Brrmm....
Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.
Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.
“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.
Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.
Benar apa kata Ririn, tidak ada seorang pun yang mengendarai mobil semewah itu ke kantor. Apa lagi karyawan. Namun sepertinya sejarah itu akan berubah dan entah bagaimana Krisna punya perasaan tidak enak mengenai pemilik mobil tersebut.
Benar saja, tidak lama mesin mobil mati, Alma melangkah keluar dari dalam mobil, membuat Ririn tercengang-cengang.
“Ya Tuhan, kira-kira aku harus kerja berapa lama untuk bisa punya mobil seperti itu ya?” tanya Ririn dengan wajah yang takjub.
Menyadari Alma yang semakin mendekat memasuki gedung, Krisna cepat-cepat kembali ke kursinya. Tidak ingin tertangkap basah mengagumi mobil dan pemiliknya.
Alma mendorong pintu kaca dengan satu tangannya sementara tangan yang lain membawa blazer dan tas tangannya. Hari itu ia tampak menawan seperti biasanya. Dengan riasan sederhana namun tetap menonjolkan bagian bibirnya yang penuh. Sebuah gaun kantor pas badan melekat dengan sempurna di tubuhnya yang indah. Rambutnya panjang bergelombang saat itu di ikat sembarang karena terburu-buru, membuat beberapa anak rambut berjatuhan di sisi wajahnya. Membuatnya bahkan terlihat lebih menggoda dan Krisna tidak tahan untuk tidak mencuri pandang dengan ekor matanya.
“Pagi Ririn, apa aku terlambat?” tanya Alma dengan nafas yang memburu sambil memeriksa jam pada mesin absen sidik jari yang terpasang di samping pintu lorong lantai satu.
“Pagi mbak, masih ada waktu kok mbak, ayo cepat!” Seru Ririn.
07.57
Bip...Thank You.
“Hampir saja,” ucap Alma lega mengetahui bahwa ia tidak terlambat. “Aku langsung ke atas ya Rin, dah...” Alma pun berlalu kedalam lift menuju lantai tiga.
“Wah, mobil siapa itu?” tanya Denny, salah satu supir kantor yang baru kembali dari pantry dengan secangkir kopi di tangannya. Melihat sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman kantor membuat Denny berhenti di meja Ririn untuk berbicang sejenak.
“Mobil mbak Alma,” bisik Ririn. Ia pun sebenarnya juga tidak mengerti mengapa ia harus berbisik. Tapi toh ia melakukannya.
“Wow, memangnya apa jabatan Alma disini? Sepertinya pejabat semacam pak James pun tidak pernah mengendarai mobil mewah semencolok itu.”
James Nasution merupakan Direktur Gas Petrosindo yang sesekali berkunjung ke Batam dari kantor cabang pusat di Medan. Setiap kali datang ia memang selalu di antar oleh mobil mewah. Namun bukan mobil sport seperti milik Alma.
“Aku penasaran, berapa kira-kira gaji Alma sampai ia mampu membeli mobil itu,” ucap Denny sambil menggaruk dagunya yang tidak gatal. “Atau jangan-jangan itu hasil dari...”
Belum sempat Denny menyelesaikan kalimatnya, Krisna yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka sudah tidak tahan untuk menyudahinya dan memotongnya.
“Daripada bergosip yang tidak-tidak, lebih baik kalian kembali bekerja. Suara kalian sangat mengganggu!” gerutu Krisna membuat mereka pun kembali ke tempatnya masing-masing tanpa membantah.
Krisna tidak mengerti, Alma sepertinya sangat menikmati menjadi pusat perhatian. Namun itu juga bukanlah hal yang aneh. Keberadaan Alma sendiri pun sudah merupakan daya tarik bagi orang sekelilingnya tanpa ia harus melakukan apa-apa.
***
“Mobilmu sudah sampai?” tanya Frans pada Alma yang baru kembali dari toilet.
“Sudah tadi malam. Dan sangat merepotkan!” sindir Alma pada Frans yang semalam tidak bisa membantunya, sementara Frans hanya tersenyum acuh.
“Maaf, aku juga punya kehidupan sendiri. Tidak bisa selalu ada untuk membantumu.”
