Sudah tiga bulan berlalu sejak keguguran yang menimpa diriku, aku telah melewati masa nifasku dan juga masa iddah secara agama. Kini aku menjanda selama tiga bulan lamanya, meskipun belum diurus secara resmi oleh Mas Surya, tapi aku akan mengajukan gugatan sendiri, karena bukti-bukti semuanya sudah aku pegang. Aku mulai berusaha untuk menerima kenyataan yang begitu pahit ini. Berat, tentu saja. Aku merasa terpuruk dan kesepian. Namun, yang paling membuatku tersiksa adalah melihat sikap Nayla saat berpapasan denganku, dia seakan tak punya malu. Dengan mendongakkan kepala, dia seolah bangga telah merebut suami orang lain. Mungkin bagi Nayla, hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Aku tak habis pikir, mengapa seseorang bisa merasa bangga melakoni hal yang tak benar? Hubungan Nayla dan Mas Surya semakin mesra, mereka bahkan tak sungkan lagi untuk memamerkan kemesraan secara nyata, di depan banyak orang. Tak hanya itu, banyak warga yang mendukung hubungan mereka, mungkin karena
"Bu, aku pergi dulu." Ibu dan ayahku terkejut melihat perubahan penampilanku. "Wah, anak ayah cantik sekali, sudah seperti anak gadis saja," puji ayah. Ibuku langsung tersenyum, "Kan sekarang memang sudah gadis lagi Ayah." Ibu mencoba merubah ucapan ayah menjadi candaan, tetapi Nabil, putraku, dengan sigap menepisnya. "Gadis yang sudah punya anak itu Mama kan, ya Kek?" Tawa bergema di ruangan itu, mengusir kegelisahan yang sempat menghinggap di hati, seperti orang yang sangat dewasa sekali Yahya, aku tidak tau apa dia mengerti dengan ucapannya itu atau tidak.Putraku yang masih kecil, langsung berlari memelukku dan berkata dengan suara gemetar, "Mama cantik." Aku tersenyum melihat semangatnya. "Terima kasih, anakku. Nanti Yahya dan Nabil tinggal bersama Nenek dulu, ya. Karena Mama mau kerja mencari uang banyak, agar bisa membelikan Nabil dan Yahya mainan yang banyak," kataku meyakinkan mereka. Melihat kebahagiaan mereka membuat aku semakin yakin dan bersemangat untuk bekerja ker
Surya tampak kacau, pikirannya tak bisa berhenti mempertanyakan alasan di balik kehadiran laki -laki yang datang malam-malam ke rumah Salamah. Dia merasa tak di hargai dan langsung pergi meninggalkan rumah Salamah. Tanpa berpamitan dan meninggalkan sepatah kata pun, memang aneh,datang mendadak, dan pergi seperti angin lalu "Apakah karena Nabil dan Yahya tak ingin bertemu dengannya? Tapi, bukankah itu hanya alasan saja, karena dia mungkin penasaran laki-laki seperti apa yang mendekati ku" Gumam Salamah "Akhirnya pergi juga," gumam Salamah sambil menutup tirai jendela. Wajah Salamah benar-benar penuh tanda tanya. Meski perasaan resah dan sedih masih terasa.Dia merasa bingung mengapa Surya tiba-tiba datang malam-malam dengan keadaan seperti itu. "Apa lagi yang dia inginkan? Ingin bertemu anak malam-malam begini, padahal masih banyak waktu. Kenapa harus tiba-tiba seperti ini?" Salamah memegang dada. Aku merasa perasaan sakit itu kembali menghantui, membuat harga diriku te
"Aku pamit dulu, Bu," ucapku sebelum bergegas meninggalkan rumah, dengan mengendarai motorku. Jujur saja, aku merasa lega dan lebih tenang setelah menerima kenyataan yang pahit ini. Aku menghela nafas panjang, berusaha melepaskan beban di dadaku. Namun ternyata, Nayla sudah menunggu di tikungan, dengan niat menghadangku. "Itu dia, aku akan memberikan pelajaran padanya," gumam Nayla sambil melajukan motornya agar dapat mengejar dan menemukanku. "Salamah, tunggu! Aku ingin bicara padamu!" teriak Nayla ketika motornya sudah beriringan dengan motorku. Aku hanya ingin menjauh dari mereka semua, tidak ingin masalah mereka mengganggu keseimbanganku lagi. "Maaf, Nayla. Aku tidak punya waktu untuk berbicara denganmu. Aku terburu-buru pergi kerja," jawabku, berusaha menghindar dari Nayla yang terus memaksa. Bukankah Nayla sadar bahwa dia hanya membuat hidupku semakin tidak tenang? Tapi, memang sudah menjadi sifat Nayla untuk tidak menyerah begitu saja, dia terus mendekatkan motor nya."S
