“Yang Mulia, hampir setengah dari warga ibu kota sudah terjangkit wabah yang tidak ketahui berasal dari mana,” ucap salah seorang menteri melaporkan situasi terkini pada kaisar.
Saat ini, semua orang-orang berpengaruh mengikuti rapat tertutup yang diadakan secara mendadak oleh Gilbert—sang kaisar. Hal tersebut tidak terlepas dari situasi darurat yang saat ini tengah berlangsung. Seperti apa yang sudah dikatakan oleh seorang menteri, saat ini tengah ada wabah berbahaya yang menyebar dengan begitu cepat di kekaisaran Bonaro. Tentu saja, Gibert dan orang-orang berpengaruh harus segera menanggulangi masalah tersebut. Apalagi, wabah ini menyebar langsung ke pusat pemerintahan dan ekonomi kekaisaran yang tak lain adalah ibu kota di mana para bangsawan kelas atas tinggal. Gilbert pun menatap Pendeta Agung dan bertanya, “Apa masalah ini sebelumnya sudah pernah diramalkan?”
Kini, semua perhatian tertuju pada Pendeta Agung yang mendapatkan pertanyaan tersebut. Pendeta Agung terlihat tidak menampilkan ekspresi yang berarti, tetapi mereka semua yang melihat hal itu tahu, jika saat ini sang pendeta tengah memikirkan jawaban atas pertanyaan kaisar. Tak lama, Pendeta Agung pun menjawab, “Tidak ada lamaran spesifik mengenai bencana wabah seperti ini. Namun, ada sebuah ramalan kuno mengenai sosok Amagl Terkutuk.”
Semua yang mendengar Amagl Terkutuk disebutkan dalam perkataan Pendeta Agung, seketika menahan napas. Jika namanya sudah disebutkan, sudah dipastikan jika hal tersebut berkaitan dengan hal buruk. “Apa mungkin, hal itu berkaitan dengan penyebaran wabah?” tanya Gilbert lagi.
Pendeta Agung mengangguk. “Ramalan mengatakan ketika Amagl Terkutuk berjiwa jahat sudah hampir mencapai kesempurnaan kekuatan, maka dunia akan hancur. Wabah akan tersebar, dan para siluman mulai tidak terkendali. Mereka akan menyerang, menyandra, hingga memangsa manusia,” jawab sang pendeta.
“Tapi, bukankah Amagl Terkutuk masih dalam tidur panjangnya? Selain itu, kita berada dalam perlindungan Amagl Agung. Apakah benar masalah kali ini berkaitan dengan Amagl Terkutuk? Apa mungkin dia sudah bangkit?” tanya Leal yang juga ikut dalam rapat tersebut.
“Kita memang belum bisa memastikan jika Amagl Terkutuk saat ini sudah bangkit dari tidur panjangnya. Namun, kita tidak bisa menutup kemungkinan mengenai masalah itu,” ucap Gilbert sembari mengurut pelipisnya, merasa jika kepalanya benar-benar penuh.
Satu masalah belum selesai, dan kini masalah yang baru sudah datang. Sebelumnya, ia dipusingkan oleh kematian tidak wajah Thomas. Karena Thomas adalah seorang bangsawan bergelar tinggi, kematiannya yang tidak wajar menjadi sorotan banyak orang. Ia pun harus mengerahkan pikiran dan waktunya untuk mencari dari dalang kematiannya. Namun, tidak ada satu pun petunjuk yang ditemukan. Tidak ada satu pun titik terang yang ditemukan oleh para penyidik, dan tentu saja hal itu membuat orang-orang berpikir jika pihak istana tidak bisa bekerja dengan baik. Belum selesai masalah itu, kini Gilbert harus dipusingkan dengan wabah yang tiba-tiba menyebar. Wabah tersebut membuat orang yang terjangkit kejang-kejang dan muntah darah. Saat ini, pihak yang terkait sudah dikerahkan untuk menanggulangi penyebaran wabah ini, tetapi wabah masih menyebar karena belum ditemukan penyebab dan sumber penyebarannya.
“Setidaknya, kita sekarang hanya perlu fokus untuk menanggulangi wabah ini. Jangan sampai rakyat mendengar ramalan berkaitan dengan penyebaran wabah ini. Mereka bisa menjadi sangat cemas. Selain itu, Pendeta Agung, bantu dengan memberikan air suci dan doa di kuil Amagl Agung,” ucap Gilbert.
