Surya tampak kacau, pikirannya tak bisa berhenti mempertanyakan alasan di balik kehadiran laki -laki yang datang malam-malam ke rumah Salamah. Dia merasa tak di hargai dan langsung pergi meninggalkan rumah Salamah. Tanpa berpamitan dan meninggalkan sepatah kata pun, memang aneh,datang mendadak, dan pergi seperti angin lalu "Apakah karena Nabil dan Yahya tak ingin bertemu dengannya? Tapi, bukankah itu hanya alasan saja, karena dia mungkin penasaran laki-laki seperti apa yang mendekati ku" Gumam Salamah "Akhirnya pergi juga," gumam Salamah sambil menutup tirai jendela. Wajah Salamah benar-benar penuh tanda tanya. Meski perasaan resah dan sedih masih terasa.Dia merasa bingung mengapa Surya tiba-tiba datang malam-malam dengan keadaan seperti itu. "Apa lagi yang dia inginkan? Ingin bertemu anak malam-malam begini, padahal masih banyak waktu. Kenapa harus tiba-tiba seperti ini?" Salamah memegang dada. Aku merasa perasaan sakit itu kembali menghantui, membuat harga diriku te
"Aku pamit dulu, Bu," ucapku sebelum bergegas meninggalkan rumah, dengan mengendarai motorku. Jujur saja, aku merasa lega dan lebih tenang setelah menerima kenyataan yang pahit ini. Aku menghela nafas panjang, berusaha melepaskan beban di dadaku. Namun ternyata, Nayla sudah menunggu di tikungan, dengan niat menghadangku. "Itu dia, aku akan memberikan pelajaran padanya," gumam Nayla sambil melajukan motornya agar dapat mengejar dan menemukanku. "Salamah, tunggu! Aku ingin bicara padamu!" teriak Nayla ketika motornya sudah beriringan dengan motorku. Aku hanya ingin menjauh dari mereka semua, tidak ingin masalah mereka mengganggu keseimbanganku lagi. "Maaf, Nayla. Aku tidak punya waktu untuk berbicara denganmu. Aku terburu-buru pergi kerja," jawabku, berusaha menghindar dari Nayla yang terus memaksa. Bukankah Nayla sadar bahwa dia hanya membuat hidupku semakin tidak tenang? Tapi, memang sudah menjadi sifat Nayla untuk tidak menyerah begitu saja, dia terus mendekatkan motor nya."S
"sialan!" umpat Surya dalam hati ketika melihat Andi bersama Salamah, emosinya langsung tersulut. "Dasar perempuan murahan, apa yang sedang kau lakukan bersama laki-laki ini, bukankah kau masih berstatus istri sahku?" ujar Surya kesal, hingga suaranya sedikit terangkat. Salamah terkejut saat melihat Surya menghampiri mereka, dan menatapnya tajam. "Apa yang kau katakan, Mas Surya? Jaga ucapanmu. Kita sudah bercerai secara agama, tinggal mengurus berkas di pengadilan saja!" jawab Salamah, mencoba menjelaskan situasinya. Aku sudah tak bisa mengendalikan diri lagi. "Maumu apa sebenarnya, Mas? Kenapa kau terus menganggu hidupku? Baru saja istrimu tercinta melabrakku, sekarang kau lagi. Mau kalian berdua ini apa? Belum cukupkah kalian menghancurkan hidupku?" umpatku dengan kesal, sungguh aku merasa geram dan kecewa yang tak terhingga. Andi yang berdiri di tengah-tengah keduanya menjadi tidak enak, tapi dia juga sudah tahu apa yang terjadi pada Salamah dan rumah tangganya. Aku merasa se
Nayla merasa takut saat memeluk Surya, "Mas, aku hamil. Aku bener-bener khawatir, Mas," ucapnya dengan cemas. Seolah ada beban berat di dadanya, ia merasa takut Surya akan meninggalkannya. Dalam hatinya, Nayla berpikir, 'Apa Mas Surya akan marah atau bahkan meninggalkan aku?' Surya hanya menjawab enteng, "Ya sudahlah kalau hamil, mau diapakan? Terima saja, kamu kan sudah menikah." Nayla memegang lengan Surya dengan erat, "Mas, jangan pergi meninggalkan aku. Kepalaku pusing dan mual terus." "Ini kan bukan kehamilan pertama buat kamu, jadi bersikaplah santai," sahut Surya sambil melepaskan tangan Nayla. Terdengar suara Nayla yang terbata-bata, "Mas, apa maksudmu?" 'Apa aku salah mempercayai dia?' batinya. Surya melanjutkan, "Jangan pura-pura tidak tahu Nayla. Bukankah kamu sudah sering melakukan aborsi saat kita menjalin hubungan sejak awal? Jangan terlalu khawatir dengan kehamilan baru ini. Kamu hanya perlu menyesuaikan diri saja, kalau ini kehamilan ada suami, dan yang kem
