Tok tok.
Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang.
“Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan.
Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab.
Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya.
“Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.”
Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.”
“Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Bukan begitu Frans?” tambah Alma dengan sikap yang luar biasa akrab. Sebelah tangannya menepuk lutut Frans dan meremasnya lembut diam-diam di bawah meja pak Rommel.
Tindakkannya itu membuat Frans melototi Alma sambil tetap berusaha untuk tersenyum natural sementara Alma tersenyum jahil.
“Benar pak,” jawab Frans masih melotot sambil diam-diam menepis kasar tangan Alma dari lututnya, membuat Alma semakin tersenyum geli.
“Wah, baguslah. Kalau begitu kau bantulah Alma mempelajari bisnis kita di Batam dan perkenalkan dia pada klien-klien kita.” Pinta pak Rommel dengan logat bataknya yang kental.
“Baik pak.”
“Mungkin itu saja dari aku karena kebetulan aku juga masih ada keperluan.” Ucap pak Rommel pada mereka berdua.
“Frans akan mendampingi kau berkeliling dulu ya Alma. Karna ini hari pertama kau masuk kerja, kau bisa berkenalan dulu dengan staff yang lain. Kalau kau ada pertanyaan, kau tanyakan saja padanya. Tak usah kau malu-malu” tambahnya pak Rommel.
“Baik pak, kalau begitu, sepertinya saya akan banyak merepotkan Frans.” Ucap Alma sambil memandang Frans penuh arti yang di balas Frans dengan tatapan sengit.
“Haha, tak apalah. Kau buat saja dia repot, biar tak makan gaji buta nya dia. Haha...” Perut buncit pak Rommel terlihat ikut naik turun seiring dengan tawanya. Dahinya yang lebar terlihat mengkilat dengan peluh. Nampaknya pendingin ruangan yang menyala sudah tidak mampu lagi menembus lemaknya yang sudah bertumpuk.
Dari saku bajunya, pak Rommel menarik keluar sebuah sapu tangan untuk menyeka dahi nya saat Frans bangkit dari kursinya.
“Kalau sudah tidak ada hal alin, apa saya boleh permisi pak?” tanya Frans.
“Ya ya, silahkan. Jangan lupa kau ajak Alma berkeliling!” seru pak Rommel.
“Baik pak, saya akan langsung mengajak Alma berkeliling sekarang.” Ucap Frans patuh. “Kalau begitu saya permisi pak” pamit Frans sambil beranjak menuju pintu keluar di ikuti oleh Alma.
“Terima kasih banyak pak Rommel, kalau begitu saya juga permisi,” pamit Alma.
“Ya ya, silahkah,” ulang pak Rommel sambil memperbaiki posisi duduknya yang kian merosot akibat kelebihan beban pada kursinya yang terlihat sesak.
Meski diminta untuk menemani Alma, Frans tak lantas memperlambat langkahnya begitu ia keluar dari ruangan pak Rommel. Dengan langkah lebar-lebar ia berjalan menuju tangga yang berada di ujung lantai tiga. Menuruni anak tangga yang menghubungkan setiap lantai satu persatu sambil merogoh kantong celananya.
“Apa ada pekerjaan penting yang harus kau kerjakan?” tanya Alma setelah berhasil menyusul Frans yang terlihat terburu-buru.
“Ya,” jawab Frans singkat sambil mengeluarkan bungkus rokok yang masih baru dari saku celananya lalu merobek bungkusnya.
“Apa itu?”
“Mengurus wanita merepotkan sepertimu,” jawabnya ketus.
“Hahaha... aku bahkan belum mulai.” balas Alma santai yang mulai terlihat kesulitan menuruni tangga dengan sepatu hak tingginya. Membuat Frans yang menyadari itu memperlambat langkahnya.
“Lagi pula, kenapa sih kau tidak naik lift saja, malah menuruni tangga seperti ini. Merepotkan.” Gerutu Alma yang mulai merasakan nyeri pada mata kakinya.
“Apa aku minta kau untuk mengikutiku?”
“Pak Rommel yang minta, apa kau sudah lupa?”
Frans tersenyum tidak acuh mendengar jawaban Alma.
Setelah susah payah menuruni tiga lantai, akhirnya mereka sampai di sebuah lokasi yang memiliki tanda bertuliskan ‘Smoking Area’.
Area tersebut terletak di sisi gedung sebelah kanan, tepat di seberang tangga yang barusan mereka turuni, berdekatan dengan tangga menuju basement satu.
Pipa besi setinggi pinggang dewasa dipasang mengelilingi area tersebut, memisahkan gedung dengan parit di bawahnya serta tanah kosong yang ditumbuhi oleh bermacam rumput liar dan tanaman semak lainnya.
“Masih merokok?” Frans menyodorkan bungkus rokok yang terbuka pada Alma.
