Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.
“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.
“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”
“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.
“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.
“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka pilihan kedua.”
Krisna menatap tajam Alma dan berkata, “bukankan kau sudah berjanji untuk tidak bertingkah?” tuntutnya.
“Hanya jika kau menjadi anak yang penurut.”
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Krisna berbalik dan mengambil posisi di depan pintu kemudi.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Alma setelah Krisna menggeser tempatnya berdiri.
“Bukannya kau ingin mengantarku pulang? Biar aku yang mengemudi.” Jawab Krisna.
Setelah berdebat mengenai siapa yang lebih dulu pulang, kali ini mereka lagi-lagi berdebat mengenai siapa yang akan mengmudi.
“Tidak apa, biar aku yang mengemudi.” Desak Alma. “Hitung-hitung berlatih menghafal jalan. Jika kau yang menyetir, bisa-bisa aku ketiduran dan tidak sanggup lagi menyetir pulang atau jangan-jangan nanti malah kau culik!” celetuk Alma.
“Untuk apa aku menculikmu saat aku yakin kau pasti akan dengan senang hati bersedia mengikuti pria mana pun yang memintamu untuk datang kepada mereka.” Cibir Krisna.
“Tidak semua, hanya beberapa.” Alma memperbaiki. “Jadi, apa pilihanmu?” tuntut Alma.
Sepertinya ini juga bukan hal yang buruk untuk membiarkan Alma mengemudi. Jika Alma yang pegang kemudi, tentunya dia akan terlalu sibuk untuk bisa mengganggu Krisna.
“Baiklah, kau yang mengemudi.” Jawab Krisna menyerah dan pindah ke sisi pintu penumpang.
“Anak baik,” puji Alma.
***
Krisna cukup takjub dengan cara Alma mengemudi. Seingatnya, dia belum pernah bertemu wanita mana pun dengan keterampilan mengemudi seperti Alma. Alma dengan luwes memutar, menekan dan menggeser semua instrumen mengemudi dengan penuh percaya diri serta perhitungan yang tepat.
Selain itu, Alma juga berusaha untuk mencairkan suasana dengan mengajak Krisna berbincang ringan. Bertanya tentang hal-hal umum. Bagaimana ia bisa bekerja di GP. Bagaimana perilaku para klien dan mekanisme operasional di Batam, dan topik lain yang sebagian banyak seputar pekerjaan.
Untunglah Krisna kini terlihat lebih rileks dibandingkan sebelumnya. Posisi sebagai AE sepertinya memang cocok untuk Alma. Dengan penampilan dan kemampuan bicaranya, ia bisa sangat persuasif dalam menghadapi lawan bicaranya.
Bagaikan terkena mantra, cepat atau lambat lawan bicaranya akan mengiyakan dan bahkan melakukan apa yang menjadi tujuan Alma. Maka tidak heran ia bisa dengan mudah menyelesaikan masalah pada kontrak TIG. Dan itu jugalah yang terjadi pada Krisna.
Meskipun Krisna sudah berkesan menjaga jarak sejak awal, saat ini situasi antara Krisna dan Alma terlihat sedikit mencair. Terlepas dari kesan sebagai predator seksual, Krisna merasa rupanya Alma juga seorang lawan bicara yang cukup menyenangkan.
“Hei, aku minta maaf kalau aku sudah membuatmu tidak nyaman.” Ucap Alma tiba-tiba. “Sepertinya bercanda ku sudah kelewatan.” Lanjutnya.
Dimata Krisna, Alma sama sekali tdak terllihat seperti orang yang akan dengan mudah meminta maaf atau mengakui kesalahan. Dan permintaan maaf Alma saat ini sama sekali tidak terduga.
“Ternyata selera humormu cukup mengerikan.” Cibir Krisna alih-alih menerima permintaan maaf Alma.
“Hanya pada beberapa orang tertentu, terutama orang ketus.” Sindir Alma tidak mau kalah.
“Aku pikir kau ingin meminta maaf.”
“Dan kau bersikap seakan seakan-akan aku hewan buas yang akan memakanmu hidup-hidup?” ucap Alma sambil memutar matanya.
“Bukankah memang begitu?”
“Bukan aku yang buas, kau yang terlalu jinak.”
“Haha... yang benar saja.” Cibir Krisna
Itu adalah tawa Krisna yang pertama kali Alma dengar. Bahkan suara tawanya terdengar dalam dan seksi.
Menyadari kemana arah pikirannya, Alma buru-buru menepisnya mengingat ia tidak pada posisi untuk merealisasikan hal-hal yang ada di benaknya.
“Dari sana kau bisa belok kiri, rumahku nomor dua dari sebelah kanan.”
Alma mengemudikan mobilnya sesuai petunjuk Krisna dan berhenti di sebuah rumah tanpa pagar bercat hijau muda.
Rumah itu tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil. Tapi masih terlalu besar untuk seorang bujang seperti Krisna. Di garasinya Alma melihat sebuah mobil Harier hitam yang tidak asing. Tapi bukankah Krisna tidak memiliki kendaraan? Ia mencoba mengingat-ingat kembali dimana ia pernah melihatnya.
“Aku tinggal dengan pak Satria.” Ucap Krisna menjawab pertanyaan Alma yang tidak terucap.
