"Ganti bajumu!"
Seorang wanita paruh baya menyelipkan rokok di sela-sela jari serta sesekali ia menyesapnya, lalu meniup hingga kepulan asap putih mengepul di depan wajahnya.Gadis yang baru menginjak usia dua puluh tahun yang ada di hadapannya memunguti kain yang tercecer di lantai. Sepasang matanya membulat kala membeberkan baju yang mungkin lebih pantas disebut dengan baju renang karena begitu ketat.Ada perang batin dalam hati wanita yang bernama Nayla Larasati. Ia memang tidak mengenakan hijab, tetapi untuk memaki pakaian yang minim dan seksi sama sekali tidak terbiasa."Cepat ganti bajumu! Tidak mungkin kamu bekerja di sini dengan pakaian seperti itu!" ucap perempuan yang lebih sering disebut Madam.Nayla masih gamang untuk menerima pekerjaan sebagai pemandu karaoke. Tidak menjual diri, tetapi paling tidak ia akan lebih sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari kliennya nanti. Namun, perasaan itu segera ia tepis saat mengingat pendidikannya yang hanya sekolah menengah atas pun, tidak selesai. Ia putus sekolah.Meski berat hati akhirnya Nayla pergi ke kamar ganti untuk mengganti baju kemeja lengan panjang dan celana jeans panjangnya dengan mini dress yang pendek dan ketat hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya, apalagi payudaranya yang besar karena ia sedang menyusui putri kecilnya yang baru berusia sekitar empat puluh hari. Ia terpaksa menitipkan bayinya ketika bekerja pada tetangga kost-nya."Wow, cantik!" ucap Madam Sahara––pemilik karaoke di barnya saat Nayla keluar dengan malu-malu dari kamar ganti.Madam Sahara bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati, bahkan mengelilingi tubuh sintal Nayla yang baru saja melahirkan. Bukan hanya itu, Nayla juga dikaruniai wajah cantik serta kulit putih dan bersih sehingga meski tidak berdandan secara berlebihan, ia sudah terlihat menarik."Saya harus apa, Madam?" Suara merdu itu terdengar begitu indah di telinga Madam Sahara.Kedua sudut bibir merahnya melebar, lalu ia menerangkan apa saja yang harus dilakukan oleh Nayla sebagai pemandu karaoke."Kamu mengerti?" tanya Madam Sahara setelah ia selesai menerangkan sedikit pekerjaan itu pada Nayla.Nayla mengangguk."Nanti kamu akan ditemani oleh Olivia," ucap Madam Sahara yang disertai anggukkan lagi oleh Nayla. "oh, iya, namamu siapa Cah Ayu?""Nama saya Nayla Larasati, panggil saya Laras, Madam.""No, no, no! Di sini panggilanmu Nay––Nayla, bukan Laras. Kampungan sekali nama itu," ketusnya yang kemudian kembali duduk setelah memanggil Olivia melalui telepon. Ia merupakan wanita yang sudah bekerja padanya lebih dari lima tahun pada Madam Sahara. Otomatis ia begitu paham harus mengajarkan apa pada Nayla yang ia anggap sebagai juniornya di bar tersebut.*Nayla kini sudah berada dalam ruangan yang tidak terlalu besar dengan layar LED yang besar serta sound system' yang menggelegar saat musik karaoke mulai mengalun. Ia masih memperhatikan orang-orang yang bernyanyi bahkan meminta untuk ditemani berjoget, tak ayal mulai ada kontak pisik meski hanya melalui tangan. Tentu saja Nayla risih diperlakukan seperti itu."Jangan kau tepis lengan mereka, itu sumber uang tambahan buat kau di luar gaji pokok dari Madam Sahara," bisik Olivia."Tapi aku risih, Mbak," bantah Nayla yang berbisik pada Olivia."Kau lihatlah pendapatanku dalam satu malam ini, kau akan tau setelah uang yang dibayarkan nanti," ucap Olivia yang kemudian kembali bergabung dan bersenang-senang bersama kliennya yang