Nayla merasa takut saat memeluk Surya, "Mas, aku hamil. Aku bener-bener khawatir, Mas," ucapnya dengan cemas. Seolah ada beban berat di dadanya, ia merasa takut Surya akan meninggalkannya. Dalam hatinya, Nayla berpikir, 'Apa Mas Surya akan marah atau bahkan meninggalkan aku?' Surya hanya menjawab enteng, "Ya sudahlah kalau hamil, mau diapakan? Terima saja, kamu kan sudah menikah." Nayla memegang lengan Surya dengan erat, "Mas, jangan pergi meninggalkan aku. Kepalaku pusing dan mual terus." "Ini kan bukan kehamilan pertama buat kamu, jadi bersikaplah santai," sahut Surya sambil melepaskan tangan Nayla. Terdengar suara Nayla yang terbata-bata, "Mas, apa maksudmu?" 'Apa aku salah mempercayai dia?' batinya. Surya melanjutkan, "Jangan pura-pura tidak tahu Nayla. Bukankah kamu sudah sering melakukan aborsi saat kita menjalin hubungan sejak awal? Jangan terlalu khawatir dengan kehamilan baru ini. Kamu hanya perlu menyesuaikan diri saja, kalau ini kehamilan ada suami, dan yang kem
Sudah satu bulan berlalu semenjak tragedi itu, Salamah kini dengan mantap mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Entah setuju atau tidak Surya, yang jelas Salamah sudah bertekad untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Dengan bukti perselingkuhan yang berhasil ia kumpulkan, hatinya semakin yakin bahwa ini adalah langkah yang tepat. "Bagaimana, Nak? Apa semuanya sudah selesai?" tanya ibunya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Doakan saja lancar, Bu. Sidang pertama minggu depan. Semoga saja Mas Surya tidak datang, agar tidak ada proses mediasi dan semuanya bisa diputuskan dengan cepat. Aku sudah tak sanggup lagi dalam keadaan seperti ini," jawab Salamah mencoba menjelaskan perasaannya. Salamah sebenernya masih merasa sangat terluka, bingung, dan marah. Kenapa dia yang harus mengalami semua ini? Bagaimana ini bisa terjadi? Ia merasa seperti berjalan dalam gelap, tidak tahu harus bagaimana melangkah untuk mencapai kebahagiaan yang dulu pernah ia rasakan bersama Surya, namun percu
Hari ini, aku sengaja bangun lebih awal untuk menemui Nayla di rumahnya. Ada sebuah masalah mengenai anak-anakku yang perlu dibicarakan dengannya.Sebenarnya, aku sangat enggan untuk melakukannya, namun demi kesejahteraan mental anak-anak, aku harus menempuh jalan ini."Demi anak-anak, aku harus melawan keenggananku," gumamku dalam hati, mencoba memberi diri semangat."Permisi," aku mengucapkan sambil berdiri di depan pintu rumah Nayla.Begitu melihatku, dia langsung terkejut dan menjawab dengan nada ketus,"Hah, kau?! Mau apa kau kesini, dasar perempuan tak tahu malu! Apa kau mau merebut suamiku, atau kau mau merayunya lagi ya?" Perilaku Nayla yang tak terkendali tampak jelas dari nafasnya yang tak beraturan.Aku mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada tujuan utamaku - untuk membahas kebaikan anak-anakku. "Sekarang bukan waktunya untuk emosi," batinku. "Aku harus tetap tegar demi anak-anak. Kita akan mencapai kesepakatan, meski harus melalui banyak rintangan.""Heh, kenapa kau begi
"Mau makan apa, Mas? Biar aku siapkan," ucap Nayla sambil beranjak dari samping Surya. Namun, ada suara yang tidak asing terdengar oleh Surya. "Bukannya itu suara Salamah? Tapi nggak mungkin dia ada di sini," batin Surya penasaran, lalu mengikuti Nayla. "Mas, aku masih lemas. Mungkin anak kita nanti perempuan, ya?" ungkap Nayla mencoba mengalihkan perhatiannya. Surya menjawab santai, "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Nayla kecewa, mengharapkan Surya lebih antusias dan memberi dukungan. "Mas, aku berencana nanti mengantarkan makanan ke rumah Ibu. Apa kamu mau menemani aku?" "Aku capek, rasanya pengin tidur aja seharian ini. Kamu tahu kan, semalam aku begadang," jawab Surya acuh. Nayla merasa jengkel namun berusaha tenang. "Tapi, Mas, uang kita sudah tidak ada, sedangkan aku belum diterima kerja," ujarnya hati-hati. Surya malah berkelit, "Nanti saja, deh. Aku minta sama Ibu. Kamu catat dulu aja apa yang kamu butuhkan." Nayla mendengar itu, hatinya langsung teriris. Rasanya ingin m