“Saya akan memimpin para pendeta, Yang Mulia,” ucap Pendeta Agung.
Baru saja Gilbert akan memberikan pengarahan lanjutan, seorang prajurit dengan lancangnya memasuki ruang rapat tertutup tersebut. Tentu saja, tingkah lancangnya itu diprotes dengan keras oleh orang-orang yang berada di sana. Namun, Gilbert memberikan isyarat pada mereka semua untuk tenang. Gilbert tahu, jika tidak ada masalah mendesak, tidak akan ada yang berani untuk menginterupsi pertemuan penting ini. “Ada apa?” tanya Gilbert dengan nada berwibawa, selayaknya seorang kaisar yang bijak.
“Mohon maaf, Yang Mulia. Saya ingin melaporkan, jika ada sekawanan siluman yang menyerang benteng timur. Satu desa sudah menjadi korbannya,” lapor prajurit itu membuat semua orang pucat pasi.
Gilbert sendiri segera menatap sang Pendeta Agung yang juga tengah menatapnya. “Tidak mungkin—”
“Sudah dipastikan, jika Amagl Terkutuk kemungkinan besar sudah bangkit,” ucap Pendeta Agung.
Leal yang mendengar hal itu pun segera mengingat putrinya. Meskipun Amora sudah dibuang ke pulau Blaxland karena kesalahannya, tetapi tidak pernah sekali pun Leal melukapannya. Hingga saat ini pun, Leal memikirkan cara untuk mengeluarkan Amora dari pulau tersebut. Leal yakin, jika Amora pasti berhasil bertahan hingga saat ini. Amora adalah gadis tangguh dan cerdas. Saat wabah menyebar di ibu kota, Leal bersyukur karena Amora tidak berada di ibu kota. Namun, menjadi berbeda jika benar Amagl Terkutuk telah bangkit. Leal mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Dengan cara apa pun, Leal harus membawa Amora keluar dari pulau itu, dan mengungsikannya dengan Jade ke tempat aman yang belum terkontaminasi oleh wabah. Ini adalah perang melawan wabah yang sangat berbahaya. Karena itulah, Leal harus memastikan jika orang-orang yang ia sayangi terlindungi dan tetap aman.
***
“Kau tidak mau mandi?” tanya Xavier pada Amora yang menatap sungai beraliran pelan di hadapannya. Airnya terlihat sangat jernih, hingga kalian bisa melihat ikan dan bebatuan yang berada di dasar sungai. Amora yakin, jika mandi di sana akan terasa sangat segar. Namun, Amora jelas tidak segila itu. Selama ini, Amora mati-matian menahan diri untuk tidak membasuh tubuhnya dan hanya mencuci muka, karena tidak ada tempat yang pantas ia gunakan untuk mandi. Kali ini pun, sungai yang mereka lewati sangat terbuka. Amora tidak mendapatkan tempat yang bisa ia gunakan untuk membasuh diri.
Amora memang tidak mengatakan apa pun, tetapi Xavier mengerti jika Amora ingin mandi dan apa yang telah membuatnya ragu. Xavier pun mengibaskan tangannya dan air sungai tiba-tiba naik, membentuk sebuah dinding yang tentu saja tidak tembus pandang. Amora menoleh pada Xavier dan bertanya, “Itu untuk apa?”
“Kau bisa mandi di dalam dinding itu. Tidak akan ada orang yang bisa melihatmu, jadi kau bisa tenang,” jawab Xavier lalu melangkah menuju sebuah pohon diikuti oleh Hoia. Singa putih itu segera meringkuk di bawah rindang pohon, dan menjadikan tubuhnya sebagai sandaran yang nyaman untuk Xavier.
Amora sendiri terlihat ragu. Ia memang ingin mandi, tetapi ia tetap merasa takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. “Jika kau ingin mandi, cepatlah. Sihirku tidak akan bertahan lama. Dan ini adalah kesempatan terakhirmu untuk mandi,” ucap Xavier sembari memejamkan matanya. Mendengar apa yang dikatakan oleh Xavier, Amora pun tanpa pikir dua kali segera beranjak untuk mandi. Walaupun Amora secara berulang kali memperingatkan Xavier untuk tidak membuka matanya, selama Amora belum selesai mandi dan berpakaian.
