Flashback ke-enam bulan yang lalu.
Petualangan pikiranku: Dari perjalanan sehari ke Kuala Lumpur–Malaysia, sebagai kerinduan keluarga dari Indonesia, aku—yang berbasis di Jakarta-Indonesia, bersama ibu berkunjung tepat di penghujung tahun, untuk berlibur. Ayah memang bekerja di sana, kami berencana akan mengunjungi apartemen ayah sebelum melakukan destinasi ke penjuru Malaysia. Tetapi, apartemen berubah menjadi penjara, hatiku beku dan terpenjara seketika menyaksikan orang ketiga di antara ibu dan ayah.
Ayah telah menghancurkan sebagian sebagai hadiah untukku, sebagian besar karena perselingkuhan sangat menghidupkan perjalanan bisnis-nya. Yang mengharuskan ayah jauh dari istri dan keluarganya. Tinggal bersama wanita lain di sebuah apartemen.
Berakhir kami telah menjelajahi kota tanpa pria brengsek, fantasi dalam pusaran perbelanjaan dan malam yang kulihat ulah ibu menjadi tidak setabil, dalam permainan seks. Ini jauh dari pertama kalinya aku menyaksikan dengan caranya melampiaskan kemarahan, tapi aku belum pernah menerima begitu banyak waktu untuk mengakui kenyataan dan ketakutan terdalam di tinggal ayah.
Bagiku ada ketertarikan untuk menggali jauh ke dalam pikiranku, dan mengungkap pikiran dan keinginan yang tidak pernah aku temukan, bahkan untuk diri sendiri. Begitu kuintip dari celah kamar, ibu menjadi buas: pecandu alkohol, merokok, sering memasukan pria dari yang berusia sepadan sampai lebih mudah dan jauh dibawahnya. Baginya, ada kesenangan menemani dirinya di siang hari dan malam hari. Perasaan sakit serta siksaan yang bisa aku lihat dari perbuatannya bahwa itu membebani hidupnya sendiri. Keindahannya adalah menghancurkan dirinya, dalam arti hidup sudah lenyap, tidak setia tubuh sendiri. Dia, seperti semua wanita yang mengunjungi club, aku tahu bahwa ibu pernah berhubungan seks dengan kliennya sendiri - setidaknya dengan klien pria.
Seorang wanita mungkin menerima kepuasan di tangannya sendiri, atau di tangan mekanik dari berbagai alat untuk membangkitkan libido dan masturbasi yang menarik dapat kulihat sepulang sekolah, di sofa ruang tamu, kamar mandi, dan kamarnya sendiri. Aku benci melihatnya.
***
Teman sekolahku menegur dan bahkan meledekku satu sifat yang telah aku benci cara itu, Namanya Kennet. “Hi Siva … Tante Mira kemarin ke rumahku, aku melihat mereka pacaran. Sepertinya kita akan menjadi saudara.”
“Cih …,” aku beranjak bangkit dan meninggalkannya.
“Hi Siva, jangan senang dulu, Ayahku tidak akan mau menerimamu.”
Aku berbalik badan saat Kennet berteriak dan menganggapku remeh. Cukup kubalas dengan acungan jempol yang terbalik.
Berulang kali selama berhari-hari aku mempelajari setiap ejekan Kannet dan teman-temannya, dari spesies manusia keji adalah mereka secara mendalam. Kembali ke sisiku setelah setiap berpapasan, aku sangat ingin menganiaya diriku sendiri, minimal mengurung diri dan dengan segala cara yang mungkin. Semakin sukses elemen berpikirku, semakin mendesak keinginannya untuk protes pada ibu, “Siva nggak suka Ibu sering bersama Om Surya, karena Kannet selalu mengejekku. Aku benci Kennet.”
“Siva Sayang … Om Surya baik loh … jangan berpikir macam-macam dulu ya! Sudah jangan banyak berpikir negatif, kami ingin kamu dan Kennet akur.”
“Kalau tidak bisa?”
“Harus bisa dong … karena Om Surya akan menjadi teman Ibu, dan kamu juga harus menjadi teman Kennet.”
“Ibu suka Om Surya?”
Ibu hanya tersenyum, lalu menyuruhku tidur.
