kita terpaut jauh. Aku bahkan bisa jadi pamanmu, nona!" Namun, Ellena sama sekali tidak peduli dengan alasan tersebut. Ia nekad melakukan apapun untuk bisa bersama Fic. Perasaan Ellena semakin memuncak dan menghempas rasa ragu di hatinya. Fic kini terjebak dalam dilema, antara menerima perasaan Ellena atau tetap pada prinsipnya. Ketika akhirnya ia mulai merasakan getaran yang sama dalam hatinya, ia
"Diam!" Ellena bersikukuh, masih saja melanjutkan pekerjaannya. Lalu mengambil celana Fic dan meminta Fic untuk mengenakannya dengan sabar.Fic hanya bisa menurut. Ellena memakaikan kemeja putih pada Fic, mengancingkan baju itu."Ellena, aku bisa sendiri." menarik tangan Ellena hingga tubuh Ellena menabrak dadanya."Aku ingin melakukannya Fic. Dengan begitu, aku semakin bahagia." Ellena melepaskan tangan Fic, sekarang memasangkan dasi untuk Fic."Nona."Ellena masih belum selesai merapikan rambut, baju dan dasi Suaminya."Sudah rapi. Tinggal jas nya saja. Dipakai sekarang apa nanti saja?"Fic tak menjawab pertanyaan Ellena. Masih senantiasa menatap wajah Ellena."Fic.""Bisa menikahimu saja, sudah membuatku tak berhenti bersyukur. Jangan melakukan ini lagi. Itu membuatku merasa bersalah."Ellena dengan lembut menarik tengkuk Fic, menciumi wajahnya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin melakukan ini setiap pagi. Kau tidak boleh melarangku, atau aku akan mengadu pada Ayah. Kau sudah men
Fic menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, "Baiklah, Tuan. Jika Anda telah mempercayai saya, saya tidak ingin mengecewakan Anda. Tapi, bolehkah saya mencari pengganti diri saya sebagai Kepala Pelayan?""Ya. Tentu saja. Semua itu ku serahkan padamu. Siapapun yang kau pilih, aku yakin kau sudah memikirkannya dengan baik," jawab Glen dengan mata yang bersinar penuh keyakinan. Fic mengangguk mantap, memperkuat pernyataannya.Mereka kembali ke kamar masing-masing setelah obrolan itu selesai. Langkah mereka terasa lebih ringan, seolah sebuah keputusan besar telah berhasil dilewati bersama. Di balik pintu kamar, Fic tersenyum tipis, merasa yakin akan kebijaksanaan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang.Malam mulai menggantikan siang. Fic melangkah perlahan, merangkak ke atas ranjang mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berbaring. Mata Fic tak henti memandangi wajah Ellena, tersenyum padanya dengan penuh kebahagiaan. Sejenak Fic merasa puas, menikmati momen itu. Setelah itu, p
"Ellena, ayo kemari, Nak." ajak Daniah ramah. Glen juga menoleh ke arah Fic dengan tatapan yang sama hangatnya, "Ayo Fic, ajak istrimu makan bersama kami."Fic mengangguk, menarik kursi untuk Ellena dan kemudian duduk di sebelahnya. Meskipun bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi ini, bahkan seringkali dia makan bersama mereka di masa lalu, namun suasana kali ini terasa berbeda. Fic merasa canggung, jantungnya berdebar kencang. Dahulu, dia hanya duduk di sini sebagai kepala pelayan yang setia. Namun sekarang, perannya telah berganti. Menjadi seorang menantu keluarga ini.Dua orang di hadapannya adalah sosok yang ia segani dan hormati selama ini, tuan dan nyonyanya. Dan tak disangka, kini mereka telah menjadi mertuanya. Fic menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang menjalar di seluruh tubuhnya.Daniah bergerak mengambil piring untuk Glen dan dirinya, lalu mengayunkan tangan ke arah piring Ellena dan Fic. Namun, tiba-tiba Fic menahan tangan Daniah. "Nyonya, biar saya
Lebih dari dua minggu sudah, Fic dan Ellena tinggal di villa puncak ini. Dan Pagi ini, Fic terlihat sibuk berkemas. Ellena duduk di samping tempat tidur dengan wajah murung dan bahunya yang terkulai. Semalam, Fic mencoba meyakinkan Ellena untuk pulang, bukan karena ia tidak ingin memenuhi keinginan Ellena untuk berlama-lama di sini, melainkan karena kekhawatiran terhadap rumah yang ditinggalkannya. Fic tak bisa menepis rasa cemas, terutama tentang kesepian yang pasti dirasakan Daniah tanpa Ellena sang putri.Setelah berbagai usaha Fic untuk merasuk, akhirnya Ellena mau pulang dengan imbalan janji berbulan madu ke Kampung halaman Ilham. Walaupun tampak masih belum sepenuhnya ikhlas, Ellena bertanya, "Jadi, setelah ini kita akan pergi ke Lampung, ya Fic?"Fic hanya mengangguk sambil mencium pucuk kepala Ellena, mengekspresikan rasa sayangnya padanya. Mereka berdua duduk di belakang mobil yang melaju perlahan meninggalkan Villa Puncak, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan manis