Sudah satu bulan berlalu semenjak tragedi itu, Salamah kini dengan mantap mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Entah setuju atau tidak Surya, yang jelas Salamah sudah bertekad untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Dengan bukti perselingkuhan yang berhasil ia kumpulkan, hatinya semakin yakin bahwa ini adalah langkah yang tepat. "Bagaimana, Nak? Apa semuanya sudah selesai?" tanya ibunya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Doakan saja lancar, Bu. Sidang pertama minggu depan. Semoga saja Mas Surya tidak datang, agar tidak ada proses mediasi dan semuanya bisa diputuskan dengan cepat. Aku sudah tak sanggup lagi dalam keadaan seperti ini," jawab Salamah mencoba menjelaskan perasaannya. Salamah sebenernya masih merasa sangat terluka, bingung, dan marah. Kenapa dia yang harus mengalami semua ini? Bagaimana ini bisa terjadi? Ia merasa seperti berjalan dalam gelap, tidak tahu harus bagaimana melangkah untuk mencapai kebahagiaan yang dulu pernah ia rasakan bersama Surya, namun percu
Hari ini, aku sengaja bangun lebih awal untuk menemui Nayla di rumahnya. Ada sebuah masalah mengenai anak-anakku yang perlu dibicarakan dengannya.Sebenarnya, aku sangat enggan untuk melakukannya, namun demi kesejahteraan mental anak-anak, aku harus menempuh jalan ini."Demi anak-anak, aku harus melawan keenggananku," gumamku dalam hati, mencoba memberi diri semangat."Permisi," aku mengucapkan sambil berdiri di depan pintu rumah Nayla.Begitu melihatku, dia langsung terkejut dan menjawab dengan nada ketus,"Hah, kau?! Mau apa kau kesini, dasar perempuan tak tahu malu! Apa kau mau merebut suamiku, atau kau mau merayunya lagi ya?" Perilaku Nayla yang tak terkendali tampak jelas dari nafasnya yang tak beraturan.Aku mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada tujuan utamaku - untuk membahas kebaikan anak-anakku. "Sekarang bukan waktunya untuk emosi," batinku. "Aku harus tetap tegar demi anak-anak. Kita akan mencapai kesepakatan, meski harus melalui banyak rintangan.""Heh, kenapa kau begi
"Mau makan apa, Mas? Biar aku siapkan," ucap Nayla sambil beranjak dari samping Surya. Namun, ada suara yang tidak asing terdengar oleh Surya. "Bukannya itu suara Salamah? Tapi nggak mungkin dia ada di sini," batin Surya penasaran, lalu mengikuti Nayla. "Mas, aku masih lemas. Mungkin anak kita nanti perempuan, ya?" ungkap Nayla mencoba mengalihkan perhatiannya. Surya menjawab santai, "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Nayla kecewa, mengharapkan Surya lebih antusias dan memberi dukungan. "Mas, aku berencana nanti mengantarkan makanan ke rumah Ibu. Apa kamu mau menemani aku?" "Aku capek, rasanya pengin tidur aja seharian ini. Kamu tahu kan, semalam aku begadang," jawab Surya acuh. Nayla merasa jengkel namun berusaha tenang. "Tapi, Mas, uang kita sudah tidak ada, sedangkan aku belum diterima kerja," ujarnya hati-hati. Surya malah berkelit, "Nanti saja, deh. Aku minta sama Ibu. Kamu catat dulu aja apa yang kamu butuhkan." Nayla mendengar itu, hatinya langsung teriris. Rasanya ingin m