***
Aku mengetahui ada ketidaksukaan, lama mengendap di bawah ranjang ibu, saat ibu keluar, aku diam-diam masuk ke kamarnya dan masuk kolong tempat tidur, sengaja aku penasaran atas apa yang dikatakan Kennet: semakin cerdas mereka bermain nakal maka semakin besar keinginanku tentang mereka untuk petualangan seksual, dan semakin sukses mereka, semakin besar kebutuhan mereka untuk didominasi dengan seks. Ini seperti konsep cinta liar yang tidak ada aturan.
Kudengar terselip obrolan krusial dari mereka.
“Mira, aku tidak bisa menerima Siva.”
“Tapi kenapa Surya? Dia anakku, aku tidak bisa meninggalkan anakku.”
“Kennet tidak akan menyetujui kita jika kamu akan membawa Siva pada kehidupan kita.”
Terdengar ibu menangis.
“Kamu jangan menangis Sayang … aku ada cara supaya Kannet tidak bisa bertemu Siva—”
“Kamu yakin, Siva akan menerima itu semua?”
“Entahlah, kita coba dulu, ya!”
Secara keseluruhan, perjalanan petualanganku terbukti sesukses pencapaian rasa penasaran, tambahan substansial untuk memantapkan diri atas apa yang akan aku ambil, langkah yang terbaik.
***
Minggu yang tidak biasa dalam kehidupanku, ibu mendatangiku ketika sedang belajar.
“Siva, sedang sibuk Sayang … ibu boleh ngomong?”
“Siva juga ingin bicara, serius.”
“Oh iya … anak Ibu sudah bisa serius, anak pintar mau ngomong apa? Ayo ngomong!”
“Ibu ngomong saja dulu!”
“Emm, oke. Ibu ada info di Jakarta selatan ada sekolahan bagus loh … ada asramanya juga. Minimal kamu semakin mandiri.”
Aku tak membalasnya, langsung beranjak dari kursi.
“Siva, Ibu ingin yang terbaik untukmu,” teriak ibu saat aku baru saja akan menutup kamar. Kulihat matanya penuh harapan bahwa aku bisa mengabulkan keinginan itu.
“Oke, aku akan lakukan maumu, Ibu urus saja surat pindahku. Dan jangan sampai ada yang tertinggal barang-barangku.”
Brok!
Terdengar barang yang tergantung di pintu kamar terjatuh saat aku menutup dengan keras.
***
Aku ingin mengatakan bahwa hidup tidak menyedihkan tanpa mereka, dengan ibu yang cerdas dan kaya, tetapi memberikan kesan yang salah. Benar, ada cukup banyak pria lebih muda di sekitar untuk membuatnya dan tidak kekurangan kebahagiaan sama sekali, tetapi aku mesum dari celah gorden saat melihat ibu sedang bercinta dengan seorang pria, terkenal agak kekurangan jiwa stabil.
Namun, aku sejatinya, yang menikmati peregangan ada batasan seksual. Lalu dengan segera menyudahi dan kembali ke kamar. Tapi, aku berpikir, mereka seperti perbudakan dan dominasi profil rendah seperti telah digabungkan dengan keberhasilan erotika fiktif mereka, untuk merangsang satu—sama—lain. Itu menjijikan sekali. Pembuktian pada dunia rahasia seorang wanita yang mudah tergoda bersama pria yang berotot, atau yang dilihat perkasa.
Aku lebih tidak suka tinggal dalam bayang-bayang mereka. Hari suram, aku dapat berbicara lebih leluasa tentang kelanjutan sekolahku. Aku yang salah … rasanya tidak, membayangkan ibu yang tidak peduli denganku lagi, hasrat seksualnya yang semakin brutal.
“Eh Sayang … ibu baru saja akan memanggilmu, kamu sudah datang duluan. Sini makan sama Ibu!” gairah bicara itu seperti tidak ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Lengus nan tidak tau diri.
“Aku tidak ingin makan, aku bosan di rumah yang penuh kepalsuan ini.”
“Maksud kamu apa Sayang?”
“Ibu tidak lelah menjadi budak seks laki-laki semacam— ah sudahlah … pokoknya aku nggak suka Ibu seperti itu lagi. Mau itu dengan Om Surya ataupun yang lainnya.”