Xavier tentu saja memejamkan matanya. Namun, semua indranya bekerja lebih keras. Terutama indra pendengaran, untuk memastikan tidak ada orang yang mendekat. Hoia juga melakukan hal yang sama. Meskipun terlihat bermalas-malasan dan hanya ingin dimanja oleh sang tuan, tetapi Hoia berada dalam kewaspadaan tingkat tingginya. Saat Amora sudah masuk ke dalam air dan mulai membasuh dirinya, Xavier dan Hoia tentu saja bisa mendengar gemericik air yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Lalu, keduanya pun menyadari kehadiran seseorang. Itu tak lain adalah Vheer yang muncul dari dalam tanah. Ia menggunakan wujud pohon kecil dan menyapa Xavier. Sedetik kemudian, Vheer berubah wujud menjadi seorang pemuda.
“Tuan, sa—”
“Tutup matamu,” ucap Xavier memotong salam Vheer.
Tentu saja secara spontan Vheer bertanya, “Ya?”
Xavier menghela napas dan berkata, “Tutup matamu, Vheer. Amora tengah mandi.”
Vheer mengernyitkan keningnya lalu menyadari jika ada dinding air yang dibuat oleh Xavier saat itulah Vheer segera menutup matanya rapat-rapat. Ia tahu jika ada Amora yang berada dalam lindungan dinding tengah membersihkan diri. Vheer pun berdeham dan melanjutkan perkataannya yang sempat terpotong. “Tuan, saya sudah menemukan keberadaan mereka,” ucap Vheer.
“Benarkah?” tanya Xavier.
“Benar, Tuan. Tapi, kita belum sepenuhnya bisa menghubungi semua orang. Hanya ada beberapa dari mereka yang memang tinggal di sekitar perbatasan dan berbaur dengan manusia,” jawab Vheer. Selama ini Vheer memang ditugaskan untuk mencari informasi dan menghubungi para pengikut setia Xavier yang mau tidak mau hidup dalam persembunyian. Sebagian besar dari mereka memang memilih untuk berbaur hidup dengan manusia biasa, bahkan ada beberapa dari mereka yang berhasil menjadi sosok berpengaruh sembari menutupi identitas mereka sebagai seorang siluman.
“Apa lokasinya masih jauh dari tempatku saat ini?” tanya Xavier lagi.
“Tuan bisa tiba sekitar dua atau tiga hari lagi. Anda tidak perlu terburu-buru, apalagi Anda harus Nona Amora juga tidak bisa dipaksakan untuk melakukan perjalanan terlalu lama. Selain itu, saya akan berupaya untuk mengumpulkan mereka di satu tempat, agar Tuan tidak perlu repot lagi.”
“Pastikan saja, jika pergerakan kita tidak menarik perhatian Xavion dan pengikutnya,” ucap Xavier mulai memberikan arahan.
Saat itulah, Vheer terlihat sangat gelisah. Meskipun masih dalam kondisi memejamkan mata, Xavier tentu saja bisa merasakan apa yang tengah dirasakan oleh Vheer. Ia pun berkata, “Katakan apa yang ingin kau pikirkan.”
Vheer terlihat ragu sebelum menjawab, “Ada sebuah desa di dekat benteng kekaisaran Bonaro yang diserang oleh sekawanan siluman. Seluruh warga meninggal karena serangan tersebut. Selain itu, saat ini tengah tersebar wabah di ibu kota kekaisaran. Untuk mencegah penyebaran, Kaisar sepertinya memberlakukan peraturan khusus yang membuat ibu kota menutup diri untuk sementara waktu.”
Tanpa bertanya atau melihat situasinya secara langsung pun, Xavier sudah tahu siapa dalang dalam kekacauan ini. Siapa lagi jika bukan Xavion. Dia pasti sengaja melakukan semua ini, setelah tahu bahwa Xavier sudah bangkir dari tidur panjangnya. Xavier pun membuka matanya dan menatap dinding air yang masih berdiri kokoh. Karena jarak yang cukup jauh, Xavier yakin jika Amora tidak mendengar pembicaraannya dengan Vheer ini. Xavier pun memberikan perintah, “Aku mengerti. Sekarang pergilah, dan buat para pengikut setiaku mendengar bahwa aku telah bangkit. Berikan peringatan pada mereka untuk tetap waspada dan jangan menarik perhatian sedikit pun. Karena aku yakin, Xavion dan bawahannya pasti menyebar perangkap bagi kita.”