Aku merasa harus menanggung beban Karma yang diwariskan oleh ibuku... Namaku Salamah, dan saat ini usiaku 25 tahun. Aku sudah memiliki dua orang anak laki-laki, yang pertama berusia 3 tahun dan yang kedua 4,5 tahun. Sebagai anak tunggal, tentu saja aku menerima kasih sayang yang tak terbagi dari kedua orang tuaku. Namun, ada satu hal yang sangat menyakitkan hatiku: sampai detik ini, pernikahanku dengan suamiku belum juga mendapat restu dari orangtua suamiku. "Kenapa mereka masih belum bisa menerima aku?" tanyaku dalam hati. Apakah latar belakang keluarga kami yang sama-sama berasal dari keluarga berada jadi penyebabnya? Atau, mungkin, karena aku belum bisa memberikan mereka cucu perempuan? Pikiran itu terus mengusik benakku. Padahal kedua anak lelakiku ini adalah darah daging keluarga suamiku. Dalam hati aku berpikir, "Apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan hati mereka? Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak membuahkan hasil." Kesedihan ini menghantui pikira
Tanpa rasa berdosa, Mas Surya langsung pergi ke dapur untuk mandi dan memanggilku untuk menyiapkan makanan. "Sebentar Mas," kataku sambil berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. Rasa sesak di dada sudah tak bisa tertahankan, seperti bara yang tak kunjung padam. Aku ingin sekali berteriak dan melawan, tapi aku tahu bahwa semua ini belum cukup. Aku harus mengumpulkan bukti lebih banyak lagi, agar Mas Surya tak bisa mengelak dari perselingkuhan yang telah dia perbuat. Aku mencoba menenangkan pikiranku, memfokuskan perhatian pada segala sesuatu di sekitarku. Namun, rasa sakit dan marah begitu besar, hingga sulit sekali untuk memikirkan apapun. Aku tak menyalahkan wanita itu, karena aku sadar betul bahwa Mas Surya-lah yang seharusnya bisa mengendalikan dirinya. Mengapa dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bermain hati di belakangku? Apakah cinta kami sudah tidak ada lagi? "Salamah, mana piringnya?" teriak Mas Surya saat keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.
Mataku terasa begitu berat, saat aku terjaga ternyata anak-anakku sudah tidur di sampingku. "Ya Tuhan, sakit sekali," gumamku seraya memegang pipiku yang begitu sakit. Aku berusaha untuk berdiri, ingin mendekati cermin untuk melihat keadaan wajahku. Benar saja, wajahku merah dan mataku terlihat berwarna biru akibat memar. "Kejam sekali dia, aku sedang hamil, tapi dia melakukan ini padaku," geram ku dalam hati sambil air mata kembali mengalir di pipiku. Kedua anakku yang sedang terlelap di sampingku begitu menarik perhatianku, masih mengenakan baju yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan Mama, Nak, maafkan Mama karena sudah membuat kalian terlelap sendiri," ucapku lembut dengan suara yang hampir tak terdengar, saat mengecup kening mereka. Aku melirik jam dinding dan baru sadar sudah malam. Ternyata waktu berlalu begitu cepat semenjak aku pingsan. Namun, apa yang membuatku kaget adalah tidak menemukan keberadaan suamiku, Mas Surya. "Sungguh jahat sekali Mas Surya padaku, kenapa dia
Aku terdiam, tak sanggup berkata apa-apa. Rasanya aku salah besar datang mengadukan masalahku ke sini. Aku hanya butuh dukungan, tapi mengapa dia begitu keras hati, bahkan tak peduli dengan perasaanku? Bukankah aku sudah melahirkan cucu untuknya? "Kalau kau butuh uang untuk berobat, nanti aku akan memberikan pada Surya, aku sedang terburu-buru, toko tidak ada yang menjaga," katanya sambil berdiri. "Bu, tapi Mas Surya berselingkuh," bisikku lemah, masih berusaha untuk mendapatkan simpatinya. Aku merasa seperti pengemis yang membutuhkan dukungannya, karena di sisi lain, aku masih mencintai suamiku dan ingin mempertahankan rumah tangga ini. "Seperti yang aku katakan tadi, jika sudah tak sanggup, lebih baik kalian berpisah saja. Sejak awal pernikahan kalian, aku sudah diperingatkan oleh ibumu untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga kalian," tegasnya. Aku merasakan hati yang hancur, bingung dan putus asa. Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan pernikahan ini? Mengapa aku