“Kamu melihat Ibu?”
“Iya, melihat dan itu jelas.”
Ikutlah denganku sekarang dalam tutur berkata. Jika mungkin harus mengatakan “benci Ibu,” karena di sini aku akan menemukan ruangan demi ruangan kehidupan secara sendiri, tanpa siapa pun.
Ibu mengambil buku yang kubawa dan kuletakan di meja, dia membaca diari untuk mengetahui apa? Ini adalah tanda yang menarik bahwa tidak ada pembatas ibu terhadap anak. Aku tidak memiliki keraguan untuk membiarkan, urusan dia sendiri daripada melarang atau membuat penolakan, sebagian besar aku sudah acuh tak acuh dengan perilakunya. Jika direnungkan … ibu mungkin menganggapku anak aneh, dibandingkan dengan yang lainya, pekerjaan dewasanya menjadikanku lebih jujur menulis curhatan di buku, itu normal.
“Jadi—kamu?”
“Iya, aku benci sikap Ibu. Cepat segera urus surat pindahku, aku muak di sini!”
“Sayang ... kamu mau pergi bukan karena untuk pilihan pendidikan yang lebih baik, tapi kamu—ah jangan membuat Ibu merasa bersalah Sayang!” ibu berkata sambil menggenggam tanganku begitu erat.
“Lepaskan tanganku dari tanganmu yang kotor!” mintaku sambil pergi kembali ke kamar.
Apapun caraku membuat tidak baik dalam komunikasi, aku akan meminta beberapa helai pakaian saja darinya, yang aku butuhkan saja. Preferensi sekolah baru belum detail tentang layanan tertentu yang aku butuhkan. Kata ibu sekolah di sana adalah bagus. Aku diterima dapat membentuk sebuah kemandirian, katanya.
“Tolong segera taruh bagasi semua koper itu! Sepatu dan obat-obatan!”
“Ok, Ibu akan lakukan karena ini yang terakhir kali melihatmu, kita akan berjumpa setelah sekian lamanya nanti.”
“Kau senang kelihatannya saat ini.”
“Tidak juga.”
“Feelingku saja.”
“Lakukan seperti yang ada di diarimu ... pulanglah saat kau rindu ... jangan sungkan karena pintu ini terbuka untukmu.”
“Hmm,” kualihkan pandangan ketika ibu menatap dan merapatkan tangannya ke pundakku.
Singkatnya, halaman demi halaman proses rumit yang menjelaskan skenario tangis ibu, di dalam mobil aku bisa menyaksikan dia membuat wajah seperti sedih. Demi kebaikan dirinya, aku dikirim ke Jakarta Selatan, yang orang tau jarak Timut ke Jakarta tidak bisa di tempuh hanya menggunakan jalur lapak kaki atau sepeda motor dengan waktu cepat. Ibu yang hanya memikirkan kebutuhan fantasi pribadinya.
Namun, dengan niat terbaik untuknya, aku memberi waktu untuk beretorika dalam maunya, dengan penuh cambukan yang sangat dinantikan saat aku tiada. Simpul persis yang akan aku gunakan untuk mengingat jalan hidupku sendiri.
Di sekitar tol yang entah tol apa namanya, duduklah aku dengan tidak nyaman, godaan dan siksaan yang mungkin segera diterapkan pada mataku. Tidak bisa menangis, tapi mata membengkak. Menjadi agak lebih gengsi daripada harus menumpah ruah seperti putus cinta. Aku malah mengkhawatirkan ini sebagai bentuk hukuman Tuhan, selingan yang menyakitkan dari sebelumnya aku bahagia.