Vheer mengangguk dan berkata, “Baik, Tuan. Saya akan melaksanakannya.”
“Pergilah,” ucap Xavier sembari kembali memejamkan mata. Tentu saja Vheer membungkuk dan segera undur diri. Kepergian Vheer bertepatan dengan Amora yang ternyata selesai dari kegiatan membersihkan dirinya. Amora susah payah berpakaian dan memastikan agar pakaian yang ia kenakan tidak basah. Setelah itu, Amora pun menatap Xavier dan Hoia yang masih di tempat mereka semula. Keduanya tampak tenang, seakan-akan tengah tertidur dengan lelapnya.
“Tu, Tuan,” panggil Amora ragu. Selama ini, Amora memang belum memanggil Xavier dengan benar. Atau lebih tepatnya, ia dan Xavier belum pernah berbicara dengan benar selama mereka melakukan perjalanan. Hal yang mereka lakukan hanyalah berargumen. Itu memang tidak terlepas dari sikap menyebalkan Xavier, yang rasanya selalu saja sengaja membuat Amora kesal.
Amora mendekat dan berjongkok di dekat Xavier yang masih memejamkan matanya tenang. Dari dekat, tampilan Xavier terlihat semakin menakjubkan dan menyilaukan. Saat ini saja, Amora takut jika dirinya akan buta karena penampilan Xavier yang terlalu menyilaukan. Amora menatap rambut pendek Xavier yang bergoyang tertiup angin. Rambut abu-abu keperakan itu terlihat sangat indah dan tentu saja langka. Hal yang tanpa sadar membuat Amora mengulurkan tangannya untuk menyentuh rambut perak tersebut. Namun tanpa disangka, Xavier membuka matanya dan menangkap tangan Amora. Ia menarik Amora hingga jatuh ke atas pangkuannya. Tentu saja Amora terkejut dan membulatkan matanya lebar-lebar.
“A, Apa yang kau lakukan?!” tanya Amora dengan nada tinggi.
“Bukankah ingin menyentuh rambutku? Aku hanya membuat situasi lebih mudah untukmu, Amora,” ucap Xavier lalu membawa telapak tangan mungil Amora untuk menyentuh helaian rambut peraknya yang berkilauan diterpa cahaya matahari. Seketika, wajah Amora memerah. Hal itu membuat Xavier menyeringai. Ia pun memilih untuk membawa telapak tangan Amora untuk mendekat pada bibirnya, dan menghadiahkan sebuah kecupan di sana. Amora tersentak saat merasakan gelenyar aneh dari bekas kecupan pada telapak tangannya yang merambat ke sekujur tubuhnya. Gelenyar yang membuat jantungnya bekerja tiga kali lipat dari biasanya. Sungguh, Xavier dan segala pesonannya sama sekali tidak baik untuk kesehatan jantung Amora.
Setelah berhari-hari melakukan perjalanan yang melelahkan melewati hutan, kini Amora dan Xavier sudah ke luar dari hutan lebat tersebut. Hoia sudah tidak lagi terlihat bersama mereka, karena Xavier secara khusus memberikan perintah pada Hoia untuk menyembunyikan dirinya. Hoia tidak boleh menunjukkan dirinya sebelum Xavier memberikan isyarat atau perintah padanya. Sementara itu, kini Amora terlihat bersembunyi di belakang punggung Xavier, saat tiba-tiba ada segerombolan orang yang menghalangi jalan mereka. Karena sudah terbiasa bertemu dengan siluman-siluman yang bisa mengambil wujud manusia dengan sempurna, secara Alami Amora pun berpikir jika orang-orang itu adalah siluman pula. Kemungkinan besar, mereka adalah siluman yang berniat jahat pada mereka. Tentu saja bersembunyi dan berlindungi pada Xavier adalah satu-satunya cara bagi Amora untuk selamat.
