“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”
“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”
“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”
“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.
“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”
“Apa itu?”
“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari manisnya.” Cerita Ririn dengan semangat.
“Mungkin itu hanya aksesoris” Alma coba mematahkan dugaan Ririn.
“Tidak mungkin mbak. Cincin itu memiliki permata. Apakah tidak aneh untuk seorang bujang mengenakan cincin seperti itu? Di jari manis pula.”
Hmm, benar juga kata Ririn.
“Ngomong-ngomong, apa kalian tau siapa wanita yang dicurigai sebagai tunangan Krisna?”
“Dinda. Adik ipak Pak Satria.” Jawab Ririn tanpa ragu.
Jawaban Ririn sungguh diluar dugaan Alma. Apa karna itu Krisna tinggal dengan pak Satria? Atau karna dia tinggal dengan pak Satria, maka dia tunangan dengan Dinda? Sungguh menarik.
Sebenarnya masih banyak yang ingin Alma ketahui, namun ini masih jam kerja kantor dan mereka tidak bisa belama-lama menghabiskan waktu di area merokok ini.
Saat Alma sibuk dengan benaknya, diam-diam Ririn memperhatikannya Alma dengan tatapan penuh curiga.
“Kenapa kau memandangku sepeti itu?” tanya Alma heran.
“Ada apa dengan mbak Alma dengan Krisna?” giliran Ririn bertanya sambil menyeringai.
“Ada apa bagaimana maksudmu?” Alma bertanya balik, pura-pura tidak paham.
“Hmm, jangan-jangan mbak naksir Krisna ya?”
“Memangnya boleh?” tanya Alma setengah bercanda.
“Memangnya ada yang melarang” balas Ririn.
“Dinda?”
“Ah, itu kan masih hanya dugaan. Selama Krina memilih bungkam, kita anggap saja berita itu tidak benar.”
“Apa kau mencoba membenarkan konsipirasi ini?” diam-diam Alma mencoba untuk mengalihkan topik.
“Aduh mbak, aku bahkan tidak paham apa itu konspiras. Kalau aku paham, mungkin saat ini aku sudah menjadi rekan kerja mbak menggantikan Frans.” Keluh Ririn.
“Hahaha, apa hubungannya dengan Frans. Memangnya saat ini kita bukan rekan kerja?”
“Ah... mbak tahu kan kalau bukan itu maksudku.” Sungut Ririn.
“Hei, ngomong-ngomong kenapa kamu terus memanggilku mbak sementara kamu memanggil Krisna, Frans dan yang lainnya dengan nama mereka? Apakah aku terlihat lebih tua dari mereka?” keluh Alma pura-pura tersinggung.
Namun ia memang benar mulai merasa risih terus di panggil mbak oleh Ririn. Bukan karena kata itu terdengan kampungan atau membuatnya terdengar lebih tua. Alma hanya tidak nyaman dengan jarak yang diciptakan oleh panggilan tersebut.
“Pokoknya mulai hari ini, kamu harus panggil aku Alma tanpa ada embel-embel mbak!” perintah Alma.
“Heheh, iya deh mbak.”
“Tuh kan!”
“Eh, maaf. Ok Alma.”
“Nah, begitu baru benar.” Ucap Alma puas setelah berhasil mengubah topik pembicaraan mereka saat itu.
***
“Halo Alma,” sapa pak Umar saat melihat Alma sedang menunggu lift saat ia keluar dari ruangannya.
“Oh, halo pak.” Alma balas menyapa sambil membungkukkan badannya.
“Habis darimana? Habis bergosip ya dengan Ririn?” celetuk pak Umar.
“Ssst, jangan keras-keras pak, nanti kami ketahuan.” Gumam Alma
“Hahaha, memangnya kamu tidak tahu? Semua dinding kantor ini mempunyai mata dan telinga. Tidak akan ada satu hal pun yang bisa menjadi rahasia disini. Hahaha...” balas pak Umar, dan Alma pun ikut tertawa.
“Apa bapak juga sedang menunggu lift?”
“Ah, iya. Saya mau bertemu dengan pak Rommel. Mau izin untuk meminjammu dan Frans besok.”
“Oh ya? Memang ada acara apa pak?” tanya Alma tertarik.
“Besok akan ada kunjungan dari kepala distrik GP Sumatera, saya harap kamu dan Frans bisa menyambut dan mendampingi mereka. Apakah kau bisa?”
“Tentu saja.” Seru Alma semangat.
“Bagus, kalau begitu tinggal persetujuan pak Rommel dan Frans.”
“Pak Umar cukup bicara dengan pak Rommel saya, nanti biarkan saya yang bicara kepada Frans. Saya akan menjamin ia pasti bersedia.” Ucap Alma yakin.
Untuk sesaat pak Umar tampak mempertimbangkan usul Alma yang memperhatikan wajahnya yang serius. “Yah, kalau kamu yakin, baiklah. Terima kasih Alma” ucap pak Umar sembari tersenyum.
“Sama-sama pak.” Balas Alma pada saat yang sama saat pintu lift terbuka.
“Ladies first.” pak Umar merentangkan sebelah tagannya untuk mempersilahkan Alma melangkah lebih dulu ke dalam lift.
“Thank you.” Balas Alma sembali menganggukkan kepalanya.
Sesampainya di lantai tiga, pak Umar langsung menuju ruangan pak Rommel sementara Alma tampak mencari-cari sosok Frans yang dapat ia temukan di tempatnya.
Alma menduga mungkin Frans sedang menyeduh segelas kopi seperti yang biasa ia lakukan pada jam segini. Ia pun memutuskan untuk memeriksa keberadaan Frans di pantry.