Salamah merasa semakin sibuk beberapa hari ini, terlebih karena pendaftaran CPNS akan segera dibuka. Dia tidak sabar untuk mengikuti tes tersebut, berharap suatu hari nanti dia bisa memiliki penghasilan sendiri dan merasa mandiri sebagai perempuan."Mudah-mudahan aku bisa lolos, ya Bu. Kebutuhannya banyak, dan aku ingin membantu meringankan beban keluarga," gumamnya penuh harap.Selama satu bulan, Salamah berusaha keras untuk belajar siang dan malam, membekali dirinya dengan ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tes CPNS. Namun, seolah keberuntungan belum berpihak padanya, setelah menunggu hasil pengumuman selama satu bulan, dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya dinyatakan gugur.Sementara itu, di kantor tempatnya bekerja, ada kabar tentang pengurangan tenaga honorer. Tentu saja, ini membuat Salamah merasa semakin khawatir. Sedangkan persidangan cerainya yang sedang berlangsung terus ditunda, dengan berbagai alasan yang tidak dapat diterima logika Salamah."Ah, mungkin memang bel
Salamah tersenyum puas atas kejadian malam ini, sebenarnya dia sendiri tak menyangka bisa melakukan hal sekejam ini. "Mungkin ini adalah warisan sisi jahat ibuku yang menular padaku, tapi entah mengapa, ada perasaan bahagia yang kini menyelimutiku," gumam Salamah dalam hati. "Ini belum seberapa, Nayla. Kau harus merasakan betapa dalamnya luka yang kurasakan sekarang!" Salamah terlihat semakin terobsesi oleh rasa dendam yang sudah merasuki hatinya. "Bahkan, aku sudah melangkah sejauh ini, untuk bisa membalas rasa sakit yang sudah menyeruak di dada," gumamnya lagi, sembari merenung apa yang telah ia perbuat. "Walaupun aku tahu Mas Surya juga berbuat salah, tapi seharusnya Nayla juga bisa menolak ajakannya, jika dia perempuan baik-baik. Karena hidup ini penuh dengan pilihan!". Dengan pikiran yang kian terkoyak antara kebahagiaan dan penyesalan, Salamah mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang telah ia lakukan adalah langkah yang tepat demi melampiaskan dendam yang telah lama ia penda
Salamah tersenyum sinis, saat mendengar kabar dari salah satu temannya bahwa Nayla baru saja pulang dari rumah sakit.Dalam hati, dia bertanya-tanya, "Apa kau merasa kesakitan, Nayla? Apakah itu sebanding dengan sakit yang pernah aku rasakan?" Salamah melemparkan handphonenya ke atas kasur, lalu teringat betapa ia kehilangan anak yang selama ini dinanti.Memegang perutnya, air mata berlinang deras, perasaan luka mendalam itu tak mampu ia ungkapkan."Tidak mungkin aku bisa merasakannya lagi," gumamnya perlahan."Kau masih beruntung, Nayla, karena kehamilanmu baik-baik saja. Tapi, di lubuk hati, aku berharap anak itu tak bisa lahir ke dunia ini."Salamah terlihat begitu penuh kebencian karena sebagai seorang ibu, kehilangan anak terlebih anak perempuan yang selama ini diharapkan membuatnya merasa hancur dan tersiksa."Aku tak sabar melihat dia semakin menderita!" lirih Salamah, kemudian memukul tembok dengan kedua tangannya. Emosi ini mungkin wajar, mengingat bagaimana perasaan terluka