-o0o-
BACK TO NOWBanyak hal baru, terutama ibu dan masanya, dengan gugup di tepi ranjang, aku katakan bahwa aku benci enam bulan yang menyebalkan. Mereka, teman-teman belajar tetapi tidak jarang bersama keluarga. “Aku tidak butuh kasihmu, jangan sentuh pantatku. Nanti malam aku akan kembali ke Darmawangsa.”“Siva … apa yang harus Ibu lakukan untuk menebus semuanya?”“Tidak perlu melakukan apapun, aku hanya senang tidak menerima pengakuan bahwa aku anakmu.”“Cukup Siva! Ibu maaf soal waktu itu.”Aku bangkit dan penyumbat telinga dengan bantal, dan tangisnya menarikku hanyut dalam waktu lampau, aku tidak mau itu terjadi. “Jangan menangis!”Ibu cenderung duduk diam, menungguku akan mengatakan sesuatu. Mungkinkah beliau wanita dengan jenis yang secara alami ingin tahu, atau mungkin lebih rapuh? Yang benar adalah bahwa aku telah membuat mas
Bergantung pada lemari yang kupajang, sebuah koin milik pebasket yang terjatuh. Aku mungkin akan menambahkan lemari dengan barang lainnya. Dalam kasus ini, pakaian ekstrim sepertinya akan kubutuhkan saat berkencan dengannya. Dia perlu diikat ke bangku dan diikat dengan satu atau lebih tubuhnya, lalu kujilatin.“Oh no ... anak 15 tahun sudah seliaritu.”“Aku tidak meminta pendapatmu Kribo.”“Aku harus mengarahkanmu menjadi gadis kecil normal, biar terlihat santai dan seperti polosnya pada masamu.”“Aku sudah tua maksudmu?”“Oh, bukan aku yang ngomong loh.”“E-ra-la-, whatever ... aku akan berkencan, yes.”***Hanya ketika di bawah pohon, aku mempertimbangkan untuk menawarkan beberapa bentuk bantuan manisan. Aku akan menyodorkan minuman dingin untuknya, tetapi hingga lima menit belum juga usai latihan basketnya. Akan membutuhkan
Pukul lima sore aku baru sampai taman belakang, “dia kemana ... Leo sudah pulang, kenapa kamu tidak menungguku Sayang? Ah, capek aku lari-lari, ternyata ....”Keesokan harinya aku membuat surat izin untuk tidak mengikuti pelajaran beberapa hari, aku sedang tidak enak badan. Meja selalu mengiang di pikiranku. “Kamu yakin Siva, ini sebentar lagi kita ujian, kalau kamu banyak bolos, nanti kamu ketinggalan.”“Kribo, aku hanya minta kamu kasihkan saja suratku, tidak sedang butuh khotbah, aku sudah lelah dapat khotbah dari ibuku … jadi jangan kau timpal dengan omonganmu yang seolah paling paling benar itu!”“Ok baiklah Nona Siva yang super galak. Tapi bantuin aku sekarang ke kamar mandi dulu, yuk!” ajaknya sambal meringis.“Tolol kau.”Aku berkemas sehelai baju dan celana saja.Melihat ke belakang sekarang, aku merasa (hanya sedikit sakit) malu dengan cara kekuatanku y
Saat itu sudah sangat malas aku akan bangun, terlambat ke sekolah juga aku tidak peduli. Leo telah tiada saat aku membuka mata, dia memberitahu bahwa mungkin akan pulang sedikit terlambat, ada latihan basket. Kuambil surat yang ditulis dan kubaca ulang hingga beberapa kali. Dibawahnya terdapat uang dengan lembaran lima puluh ribuan dengan jumlah dua lembar. “Ini untuk beli sarapan dan untuk jajan,” katanya.“Ah aku tidak sabar ingin bertemu Leo lagi.”Sambil menunggu kedatangannya, kuintai seluruh sudut dan bidang dari barang-barang yang ada di kamarnya. Tetapi, mataku tertahan pada sebuah benda yang berdiri di atas lemari pakaiannya. Sebuah bingkai, namun bukan perkara bingkainya, yang menjadi mataku melotot adalah foto yang ada di dalam bingkai.“Ini apa sih maksudnya Leo!?”Meskipun Le
