Yumna tersenyum. "Aku memang sudah kenyang, Mas. Tapi aku penasaran dengan jajanan di sini. Aku ingin mencoba jajanan khasnya, yang pasti ada makanan yang unik dan nggak ada di Jakarta, kan?"
Ustad Yunus tertawa kecil. Dia senang melihat semangat Yumna untuk mencoba kuliner baru, tapi makan terlalu berlebihan tentu tidak dianjurkan dalam Islam. Apalagi jika kondisi perut sudah kenyang."Nyari jajanannya besok lagi saja, Dek. Sekarang kita cari penginapan di daerah sini, ya? Kamu pasti capek, kita butuh istirahat.""Tapi masa kita makan nggak ada cuci mulutnya sih, Mas?" Yumna terlihat enggan untuk beristirahat, karena kalau sudah berada dikamar pasti akan lama dan tidak akan memikirkan soal makanan."Cuci mulutnya buah aja, ya?" bujuk Ustad Yunus dengan lembut. "Nanti dijalan kita beli jeruk atau apel. Kamu suka jeruk sama apel, kan?" "Suka." Yumna mengangguk. "Tapi sekarang 'kan lagi musim rambutan, Mas. Bagaimana kalau cuci mulutnya b"Yaaa." Mbah Ratu mengangguk cepat."Memangnya mau untuk apa nanti, Mbah?" tanya Tora penasaran."Aku akan membuatkan ramuan khusus dengan menggunakan bulu itu.""Tapi kenapa harus bulu j*mbutnya Yunus, Mbah? Kenapa nggak bulu j*mbutnya Pak Cakra saja?" Menurut Tora, itu adalah tindakan yang sulit. Rasanya tidak mungkin juga dia asal cabut begitu saja, karena pastinya Ustad Yunus tak akan terima."Yang mau dipelet 'kan si Yunus awalnya, gimana sih kamu!" Mbah Ratu berdecak kesal. Dia pun melangkah keluar dari dapur, tetapi Tora segera menyusulnya."Tapi, Mbah ... gimana cara saya mencabut bulu j*mbutnya?" Tora meminta saran, karena jujur dia bingung."Ya tinggal cabut aja. Tapi jangan sampai patah, karena aku membutuhkannya sampai akar.""Masa saya asal cabut, Mbah, bisa-bisa marah dong dia.""Ya, pikirkan sendiri lah caranya, supaya dia nggak marah! Masa begitu saja kamu nggak ngerti, sih?" omel Mbah Ratu
"Lho ... saya nggak tau." Ustad Yunus menggeleng. "Saya 'kan laki-laki, Dek. Mungkin mual-mual kali.""Tapi aku nggak ngerasa mual, Mas. Malah aku laper." Yumna ikut menyentuh perutnya sendiri."Laper karena perut kamu kosong, Dek. Kan belum sarapan." Ustad Yunus terkekeh. "Tapi memang nggak ada salahnya nanti kita cek, ya? Kita beli tespack.""Iya, Mas." Yumna mengangguk. "Oh ya ... katanya Mas mau ngajakin aku renang. Jadi apa nggak? Tapi aku nggak bawa baju renang.""Jadi. Nanti habis kita sarapan. Katanya kamu juga mau nyari jajanan khas di sini, kan?"Yumna mengangguk. "Tapi baju renangnya gimana?""Kita beli dadakan saja nanti. Sekarang kamu pakai hijab dulu. Saya keluar sebentar, ya, Dek... Buat panasin mobil," pamit Ustad Yunus, lalu kembali mengecup dahi Yumna."Iya, Mas." Yumna membalas mencium pipi kanan suaminya sambil berjinjit. Lalu menatap Ustad Yunus yang menghilang dari balik pintu apartemen.Semalam, setelah berhasil bercinta satu ronde di dalam mobil, mereka langsun