"Dasar sialan! Arg..!" bentak Keyan kesal, lalu meninju lengan Kimmy dan Khale bergantian. Tapi, perlahan ia ikut tertawa juga. Mereka masih terdengar tertawa bahagia, saling bercanda, sampai melangkah ke kamar masing-masing. "Besok, aku tidak mau lagi satu mobil dengan kalian! Mulai besok, kita akan membawa mobil masing-masing!" seru Keyan, wajahnya merah padam, sebelum menutup pintu kamarnya dengan keras.Sementara di sisi lain.Menuju Villa Puncak,Fic dengan lembut menuntun Ellena, melewati batu-batu hitam kecil yang tersusun apik di jalan setapak. Mereka berada di taman, tepat di luar Villa Puncak. Fic mengajak Ellena menuju bangku khusus yang lengkap dengan meja bundar berisi buah-buahan segar dan minuman yang menggoda. Fic mempersilahkan Ellena duduk, layaknya mempersilahkan seorang putri kerajaan. "Silahkan Tuan Putri," ucapnya sambil membungkukkan tubuh.Ellena tergelak dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia duduk dan melihat sekitarnya, merasakan keindahan sore itu. "Ah Fic
Saat ini di kediaman Ken, Khale dan Kimmy melangkahkan kaki mereka ke dalam rumah dengan langkah gontai. Keyan menyusul dari belakang, tetapi mulutnya tak berhenti mengomel, mengumpat dua kakaknya yang sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga pemuda itu menghempaskan bokong mereka ke sofa dengan kasar, tak peduli dengan tas yang belum mereka taruh. "Aku kesal!! Hari ini aku kesal dengan kalian berdua!" ujar Keyan kesal sambil menunjuk kedua kakaknya."Apa sih anak ini?" balas Khale sambil melotot."Tau tuh!" Kimmy ikut melotot dengan wajah tidak senang.Keyan sudah berdiri, marah, dan menggerakkan tangannya hendak memukul kepala Kimmy, namun ditangkap oleh Kimmy. "Haha.. Keyan rupanya iri kepada kita, Khal. Dia tidak bisa mendekati wanita incarannya, berbeda dengan kita." ejek Kimmy sambil melepaskan tangannya dari Keyan. Khale hanya menanggapi dengan senyuman sinis, menambah rasa kesal Keyan semakin mendalam."Siapa bilang iri? Aku cuma ngerasa tidak dianggap oleh kalian. Kalian s
Mereka baru saja selesai menikmati hidangan makan malam. Fic duduk bersandar di sofa sambil menggelar lengannya ke arah Ellena yang duduk didepannya tanpa jarak. Ellena menyandarkan punggungnya di dada Fic yang hangat. Kedua tangan Fic membelai perut Ellena seolah memberikan rasa nyaman pada istrinya ini, sementara lehernya dielusnya dengan lembut. "Fic, kenapa saat yang tadi itu kamu mendadak menjadi cerewet sih?" Ellena bertanya dengan nada iseng, sambil tangannya asyik mengutak-atik ponselnya.Fic tersenyum kecil. "Siapa yang cerewet? Aku?" dia menanggapi dengan nada bercanda."Padahal kamu sedang kesulitan bernafas, aku hanya peduli dan mencoba mengetahui penyebabnya." Jawab Ellena."Susah bernafas? Memang kenapa, ya? Apa aku menekan tubuhmu terlalu keras? Sepertinya tidak." Fic berkata sambil melanjutkan elusan lembutnya di leher Ellena, tangannya kadang bergerak meraba-raba sekilas membuat Ellena menggelinjang. "Ya... aku tidak tahu. Rasanya sesak saja," jawab Ellena, sambil ter
Fic melucuti pakaian Ellena. Sekali lagi mengamati tubuh indah itu sambil tangannya bergerak aktif. Menyentuh semua itu tanpa terlewat.Fic menyisir setiap bagian tubuh Ellena dengan bibirnya. Hingga sampai pada Area sensitif. Fic merenggangkan kedua paha Ellena. Dan memposisikan wajahnya. Ellena menggeliat bak cacing kepanasan karena ulah Fic. Meremas kuat rambut Fic hingga berantakan."Fic, berhenti." nafasnya tersengal sengal.Fic mendongak, menatap wajah Ellena yang sudah memerah. Fic tersenyum, menyambar bibir itu. Hanya sebentar, lagi lagi turun perlahan dan kembali lagi ke area sensitif.Ellena menegang, Fic belum berhenti. Masih berada disitu. Fic benar benar ingin membuat Ellena menggelinjang tak karuan. Hingga Ellena menggoyahkan tubuhnya tanda tak sanggup lagi."Ah, Fic. Berhentilah. Ku mohon." Mendorong kepala Fic.Fic akhirnya berhenti , memandangi tubuh yang terus menggeliat itu."Fic. Kamu menyiksaku!"Fic hanya tersenyum, kembali menyerang wajah leher dan dada Ellena,