'Cinta memang rumit! Huh!' Ken hanya bisa menggelengkan kepalanya memikirkan masalah Glen yang tidak bisa dianggap sepele ini."Bayangkan saja Anak perawan orang hamil. Ah, bukan. Jika Anak perawan masih mending, lha ini istri orang! Astaga!" Ken menggumam masih sambil melaju."Tapi, Tuan Glen tidaklah bersalah. Mereka tidak ada yang bersalah. Semua ini ulah Ricard brengsek itu. Aku harus mendapatkanmu hari ini juga." Ken masih berbicara sendiri sambil terus menyetir.Ken melirik jam, tepat sudah setengah hari."Pantas saja perut ku sudah menuntut. Rupanya sudah siang." Menggerutu.Ken memutuskan untuk mencari makan dahulu sebelum menemui Ricard."Jika perut lapar, urusan apapun tidak akan berjalan lancar. Otak saja tidak akan bisa encer untuk berpikir." Ucap Ken sendiri, sambil tersenyum memikirkan kekonyolannya sendiri. Bisa bisanya disaat darurat masih memikirkan perut.Mobil Ken berhenti di sebuah rumah makan. Kemudian Ken memutuskan untuk segera turun. Namun baru saja ia turun
Mereka sudah selesai makan.Ken hanya bisa mendengus ketika melihat Rimbun yang sibuk membungkus sisa makanan ke dalam kantong yang baru saja ia minta dari pelayan."Heh, Ubun ubun! Sudah lah. Kamu ini, bikin malu saja!" cetus Ken."Sayang Tuan. Kamu sudah membayar mahal tapi tidak habis. Mending untuk makan malamku, tidak mubajir ke buang.""Ah, terserahlah. Cepat, cepat!"Ken melangkah duluan meninggalkan Rimbun.Rimbun berlari kecil menyusul."Tuan Ken! Kamu sudah mau pergi ya?" tanya Rimbun saat sudah berada diluar."Kenapa?" Ken menoleh."Uang gajiku mana?" tanya Rimbun nyengir sambil mengangkat kedua alisnya."Astaga.. Kalau masalah uang kamu ingat sekali ya?"Ken merogoh dompet, menghitung berapa uang."Jangan lupa Tiga bulan gaji. Jangan dipotong hutangku!""Bringsik! Ambil nih!" Ken mengulurkan uang itu."Ah.. ini beneran Tuan. Aku, aku hanya bercanda lho." matanya terbelalak menatap lembaran merah yang banyak itu, dan kini berada ditangannya. Tidak menyangka jika Ken benar
Ken sudah menepikan mobilnya, sedikit jauh dari depan rumah Ricard. Melirik dua mobil yang juga menepikan mobil mereka dengan jarak yang tidak terlalu jauh di belakangnya.Ken tidak langsung turun melainkan meraih ponselnya."Roy! Apa kamu sudah mengambil berkas-berkas itu dari Pengacara Husnan?" tanya Ken, saat panggilannya terangkat."Sudah Tuan Ken!" jawab yang di sana."Kalau begitu kamu turun menemaniku. Suruh anak buahmu tetap berada disini. Jangan ada yang bertindak apapun tanpa perintah dariku.""Baik Tuan!"Ken menutup panggilan. Tak begitu lama, seorang pria tegap berpakaian hitam telah membukakan pintu mobil untuk Ken. Kemudian Ken turun, dan melangkah bersama pria itu.Saat tiba di depan pintu, tanpa ragu Ken mengetuk.Setelah berulang kali mengetuk, pintu itu akhirnya di buka juga.Sosok yang dicari Ken, benar sudah berdiri di depannya dengan mengulas senyum dingin.Ricard sama sekali tidak terkejut akan kedatangan Ken, walau di dalam hati ia sempat mengumpat. 'Bodoh se