Aku merasa harus menanggung beban Karma yang diwariskan oleh ibuku... Namaku Salamah, dan saat ini usiaku 25 tahun. Aku sudah memiliki dua orang anak laki-laki, yang pertama berusia 3 tahun dan yang kedua 4,5 tahun. Sebagai anak tunggal, tentu saja aku menerima kasih sayang yang tak terbagi dari kedua orang tuaku. Namun, ada satu hal yang sangat menyakitkan hatiku: sampai detik ini, pernikahanku dengan suamiku belum juga mendapat restu dari orangtua suamiku. "Kenapa mereka masih belum bisa menerima aku?" tanyaku dalam hati. Apakah latar belakang keluarga kami yang sama-sama berasal dari keluarga berada jadi penyebabnya? Atau, mungkin, karena aku belum bisa memberikan mereka cucu perempuan? Pikiran itu terus mengusik benakku. Padahal kedua anak lelakiku ini adalah darah daging keluarga suamiku. Dalam hati aku berpikir, "Apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan hati mereka? Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak membuahkan hasil." Kesedihan ini menghantui pikira
Tanpa rasa berdosa, Mas Surya langsung pergi ke dapur untuk mandi dan memanggilku untuk menyiapkan makanan. "Sebentar Mas," kataku sambil berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. Rasa sesak di dada sudah tak bisa tertahankan, seperti bara yang tak kunjung padam. Aku ingin sekali berteriak dan melawan, tapi aku tahu bahwa semua ini belum cukup. Aku harus mengumpulkan bukti lebih banyak lagi, agar Mas Surya tak bisa mengelak dari perselingkuhan yang telah dia perbuat. Aku mencoba menenangkan pikiranku, memfokuskan perhatian pada segala sesuatu di sekitarku. Namun, rasa sakit dan marah begitu besar, hingga sulit sekali untuk memikirkan apapun. Aku tak menyalahkan wanita itu, karena aku sadar betul bahwa Mas Surya-lah yang seharusnya bisa mengendalikan dirinya. Mengapa dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bermain hati di belakangku? Apakah cinta kami sudah tidak ada lagi? "Salamah, mana piringnya?" teriak Mas Surya saat keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.
Mataku terasa begitu berat, saat aku terjaga ternyata anak-anakku sudah tidur di sampingku. "Ya Tuhan, sakit sekali," gumamku seraya memegang pipiku yang begitu sakit. Aku berusaha untuk berdiri, ingin mendekati cermin untuk melihat keadaan wajahku. Benar saja, wajahku merah dan mataku terlihat berwarna biru akibat memar. "Kejam sekali dia, aku sedang hamil, tapi dia melakukan ini padaku," geram ku dalam hati sambil air mata kembali mengalir di pipiku. Kedua anakku yang sedang terlelap di sampingku begitu menarik perhatianku, masih mengenakan baju yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan Mama, Nak, maafkan Mama karena sudah membuat kalian terlelap sendiri," ucapku lembut dengan suara yang hampir tak terdengar, saat mengecup kening mereka. Aku melirik jam dinding dan baru sadar sudah malam. Ternyata waktu berlalu begitu cepat semenjak aku pingsan. Namun, apa yang membuatku kaget adalah tidak menemukan keberadaan suamiku, Mas Surya. "Sungguh jahat sekali Mas Surya padaku, kenapa dia
Aku terdiam, tak sanggup berkata apa-apa. Rasanya aku salah besar datang mengadukan masalahku ke sini. Aku hanya butuh dukungan, tapi mengapa dia begitu keras hati, bahkan tak peduli dengan perasaanku? Bukankah aku sudah melahirkan cucu untuknya? "Kalau kau butuh uang untuk berobat, nanti aku akan memberikan pada Surya, aku sedang terburu-buru, toko tidak ada yang menjaga," katanya sambil berdiri. "Bu, tapi Mas Surya berselingkuh," bisikku lemah, masih berusaha untuk mendapatkan simpatinya. Aku merasa seperti pengemis yang membutuhkan dukungannya, karena di sisi lain, aku masih mencintai suamiku dan ingin mempertahankan rumah tangga ini. "Seperti yang aku katakan tadi, jika sudah tak sanggup, lebih baik kalian berpisah saja. Sejak awal pernikahan kalian, aku sudah diperingatkan oleh ibumu untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga kalian," tegasnya. Aku merasakan hati yang hancur, bingung dan putus asa. Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan pernikahan ini? Mengapa aku