Dan itu memang adalah kenyataan yang harus Alma telan.
“Hei, Ririn mengajak kita bergabung bergabung untuk makan malam bersama tim operasional. Apa kau mau ikut?” lanjut Frans.
“Oh ya? Dalam rangka apa?”
“Ntahlah. Mereka memang sesekali suka makan bersama diluar. Tidak ada acara khusus.”
“Hmm...oke, sepertinya pekerjaan hari ini bisa selesai tepat waktu.”
“Oke, nanti aku akan kabari Ririn.”
“Alma, bisa tolong datang ke ruangan saya?” panggil pak Rommel dari depan pintu ruangannya.
“Baik pak,” segera Alma bangkit dari kursinya menuju ruangan pak Rommel.
“Sebenarnya apa yang kamu lakukan pada pak Wilmar?” tanya pak Rommel tanpa basa-basi segera setelah bokong Alma mendarat di kursi yang empuk.
“Maaf pak, saya tidak mengerti maksud bapak” ujar Alma was-was. Melihat tatapan pak Rommel yang tidak berkedip membuat Alma semakin was-was sampai tiba-tiba pak Rommel menggenggam tangan Alma.
“TIG setuju untuk memperpanjang kontrak dan meningkatkan volume penggunaan gas mereka!” seru pak Rommel girang bukan kepalang sambil mengguncang-guncangkan tangan Alma dalam genggamannya.
“Terima kasih Alma! Kenapa tidak dari dulu kau pindah kemari. Kalau begini kan aku tak perlu lagi pusing-pusing merayu para pengusaha itu!” celetuk pak Rommel.
Paham akan euphoria yang pak Rommel rasakan, Alma tetap mencoba untuk membebaskan tangannya yang terjebak di antara tangan pak Rommel yang gemuk.
Bagaimana tidak girang, sudah berbulan-bulan pak Wilmar mengulur perpanjangan kontrak, bahkan mengancam untuk memutuskan kontrak jika mereka tidak diberikan potongan harga. Pak Rommel sudah dibuatnya pusing tujuh keliling.
Namun sekali Alma datang berkunjung, bukan hanya perpanjangan kontrak yang mereka dapatkan, bahkan penambahan volume penggunaan yang berarti pertambahan nilai kontrak.
“Bagaimana kalau hari ini kita makan malam bersama tim yang lain?” usul pak Rommel yang sudah menenangkan diri dan kembali duduk di kursinya dengan manis.
“Maaf pak, tapi malam ini saya sudah ada janji.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Kapan kau ada waktu kita makan bersama-sama Frans juga.”
“Baik pak, terima kasih atas tawarannya. Saya ikut senang jika memang pak Wilmar akhirnya menyetujui proposal saya” ucap Alma tersenyum.
“Aku penasaran, jadi apa yang kau lakukan pada si Wilmar itu? Kau bagi-bagilah tips nya buat aku.”
Melihat pak Rommel yang merengek membuat Alma mau tidak mau tertawa “Sungguh tidak ada hal yang khusus pak, tidak mungkin junior seperti saya mengalahkan bapak yang sudah senior di bidang ini. Mungkin satt itu waktunya saja yang kurang pas pak” dalih Alma,
“Ya sudahlah kalau kau tak mau bagi-bagi. Lain kali kau saja yang menghadapi semua pengusaha merepotkan itu” keluh pak Rommel.
“Baik pak, saya akan lakukan semua yang terbaik untuk GP.” Lanjut Alma.
“Ya ya, pintarlah kau ngomong. Ya sudah, kau boleh kembali ke tempatmu. Jangan lupa kalau kau sudah ada waktu, kita makan bersama” pesan pak Rommel.
“Baik pak, kalau begi saya permisi.”
“Ya ya, silahkan.”
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Frans penasaran begitu Alma keluar dari ruangan pak Rommel.
“Kontrak TGI sukses.”
“Wow, bukan main. Tidak sia-sia kau datang jauh-jauh dari Jakarta.” Ucap Frans sembari bertepuk tangan kecil. “Jadi, kemana kau akan liburan tahun ini? Bonus yang nanti kau terima sudah pasti dalam jumlah yang tidak sedikit.”