“Kenapa tidak.” Diambilnya sebatang rokok dari kotaknya dan menyelipkannya di antara jarinya.
Frans merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah korek api, menyodorkan apinya lebih dulu kepada Alma sebelum ia membakar rokoknya sendiri dan menghisapnya dalam-dalam.
“Fuh...” kepulan asap putih berhembus melalui bibir Alma dengan pulasan warna merah coral. Tidak begitu mencolok namun cukup menggoda. “Apakah menyenangkan hidup di Batam?” tanya Alma.
“Setidaknya tidak ada kau disini. Dulu,” jawabnya Frans sinis sambil memainkan batang rokok di jemarinya.
“Haha...Apa kau yakin?”.
“Bagaimana denganmu, sudah seminggu kan kau ada disini?” Frans balik bertanya.
“Sejujurnya aku lebih suka Batam. Jakarta terlalu ramai. Terlalu berisik. Terlalu sibuk dan ruwet. Kamu juga sepertinya lebih betah di Batam.”
“Tidak juga.” Sebuah senyum sinis lainnya menghiasi wajah Frans.
“Kalau tidak, bagaimana bisa kamu tidak sekalipun pernah kembali ke Jakarta selama tiga tahun ini?”
“Untuk apa? Aku sudah tidak punya urusan apapun di Jakarta. Kecuali kau mengingikanku untuk kembali.” Bisik Frans ditelinga Alma dengan seringai diwajahnya.
“Haha, untuk apa?” tanya Alma dengan nada meremehkan.
“Entahlah, mungkin untuk melanjutkan hal yang kau mulai. Lagi pula aku bisa langsung pesan kamar saat ini. Jika kau berani.” Tantang Frans.
Sejenak Alma mengerutkan keningnya, mencoba menerka kemana arah pembicaraan Frans sebelumnya akhirnya ia teringat kejadian saat ia meremas lutut Frans di kantor Pak Rommel tadi.
“Kecuali kau lebih suka melakukannya saat ada yang menyaksikan, aku tidak keberatan untuk melanjutkannya disini” sekali lagi Frans berbisik di telinga Alma setelah mengamati situasi sekitar yang saat itu memang sepi. Hanya ada mereka berdua di smoking area itu dan di sepanjang lorong.
Perlahan Alma memalikan wajahnya dan beradu pandang dengan Frans. “Kau tahu kan aku tidak akan pernah bisa melakukannya denganmu.” Ia balas berbisik
Senyum mengejek kembali menghiasi wajah Frans sebelum ia menarik diri dan menyenderkan punggungnya pada pagar besi dibelakang mereka. Kembali mengisap rokoknya dalam-dalam sementara Alma berdiri di sebelahnya dengan kedua tangan bertumpu pada pagar besi.
“Bukannya tidak bisa, mungkin kemampuanmu saja yang sekarang sudah tidak lebih dari sekedar meremas lutut” ledek Frans lagi.
Menanggapi ejekkannya, Alma memutar tubuhnya dan berdiri tepat di depan wajah Frans. Sebelah tanganya merangkul leher Frans, sementara tangannya yang lain menyusuri tulang rahang Frans dengan jemari yang masih menjepit rokoknya.
“Apa kau benar-benar ingin tahu apa saja yang mampu aku lakukan? Sekarang? Di sini?” bisik Alma menantang sembari tersenyum menggoda.
Dengan jarak sedekat itu Frans dapat merasakan hembusan nafas Alma yang hangat serta aroma rokok dari bibirnya yang basah dan sedikit terbuka, mengundang dan menggoda keteguhan Frans yang hampir goyah.
Sambil mendengus, Frans menyingkirkan tangan Alma dan melepaskan diri dari rangkulannya. Ia berjalan menjauh menuju sebuah asbak yang tersedia di samping pintu untuk membuang rokoknya yang muali pendek.
Dengan masih menghadap parit, tiba-tiba Alma merasakan hembusan nafas hangat ditengkuknya. Tanpa ia sadari ternyata Frans sudah kembali dan berdiri tepat dibelakangnya. Ia berdiri sangat dekat sampai Alma dapat merasakan sebuah desakan pada bagian belakang tubuhnya, membuatny sedikit terkesiap.
“Aku terima tawaranmu. Tapi nanti, setelah aku selesai memberimu pelajaran”. Bisik Frans dibelakang telinga Alma sambil lalu mengecup ringan pangkal lehernya. Membangkitkan sebuah percikan dalam diri Alma yang selama ini tertidur.
Secepat mungkin Alma berusaha mengendalikan dirinya dan berbalik dengan cepat. Namun terlambat, Frans ternyata sudah berjalan cukup jauh, masuk kembali ekedalam gedung. Meninggalkan Alma yang gemetar menahan gejolak dalam dadanya.