“Sudah ku duga.” Alma menemukan Frans terduduk pada salah satu kursi pantry yang terlihat masih baru. Menyesap perlahan kopi yang mengepul dari sebuah cangkir putih di tangannya.
“Kau mencariku?”
Alma melangkah mendekat dan menarik sebuah kursi kosong di sebelah Frans. “Apa besok kau sibuk?” tanyanya tanpa basa-basi.
Frans terlihat berpikir sejenak, mengingat-ingat pekerjaan apa saja yang harus ia lakukan besok sebelum akhirnya menjawab, “hmm, tidak juga.”
“Bagus, kalau begitu besok kau ikut denganku untuk mendampingi kunjungan kepala distrik GP Sumatera.”
“Apa? Tidak. Aku tidak mau repot-repot mengurus hal-hal seperti itu.” Gerutu Frans tampak tidak senang dengan keputusan sepihak yang Alma ambil.
Dengan santai Alma merebut cangkir kopi dalam genggaman Frans dan menyesapnya tanpa persetujuan pemiliknya. “Ini permintaan pak Umar, aku hanya membantunya untuk berbicara padamu.” Kilah Alma.
Frans terlihat tidak berminat untuk menimpali perkataan Alma apa lagi menyetujui permintaannya.
Alma tidak kehilangan akal, ia pun segera menambahkan, “baiklah jika kau tidak mau. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku bisa mengusulkan untuk mengajak Krisna pada pak Umar untuk menggantikanmu.”
Frans masih bungkam dan Alma masih belum menyerah.
“Yah, kamu pasti tahu bagaimana semua kunjungan ini biasanya berakhir.” Ucap Alma lagi penuh makna.
Sudah merupakan rahasia umum jika tujuan utama dari kunjungan-kunjungan semacam itu selain untuk melakukan peninjauan juga untuk menghabiskan anggaran. Dan tentu saja sebuah kunjungan kerja tidak akan memakan cukup biaya untuk menghabiskan milyaran dana yang sudah di anggarkan sebelumnya.
Maka para pemangku jabatan pun berinisiatif untuk selalu mengakhiri kunjungan-kunjungan tersebut dengan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk menghibur para peserta kunjungan sebagai bentuk apresiasi. Mulai dari makan bersama di restoran mewah bahkan sampai menyewa sebuah ruangan VIP karaoke maupun klab malam.
Tanpa ada kehadiran Krisna pun bagi Frans sudah cukup memuakkan untuk membayangkan kemungkinan Alma menghabiskan hari melayani para pria tua bangka itu.
Mata mereka sudah pasti akan melahap habis tubuh Alma yang molek. Belum lagi rangkulan-rangkulan yang mugkin akan mereka lancarkan pada Alma.
Menyadari pikirannya yang mulai melantur, Frans menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengenyahkan aksi berlebihan dalam kepalanya.
Alma yang melihat Frans mulai terganggu dengan entah apa yang ada dalam pikirannya terseyum menang.
“Baiklah. Tapi hanya untuk kunjungan. Tidak lebih.”
“Bagus! Tentu saja.” Seru Alma semangat.
Tentu saja aku tidak bisa janji, karena kunjungan ini bukan aku yang menentukan. Tambah Alma dalam hati sambil berdiri dari kursinya, bersiap untuk beranjak kembali ke mejanya.
“Pastikan kau memakai pakain yang pantas.” Celetuk Frans tiba-tiba sambil memandang Alma dengan tatapan terganggung, membuat Alma terhenti dan membalikkan tubuhnya yang sebelumnya sudah membelakangi Frans dengan sebelah alisnya terangkat.
“Memang kapan aku berpakaian tidak pantas?”
“Jika kerah baju yang kau kenakan di balik blazermu itu lebih rendah sedikit saja, aku rasa kau tidak perlu repot-repot untuk memakai baju sama sekali.” Ujar Frans sinis.
“Hahaha...” Cibiran Frans justru membuat Alma tertawa geli alih-alih merasa tersinggung.
Perlahan Alma meraih senderan kursi sementara tangannya yang lain bertumpu pada pinggiran meja pantri, lalu dengan sengaja ia membungkukan tubuhnya tepat di depan Frans, membuat wajahnya sejajar dengan wajah Frans. cukup rendah untuk memperlihatkan belahan payudara Alma yang penuh seakan mengejek Frans. Membuat Frans mau tidak mau melirik dan terpaku pada pemandangan di bawah leher jenjang Alma.
“Maksudmu ini? Tidakkah kau sudah cukup familiar dengan mereka? Berhentilah bersikap seperti orang alim.” Bisik Alma.
Tok tok.
Sebuah ketukan pintu membuat perhatian Alma dan Frans teralihkan. Dengan tanpa rasa bersalah, Alma menegakkan tubuhnya dan berbalik untuk melihat siapa yang sudah menginterupsi kegiatannya sementara Frans masih duduk terpaku dengan wajah yang tegang serta rahang yang mengeras. Belum lagi gundukan di atas pangkal pahanya yang berdenyut nyeri, membuatnya semakin merasa tidak nyaman.
“Maaf, apakah aku mengganggu” tanya Krisna yang sedang berdiri di ambang pintu seakan membalas perkataan Frans tempo hari.
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
Tok tok. Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang. “Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan. Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab. Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya. “Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.” Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.” “Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Buk
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
Brrmm....Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.Benar apa kata Ririn, tida
Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”“Apa itu?”“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari
Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka
Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Brrmm....Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.Benar apa kata Ririn, tida
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Tok tok. Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang. “Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan. Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab. Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya. “Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.” Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.” “Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Buk