"Daniah, Ken sudah menuju pulang. Kamu tidak perlu cemas lagi." ucap Glen menghampiri Daniah yang sedang termangu di pinggir ranjang.Seketika Daniah mendongak, menatap wajah Glen."Apa dia berhasil bertemu dengan Ricard?""Katanya begitu. Sebentar lagi dia datang. Kita akan segera tau. Kamu makan dulu ya? Sejak tadi kamu belum makan." sahut Glen.Daniah kali ini tersenyum, "Aku mau mandi dulu ya? Setelah itu baru makan." sahut Daniah."Ah iya. Baiklah, aku akan menyiapkan air hangat untukmu." Glen langsung sumringah."Tidak usah Glen. Aku mau mandi dengan air dingin. Kamu kira aku sedang sakit apa? Aku sehat-sehat saja." bantah Daniah.Mendengar itu Glen mendekat. Meraih tangan Daniah."Aku hanya khawatir kamu sedang tidak enak badan, dan tidak mau berterus terang padaku Daniah. Kamu sedang ngidam. Kamu pasti merasakan tubuhmu tidak enak kan? Perutmu mual, dan kepalamu pusing?"Daniah tersenyum mendengar kekhawatiran Glen. "Tapi aku memang tidak merasakan apapun Glen. Selain nafsu
Pagi telah datang menyapa seluruh alam semesta, tempat berpijaknya jiwa jiwa yang berbeda pemikiran dan pendapat.Lelah, sudah pasti menggerogoti tubuh Ken, namun tak sedikit pun ia rasakan setelah semalam ia telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sangat baik dan tepat."Saat kamu merangkak di kaki Tuan Glen, disaat itu juga, aku akan meludahi wajahmu Ricard! Aku akan berbahagia ketika melihatmu sengsara. Itu adalah gantinya, karena kamu sudah membuat Nona menderita dan berani mencoba untuk menghilangkan nyawaku. Kamu tidak tau berurusan dengan siapa. Kamu salah memilih lawan!"Sementara Glen, dengan segala upaya berusaha untuk meyakinkan Daniah dan merayu Daniah agar mau berdiam di rumah saja."Aku harus menemui Ricard. Hanya ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menuntaskan permasalahan kita yang ada Daniah! Percayalah. Semua akan berjalan lancar, dan kamu akan menerima kabar gembira dari kami." Glen mengusap air mata Daniah yang tak berhenti mengalir. Glen melirik Ken yan
Saat ini juga, Glen dan Ken sudah melaju kembali.Kali ini mereka menggunakan sopir untuk membawa mereka menuju rumah Ricard.Mereka hanya pergi bertiga dengan sang sopir saja tanpa pengawalan dari anak buah Glen.Ken dan Glen duduk di kursi belakang.Ken melirik Glen yang terlihat resah."Kamu khawatir?""Ya. Memikirkan Daniah!""Oh, kupikir khawatir memikirkan Ricard.""Haha.. mana mungkin. Aku sedang memikirkan Daniah. Pasti hatinya saat ini tak tenang. Jedag jedug memikirkan kita." sahut Daniah."Kamu salah lagi. Lihatlah, tunggu sebentar." Ken merogoh Hpnya dan mengulik sebentar. Menekan panggilan video atas kontak Fic.Sesaat panggilan terhubung dan Fic terlihat mengarahkan kameranya pada Sosok Daniah yang tengah sibuk di dapur."Lihatlah, Nona sepertinya sangat bahagia tanpa adanya tuan di rumah." Ken menunjukkannya pada Glen.Glen memperhatikan itu, merebut ponsel Ken. Dilihatnya Daniah sedang asyik memasak tanpa sadar jika sedang direkam oleh Fic."Astaga...! Ini pasti kel
"Nona! Kamu tidak boleh pergi!" Fic sekuat tenaga mencegah Daniah, ketika kekasih Bosnya itu sudah berontak akan lari keluar rumah."Tidak Bisa, Tuan Fic! Ayahku sakit. Dia menyuruhku pulang sekarang juga!" bantah Daniah, sudah kalang kabut sesaat ketika selesai menerima telepon dari tetangganya yang mengatakan jika Ayah Daniah jatuh sakit dan parah. Meminta Daniah harus pulang sekarang juga."Nona, mohon tenanglah. Setidaknya tunggu Tuan Glen dahulu." Fic terus mencegah."Tidak bisa Fic! Aku tidak bisa menunggu siapapun! Aku takut Fic, Aku takut terjadi apa-apa dan menyesal jika tidak segera pulang pada Ayahku!" seru Daniah, segera menyambar tas kecil miliknya dan bergegas keluar kamar dengan langkah yang sangat cepat.'Aduh! Bagaimana ini? Bisa gawat." Fic pun semakin panik dan terus mengikuti langkah Daniah sampai keluar rumah."Nona! Tolonh tunggu dulu!" Fic menghadang langkah kaki Daniah."Tuan Fic! Jangan menghalangiku. Itu Ayahku. Kalau terjadi apa-apa bagaimana? Kamu mau ber