mungkin saja mata keranjang.Untung saja klien di bar Madam Sahara itu mengerti ketika ada karyawati baru. Mereka tidak mengganggu hanya sekedar melirik nakal pada sosok wanita bertubuh sintal yang masih berdiri di salah satu sudut dan hanya memperhatikan mereka saja.Nayla melihat tangan-tangan klien itu sesekali memegang dagu dan merangkul pinggang Olivia, tetapi wanita itu terlihat biasa-biasa saja bahkan terlihat menikmatinya sampai waktu kerjanya selesai saat jam menunjukkan di angka dua pagi."Sampai ketemu besok, Om! Bye, bye!" ucap Olivia saat tamu-tamunya bergegas pergi meninggalkan Olivia dan Nayla saja.Olivia mengajak Nayla ke ruangan Madam Sahara untuk menerima upah mereka. Ya, Madam Sahara memang membayar gaji mereka perhari di malam itu juga ia membayar cash keringat karyawan/karyawatinya.Amplop tipis telah berada di tangan Olivia dan juga Nayla, setelah itu Madam Sahara pamit untuk beristirahat."Bukalah," ucap Olivia saat bibir Nayla merekah menerima gaji pertamanya meski ia tidak bekerja. Nayla beruntung karena Olivia merupakan teman yang cukup baik di sana.Jemari lentik Nayla mulai membuka dan di dalamnya hanya ada pecahan lembar uang berwarna biru dua lembar saja. Untuk hidup di kota besar pastinya tidak akan cukup. Apalagi ia yang harus membiayai bayi mungilnya yang harus membeli susu dan juga membayar pengasuhnya."Lihatlah punyaku," ucap Olivia sambil membuka amplop yang ada di tangannya."Sama saja, seratus ribu," gumam Nayla yang disertai tawa dari Olivia."Hahaha ... ia memang sama, bedanya dari sini." Olivia mengeluarkan lebar-lebar uang yang ia keluarkan di tengah-tengah bra.Sepasang mata Nayla membulat ketika melihat lembar uang Olivia yang melebihi dari gaji pokoknya di bar."Hijau, kan, mata kau?" ucap Olivia sambil mendekatkan wajahnya pada Nayla. "Ini yang aku maksud, temani saja mereka, buat mereka senang dan kau akan menerima uang lebih dengan gampang dari mereka," bisik Olivia lagi.***Sepenggal kisah kelam itu Nayla ingat ketika awal bekerja sebagai pemandu karaoke. Dari sanalah ia memulai hidup baru berstatus singel parent bersama satu orang anak. Bibir merahnya merekah ketika ia mengingat perjalanan hidupnya yang kini sudah menapaki angka lima tahun seperti usia putrinya yang ia beri nama Allea."Mommy!" Allea memanggil Nayla saat tubuh kecilnya berlari dan melewati pintu gerbang sekolah.Ya, Allea sudah masuk sekolah taman kanak-kanak sekitar satu bulan lalu. Awalnya ia sekolah baik-baik saja, tetapi tidak untuk saat ini yang sering sekali beralasan. Mulai dari malas, sakit dan hal-hal lain yang berakhir dengan tidak masuk sekolah."Muachh!" Nayla mencium pucuk kepala Allea saat gadis kecilnya memeluk. "Gimana sekolahmu, Nak?"Bibir Allea mengerucut."Looohhh ... kenapa? Ada yang enggak kamu sukai?" tanya Nayla dengan lembut yang disertai anggukkan dari putrinya. "Ceritalah. Eh, tapi jangan di sini. Kita cerita di rumah es krim aja, ya?" Nayla menggendong putrinya.Nayla memang begitu menyayangi Allea. Ia begitu memanjakan dan cukup protektif akan putri kecilnya dan tidak ada satu orang pun yang boleh menyakiti hati putrinya.Hingga sesampainya di rumah es krim bibir Allea masih mengerucut dengan sigap si mama muda itu langsung memesan satu tepak es krim rasa vanilla kesukaan putrinya."Tadaaaaa ... es krim vanilla sudah datang," ucap Nayla bermaksud menghibur putrinya. "Ayok, makan dulu es krimnya, baru nanti Lea ceritakan apa yang membuat kesal di sekolah."Mereka berdua menikmati