“Hmm, belum terpikirkan. Kenapa, apa kau mau bergabung denganku saat liburan nanti?”
“Tergantung apa yang bisa kau tawarkan padaku.”
“Memang apa yang kau inginkan?”
“Sesuatu yang sudah pasti tidak akan bisa kau berikan.:
“Haha, sangat lucu.” Timpal Alma sinis.
***
Jam kerja sudah berakhir sejak satu jam yang lalu dan Alma masih berada di kantor bersama yang lainnya, bersiap untuk makan malam.
“Apa kita punya cukup mobil untuk mengangkut semua orang” tanya Alma pada Ririn sebagai penyelenggara acara.
“Harusnya cukup. Ada mobil pak Frans, Pak Burhan dan pak Haryo dari lantai dua.”
“Oh ya? Sepertinya masih banyak orang dari lantai dua yang belum aku kenal.”
“Kalau begitu nanti sekalian aku kenalkan. Tapi mereka mungkin akan sedikit terlambat karena katanya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.”
“Oke. Ngomong-ngomong, apa ada yang mau ikut denganku?” tanya Alma pada orang-orang di sekelilingnya yang malah saling bertatapan.
“Tenang, aku tidak akan menggigit. Hanya saja aku belum terlalu hafal dengan jalanan Batam, aku takut tersasar.” Jelas Alma.
Sebenarnya semua pria yang hadir sangat ingin menawarkan diri, namun mereka urung. Pertama, mereka tidak yakin apa mereka mampu mengendarai mobil semewah dan secanggih mobil Alma. Kedua, mereka merasa segan.
“Hmm, bagaimana ya. Semua yang bisa mengemudi membawa kendaraan masing-masing.” Ujar Ririn sambil melihat sekeliling kalau-kalau ada orang yang bisa ditumbalkan.
“Bagaimana dengan Kris, dia kan tidak punya kendaraan.” celetuk Frans.
“Wah, benar juga. Hei Kris, apa kau bisa tolong temani mbak Alma? Dia belum hafal jalanan di Batam, jadi lebih baik kalau ada yang menemaninya” ujar Ririn.
“Kenapa tidak kau saja, bukankah kau bisa menjadi navigator sementara Alma mengemudi?” balas Krisna enggan.
“Ayolah, hanya sebentar saja. Lagi pula kita jadi bisa menghemat ruang jika tidak kau.” Celetuk Frans.
“Kalau memang tidak ada yang mau menemani Alma, ya sudah, biar saya saja yang menemani.” Ujar pak Burhan mengambil kesempatan.
“Lho pak, mobil bapak gimana?” tanya Ririn.
“Ya kalau Krisna tidak mau mengemudi mobil Alma, ya yang kemudikan mobil saya.” Ucap pak Burhan bersamaan dengan persetujuan Krisna.
“Ya sudah, biar aku yang antar, mana kunci mobilmu?” pinta Krisna tanpa basa-basi.
“Lho..lho, kok begitu.” Rengek pak Burhan.
“Sudah lah pak, ayo kita berangkat, keburu tempatnya tutup.” Ucap Nina sembali menggiring pak Burhan keluar.
“Hai Rin, apa kau mau ikut dengan kami?” tawar Alma.
“Lho, kenapa mbak?”
“Sepertinya Krisna takut padaku. Mungkin dia akan lebih santai jika ada orang lain,” goda Alma sambil melirik Krisna yang acuh.
“Ah, mbak Alma bisa saja. Tapi aku sih senang-senang saja do ajak naik mobil bagus.” Celetuk Ririn girang.
“Tidak apa kan kita aja Ririn?” tanya Alma pada Krisna terlihat tidak sabar.
“Terserah kau saja, ini mobilmu.”
“Yay! Terima kasih mbak Alma” ucap Ririn penuh semangat.
Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka
“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”“Apa itu?”“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
Tok tok. Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang. “Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan. Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab. Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya. “Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.” Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.” “Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Buk
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”“Apa itu?”“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari
Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka
Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Brrmm....Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.Benar apa kata Ririn, tida
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Tok tok. Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang. “Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan. Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab. Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya. “Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.” Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.” “Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Buk