Semenjak mendengar apa yang dikatakan oleh Xavier, Amora memilih untuk mengurung diri dalam kamar yang memang ia tempati sendiri. Ia masih tidak mau menerima apa yang dikatakan oleh Xavier, mengenai pola tanda kepemilikan yang ditinggalkan oleh Xavier pada leher Amora saat ini. Semakin tidak bisa menerima, saat para siluman yang menjadi pengikut setia Xavier berkata jika Amora harus segera menjalankan tugasnya sebagai seorang Pengantin Amagl. Menurut mereka, Amora sudah ditakdirkan untuk menjadi istri Xavier dan memiliki tugas untuk melahirkan keturunan bagi Xavier, serta mendampingi Xavier untuk mempersiapkan kebangkitan kaum Amagl. “Memangnya aku ini apa? Seenaknya mereka memaksaku untuk menikah dengan Amagl terkutuk!” gumam Amora merasa sangat frustasi.Jelas itu sangat tidak bisa diterima oleh Amora. Karena sejak awal, Amora menganggap Xavier sebagai sosok yang sangat berbahaya. Meskipun selama perjalanan melewati hutan dan jalur berbahaya, Xavier selalu melin
Karena sama sekali tidak bisa tidru, Amora pada akhirnya memilih untuk ke luar dari kamarnya dan melangkah menuju beranda yang berada di belakang rumah kayu tersebut. Amora memeluk tubuhnya sendiri sembari mendongak menatap langit malam yang dihiasi bintang dan bulan yang berpendar perak. Tanpa sadar, Amora pun mengingat sosok Xavier yang jelas sangat lekat dengan warna perak yang memang menjadi ciri khasnya. Semenjak makan malam bersama para siluman dan mendengar pengakuan kepemilikan Xavier terhadap dirinya, Amora sama sekali tidak pernah bertemu dengan Xavier lagi. Bukannya tidak ada kesempatan untuk bertemu dengannya, tetapi Amora secara sengaja menghindar darinya. Hati Amora belum siap untuk berhadapan dengan pria itu lagi. Amora pun menghela napas dan memejamkan matanya.Sang Amagl Agung, Xavier yang malangNyawa dunia Savyrh yang meredupTidurlah Xavier, tidurlahAlam akan memelukmu, maka t
“Ini gaunmu,” ucap Lilith sembari meletakkan sebuah gaun dan beberapa hiasan pada Amora yang masih duduk di tepi ranjang.Amora pun menatap Lilith yang terlihat begitu sedih. Sepertinya, semalaman Lilith telah menangis hingga membuat kedua matanya merah dan sembab. Amora berniat untuk bertanya bagaimana perasaannya, tetapi Amora pun mengurungkan niatnya. Lilith pun menggigit bibir bawahnya sebelum berkata, “Jangan melihatku seperti itu. Aku sama sekali tidak ingin dikasihani olehmu.”Amora yang mendengar hal itu, mau tidak mau merasa bersalah. Namun, Amora tidak memiliki kata-kata penghiburan untuk disampaikan pada Lilith. Terlebih, Amora sendiri juga merasa menjadi korban di sini. Baik Amora maupun Lilith sama-sama menjadi korban dari takdir yang mengikat mereka semua. Setelah mengatakan apa yang ia inginkan, Lilith menatap gaun yang tergeletak di atas ranjang dan berkata, “Cepatlah bersiap. Tuan Xavier sudah menunggumu.”Lil
Pendeta penjaga pintu pun beranjak untuk menyampaikan perkataan Xavier menuju Pendeta Agung. Saat itulah, Amora mendongak pada Xavier dan bertanya, “Apa kita akan menikah di sini?”“Bukankah manusia menikah dengan cara seperti ini?” tanya balik Xavier.“Memangnya, kalian tidak menikah dengan cara seperti ini?” tanya Amora lagi membuat Xavier menghela napas karena sadar jika Amora tidak mau mengalah.“Ya, tidak. Begitu pola kepemilikan terbentuk dan melakukan penyempurnaan, maka kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri,” jawab Xavier mengalah dari sesi saling bertanya itu.“Ah, begitu,” ucap Amora mengerti.“Benar. Apa yang kita lakukan ini adalah formalitas yang diperlukan. Terutama kau sendiri adalah manusia. Setidaknya, kau harus memiliki pengalaman mendapatkan pemberkatan selayaknya mempelai wanita pada umumnya. Kudengar kalian para gadis memang sangat sensitif mengenai hal i