es krim dengan santai. Hingga akhirnya Nayla syok ketika ada sosok laki-laki yang menghampiri mereka berdua."Selamat siang?" Suara bariton itu membuat Nayla dan Allea menoleh."Uncle Kenan?" ucap Allea dengan senyum ceria saat melihat sosok laki-laki bertubuh tegap dengan wajah tampan berkarisma berdiri di hadapannya. Sementara Nayla menganga dan mata membulat saat melihat sosok tersebut.Sepanjang perjalanan tiga orang yang berada dalam mobil membisu. Allea yang biasanya ceria tiba-tiba hening ketika melihat wajah ibunya merah padam siang ini. Hingga akhirnya mobil terparkir di depan kontrakan rumah kecil yang saat ini menjadi hunian Nayla bersama putrinya. "Allea, ayok, turun!" ucap Nayla saat ia membuka pintu belakang mobil. Baru kali ini sikap Nayla sedingin dan segalak itu pada Allea, hingga bocah kecil berusia lima tahun itu hanya menurut tanpa ada bantahan sedikitpun. Ia begitu takut melihat sosok Nayla yang lembut seketika berubah bak monster."Tunggu!" ucap laki-laki bernama Kenan. "Jangan kasari Lea." Nayla tersenyum sarkas ketika menatap wajah Kenan yang berusia dua tahun lebih tua darinya. "Ini anakku, segalanya aku yang berhak tentukan!" ucap Nayla kemudian menarik tangan kecil yang kini sudah ia genggam. "Ayok masuk, Lea!" Sambil menarik tangan Allea, Nayla berjalan kencang membuat putri kecilnya berjalan terseok-seok. Beberapa kali sepasang mata ben
Hari ke hari Allea semakin menginginkan sosok Kenan menjadi ayahnya. Karena merasa tidak terlalu digubris oleh ibunya, ia pun bergegas meminta langsung pada Kenan. Kebetulan setiap hari Sabtu Kenan memang selalu ke sekolah Allea karena libur di kantor. "Uncle!" Allea berlari dari gerbang sekolah dan langsung disambut kedua tangan kekar yang melebar untuk segera menggendong dirinya. "Hap! Udah selesai sekolahnya?" tanya Kenan saat Allea sudah ada dalam gendongannya."Udah, dong. Uncle sibuk, tak?" tanya bibir mungil Allea. "Tidak. Memangnya kenapa?" "Lea mau ngomong sesuatu tapi enggak di sini. Lea juga udah bilang ke Bi Inah enggak usah jemput.""Baiklah, let's go, Lea!" Kenan berjalan menuju mobil hitam yang ia parkir di samping gerbang sekolah. Di dalam mobil Kenan memperhatikan Allea yang biasanya ceria tiba-tiba saja terdiam bahkan terkesan kaku. Hal ini tidak biasanya terjadi, bocah kecil itu seolah sedang memendam satu rahasia yang entah itu apa. Hingga akhirnya mobil suda
Nayla masih kesal pada Olivia yang bercanda ketika merampas amplop pemberian dari Prayoga. Meski akhirnya ia bernapas lega karena yang ada dalam pikirannya kalau itu adalah preman telah salah. Nayla benar-benar menjaga amplop itu di tasnya dengan hati-hati menuju rumah. Nayla sampai tidak bisa tidur ketika mengetahui jumlah yang hampir tiga bulan dari gaji pokoknya. Pikiran ia yang saat itu akan mendapatkan uang kecil. Ternyata ia malah diberikan rezeki yang begitu banyak. "Ya Tuhan, aku telah berburuk sangka terhadap-Mu. Maafin aku, Tuhan." Nayla berucap sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan setelah ia menggoreskan kata dalam buku diary.Sang fajar kini telah bersinar menyambut pagi. Cahaya kuning keemasannya begitu terasa menghangatkan tubuh. Hingga akhirnya ia bergegas ke dapur di mana sudah ada Inah di sana yang sedang memasak. "Eh, Non Nayla udah bangun?" sapa Inah saat melihat sang majikan berjalan ke arahnya. "Iya, Bi. Aku enggak bisa tidur. Masak apa pagi ini?" "Non
