Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.
Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.
Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.
Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.
Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Lalu ia pura-pura menjatuhkan korek yang sedari tadi ia mainkan. Untuk dapat mengkau korek yang jatuh di bawah kursinya, Alma pun harus membuka kakinya lebar-lebar, membuat rok nya semakin tertarik ke batas pahanya. Lalu ia merunduk dan berpura-pura meraba ke bawah kursi seakan ia belum menemukan korek yang sudah ada dalam genggamannya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Krisna tiba-tiba sambil memandangi entah punggung Alma atau paha mulus Alma yang sedikit terbuka
Sepertinya rencana Alma berhasil.
Sangat tidak mungkin bagi pria mana pun untuk bisa mengabaikan paha mulus itu, tidak terkecuali dengan Krisna.
Untuk dapat menyentuhnya, Krisna cukup meregangkan elapak tangannya yang berada di atas perseneling. Namun sebaliknya, Krisna justru menggenggam perseneling itu lebih erat.
Ini sungguh merupakan sebuah siksaan bagi naluri pria Krisna. Semua hal mengenai Alma sungguh memabukkan. Sepertinya ia sengaja melakukan semua itu pada Krisna. Entah kesalahan apa yang ia perbuat sehingga ia pantas menerima siksaan ini. Sementara celana di pangkal pahanya terasa semakin ketat dan sempit.
“Apa kau tidak lihat? Aku sedang mencoba mengambil korekku yang terjatuh.” Jawab Alma santai setelah kembali ke posisi duduknya. Merasa puas melihat Krisna yang mulai terlihat gelisah.
“Wah, mbak merokok juga?” tanya Ririn melihat korek dalam genggaman Alma.
“Hanya sesekali.”
“Wah, mbak keren sekali!” seru Ririn takjub.
“Haha, apanya yang keren? Ini hanyalah rokok. Aku yakin banyak wanita selain aku yang merokok diluar sana” Alma tertawa mendengar pujian Ririn.
“Memang sih, tapi tidak ada satu perempuan pun di kantor yang merokok. Kecuali mbak Alma tentunya sekarang.”
“Kalau begitu, apa kamu mau coba untuk bergabung denganku?” goda Alma pada Ririn.
“Haha, tidak mbak, terima kasih. Aku bisa-bisa dibunuh ibuku jika ia tahu aku merokok.” Ujar Ririn dengan wajah ngeri membayangkan apa yang ibunya mampu lakukan padanya.
Tidak terasa, mobilpun mulai menepi ke sebuah tempat makan yang terlihat sederhana namun nyaman. Di bangun di tanah yang cukup luas, bebrapa gazebo berdiri dengan konsep lesehan. Setiap gazebo di isi oleh sartu atau dua meja pendek serta bantalan-bantalan duduk dengan lampu pijar berwarna jingga terpasang di sekelilingnya. Menciptakan suasana romantis bagi pasangan yang berkunjung.
“Ayo turun,” ajak Krisna wajah datar, telihat masih tergangu dengan perbuatan Alma sebelumnya.
Konsep lesehan tempat makan ini pun seakan memperburuk keadaan. Entah bagaimana, lagi-lagi Krisna terjebak untuk duduk di samping Alma. Dengan caranya duduk, sudah pasti Krisna dapat melihat dengan jelas paha Alma setiap kali ia bergerak. Lututnya yang terbuka bahkan berkali-kali menyentuh lutut Krisna. Membuat Krisna sesekali tersentak seakan ada aliran listrik dalam tubuh Alma.
Acara makan malam berlangsung dengan sangat menyenangkan setelah tidak lama rombongan pak Haryo menyusul dan bergabung dengan mereka.
Alma tidak yakin jika ia bisa mengafal semua nama yang hadir saat itu. Namun sangat mudah untuk mengingat para wanitanya, karena hanya ada tiga wanita yang hadir. Alma, Ririn, Nina dan Vera, satu-satunya pekerja wanita di lantai dua.