Amora terbangun saat mendengar suara yang cukup mengganggu tidurnya. Amora pun menyingkap selimutnya dan membuka jendela kamarnya. Namun bukannya melihat pemandangan indah, Amora dikejutkan oleh anak-anak kecil yang berusaha untu mencapai jendela dan menatapnya dengan penuh rasa tertarik. “Kalian siapa dan kenapa bisa ada di sini?” tanya Amora terkejut. Namun, anak-anak kecil itu sama sekali tidak menjawab. Mereka malah asik berbicara dan ribut berebut untuk bertanya pada Amora. Anak-anak itu terlihat sangat bersemangat mengajukan pertanyaan dan berbicara dengan riang, hingga Amora pun kesulitan untuk menangkap apa yang sebenarnya mereka ingin bicarakan dengannya.“Wah, dia memang cantik!”“Apa Kakak Pengantin Amagl?”“Nama Kakak siapa?”“Wah mata Kakak cantik!”“Nanti aku kalau sudah besar pasti akan secantik Kakak
Para siluman terlihat panik. Para pria segera mengambil senjata dan bersiaga di pintu masuk markas. Sementara para anak-anak dan wanita berkumpul di tengah lapangan. Beberapa dari mereka menangis, dan membuat suasana terasa semakin mencekam saja. Amora yang belum mengerti dengan situasi tersebut, segera mendekat pada Lilith. Bertanya Vheer memang pilihan terbaik, karena ia selalu menjawab dengan nada yang nyaman didengar dan selalu bersikap ramah. Namun, Vheer kini berbaris di barisan paling depan untuk menjaga pintu masuk dengan para siluman lain. Jadi, alhasil Amora hanya bisa bertanya pada Lilith, karena hanya dia yang Amora kenal dari sekian banyak siluman yang berada di tempat yang sama dengannya.“Lilith, sebenarnya ada apa? Kenapa semua orang bersiaga, dan ke mana Xavier pergi?” bisik Amora.Lilith menatap Amora dengan kesal. Sepertinya, ia ingin menyemburkan kata-kata tajam pada Amora. Namun, Lilith rupanya bisa mengendalikan dirinya. Ia menja
Penyihir Putih menggeleng. “Saya tidak bisa menyembuhkan Tuan. Satu-satunya orang yang bisa melakukannya hanya Anda, Nyonya,” ucap Penyihir Putih.“Omong kosong macam apa itu?” tanya Amora merasakan emosinya mulai naik.“Saya tidak mengatakan omong kosong. Dengan melakukan penyatuan dengan Tuan Xavier, Anda bisa menyelamatkan nyawanya,” jawab Penyihir Putih yakin.Amora masih terlihat tidak percaya, atau lebih tepatnya berusaha untuk tidak percaya. Selama ini, Amora sudah lebih dari cukup melihat banyak hal aneh yang tidak masuk akal. Secara naluriah, Amora tentu saja merasa jika apa yang dikatakan oleh Penyihir Putih barusan sama sekali bukan omong kosong. Namun, Amora berusaha untuk tidak memercayainya. Meskipun ia sudah menikah dengan Xavier, tetapi Amora masih belum sepenuhnya menerima statusnya sebagai seorang istri. Apalagi sosok suaminya tak lain adala
Semenjak apa yang terjadi di kekaisaran Bonaro, ternyata setiap kekaisaran dan kerajaan memilih untuk menyerukan persatuan mereka. Mereka tetap memiliki wilayah masing-masing, tetapi tidak ada lagi permusuhan atau peperangan antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lain. Ataupun tidak adanya paksaan dari kekaisaran terhadapn sebuah kerjaan untuk bersumpah setia. Kini, mereka semua memiliki pandangan yang sama dan misi yang sama. Hidup mereka tenteram tanpa ada satu pun kesulitan yang mereka hadapi. Gangguan dari para siluman yang semula menjadi momok yang paling menakutkan dan menjadi permasalah pertahanan bagi sebuah daerah, sudah tidak lagi perlu dicemaskan. Karena siluman sama sekali tidak pernah terlihat lagi. Seakan-akan, perang yang pernah terjadi menghapus keberadaan dan jejak dari para siluman.Meskipun begitu, mereka yakin jika Amagl Agung berhasil mengendalikan para siluman dan menjaga keseimbangan dua dunia. Kini mereka bisa sama-sama hidup dengan nyaman di dunia