Sudah sekitar satu bulan pendekatan Nayla dan Kenan terjadi atas keinginan Allea. Nayla hanya memikirkan perasaan putrinya dan menyisihkan perasaannya. Sementara Kenan merasa bahagia karena Nayla mau bertemu dengan orang tuanya nanti malam. "Pokoknya Mama mau menantu yang sempurna! Awas aja kalau tidak," sarkas ibunya Kenan. Kenan hanya tersenyum. Baginya Nayla merupakan sosok sempurna untuknya dari dulu hingga saat ini, hanya ia yang mampu mengisi relung kosong di hatinya. *Sementara di seberang sana ada Nayla yang terlihat bingung saat pekerjaannya selesai. "Bengong aja, kau!" Olivia menyenggol lengan Nayla yang ia jadikan penyanggah pipi. Ia sangat terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Mbak Oliv." Nayla hanya menjawab sekenanya karena yang ada di otaknya memikirkan nasib yang telah ia ambil. "Ada masalah? Ceritalah," tanya Olivia yang kemudian duduk berhadapan dengan Nayla. Awalnya Nayla diam, akan tetapi hatinya semakin terasa resah untuk keputusan yang telah ia ambil. Ia k
"Sampai kapan pun, aku tidak akan menerimamu sebagai menantu, paham?!" Sepanjang perjalanan Nayla selalu mengingat kata-kata menyakitkan yang meluncur dari bibir ibunya Kenan. Tentang penolakan menjadi menantu apalagi statusnya yang telah memiliki seorang anak dianggap tidak pantas untuk putranya yang masih lajang dan juga mapan.Keadaan hening di dalam mobil ketika Kenan memacu mobilnya menuju kontrakan Nayla. Kenan memang tidak mengetahui perihal penolakan tersebut karena ibunya menolak Nayla saat Kenan sedang menerima panggilan ponsel saat itu. "Nay?" Kenan memanggil Nayla. "Kamu kenapa?" sambungnya saat Nayla terlihat diam saja."Gak pa-pa," jawab Nayla singkat. Kalau sudah seperti ini, Kenan hanya bisa diam. Hingga tidak terasa mobilnya telah sampai di depan kontrakan Nayla. "Pulanglah, sudah malam," ucap Nayla sedingin es ketika Kenan membukakan pintu mobil untuknya. Waktu menunjuk hampir ke angka sebelas dan Kenan menuruti ucapan Nayla karena tidak ingin membuatnya marah at
Ponsel berdering di saat yang tepat. Nayla mempunyai kesempatan segera pergi dari rumah untuk menghindari pertanyaan Kenan. Meski ia sadar hal ini hanya sementara karena lambat-laun Kenan pasti akan mengetahuinya. Hati Nayla merasa sedikit tenang karena putrinya sudah mulai membaik dan ia mempercayakan pada Kenan untuk menjaganya hingga akhirnya mobil taksi yang ia tumpangi sudah terparkir di pekarangan bar yang tentu saja sudah begitu ramai."Nay, kau sudah ditunggu Mas Yoga," ucap Olivia yang sedang mengambil minuman. "Dia ada di ruang biasa, samperin, gih! Sepertinya sudah tidak sabar mau ketemu kau," ledek Olivia sambil berjalan pergi. Nayla tidak menjawab, ia hanya menghela napas panjang karena pasti ada satu masalah baru lagi. Meskipun Nayla setengah hati menemui Yoga, ia tetap menjalani kewajiban kerja melayani tamunya dengan sopan dan ramah. Di sudut ruangan seorang laki-laki tersenyum saat Nayla berjalan mendekatinya. Wajah cantik alami Nayla memang tidak diragukan, ditambah
Nayla baru menyadari kalau sopir itu sedang menatap ke arahnya dengan seringai yang menyeramkan. Tidak lama, pintu taksi terbuka dan ternyata sosok Yoga lah yang ada di depan pintu mobil. "Thanks!" ucap Yoga sambil melempar amplop yang cukup tebal. Tentu saja sopir itu tersenyum dan menyebutkan kata; terima kasih pada Yoga. "Ayok, ikut aku!" Yoga menarik paksa lengan Nayla agar keluar dari mobil. Nayla menolak, tetapi sia-sia karena semakin ia berontak, pergelangan tangannya semakin sakit dan tenaganya akan melemah saat ia terus menerus berontak. Karena Nayla tidak mau keluar dari taksi itu, akhirnya Yoga memutuskan untuk menggendong tubuhnya dan setelah taksi itu pergi Nayla dimasukkan ke mobil. "Diam kamu di situ!" ucap Yoga. Yoga mengunci pintu mobilnya, ia kemudian memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Tubuh Nayla memang diam, tetapi tidak dengan otaknya yang terus berputar mencari celah agar ia bisa kabur. Namun, sepertinya nasib baik belum berpihak padanya. Mobil memasuki h