Dari percakapan dan ledekan antar mereka, Alma mendengarkan beberapa cerita mengenai orang-orang di kantor. Termasuk cerita mengenai Krisna.
“Krisna ini, kalau tidak di paksa, mana mungkin dia ikut datang hari ini. Kuliahnya pasti selalu saja di jadikan alasan.” Cibir Ririn
“Bukannya beralasan, malam ini aku memang ada jadwal kuliah.” Krisna membela diri. “Tapi toh sekarang aku di sini.”
“Sejak kapan kamu memperhatikan kuliahmu?” Frans menambahkan.
“Sejak aku lelah karena kuliah ku tidak kunjung selesai.” Gerutu Krisna.
“Makannya kau jangan lembur terus di kantor. Kau lembur pun bukannya bekerja, tapi nonton itu kan...” ledek pak Burhan penuh arti, membuat Krisna salah tingkah.
“Wah, benar tuh pak, saya juga pernah menangkap basah mereka sedang melihat foto-foto wanita seksi!” timpal Ririn membuat Krisna makin salah tingkah dan entah mengapa malah melirik Alma, seakan takut ia salah paham.
“Hei, kau jangan sembarang bicara ya. Kapan aku pernah melakukan itu!” sungut Krisna.
“Tuh, benar kan pak. Wajah Krisna memerah,” ucap Ririn masih meledek, memancing tawa semua orang.
“Ah, sudahlah. Aku mau pergi merokok dulu.” Akhirnya Krisna beranjak dan berjalan kebelakang menjauhi gazebo.
Krisna sedang asik menikmati rokoknya, menghisapnya dalam-dalam. Kepulan asap putih berhembus melalui mulut dan hidungnya. Sementara satu tangannya ia masukkan kedalam saku celana.
Rasanya lega sekali punya waktu sendiri, jauh dari Alma dan yang lainnya. Krisna merasa sedikit lelah akibat reaksi-reaksi aneh pada tubuhnya yang tidak dapat ia jelaskan. Mungkin juga kelelahan akibat pekerjaan.
Krisna sedang sibuk memandangi kerikil yang ia tendang-tendang di bawah kakinya saat sebuah tangan halus meraih tengkuknya dan memijatnya lembut. Membuatnya berjengit, tersentak kaget.
“Sedang apa kau?!” seru Krisna menepis tangan Alma dan menjauh dari jangkauannya.
“Hei, tenang saja, aku tidak akan mencelakaimu kok.” rupanya Alma meyusul untuk ikut merokok.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku.” Sungut Krisna
“Aku hanya kasihan, sepertinya kau kelelahan. Maka aku dengan baik hati coba menolong dengan memijatmu. Apakah sesulit itu mengendarai mobilku?” tanya Alma basa-basi sambil menyulut rokoknya dengan santai dan berdiri disamping Krisna.
“Jangan membuat alasan yang tidak-tidak.” Balas Krisna ketus.
“Kenapa kau galak sekali sih? Aku tidak akan melakukan hal-hal yang tidak ingin kau lakukan kok.” gerutu Alma.
“Aku tidak paham maksudmu.”
“Tidakkah kau ingin menyentuhku?” tanya Alma dengan penuh percaya diri.
“Apa? Kau sudah gila. Tidak semua laki-laki seperti yang kau pikirkan.” Krisna balik menggerutu.
“Oh ya? Lalu jelaskan apa yang membuatmu seperti setiap kali berhadapan denganku?” tanyanya sambil merentangkan tangannya ke arah Krisna.
“Jangan mengada-ngada.” Kilah Krisna
Alma memalingkan wajahnya ke wajah Krisna dan berkata. “Aku tidak mengada-ngada, semua itu terlihat jelas di wajahmu, tubuhmu, bahkan nafasmu yang semakin berat. Seperti saat ini” bisik Alma dengan jarak yang cukup dekat dengan telinga Krisna.
Krisna berusaha sekuat tenaga untuk tidak bereaksi pada tindakan Alma. Namun celana di pangkal pahanya kembali terasa sesak dan sempit.