Sedetik kemudian Amora pun tersadar mengenai kondisi Xavier dan berlari untuk menghampiri suaminya itu. Amora pun bergetar hebat saat menyentuh dada sang suami yang sudah dipenuhi luka. Pedang yang sebelumnya menancap di sana sudah menghilang, begitu pemiliknya juga menghilang. Amora dengan suara bergetar memanggil sang suami. “Xavier, kau bisa mendengar suaraku bukan?” tanya Amora menyentuh pipi suaminya yang sudah terasa dingin.Para pengikut yang mulai pulih pun menyadari apa yang terjadi dan berniat untuk mendekat pada Amora. Namun, Penyihir Putih memberikan isyarat pada mereka semua untuk tetap di tempat mereka. Penyihir Putih sudah mengetahui apa yang terjadi karena alam membisikan sesuatu padanya. Penyihir Putih mengetahui apa yang terjadi pada Xavier, hingga apa yang dilakukan oleh Amora yang sudah membantu memusnahkan Xavion dan pasukannya. Anak panah sihir yang digunakan oleh Amora ternyata bukan anak panah biasa. Amora memang tidak mengetahui jika anak
Amora jatuh tidak berdaya karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia menatap nanar pada para manusia yang kini terlihat seperti mayat hidup, dan para siluman yang berperang mempertaruhkan nyawa mereka. Lebih dari itu, Amora menatap suaminya yang terlihat bertarung dengan sekuat tenaga. Ia sudah tahu apa yang terjadi di masa lalu, mengenai penyebab dari kemarahan Xavion, dan hal apa yang menjadi pangkal dari hancurnya hubungan persaudaraan Xavion dan Xavier. Amora meneteskan air matanya. Takdir memang terkadang terasa menyulitkan dan menyesakkan. Namun, Amora tidak berpikir jika hal itu bisa membuat Xavion melakukan semua tindakan yang mengerikan ini. Amora berharap, jika Xavier bisa menghentikan Xavion. Xavier harus membebaskan semua makhluk dari penderitaan yang mereka rasakan karena kejahatan Xavion.Namun sayangnya, setelah Amora selesai berdoa, Amora melihat hal yang begitu menyedihkan. Para siluman pengikut Xavier satu per satu jatuh tidak berdaya. Penyihir Putih juga kel
Ribuan tahun yang laluDi suatu hari, istri dari Amagl Agung—pemimpin dari kaum Amagl—melahirkan sepasang putra tampan. Menyadari jika mereka bisa saja membuat kaum Amagl yang mengetahui ramalan mengenai kehancuran itu merasa cemas, Amagl Agung memutuskan untuk menutupi salah satu wajah putranya dengan topeng sejak ia masih kecil. Mereka memutuskan untuk memakaikan topeng pada sang adik yang memang pada dasanya tidak akan bisa menjadi pemimpin kaum Amagl selanjutnya, karena ada sang kakak yang menduduki posisi calon penerus pertama. Semua orang bertindak sangat hati-hati, demi menghindari ramalan mengenai kehancuran kaum dan dunia yang mereka jaga. Tahun demi tahun berlalu, dan si kembar tumbuh besar. Keduanya tumbuh dengan pesona yang berbeda, dan sifat yang juga berbeda. Jika si Sulung memiliki sifat yang tenang dan memegang tegus prinsip bahwa mereka harus mengikuti peraturan
Pembicaraan antara Xavier dan Xavion jelas membuat suasana semakin mencekam saja. Selain itu, para pengikut Xavier terlihat kebingungan dan terkejut dengan fakta yang baru mereka ketahui, jika ternyata Xavier dan Xavion ternyata memiliki ikatan persaudaraan. Hal yang memang sebenarnya hanya diketahui oleh segelintir orang di masa lalu. Sementara itu, sebagian besar para pengikut Xavion tampaknya tidak terlalu dibuat terkejut oleh apa yang terjadi tersebut. Apa pun yang terjadi, mereka hanya perlu mendukung Xavion untuk menguasai dunia, dan setelah itu mereka bisa hidup dengan bebas tanpa perlu takut pada Dewa atau utusannya yang bertugas untuk membasmi para siluman yang melanggar ketentuan yang ada. Blax sendiri terlihat mengepalkan kedua tangannya. Merasa sangat marah, tetapi berusaha untuk menahan dirinya. Ia hanya perlu bergantung sedikit lagi pada Xavion, dan dirinya bisa membebaskan kaumnya dari jeratan Xavion, tentu saja sesuai dengan kesepakatan mereka sebelumnya.