Mie yang dipesan sudah habis dimakan oleh Allea. Bahkan anak kecil itu sudah kembali terlelap dan Nayla hanya mampu membisu di sudut kamar sambil memeluk guling setelah menidurkan putrinya. Ia memaklumi keputusan Kenan. Terlebih apa yang dikatakan ibunya dulu memang benar adanya; bagaimana mungkin putranya mendapatkan wanita yang sudah memiliki anak? Ah ... pasti akan banyak sekali perdebatan andai kata hubungan mereka berdua dipaksakan. Mungkin kata ikhlas harus ditelan bulat-bulat oleh Nayla meski ada rasa sakit yang tidak dapat ia gambarkan. Angan Nayla harus buyar ketika pintu kamar terdengar ada yang mengetuk. Dari dalam kamar, Nayla menyuruhnya untuk masuk karena pintu kamar memang tidak ia kunci. Perlahan pintu itu terbuka dan sepasang mata Nayla akhirnya membulat. "Maafin aku," ucap Kenan sambil melangkah dan mendekat pada Nayla yang sedang duduk di pojok kasur. Mendengar kata maaf dari Kenan, kedua sudut mata Nayla kembali mengeluarkan air bening yang disertai sayatan di
Polisi itu kembali menceritakan bahwa yang melakukan semua itu sang sopir yang saat ini sudah dibawa ke mobil polisi di depan rumahnya tanpa perlawanan karena sudah mengakui kesalahannya. Ia diiming-imingi uang oleh Yoga saat ia benar-benar membutuhkan uang tersebut hingga akhirnya ia tergiur dan mau melakukan tindak kriminal tersebut. "Saya semakin pusing!" Kinan memegang kepalanya yang terasa begitu nyeri. "Tidak! Eko berbohong! Aku tidak pernah menyuruhnya. Ini hanya fitnah semata!" Yoga yang baru ke ruang tamu langsung membantah pernyataan kepolisian tentang sopir Kinan bernama Eko telah memfitnahnya. "Semua bisa jawab di kantor, Pak. Mari, ikut kami," pinta salah satu polisi yang dibantah Yoga. Ia tidak mau ikut bersama petugas polisi. Sempat terjadi perseteruan karena Yoga berontak, tetapi ia kalah karena ternyata petugas polisi lebih banyak di luar sana yang akhirnya masuk untuk membantu meringkus Yoga. "Sayang, percaya aku. Aku tidak mungkin melakukan ini. Tolong aku, Saya
Setelah seluruh pekerja di toko kue Nayla pulang. Keadaan kembali sepi, tetapi tidak mengurangi kehangatan yang ada. Malah semakin terasa hangat dan syahdu ketika Kenan sudah sadar. "Kamu tidur, Sayang. Besok, kan, sekolah," titah Nayla pada putrinya. Allea mengangguk. Ia kembali ke sofa dan menarik selimut hangat setelah mencium pipi ibu dan ayahnya bergantian. "Ah, sepertinya kamu mau agar kita berduaan," goda Kenan pada istrinya. "Kamu juga tidur, Kak." Nayla menarik selimut Kenan. "Jangan ge'er begitu bilang ingin berduaan. Aku ingin kamu cepet sehat," lanjut Nayla dengan seulas senyuman."Kamu mau ke mana?" tanya Kenan. Ia menarik tangan istrinya saat Nayla beranjak dari tempat duduknya. "Rehat, lah. Apalagi?" "Di sini aja," ucap Kenan sambil menyibak selimut yang membalut tubuhnya. Nayla tersenyum. "Ada-ada aja, gak muat lah, apalagi badanku sudah mulai gendut." "Tapi aku rindu." "Makanya cepet sehat, biar nanti tidur seranjang lagi!" "Ya udah, ayok, pulang sekarang!"