Sambil tersenyum mengejek, Alma kembali menghadap kedepan. “Kenapa, apa kau takut? Takut tertangkap basah atau takut tidak bisa berhenti?”
Krisna cukup terpancing dengan pertanyaan Alma. Membuat ia yang sedari tadi berusaha mengacuhkan Alma kini justru menatap wajahnya dengan ekspersi tidak percaya yang membuat Alma justru semakin ingin menggodanya.
“Mau taruhan?” tantangnya.
Seketika itu juga Krisna merengkuh tengkuk Alma dan menarik wajahnya mendekat. Sementara tangannya yang lain meraih pinggang Alma lalu menarik tubunya mendekat.
Dengan kasar ia mencium Alma. Mengulum dan menghisap bibirnya keras-keras. Melampiaskan semua rasa frustasi yang ia rasakan selama ini. Dan dari balik kemejanya, Krisna dapat merasakan dada Alma yang terasa lembut menekan dadanya. Membuatnya semakin hilang akal.
Krisna bahkan tidak membiarkan Alma untuk mengambil nafas, seakan ingin membalas semua siksaan yang sudah Alma lakukan padanya.
Secara tidak terduga, Alma mulai mengambil alih ciuman mereka. Lidahnya mendesak memasuki mulut Krisna. Menjelajahi dinding mulutnya tanpa ampun dan mengisap lidahnya. Menghisapnya dengan keras dan lembut secara bergantian. Membuat Krisna kewalahan.
“Ehem...”
Deheman seorang pria dibelakang mereka memaksa Krisna untuk melepaskan bibir dan tubuh Alma secara tiba-tiba. Membuat tubuh Alma limbung sesaat. Untung saja Krisna masih sempat menangkap lengan Alma sehingga ia tidak terjatuh.
“Maaf mengganggu, apakah kalian sudah selesai?” tanya Frans dengan nada mencemooh.
“Kau suka sekali mengganggu kesenangan orang lain,” gerutu Alma setelah menemukan kembali keseimbangannya dan melepaskan pegangan Krisna.
Sementara Krisna memilih bungkam. Ia tidak menemukan sepatah kata pun yang dapat menyelamatkannya dari situasi ini. Maka setidaknya ia meyakinkan bahwa tidak akan ada kata-kata bodoh yang keluar dari mulutnya yang nantinya ia sesali
“Maaf nyonya, tapi kami semua sudah selesai dan akan pulang sekarang. Tapi kalau anda masih membutuhkan waktu lebih banyak, silahkan. Saya akan sampaikan kepada yang lain kalau kalian masih punya urusan yang belum selesai” ujar Frans sarkas.
“Ini tidak seperti yang kau pikirkan Frans. Kami akan ikut pulang sekarang,” seru Krisna.
“Tenang saja Kris, aku sama sekali tidak berminat untuk memikirkan apa pun yang bukan urusanku.” Balas Frans acuh lalu meninggalkan mereka.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Alma meskipun ia tidak yakin itu adalah pertanyaan yang tepat.
“Ayo pulang.” Ajak Krisna tanpa menjawab pertanyaan Alma dan pergi lebih dulu menuju mobil. Berusaha menenangkan diri dan mengembalikan nafas serta kewarasannya yang sempat hilang.
Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka
“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”“Apa itu?”“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
Tok tok. Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang. “Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan. Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab. Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya. “Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.” Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.” “Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Buk
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
Brrmm....Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.Benar apa kata Ririn, tida
Entah mengapa Krisna merasa janggal melihat kedekatan Alma dan Frans. Ia paham jika dulu mereka merupakan rekan kerja satu tim, tapi kedekatan mereka saat ini terlihat seakan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dan itu mengusik benak Krisna.Ini bukan kali pertama ia menemukan Alma dan Frans dalam suasana semacam ini. Sebelumnya pemandangan ini juga sudah pernah ia saksikan saat itu di area merokok. Dan kali ini di pantri. Membuatnya benaknya semakin dihantui rasa penasaran dan semakin bertanya-tanya jenis hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka miliki.Frans cukup yakin bahwa ini semua bukan hanya prasangkanya karena ia dapat merasakan sendiri ketegangan dan intensitas antara mereka yang membuat itu semua bahkan semakin aneh.“Hai Kris, apa kau sedang mencari seseorang?” pertanyaan Alma menyadarkan Krisna yang pikirannya sempat mengembara. Secara refleks Krisna memandang Alma dan mengutuk senyum Alma yang terlihat manis dibua
“Mmm...sebenarnya aku juga tidak tahu pasti mbak” gumam Ririn. “Hanya saja...” sejenak segurat keraguan terlukis pada raut wajah Ririn terlihat ragu sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Dua tahun yang lalu memang sempat terdengar desas-desus mengenai pertunangan Krisna. Namun sampai sekarang kebenaran berita itu tidak pernah terbukti.”“Oh ya? Lalu bagaimana tanggapan Krisna?”“Itulah yang membuat kami semakin penasaran dan yakin bahwa kabar itu benar. Karna Krisna sama sekali tidak pernah mengiyakan namun ia juga tidak pernah menyangkal.”“Hanya itu?” tanya Alma mencoba untuk menggali lebih jauh lagi.“Masih ada satu hal lagi yang mencurigakan.”“Apa itu?”“Coba lain kali mbak perhatikan jari manis Krisna. Waktu itu Krisa mengambil cuti, katanya ingin pulang ke kampung. Seminggu kemudian, dia kembali dengan sebuah cincin melingkar di jari
Malam itu Ririn sudah pasti menjadi orang pertama yang akan diantarkan pulang. Sementara Krisna terlihat membisu sepanjang perjalanan sampai Ririn masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Krisna dan Alma di depan rumahnya yang berdebat mengenai siapa yang berikutnya pulang.“Ayo masuk, biar aku antar kau pulang” ucap Alma sambil berjalan ke arah pintu pengemudi.“Tidak perlu, aku bisa pesan taksi.”“Oh, ayolah. Berhenti bertingkah seperti anak kecil yang merajuk. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam.” Ucap Alma bersungguh-sungguh.“Aku bisa pesan taksi,” lagi-lagi Krisna menolak dengan omongan yang sama bagaikan robot.“Ya tuhan, kau keras kepala sekali seperti kakek-kakek!” gerutu Alma. “Pilihannya hanya satu. Kau masuk kedalam mobil lalu aku antar pulang, atau kau mau aku mencumbumu sekarang, saat ini, di tempat ini.” Ancam Alma. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka
Ririn menempati bangku belakang sementara Krisna di depan kemudi dengan Alma duduk di sampingnya. Rupanya Krisna cukup terampil dalam mengemudikan mobil mewah dan ia terlihat seksi di mata Alma.Entah mengapa, Alma sangat suka melihat pria yang sedang mengemudi. Wajah mereka yang fokus dengan tangan-tangan yang terampil mengemudi selalu membuat Alma tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka.Alma tau hal itu berbahaya, namun ia menyukai ketegangan saat hal itu terjadi. Dan kali ini Krisna pun tidak lolos.Ririn sedari tadi sibuk mengoceh dari bangku belakang. Ntah apa yang ia bicarakan, Alma tidak begitu memperhatikannya. Satuhal yang pasti, Alma tau pasti bahwa Ririn akan terlalu sibuk untuk menyadari hal yang akan ia lakukan berikutnya.Sambil sesekali meilirk ke arah Krisna, Alma dengan sengaja melipat kakinya, membuat gaun diatas lututnya sedikit tertarik semakin keatas, mendekati pahanya. Namun Krisna tidak bergeming.