Nayla menangis tersedu-sedu sambil pulang ke rumah, merasa marah dan sedih. Dalam hati, ia meratapi nasib buruk yang menimpanya. "Mas Surya, mengapa kau tega? Aku di sini dengan perut yang membesar, namun kau malah sibuk bersama perempuan itu," keluhnya dengan air mata yang masih menetes di pipinya. Tiba di rumah, Nayla langsung masuk ke kamarnya dan menangis sesegukan. "Dia bahkan hampir seminggu tak pulang ke rumah. Apa lagi yang kuinginkan darinya? Apakah aku masih kurang?", keluhnya lirih. Tanpa disadarinya, tangisannya terdengar oleh ibunya yang baru saja pulang dari acara yasinan. Ibu Nayla sudah terbiasa dengan cibiran orang-orang terhadap dirinya dan keluarganya, namun tak bisa berbuat apa-apa karena kesalahan memang ada pada anaknya. "Kenapa kamu menangis Nak?" tanya ibunya dengan kekhawatiran. Namun Nayla, yang terlarut dalam kesedihannya, hanya diam, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ibunya. "Nay, kamu baik-baik saja Nak?" tanya ibunya kembali dengan nada lembut
Aku tertawa puas sekali, sampai kembali ke kantor. "Ini baru awal, kenapa aku jadi menikmati permainan ini?" Gumamku dalam hati.Ketika sampai di ruang kantor, ternyata teman-teman satu ruangan sudah mengetahui apa yang terjadi tadi. Aku menyadari bahwa kabar ini telah menyebar lebih cepat daripada yang kubayangkan."Aku rasa Intel yang melaporkan pada kalian patut diberikan apresiasi, karena sudah melaporkan kejadian siang ini," kataku dengan nada ironis.Salah satu temanku segera menyahut, "Tentu saja Sal, apalagi jika Intel itu adalah Pak Andi, kau tahu kan, wajahnya begitu terlihat kecewa saat menceritakan apa yang dia lihat tadi.""Masa?" gumamku lagi."Iya, Sal, kamu sih, pakai acara bertemu dengan mantan kamu itu. Kalau aku jadi kamu, jangankan untuk bertemu, melihatnya saja tidak sudi!" timpal temanku.Aku langsung menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaan yang sedang kacau. "Andai saja kalian yang berada di posisi ku, aku yakin kalian tidak akan semudah itu untu
Mas Surya tampak sangat bahagia saat berbicara denganku. "Kamu makin cantik," ucapnya dengan wajah yang menunduk. Aku tersenyum, berusaha untuk tidak terbawa dalam rayuannya. Walaupun sebenarnya di dalam hati, aku merasakan degupan yang lebih kencang. "Mana Nayla? Aku sedang menunggu kehadirannya," pikirku dalam hati. "Terima kasih, Mas, untuk pujian tersebut, tapi aku rasa Mas lebih pantas memberikan pujian itu pada Nayla, bukan padaku," kataku sambil tersenyum. Namun, Mas Surya malah menjawab, "Tidak, jangan bahas dia lagi, Salamah. Jujur saja, aku menyesal sudah menikahi dia. Ternyata dia bukan perempuan yang sabar seperti kamu." Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia berbicara seperti ini? Entah mengapa, di tengah perasaan terkejut, aku merasa ada tugas yang harus kuselesaikan untuk Nayla. Tanpa Mas Surya sadari, aku sengaja merekam pembicaraan ini, untuk dikirimkan pada Nayla nanti. Aku berharap semoga ini bisa membantu Nayla untuk mengetahui, siapa Surya yang menjadi suaminya
Hari ini, aku berdandan dengan sempurna, lengkap dengan wewangian yang memenuhi ruangan kamar.Aku ingin tampil percaya diri, tetapi tidak menyangka akan ada yang memuji penampilanku seperti ini lebih awal"Wah, Mama cantik sekali!" seru Nabil dan Yahya sambil langsung memelukku.Aku kaget saat mendengar suara kecil tersebut, masuk kedalam kamar pagi-pagi "Iya dong, Mama siapa dulu?" sahutku sambil mencubit hidung mungil mereka, yang mirip banget dengan Mas Surya.Aku terkejut mendengar perkataan Nabil berikutnya. "Mama, jangan cantik-cantik nanti banyak yang naksir."Sejenak aku bertanya-tanya, "Siapa yang mengajari anakku bicara begini?" lalu kuberkacak pinggang, berpura-pura marah."Hei, siapa yang ngajarin Nabil berbicara seperti ini?""Papa dong, kabur!" seru mereka sambil berlari keluar dari kamarku.Mendengar jawaban itu, aku mulai berpikir. "Jadi, Mas Surya ternyata mengajari anak-anak ini agar menjadi mata-mata baginya? Pantas saja, dia selalu mengetahui setiap gerak-gerikku.