Baru saja dua hari Kinan memberikan ijin pada Rebecca untuk tetap tinggal di rumahnya, ia sudah berani memamerkan kemesraannya pada Kinan meski sepertinya Yoga terus menghindar. "Sayang, kamu kenapa, sih? Bayi kita ingin terus dekat sama kamu," ucap Rebecca manja yang membuat Kinan muak saat berada di ruang makan. Gimana bisa bergerak? Usia kehamilan segitu baru berbentuk gumpalan darah saja belum ada nyawanya!Batin Kinan berbicara kesal mendengar Rebecca manja seperti itu. Ini sudah jadi risiko Kinan yang memberikan kesempatan pada sang suami karena ia juga harus siap kalau sampai terbukti bayi itu memang merupakan darah daging Yoga. "Sus, antar aku ke kamar!" pinta Kinan kesal. "Baik, Nyonya." Suster Rani mulai menarik kursi roda sang majikan agar bisa jauh dari meja makan. "Makananmu belum habis, Sayang!" Yoga menyahut, tetapi Kinan tidak menggubris. Rebecca melihat wajah Yoga dengan sorot mata memandangnya sinis dan cukup membuatnya takut. "Sini, kamu!" sentak Yoga saat Ki
Saat ini Yoga dan Rebecca sudah ada di dalam kamar Kinan. Keadaan hening sejenak saat Kinan menatap suami dan selingkuhannya bergantian. "Pokoknya aku menuntut tanggung jawabmu, Mas! Tidak mungkin aku pulang dengan keadaan seperti ini," ucap Rebecca. "Aku tidak ingin kehilangan istriku demi kamu!" Yoga menolak. Rebecca tersenyum getir. "Untuk apa? Bukankah istrimu saja tidak dapat memberikan kepuasan untukmu? Apalagi saat ini lumpuh, pasti semakin malas untuk melayanimu," ucap Rebecca. "Jaga mulutmu!" ucap Yoga setelah menampar pipi Rebecca. "Sebaiknya kamu pergi dari sini sekarang juga!" Yoga menunjuk pintu kamar Kinan, menyuruh Rebecca untuk meninggalkan kamar bahkan rumah mereka. "Enggak!" Rebecca bersikeras menolak. "Cukup!" Kinan menyela perdebatan mereka. Saat ini Yoga dan Rebecca yang sedang ribut beralih menatap Kinan yang duduk di ranjangnya. "Aku sudah memutuskan kalau Rebecca akan tetap di sini hingga bayinya lahir. Misalkan terbukti itu anakmu, maka kamu harus meni
Sudah jam delapan malam tetapi Kinan belum juga pulang dan hal ini membuat Yoga khawatir karena ia mengetahui kalau harusnya hari ini Kinan sudah pulang dari rumah sakit. Tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada sang istri, ia pun langsung meluncur ke rumah sakit dengan mobilnya sendiri. Mobil berjalan di bawah langit gelap yang disertai gerimis kecil serta kilatan-kilat kecil sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Kini mobil telah terhenti di parkiran rumah sakit dan ia pun keluar dari mobilnya menuju kamar inap sang istri. Namun, alangkah terkejutnya ketika di dalam ruangan malah terisi orang lain. "Siapa kamu? Masuk tanpa permisi, tidak sopan!" Seorang perempuan yang terbaring di bad mencaci kesal pada Yoga. "Astaga! Maaf, Nyonya. Sepertinya saya salah kamar. Satu kali lagi, maaf, maafkan saya salah memasuki ruangan," ucap Yoga merasa tidak enak pada orang tersebut. Untung saja pasien itu tidak memperkarakan ia pada pihak rumah sakit. Yoga masih berdiri di depan pintu d