Aku ingat saat berkunjung di asrama kali pertama dan berusaha membaur, untuk menambah masa tinggalku lebih lama, mungkin untuk menghindari keisengan mereka. Saat ini kembali ke kamar tidur yang berantakan setelah kutinggal beberapa hari. Ada saat-saat ketika ruangan tampak lebih dingin di dalam daripada di luar dan aku tidur karena seprai yang terasa dingin dan lembap, kupastikan di beberapa bagian. “Anjing ... ah si Kribo bikin ulah ini, pasti dia yang berbuat di sembarang tempat."Aku paham, anak satu itu kecenderuangan lebih bergairah, asli bau busuk, mungkin tidak sadar dia bahwa berhubungan dengan kain fakta bahwa jamur tumbuh tidak terkendali di bekas kain yang dipakai. Napsu itu tumbuh di sebuah ruangan di mana, alih-alih ruang kosong dan pikiran mengembang ke penjuru dunia dewasa, terkadang aku juga begitu, tidak hanya Kribo.Menjelang sore berbeda. Kribo punya rahasia yang harus d
Ibuku tiba-tiba datang, bersama Kribo, dan mereka menyeringai di seberang dari aku berdiri. Dan di mana aku dalam semua ini … yang sebenarnya diikuti oleh mereka?“Ah, menyebalkan.”Di tengah kebingungan, mungkin tidak mengherankan bahwa Tuhan memberi kasih dengan mendatangkan mereka, di masa sulit.Sejujurnya, bagaimanapun, aku tidak bisa berpura-pura bahwa memiliki perasaan rindu, sama dengan anak-anak lain, dan sebagian besar teman di sekolah.Kompromi dari usia mereka yang lebih tua, Kribu dan ibuku, mereka membuatku merasa diperhatikan. Dalam kesadaran, aku dapat melihat mereka mendekat, sikapkuterhadap mereka agak canggung.“Siva, maafin Ibu ya!”“Hah?”Aku tidak pernah meragukan cintanya, tetapi, tiba-tiba mem
Kribo, dia selalu mengatakan kepadaku bahwa berada di asrama lebih baik daripada kehidupan kejam yang ada di luar sana. Dia tidak tahu, jika aku jalani di rumah bersama ibu jahat aslinya dan betapa kacaunya setiap hari.“Kamu menjadi seperti itu karena dibutakan atas satu kesalahan orangtua, Siv. Kamu harus pulang sesekali, meski sebentar.”“Apa kamu bilang, satu? Mereka banyak menyakiti aku. Ayaku dan Ibuku sama saja, mereka tidak peduli padaku Bo. Sudah ya, jangan ngomongin soal itu! aku muak.”“Aku pikir, kamu akan kuat melebihi aku. Keberanianmu saat melakukan aksi, aku ingat itu, dan aku rindu kamu yang seperti itu, Siv.”“Hm, entahlah, aku juga tidak tahu apa yang aku akan lakukan.”“Pulang! Pulanglah dan temui Ibumu!”
Aku menyusuri jalanan berumput yang layu karena senja sore. Langit masih kuning, sinar mentari belum tenggelam untuk tidak lagi menerangi bumi. Terik panas masih menyayat di kulit, membuatku beberapa kali mengosok-dosok lengan dan mata memicing sesekali. Rambutku masih semeriwing diterpa angin, efek hanyut dalam alam. Masih dengan baju tidurku, masih berjalan agak sempoyongan, karena lelah menopang tubuh sudah terkuras tenaganya.Tujuanku adalah toko obat, langkahku terhenti ketika melihat seorang diri sedang melamun di pinggir jalan. Dia duduk membelakangiku.Di luar sepengetauanku, saat melintasi dan berbalik, rupanya ....“Ali,” kataku setengah tidak yakin sambil mengucek-ngucek mata, agak dibuat heran. Tidak ada respon dari cowok yang kupanggil, bahkan berkedip pun tidak. “Ali ...,” teriakku, tetapi tetap saja, dia masih berdiam. Sedeki
Mendapat kabar, Leo belum pulang bersama pengasuh yang kusewa, dan aku tidak tahu di mana keberadaannya. Aku masuk ke mobil, dan mengambil jalan. Hanya mengikuti hati saya seolah-olah ada semacam naluri yang mengarahkan. Setelah setengah kilo jauhnya, aku menemukan mobil Deep diparkir di lahan liar.Dia pasti melihatku berhenti dan parkir di jalan karena dia dan Kribo tiba-tiba muncul di ambang pintu bersama teman sekolahnya yang lain.“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Deep.Saya menangis. “Apa yang kalian lakukan di sini?” aku agak kesal, marah dan tidak ingin marah lagi. Ada konotasi yang marah di depan pintu dengan mereka menjadi heran, mereka menjadi marah dan aku menuntut beberapa jawaban. Akhirnya, mereka membiarkan aku masuk ke dalam dan memberikan kejutan yang tidak pernah aku duga: “Ini Leo … kita hanya meberimu kel