“Tuan, mereka benar-benar datang,” ucap Blax melaporkan situasi terkini pada Xavion yang kini duduk di singgasan yang seharusnya ditempati oleh kaisar yang agung. Namun, Gilbert yang masih berada di bawah kendali XavionXavion yang masih mengenakan topengnya terlihat menyeringai. “Sesuai dengan apa yang aku harapkan darimu, Xavier,” gumam Xavion terlihat begitu puas dengan apa yang tengah terjadi saat ini.Blax yang mendengar hal itu tentu saja mengernyitkan keningnya. Seakan-akan Xavion memang sudah memperikarakan langkah inilah yang akan diambil oleh Xavier. Namun, Blax tidak mengatakan apa pun dan memilih untuk menunggu perintah seperti apa yang akan diberikan oleh Xavier selanjutnya. Tentu saja, sejak awal Blax dan yang lainnya sudah menempatkan pasukan mereka di barisan terdepan sebagai lapisan keamanan yang jelas akan dihadapi oleh pasukan lawan sebelum benar-benar memasuki pusat kekaisaran yang tampaknya akan menjadi medan perang mereka.
Vheer terlihat fokus memeriksa persenjataan yang akan digunakan dalam peperangan yang sudah ditentukan. Ia memang diberikan tanggung jawab untuk memeriksa semua persenjataan, sementara Xavier tengah fokus memberikan arahan bagi para siluman yang jelas belum memiliki pengalaman dalam berperang. Sementara itu, Vheer yang memang sudah mengetahu strategi dan jalur yang akan ditempuh dalam perang nanti, memilih untuk segera memeriksa peralatan untuk peperangan nanti. Karena ini juga adalah salah satu faktor penentu kemenangan mereka dalam perang. Mengingat, bahwa tidak semua siluman yang menjadi pengikut setia Xavier memiliki kemampuan untuk menggunakan sihir. Jadi, senjata-senjata ini benar-benar diperlukan oleh mereka.Setelah memeriksa jika semuanya berada dalam kualitas baik, Vheer pun ke luar dari gudang dan menatap langit malam yang terlihat begitu gelap. Karena sudah tidak ada lagi barrier, kini Vheer bisa melihat langit dengan leluasa. Namun, langit malam seakan-akan ingin
Xavion membuka kelambu dan melihat sosok Amora yang seakan-akan berubah menjadi sosok peri yang tengah tertidur. Ia terlihat begitu cantik, dan anggun dengan balutan gaun indah yang ia kenakan. Kulit, rambut, bahkan kukunya terawat dengan baik akibat Xavion yang menugaskan Sisil secara khusus untuk merawat Amora yang masih tenggelam dalam alam bawah sadarnya. Benar, Amora masih menjelajah dunia yang Xavion ciptakan. Dunia yang menunjukkan dengan jelas, tiap detail kejadiam di masa lalu yang seharusnya Amora ketahui. Xavion pun duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut pipi Amora, seakan-akan sedikit sentuhan kasar bisa saja membuat Amora terluka. Tak lama, Xavion meletakkan telunjuknya tepat pada kening Amora. Lalu sinar abu-abu muncul dan sedetik kemudian Amora membuka matanya dan terengah-engah seakan-akan dirinya sudah menemui hal yang sangat mengejutkan baginya.Xavion hanya membiarkan Amora begitu saja, dan mengamatinya dalam diam. Seolah-olaj yakin jika Amora akan tenan
Xavion duduk di tepi ranjang dan mengamati raut wajah Amora yang terlihat tidak baik-baik saja. Kini, Amora masih belum terbangun dari tidurnya. Ia masih berada di dalam dunia mimpinya. Tentu saja, hal inilah yang diharapkan oleh Xavion. Akan sulit untuk membuat Amora mengetaui apa yang tejadi di masa lalu saat dirinya sadar, karena hal itu akan membuatnya tertekan dan kembali jatuh tak sadarkan diri. Karena itulah, Xavion memilih untuk menunjukkan semuanya pada Amora dengan membuatnya menjelajah di dunia bawah sadarnya. Xavion mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Amora dengan lembut. “Lihat semuanya dengan detail, Amora. Lalu nilailah kembali, aku atau Xavier yang pantas untuk disebut sebagai orang yang kejam,” ucap Xavion.Sisil yang berdiri di sekat ranjang melihat tindakan lembut Xavion dengan kening mengernyit. Setelah mendapatkan peringatan keras dari Xavion, Sisil memang bertindak lebih berhati-hati mengenai menunjukkan perasaannya. Meskipun dirinya memi