"Aku berangkat dulu, Bu," ucapku singkat. "Nayla, bagaimana dengan perceraianmu? Apa sudah ada keputusan?" tanya ibu dengan raut wajah penuh kekhawatiran. "Semakin lama saja, Bu. Aku juga bingung kenapa dipersulit," jawabku mencoba menyembunyikan kebenaran. Sebenarnya, aku tak ingin mengatakan pada ibu jika Mas Surya sebenarnya mengancam tidak mau menceraikan aku secara resmi. Keputusasaan ini benar-benar membelenggu hatiku. "Apakah aku benar-benar harus terjebak dalam pernikahan ini?" batin ku. Beberapa hari yang lalu, aku sempat menghadiri acara reuni sekolah dan bertemu dengan salah satu sahabat lama. Kebetulan, dia juga baru saja bercerai dengan istrinya. Seiring obrolan kami yang semakin mengalir, aku merasa sedikit terhibur. Kami saling bercerita, tak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang kisah perceraian kami. Aku merasa ada seseorang yang akhirnya mengerti perasaanku. "Setelah menikah, kami sama-sama tidak pernah berkomunikasi lagi demi menjaga perasaan pasangan
Salamah merasa semakin sibuk beberapa hari ini, terlebih karena pendaftaran CPNS akan segera dibuka. Dia tidak sabar untuk mengikuti tes tersebut, berharap suatu hari nanti dia bisa memiliki penghasilan sendiri dan merasa mandiri sebagai perempuan."Mudah-mudahan aku bisa lolos, ya Bu. Kebutuhannya banyak, dan aku ingin membantu meringankan beban keluarga," gumamnya penuh harap.Selama satu bulan, Salamah berusaha keras untuk belajar siang dan malam, membekali dirinya dengan ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tes CPNS. Namun, seolah keberuntungan belum berpihak padanya, setelah menunggu hasil pengumuman selama satu bulan, dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya dinyatakan gugur.Sementara itu, di kantor tempatnya bekerja, ada kabar tentang pengurangan tenaga honorer. Tentu saja, ini membuat Salamah merasa semakin khawatir. Sedangkan persidangan cerainya yang sedang berlangsung terus ditunda, dengan berbagai alasan yang tidak dapat diterima logika Salamah."Ah, mungkin memang bel
"Mau makan apa, Mas? Biar aku siapkan," ucap Nayla sambil beranjak dari samping Surya. Namun, ada suara yang tidak asing terdengar oleh Surya. "Bukannya itu suara Salamah? Tapi nggak mungkin dia ada di sini," batin Surya penasaran, lalu mengikuti Nayla. "Mas, aku masih lemas. Mungkin anak kita nanti perempuan, ya?" ungkap Nayla mencoba mengalihkan perhatiannya. Surya menjawab santai, "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Nayla kecewa, mengharapkan Surya lebih antusias dan memberi dukungan. "Mas, aku berencana nanti mengantarkan makanan ke rumah Ibu. Apa kamu mau menemani aku?" "Aku capek, rasanya pengin tidur aja seharian ini. Kamu tahu kan, semalam aku begadang," jawab Surya acuh. Nayla merasa jengkel namun berusaha tenang. "Tapi, Mas, uang kita sudah tidak ada, sedangkan aku belum diterima kerja," ujarnya hati-hati. Surya malah berkelit, "Nanti saja, deh. Aku minta sama Ibu. Kamu catat dulu aja apa yang kamu butuhkan." Nayla mendengar itu, hatinya langsung teriris. Rasanya ingin m