Sebuah penyesalan terulang kembali dan kini lengkah kesedihanku, pentingnya menjadi acuh sekarang. Akumencatat: Kehilangan satu orangtua dapat dianggap sebagai kemalangan; kehilangan kedua adalah orang kita cintai terlihat seperti kecerobohan. Dalam hal ini, aku pasti salah satu individu yang lebih ceroboh di sekitar.Kegelapan menghinggapiku pada setahun lebih ketika pria yang selalu kulayani setiap dia datang telah hilang dan lenyap seperti ditelan bumi. Ayah apa lagi ... yang tak pernah kukenal, selepas permintaannya tak bisa kusanggupi. Masalah pernapasan anakku telah memburuk tetapi aku dan kesendirian yakin bahwa dia akan dirawat dan disembuhkan oleh Tuhan, disegarkan kembali, untuk kehidupan yang baru. Keyakinanku itu terguncang ketika kulihat kembali memori bersama otakku sedang mengembara semasa ibu masih ada.“Ibu telah pergi dan berkunjung saat aku melahi
Terlepas dari pengalaman sebelumnya, upayaku masih memiliki sedikit gagasan nyata tentang kebutuhan yang akan kulakuakan sendiri. Aku sangat otodidak memulai pekerjaan yang sebelumnya belum pernah kupelajari dari sedikit melihat pun yang ibu kerjakan. Aku tidak tahu cara mencuci pakaian yang berwarna harus dipisahkan, akibatnya, warna luntur mewabah kesemua rendaman. Belum lagi di sela sedang memasak, anakku sedang tidak baik, akhir-akhir ini sering rewel. Sadar akhirnya, kebanyakan gadis seusiaku belum bisa menjalani ini semua, dalam situasi mempelajari matematika di dalam kelas, itu harusnya, kini mempelajari ilmu sebagai ibu rumah tangga.Saat itulah aku mulai berbaring di lantai, merasa fisikku usdah tidak kuat dalam mengemban kehidupan yang memberatkan. Sejak hari itu, baru aku andalkan kartu pemberian ayah, dan benar, aku manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus menjamah dapur.Dia, sudah menjadikanku budak wanitanya menatap dengan
Aku bisa menjadi pendengar tapi tidak memahami keinginan setiap orang, di bagian kehidupan mereka yang mungkin memaahami atau memaafkan oleh sebuah kesalahn, tapi aku tidak. Akan tetapi, ada saatnya, setelah aku melakukan kesadaran selama sekitar satu bulan berikutnya, ketika mulai mengkhawatirkan pengaruh pertumbuhan bayiku, pilihan terhadap masa depanku lebih penting. Dengan keegoin yang kuredam, setidaknya bisa membahagiakan anakku, butuh pertimbangan dari dua sahabatku, Deep dan Kribo yang sengaja kupanggil ke ruamah.“Ketakutanku bertambah setelah serangkaian percakapanku tidak baik dengan istri Ayah, bagiamana anakku dan aku setelahnya jika tenyata aku membeontak dan Ayah memilih wanita itu?”“Aku juga tahu itu pilihan yang sulit, tapi bukannya itu akan menghianati Ibumu … Ibumu mengemban banyak pikiran karena masalaha dengan Ayahmu,” balas Kribo langsung.
Aku pikir bisa tangguh, tetapi tidak, banyak hal yang harus bisa menyiapkan kehadiranku ke rumah. Wanita muda untuk sisi kehidupan yang lebih rendah derajatnya sebagai seorang dominasi sial. Sejak melangkah, pertama, setiap mata memandang dan seterusnya fokus pada sebuah objek yang sedang aku bawa bersama dua sahabatku. Mereka melakukanya semacam heran, hal-hal yang sangat jauh dari apa yang telah mereka nilai dan lakukan sebelumnya sehingga aku membuat mereka terkejut. Bukannya belum pernah melihat tentang semua, tetapi hal yang sekarang: bagaimanapun juga langkagku telah memancing perhatian, banyak yang tidak nyaman dengan kehadiranku, ketika itu seisi ruang tamu sekitar sepuluh orang sedang bergosip dan berbicara bebas yang bisa kupastikan itu adalah negatif.“Lihat, yang dibawanya anak haram!”“Iya, dasar tidak tahu malu ….”