"Lea? Kamu kenapa?" Bak menjelma seorang pahlawan Doni muncul di samping Allea yang sedang menangis. Allea baru sadar kalau ada Doni di sampingnya. Ia langsung mengusap air mata di pipinya. Namun, belum juga Allea menjawab Rey sudah memanggil namanya. "Lele!" Doni dan Allea kini menoleh ke belakang dan di sana ada Rey yang berlari mendekati sepasang muda-mudi yang berdiri di trotoar. "Kamu salah paham, Le." Rey mencoba menjelaskan. "Salah paham apa, sih, Kak? Kurang jelas apa lagi coba saat Kakak pegangan tangan sama dia? Lagian aku juga bukan siapa-siapa Kakak, jadi bebas kalau Kakak mau ngapain sama dia atau bahkan siapapun!"Rey tahu kalau sesungguhnya Allea sedang cemburu padanya. Namun, ia bingung menjelskan hal yang sesungguhnya apalagi di sampingnya ada laki-laki yang jelas-jelas suka padanya. "Sekali pembohong tetap akan jadi pembohong, Allea. Ngapain juga dipercaya? Mending ikut aku aja, yok!" Doni memegang tangan Allea. Allea memang masih kecil untuk memahami apa yang
Toko kue Kinan semakin ramai dan Rey kembali ditugaskan sebagai kepala toko karena memang Nayla sudah tidak dapat mengontrol bahkan konsentrasinya hanya tertuju pada sang suami yang masih belum sadar dari koma. Apalagi saat ini akan dilakukannya operasi pengambilan darah yang membeku di otak Kenan. "Selamat pagi semuanya ...." ucap Rey saat ia mengumpulkan karyawan dan karyawati di toko. "Maaf sebelumnya kalau kemarin-kemarin saya tidak full di sini karena memang diminta oleh Ibu Nayla untuk menjaga suaminya––Pak Kenan. Di sini saya mau minta keikhlasan dari temen-temen semuanya untuk mendoakan kesembuhan Pak Kenan yang hingga detik ini masih koma, bahkan saya mendengar kabar kalau hari ini beliau akan dioperasi. Jadi, sudi kiranya temen-temen untuk mendoakan beliau." Hening kemudian semua ikut mengangguk. "Baiklah, berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing dan untuk berdoa dimulai!" Kenan dan yang lainnya berdoa dalam hati dengan begitu khusuk. "Selesai!" Rey mengakhiri. "Teri
Pagi, sekitar pukul tujuh Nayla memutuskan untuk menengok ibu mertuanya setelah Rey datang ke rumah sakit yang Nayla minta untuk menjaga suaminya. "Pagi, Tant ...." sapa Reynand."Pagi, Rey. Maaf saya merepotkan. Bisa tolong jaga suami saya, kan? Saya akan ke Rumah Sakit Manuela," ucap Nayla yang telah membawa tas. "Loh, siapa yang sakit, Tant?" "Ibu mertua saya." "Astaga! Apa pun sakitnya semoga beliau cepat kembali sehat, Tant." Nayla tersenyum. "Aamiin ... makasih doa-doanya, Rey. Kalau begitu saya berangkat sekarang, ya?" Nayla berpamitan. "Iya, Tant. Hati-hati," ucap Rey ketika Nayla hendak pergi. Sementara Allea hanya tersenyum-senyum saat melihat Reynand.Nayla dan Allea melesat diantar oleh sopir pribadinya dengan rute menuju sekolah Allea dulu yang lebih dekat. "Hati-hati, ya, Sayang?" ucap Nayla pada putrinya. "Mommy juga hati-hati, ya? Jaga calon adik aku," pinta Allea sambil mengusap perut Nayla. Nayla tersenyum saat Allea melambaikan tangannya setelah berada di l
"Mas?" Sepasang mata Rebecca membulat ketika Yoga menampar pipinya. "Kau!" Yoga menunjuk wajah Rebecca kesal."Mas tega nampar aku?" Rebecca masih belum percaya apa yang diperlakukan Yoga padanya karena dalam benaknya lelaki yang ada di sampingnya memang rela berkorban dan memiliki rasa yang tulus untuknya."Awas!" Yoga mendorong tubuh Rebecca dan ia memunguti pakaian yang berserakan di lantai serta langsung berjalan ke kamar mandi."Mas, Mas mau ke mana?" Rebecca berteriak ketika Yoga hendak ke luar dari kamarnya. "Mas Yoga! Kamu bener-bener jahat!" pekiknya saat Yoga benar-benar pergi dari kamarnya. Yoga tidak memedulikan teriakan dari Rebecca ia berjalan menuju kamar Kinan yang ternyata dikunci. "Sayang? Buka, Yang!" Yoga mengetuk pintu kamar Kinan. Suster Rani hendak membukanya, tetapi Kinan melarang. "Biarkan dia begitu, Sus. Aku tidak ingin melihat wajahnya!" ketus Kinan menahan amarah.Kinan memilih tidur sedangkan Yoga masih berusaha memanggil nama istrinya disertai deng