“Oh, pantas saja aku merasa pernah melihatnya” Ternyata itu mobil yang biasa pak Satria bawa ke kantor. Pak Satria merupakan kepala keuangan di GP, namun Alma tidak terlalu akrab karna pekerjaan dia jarang sekali menuntutnya untuk bersinggungan dengan pak Satria.
Tapi bagaimana bisa Krisna tinggal dengan Pak Krisna, apakah mereka mempunyai hubungan keluarga atau semacamnya? Benak Alma tidak berhenti bertanya-tanya.
“Sebaiknya kau cepat pulang sebelum semakin larut. Ini Batam, bukan Jakarta. Semakin malam Batam semakin sepi.” Krisna memperingatkan Alma setelah keluar dari mobil.
“Hmm, kau benar. Oke.”
“Terima kasih atas tumpangannya.” Ucap Krisna.
“Tidak masalah. Sampai jumpa besok di kantor.” Lalu Alma pun mengendarai mobilnya menjauh dengan deru mesin yang menggema.
***
“Apa kau tau dimana Krisna tinggal?” tanya Alma pada Frans suatu sore di area merokok.
“Bukankan malam itu kau mengantarnya pulang? Untuk apa kau bertanya?”
Frans benar, Alma baru menyadari betapa pertanyaan terdengar sangat bodoh. “Oke, kalau begitu aku ganti pertanyaanya. Kenapa dia tinggal dengan pak Satria?”
“Kenapa tidak kau tanya langsung saja pada orangnya?”
Tanggapan Frans sungguh membuat Ama frustasi. Tidak satu pun pertanyaan yang ia ajukan dijawab Frans tanpa mengajukan pertanyaan lain.
“Ya Tuhan, kau sangat menyebalkan!” sungut Alma.
“Kelihatannya kau sangat tertarik dengan Krisna.” Entah bagaimana, pernyataan Frans lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan di telinga Alma.
“Kenapa, apa kau merasa terganggu?”
“Haha, apa kah aku seharusnya merasa terganggu?”
“Kau yang harus menjawabnya, bukan aku. Aku hanya senang saja menggodanya.”
“Bukankah itu yang selalu kau lakukan pada semua pria?” Frans mecibir.
“Sepertinya kau tidak akan pernah memaafkanku bukan?”
“Haha, tentu saja aku memaafkan. Hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan dengan membencimu. Lagi pula kau tau aku tidak akan pernah bisa membencimu. Hanya saja aku tidak melupakan.” Frans lalu membuang puntung rokoknya yang sudah pendek dan bersiap untuk meninggalkan Alma dengan rokoknya yang masih setengah terjepit dijarinya.
“Lebih baik kau lupakan saja Krisna.” Lanjut Krisna membuat dahi Alma berkerut. “Ia sudah bertunangan dan akan segera menikah. Untuk apa kau repo-repot menjerat pria yang tidak tertarik pada permainanmu” ejek Frans.
“Oh ya? Jika benar begitu, makan semuanya akan menjadi lebih menarik” balas Alma dengan sebuah seringaian di wajahnya.
“Terserah kau saja, itu hidupmu. Kalau begitu, semoga berhasil. Jangan cari aku kalau kau terkena masalah.” Ucap Frans memperingatkan sebelum meninggalkan area merokok, sementara Alma sibuk dengan benaknya.
Inikah penyebabknay kenapa Krisna bersikap seperti itu padaku? Kenapa dia tidak pernah menyebutkannya? Bukankah pria normal biasanya akan langsung mengakui status mereka untuk menjauhi wanita yang tidak mereka suka? Ataukah Krisna tidak normal? Atau mungkin dia malah menyukaiku?
Bayangan Krisna yang menaruh perhatian padanya membuat Alma tersenyum sendiri.
“Halo mbak, sendirian saja?” suara seoarng perempuan menyapa Alma dari belakang. Rupanya Ririn, sepertinya ia baru saja kembali dari basement melalui tangga.
“Hai Rin, apa kau mau menemaniku?” tanya Alma basa-basih sambil menghisap rokoknya.
“Maaf mbak, tapi saya kan tidak merokok.” Tutur Ririn dengan wajah yang terlihat menyesal karena menolak ajakan Alma.
“Haha... aku hanya bertanya apa kau bisa menemaniku, disini. Bukan menemaniku untuk ikut merokok.” Jelas Alma sambil tertawa kecil melihat Ririn yang salah paham.
“Oh, maaf mbak. Saya pikir mbak mengajak saya merokok,” gumam Ririn merasa tidak enak.
“Haha, mana mungkin aku melakukannya. Tapi kau bisa memberitahuku kalau-kalau kaku berubah pikiran.” Bisik Alma sambil mengerling jahil, mengundang sebuah cengiran di wajah Ririn.
“Baiklah kalau begitu.” Ririn pun melangkah memasuki area merokok dan berdiri disamping Alma yang kini sedang memandangi tanah kosong di bawahnya.
“Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kau bekerja disini?” tanya Alma membuka pembicaraan.
“Sekitar dua tahun mbak.”
“Apakah kau tau kalau Krisna sudah bertunangan?” tanya Alma pada Ririn.
“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”“Apa itu?”“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
Tok tok. Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang. “Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan. Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab. Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya. “Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.” Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.” “Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Buk
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
Brrmm....Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.Benar apa kata Ririn, tida
Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”“Apa itu?”“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari
Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka
Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Brrmm....Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.Benar apa kata Ririn, tida
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Tok tok. Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang. “Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan. Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab. Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya. “Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.” Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.” “Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Buk