"Maafkan aku Pak. Aku yang salah. Jika kamu ingin menghukum, hukumlah aku. Tolong jangan hukum Daniah. Dia sama sekali tidak bersalah." ucap Glen , berlutut sambil menunduk dihadapan Ayah Daniah yang masih tercengang."Jadi kamu laki-laki brengsek itu?"Glen hanya mengangguk."Laki-laki yang sudah merusak kehormatan dan rumah tangga anakku?" Ayah Daniah kembali membentak.Glrn tidak bergeming dari berlututnya kecuali hanya mengangguk."Maafkan aku Pak. Aku mencintai anak bapak.""Kamu sudah gila! Kamu mencintai wanita yang sudah bersuami? Dimana otakmu Tuan?""Dasar pria brengsek! Aku akan membunuhmu!" Ayah Daniah menyambar tongkat miliknya yang kebetulan tersandar di dinding. Tongkatnya ketika ia masih belum bisa berjalan kemarin.Ayah Daniah sudah mengangkat tongkat itu tinggi tinggi."Glen!" melihat itu Daniah berlari hendak melindungi Glen. Tapi Glen tidak mungkin membiarkan itu terjadi. Segera merengkuh tubuh Daniah.Bug ..!Satu pukulan mendarat di punggung Glen yang mendeka
Fic tidak menyadari perasaan yang tumbuh di antara mereka. Orang lain juga sama, tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam hati Ellena. Namun, suatu saat Ellena tidak mampu menahan lagi dan mulai mengekspresikan perasaannya dengan lebih jelas. Fic hanya menganggap bahwa Ellena begitu karena belum dewasa dan belum mengerti perasaannya. Suatu hari, Ellena yang sudah bukan remaja lagi, mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini terpendam.Fic merasa seolah tersambar petir dan sulit memahami apa yang sedang terjadi. "Mana mungkin?" batin Fic. "Aku hanya seorang kepala pelayan, dan usia kita terpaut jauh. Aku bahkan bisa jadi pamanmu, nona!" Namun, Ellena sama sekali tidak peduli dengan alasan tersebut. Ia nekad melakukan apapun untuk bisa bersama Fic. Perasaan Ellena semakin memuncak dan menghempas rasa ragu di hatinya. Fic kini terjebak dalam dilema, antara menerima perasaan Ellena atau tetap pada prinsipnya. Ketika akhirnya ia mulai merasakan getaran yang sama dalam hatinya, ia
"Diam!" Ellena bersikukuh, masih saja melanjutkan pekerjaannya. Lalu mengambil celana Fic dan meminta Fic untuk mengenakannya dengan sabar.Fic hanya bisa menurut. Ellena memakaikan kemeja putih pada Fic, mengancingkan baju itu."Ellena, aku bisa sendiri." menarik tangan Ellena hingga tubuh Ellena menabrak dadanya."Aku ingin melakukannya Fic. Dengan begitu, aku semakin bahagia." Ellena melepaskan tangan Fic, sekarang memasangkan dasi untuk Fic."Nona."Ellena masih belum selesai merapikan rambut, baju dan dasi Suaminya."Sudah rapi. Tinggal jas nya saja. Dipakai sekarang apa nanti saja?"Fic tak menjawab pertanyaan Ellena. Masih senantiasa menatap wajah Ellena."Fic.""Bisa menikahimu saja, sudah membuatku tak berhenti bersyukur. Jangan melakukan ini lagi. Itu membuatku merasa bersalah."Ellena dengan lembut menarik tengkuk Fic, menciumi wajahnya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin melakukan ini setiap pagi. Kau tidak boleh melarangku, atau aku akan mengadu pada Ayah. Kau sudah men