Brrmm....Sebuah mobil yang terlihat mewah berwarna biru gelap berjalan memasuki halaman kantor, menarik perhatian semua orang yang melihatnya dan mendengar deru mesinnya.Dari meja resepsionis, Ririn dapat dengan jelas melihat siapa-siapa saja yang keluar masuk gedung. Seluruh pintu dan dinding gedung yang terbuat dari kaca, sangat memudahkannya untuk mengamati para pengunjung. Ia bahkan juga bisa mengamati halaman kantor yang berfungsi juga sebagai lahan parkir. Seperi saat ini ia mengamati mobil mewah tersebut dan pemiliknya.“Hei, mobil siapa itu? Sepertinya di sini tidak ada yang punya mobil seperti itu.” Ririn bertanya pada Krisna sebagai orang yang paling dekat dengan mejanya.Krisna yang juga mendengar deru mesin mobil itu pun mencoba berdiri, mengintip dari balik kubikelnya dan terpesona akan apa yang ia lihat. Sebuah Maserati Quattroporte Blue Passion terparkir indah di halaman depan gedung.Benar apa kata Ririn, tida
Jam di pergelangan tangan Alma sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih delapan belas menit. Pertemuannya dengan pak Wilmar sudah berakhir dua puluh lima menit yang lalu dan berjalan lancar. Dan kini ia terduduk di lobby menunggu Frans menjempua sesuai janjinya.Drrt....Drrt....Posel di dalam tas tangan Alma bergetar, sebuah panggilan masuk dari Frans.“Halo Frans,” sapa Alma.“Hai Alma, aku sudah di depan gedung. Apa kau bisa berjalan keluar?” tanya Frans dari seberang telepon.“Oh, oke. Aku segera kesana.” Alma memutuskan sambungan teleponnya dan langsung berjalan keluar dari area gedung.“Kita mau kemana lagi?” tanya Alma begitu memasuki mobil dan mengenakan sabuk pengamannya.“Ke Stasiun Panaran, tempat transmisi gas. Nanti kau mugkin juga perlu datang kesana sesekali.”“Hmm, oke.”Sepanjang perjalanan, Alma sibuk memperhatikan keadaan k
“Hei, apa kalian sudah bertemu dengan AE baru kita?” tanya Ririn pada staff operasional yang baru kembali dari lapangan.“Kalau aku sih sudah mbak,” jawab Nina, satu-satunya staff wanita di bagian operasional dengan logat jawanya yang kental.Area resepsionis yang berfungsi sebagai area kerja memang berjarak sangat dekat dengan area operasional. Antara area operasional dan meja resepsionis hanya di batasi oleh dinding semi permanent yang di jadikan latar belakang area resepsionis.Untuk sampai ke area operasional, Ririn cukup berbalik badan dan mengambil dua langkah keluar dari areanya, maka dia sudah berada di area operasional.Sudah menjadi sifat dasar seorang wanita memang untuk berceloteh dan bercerita, tidak terkecuali dengan Ririn. Sebagai pusat informasi dan gerbang GP, sering kali ia mendapatkan informasi-informasi yang orang lain tidak dapatkan.Banyak sudah orang yang mampir di mejanya dan meluangkan waktu untuk se
Tok tok. Seorang pria bertubuh tinggi atletis mengetuk pelan pintu ruangan pak Rommel yang setengah terbuka. Rambutnya yang hitam tebal dipotong rapi, tersisir ke belakang. “Hei Frans, ayo masuk. Silahkan duduk” seru Pak Rommel dari dalam ruangan. Di depan pak Rommel duduk seorang wanita dengan setelan blazer dan celana berwarna biru gelap yang senada. Rambut hitamnya yang bergelombang di biarkan tergerai di punggungnya, terlihat agak lembab. Frans melangkah masuk segera setelah ia di persilahkan dan melemparkan senyum sekilas ketika matanya bertemu pandang dengan wanita itu lalu menempati kursi di sebelahnya. “Apa kau sudah kenal dengan Alma? Dia Account Executive kita yang baru” tanya Pak Rommel dengan telapak tangannya yang terbuka ke arah Alma. “ Aku dengar, kalian sempat bekerja sama dulu di Jakarta.” Alma dan Frans saling bertukar pandang sebelum Frans menjawab. “Benar pak, kebetulan dulu kami sama-sama bekerja di kantor pusat.” “Iya pak, dulu saya dan Frans satu tim. Buk