Situasi sedang tidak baik, sudah larut malam di rumah, aku disandera oleh sakit tak tertahan, yang tidak terkendali dan memegang perut beberapa kali untuk menahannya. Di depan tidak ada seorang pun yang bisa kuandalkan. Aku ketakutan dan kehilangan kata-kata, serta di sisi lain dari pintu depan terkunci, ya seperti itu saat ibu pergi, menggedor-gedor dengan benda tumpul dalam upaya meminta pertolongan juga sia-sia karena tidak ada yang datang menyelamatkanku.Malam itu kurasa dengan sangat berbeda. Telah menerima telepon dari ibu bahwa menginformasikan tidak bisa segera pulang karena ada suatu kendala dan membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Dia memang ibu yang sakit-sakitan, kutahu dari setiap brosur yang dibawanya setelah dari ruamh sakit. Dan bersuara lirihku menahan rasa yang seperti sudah di ujung kehidupanku, “Tuhan ... aku tidak kuat menahannya, huh ... sabar ya Nak! Please jangan keluar dulu!”
Melayani dengan hati, kalimat untuk itu moto bekerja dari Rumah Sakit, itu kami lihat ketika baru sampai lobi. Telepon berdering yang menggema dengan orang-orang yang ingin memesan layanan, dansatu sama lain berhubungan antara pasien dan perawat, serta aktivitas masing-masing. Aku bisa merasakan betapa sibuknya mereka.“Apa kita cari Rumah Sakit yang lain?” tanyaku langsung.“Jangan ... kita harus bisa kuat di antara mereka,” kata Deep.“Tapi antrian panjang.”“Ya, sabarlah sebentar, Ibumu akan membawa nomor dan kita segera bertemu Dokternya!” kata Deep. Dan lagi, “mana Ibumu dan Kribo lama sekali, mereka mendaftar atau meminta sumbangan, lama sekali?”“Ya, sabarlah!”“Ei ... ka
Rindu sekolah, sekitar paruh hari dengan sabar membawa perutku yang besar dan menunggu setiap anak berhamburan masuk kelas, kuintai dari sebelah gerbang. Perhatianku semula pada kelas Deep dan Kribu, berubah ke objek yang lain. Di mana manita cantik dan anggun sedang saling menyapa sahabatnya, adalah kandidat musuhku, pacar bagi Leo. Tidak mungkin untuk melakukan aksi saat kondisiku tidak memungkinkan lagi.Rupanya posisiku diketahui olehnya. Dia hanya tampak begitu tidak normal saat menatapku dari kejauhan, berpakaian rapi dalam setelan putih abu-abu dan rambut cepol menjadi sensasi wanita seksi setiap inci mata para pria memandang. Tampak sedang mendekatiku, yang menyebalkan, kenap benar-benar mendatangiku lebih dekat. Tetapi, langkahnya terhenti di depan pagar bagian dalam. Terjadi saling tatap, agak lama.Menghindar salah satunya, setidaknya bertekad untuk tidak bereaksi bodoh atas ego. Dan
Mengecek penglihatan dari kontak lensa dengan kacamata minus, ibu sejak tadi berdiri di ambang pintu, itu meskipun akan keadaanku selalu menganggap dunia di luar sana tidak asyik. Ibu juga membantuku memcahkan masalah dari pikiranku yang sudah terpenuhi hal-hal negatif, dengan wejangan-wejagan, langsung aku mengangguk saat menyuruhku bersiap untuk makan.Namun, dari ucapannya awal sampai akhir, aku tidak menemukan caranya intropeksi atas semua salahnya, tetapi setidaknya itu bisa memberiku kelegaan untuk berpikir baik pada sahabatku. Ibu memang membantuku, dalam hal lain, dengan sejumlah pembayaran kebutuhan kandunganku yang sudah semakin membesar. Aku memang beberapa hari melakukan aktivitas dengan membuat sebuah anyaman di paruh waktu sekaligus, meringankan beban ibuku untuk tidak selalu menerima uang darinya.Kadang-kadang tanpa aku memintanya, ibu memberikanku dengan menaruhnya di atas meja