Fic menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, "Baiklah, Tuan. Jika Anda telah mempercayai saya, saya tidak ingin mengecewakan Anda. Tapi, bolehkah saya mencari pengganti diri saya sebagai Kepala Pelayan?""Ya. Tentu saja. Semua itu ku serahkan padamu. Siapapun yang kau pilih, aku yakin kau sudah memikirkannya dengan baik," jawab Glen dengan mata yang bersinar penuh keyakinan. Fic mengangguk mantap, memperkuat pernyataannya.Mereka kembali ke kamar masing-masing setelah obrolan itu selesai. Langkah mereka terasa lebih ringan, seolah sebuah keputusan besar telah berhasil dilewati bersama. Di balik pintu kamar, Fic tersenyum tipis, merasa yakin akan kebijaksanaan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang.Malam mulai menggantikan siang. Fic melangkah perlahan, merangkak ke atas ranjang mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berbaring. Mata Fic tak henti memandangi wajah Ellena, tersenyum padanya dengan penuh kebahagiaan. Sejenak Fic merasa puas, menikmati momen itu. Setelah itu, p
"Ellena, ayo kemari, Nak." ajak Daniah ramah. Glen juga menoleh ke arah Fic dengan tatapan yang sama hangatnya, "Ayo Fic, ajak istrimu makan bersama kami."Fic mengangguk, menarik kursi untuk Ellena dan kemudian duduk di sebelahnya. Meskipun bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi ini, bahkan seringkali dia makan bersama mereka di masa lalu, namun suasana kali ini terasa berbeda. Fic merasa canggung, jantungnya berdebar kencang. Dahulu, dia hanya duduk di sini sebagai kepala pelayan yang setia. Namun sekarang, perannya telah berganti. Menjadi seorang menantu keluarga ini.Dua orang di hadapannya adalah sosok yang ia segani dan hormati selama ini, tuan dan nyonyanya. Dan tak disangka, kini mereka telah menjadi mertuanya. Fic menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang menjalar di seluruh tubuhnya.Daniah bergerak mengambil piring untuk Glen dan dirinya, lalu mengayunkan tangan ke arah piring Ellena dan Fic. Namun, tiba-tiba Fic menahan tangan Daniah. "Nyonya, biar saya
Lebih dari dua minggu sudah, Fic dan Ellena tinggal di villa puncak ini. Dan Pagi ini, Fic terlihat sibuk berkemas. Ellena duduk di samping tempat tidur dengan wajah murung dan bahunya yang terkulai. Semalam, Fic mencoba meyakinkan Ellena untuk pulang, bukan karena ia tidak ingin memenuhi keinginan Ellena untuk berlama-lama di sini, melainkan karena kekhawatiran terhadap rumah yang ditinggalkannya. Fic tak bisa menepis rasa cemas, terutama tentang kesepian yang pasti dirasakan Daniah tanpa Ellena sang putri.Setelah berbagai usaha Fic untuk merasuk, akhirnya Ellena mau pulang dengan imbalan janji berbulan madu ke Kampung halaman Ilham. Walaupun tampak masih belum sepenuhnya ikhlas, Ellena bertanya, "Jadi, setelah ini kita akan pergi ke Lampung, ya Fic?"Fic hanya mengangguk sambil mencium pucuk kepala Ellena, mengekspresikan rasa sayangnya padanya. Mereka berdua duduk di belakang mobil yang melaju perlahan meninggalkan Villa Puncak, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan manis
"Dasar sialan! Arg..!" bentak Keyan kesal, lalu meninju lengan Kimmy dan Khale bergantian. Tapi, perlahan ia ikut tertawa juga. Mereka masih terdengar tertawa bahagia, saling bercanda, sampai melangkah ke kamar masing-masing. "Besok, aku tidak mau lagi satu mobil dengan kalian! Mulai besok, kita akan membawa mobil masing-masing!" seru Keyan, wajahnya merah padam, sebelum menutup pintu kamarnya dengan keras.Sementara di sisi lain.Menuju Villa Puncak,Fic dengan lembut menuntun Ellena, melewati batu-batu hitam kecil yang tersusun apik di jalan setapak. Mereka berada di taman, tepat di luar Villa Puncak. Fic mengajak Ellena menuju bangku khusus yang lengkap dengan meja bundar berisi buah-buahan segar dan minuman yang menggoda. Fic mempersilahkan Ellena duduk, layaknya mempersilahkan seorang putri kerajaan. "Silahkan Tuan Putri," ucapnya sambil membungkukkan tubuh.Ellena tergelak dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia duduk dan melihat sekitarnya, merasakan keindahan sore itu. "Ah Fic