“Sialan kau Frans Danureja!” maki Alma pada Frans yang sejenak menoleh seakan meledek Alma sambil tersenyum puas dari balik dinding kaca.
Drrt..Drrt...
Ponsel dalam saku celana Alma bergetar, menarik kembali kesadarannya pada masa sekarang. Sebuah pemberitahuan pesan muncul di layar.
From: Frans
Kalau sudah selesai, aku tunggu dilantai empat.
Kau tau kan cara menggunakan lift?
Masih kesal, Alma menyimpan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku tanpa membalas pesan Frans.
***
“Seperti yang kamu lihat, gedung ini terdiri dari empat lantai dengan total lima puluh tiga karyawan terdiri atas tujuh karyawan perempuan dan sisanya adalah karyawan laki-laki, silahkan kau hitung sendiri. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku harus repot-repot menjelaskan ini semua kepadamu dan mengajakmu berkeliling.” Ucap Frans membuka acara tur perkenalan dengan malas.
Sejak kedatangannya, Alma memang belum banyak berkeliling baik di kantor maupun berkeliling kota Batam meskipun sudah sudah seminggu ia sampai. Urusan pindah-pindah ini cukup menyita waktu dan tenaganya. Terutama masalah pekerjaan karna saat ini masih ada beberapa pekerjaa dari kantor pusat yang masih ia pegang dan harus segera ia selesaikan sebelum ia disibukkan oleh pekerjaannya di kantor yang baru.
Tapi kini untunglah ada Frans yang menemaninya. Satu-satunya orang yang ia kenal di kota yang asing ini.
Lantai empat yang menjadi tujuan awal mereka merupakan ruangan bebas sekat yang berfungsi sebagai aula serba guna. Di lantai ini juga terdapat dua ruangan kecil bersebrangan yang berfungsi sebagai musholla terpisah antara pria dan wanita.
Setelah itu mereka melanjutkan tur ke lantai tiga yang merupakan tempat kerja mereka berdua. Dimana lantai itu juga digunakan oleh bagian keuangan dengan kantor General Manager diruangan terpisah.
Sedangkan lantai dua digunakan oleh bagian IT dan di pimpin oleh Haryo Nareswara bersama tujuh orang staff IT yang lain. Dari tujuh orang staff, hanya ada satu staff wanita di lantai dua yaitu Vera. Seorang mahasiswa Akuntansi yang juga merupakan sepupu dari pak Haryo.
Nepotisme di Kantor Batam ini memang cukup kental. Sebagian pekerjanya merupakan kerabat maupun kenalan pekerja lainnya. Namun selama pekerja tersebut mampu bekerja dengan baik, sepertinya hal itu tidak terlalu menjadi masalah disini.
Dari lantai dua, Frans dan Alma turun menuju lantai satu yang digunakan oleh bagian operasional yang kebanyakan adalah staff lapangan sehingga area tersebut sering kali terasa lebih sepi dibandingkan dengan lantai lainnya. Kecuali lantai empat yang memang tidak berpenghuni.
“Jadi setiap lantai mempunyai pantry dan petugas kebersihan masing-masing. Jika ada yang kau perlukan kau bissa minta tolong pada petugas yang bertugas di lantai tersebut.” Jelas Frans di penghujung tur yang berakhir di area pantry lantai satu.
Frans melanjutkan, “kau bisa memakan atau meminum apa pun yang tersedia di pantry, kecuali semua yang memiliki label nama. Berarti ada pemiliknya.”
Sambil mendengarkan penjelasan Frans, Alma berjalan perlahan mengelilingi pantry. Jemarinya menyusuri sebuah meja persegi panjang yang cukup besar yang terletak di tengah ruangan dengan beberapa kursi bar berjejer rapih dibawah meja. Sambil terus menyusuri pinggiran meja Alma bergumam pelan, “hmm...kira-kira bagaimana rasanya ya.”
“Apa kau benar-benar ingin tahu rasanya? Di sini? Sekarang?” goda Frans yang ternyata mendengar gumaman Alma.
“Haha, tidak denganmu Frans,” cibir Alma sambil berlalu keluar pantry melewati Frans. Frans berusaha untuk tidak menarik rambut Alma dan menyeret wanita itu kedalam pelukannya saat rambut lembabnya yang dibiarkan kering oleh angin menguarkan bau harum yang cukup Frans hafal. Bau harum yang sebenarnya mungkin ia rindukan.
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
Brrmm....Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.Benar apa kata Ririn, tida
Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka
“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”“Apa itu?”“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”“Apa itu?”“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari
Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka
Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Brrmm....Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.Benar apa kata Ririn, tida
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Tok tok. Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang. “Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan. Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab. Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya. “Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.” Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.” “Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Buk