Saat ini di kediaman Ken, Khale dan Kimmy melangkahkan kaki mereka ke dalam rumah dengan langkah gontai. Keyan menyusul dari belakang, tetapi mulutnya tak berhenti mengomel, mengumpat dua kakaknya yang sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga pemuda itu menghempaskan bokong mereka ke sofa dengan kasar, tak peduli dengan tas yang belum mereka taruh. "Aku kesal!! Hari ini aku kesal dengan kalian berdua!" ujar Keyan kesal sambil menunjuk kedua kakaknya."Apa sih anak ini?" balas Khale sambil melotot."Tau tuh!" Kimmy ikut melotot dengan wajah tidak senang.Keyan sudah berdiri, marah, dan menggerakkan tangannya hendak memukul kepala Kimmy, namun ditangkap oleh Kimmy. "Haha.. Keyan rupanya iri kepada kita, Khal. Dia tidak bisa mendekati wanita incarannya, berbeda dengan kita." ejek Kimmy sambil melepaskan tangannya dari Keyan. Khale hanya menanggapi dengan senyuman sinis, menambah rasa kesal Keyan semakin mendalam."Siapa bilang iri? Aku cuma ngerasa tidak dianggap oleh kalian. Kalian s
Mereka baru saja selesai menikmati hidangan makan malam. Fic duduk bersandar di sofa sambil menggelar lengannya ke arah Ellena yang duduk didepannya tanpa jarak. Ellena menyandarkan punggungnya di dada Fic yang hangat. Kedua tangan Fic membelai perut Ellena seolah memberikan rasa nyaman pada istrinya ini, sementara lehernya dielusnya dengan lembut. "Fic, kenapa saat yang tadi itu kamu mendadak menjadi cerewet sih?" Ellena bertanya dengan nada iseng, sambil tangannya asyik mengutak-atik ponselnya.Fic tersenyum kecil. "Siapa yang cerewet? Aku?" dia menanggapi dengan nada bercanda."Padahal kamu sedang kesulitan bernafas, aku hanya peduli dan mencoba mengetahui penyebabnya." Jawab Ellena."Susah bernafas? Memang kenapa, ya? Apa aku menekan tubuhmu terlalu keras? Sepertinya tidak." Fic berkata sambil melanjutkan elusan lembutnya di leher Ellena, tangannya kadang bergerak meraba-raba sekilas membuat Ellena menggelinjang. "Ya... aku tidak tahu. Rasanya sesak saja," jawab Ellena, sambil ter
Fic melucuti pakaian Ellena. Sekali lagi mengamati tubuh indah itu sambil tangannya bergerak aktif. Menyentuh semua itu tanpa terlewat.Fic menyisir setiap bagian tubuh Ellena dengan bibirnya. Hingga sampai pada Area sensitif. Fic merenggangkan kedua paha Ellena. Dan memposisikan wajahnya. Ellena menggeliat bak cacing kepanasan karena ulah Fic. Meremas kuat rambut Fic hingga berantakan."Fic, berhenti." nafasnya tersengal sengal.Fic mendongak, menatap wajah Ellena yang sudah memerah. Fic tersenyum, menyambar bibir itu. Hanya sebentar, lagi lagi turun perlahan dan kembali lagi ke area sensitif.Ellena menegang, Fic belum berhenti. Masih berada disitu. Fic benar benar ingin membuat Ellena menggelinjang tak karuan. Hingga Ellena menggoyahkan tubuhnya tanda tak sanggup lagi."Ah, Fic. Berhentilah. Ku mohon." Mendorong kepala Fic.Fic akhirnya berhenti , memandangi tubuh yang terus menggeliat itu."Fic. Kamu menyiksaku!"Fic hanya tersenyum, kembali menyerang wajah leher dan dada Ellena,