Sandi terkejut dan terbelalak saat merasakan kecupan di pipinya. Meskipun hanya sebuah kecupan yang ringan, namun itu merupakan kecupan pertama baginya, sebagai seseorang yang selama ini menjalani kehidupan menjomblo.Wajah Sandi langsung memerah, dan jantungnya berdetak kencang. Dia merasa campur aduk antara gugup, terkejut, dan ada rasa senang yang muncul tanpa alasan yang jelas.Sandi berusaha menyembunyikan rasa malu dan kegugupannya, namun sulit untuk menahannya. Dia merasa kebingungan dan menjadi salah tingkah karena kejadian ini begitu tiba-tiba."Naya, apa yang kamu lakukan??" Bunda Noni pun sama kagetnya, melihat apa yang dilakukan putri semata wayangnya itu. "Kamu nggak boleh kayak gitu, Nay, kamu sama Sandi itu bukan muhrim," ucapnya dengan nada khawatir.Naya mendengus dan bertanya, "Kok Sandi lagi? Ini kan Bang Yunus, Bun. Lagian Sandi itu siapa, sih?" Meskipun begitu, Naya memperhatikan wajah Sandi yang memerah dan tiba-tiba mengeluarkan darah dari hidungnya. Naya khawat
"Kita menikahnya nanti, Nay, setelah kamu sembuh." Seperti apa yang kemarin Bunda Noni katakan, sekarang Sandi pun menjawabnya sesuai permintaannya. "Sembuh??" Jawaban itu terdengar ambigu menurut Naya. Pasalnya dia merasa tidak sakit. "Memangnya siapa yang sakit? Aku nggak sakit kok." "Kamu sakit." "Sakit apa? Kepalaku nggak pusing, aku nggak pilek, batuk, sakit perut dan ...." Naya langsung menarik tangan Sandi, lalu menempelkannya ke area dahi, supaya dia merasakan jika tubuhnya tak panas. "Rasakan ini, Bang. Badanku bahkan nggak panas, kan?" "Kamu bukan sakit itu, Nay." Sandi menggelengkan kepalanya. "Lalu?" Naya menatap penasaran, dahinya berkerut. "Kamu itu sakit pada kejiwa ...." Ucapan Sandi seketika menggantung, karena merasa ragu. Takut jika nantinya apa yang dia sampaikan membuat Naya sakit hati. Dan setahu Sandi, orang gila pasti tidak akan mengakui dirinya gila. Malah bisa saja nantinya Naya marah. "Kejiwa apa, Bang?" tanya Naya sema
"Oohh ... jadi karena itu." Ustad Yunus tertawa kecil mendengarnya. Segera, mengajak Yumna untuk duduk bersama di salah satu kursi yang kosong dekat kolam. Dia akan memberikan Yumna pemahaman, supaya tak salah paham dengan niat hati Ustad Yunus melakukan hal itu. "Maafin saya, Dek. Bukan saya nggak mau membelikanmu baju renang ... tapi baju renang 'kan ketat. Sedangkan ini kolam renang umum. Nggak mau lah saya, Dek.""Nggak maunya kenapa?" tanya Yumna yang tampak bingung."Nanti tubuhmu dilihat oleh pria lain. Itu dosa hukumnya, Dek.""Tapi Mas coba lihat deh ...." Yumna menatap sekitar, pada beberapa perempuan yang bahkan ada yang memakai bikinii. Tapi Ustad Yunus sama sekali tak menatap ke sana, sedari masuk sampai sekarang dia hanya fokus menatap kolam dan istrinya saja. "Semua perempuan di sini rata-rata pakai baju renang, Mas. Dan memang baju renang udah begitu dari modelnya, ketat. Kan namanya mau nyebur ke air.""Biarkan saja perempuan lain pakai baju ranang. Tapi kamu jangan,
"Warna bulunya itu nggak asli sebenarnya, Dek. Itu disepuh," sahut Ustad Yunus."Disepuh gimana?" Yumna mengerutkan keningnya tak mengerti."Disepuh, ya kayak diwarnai gitu, Dek.""Masa sih, Mas? Memangnya bisa??" Yumna tampak tak percaya."Ya bisa, itu 'kan buktinya jadi warna warni.""Nanti sebelum beli aku mau tanya dulu deh sama yang jual. Barangkali memang bulunya asli, Mas.""Oohh ya sudah, terserah kamu aja." Ustad Yunus mengangguk, apa pun yang Yumna inginkan asalkan itu hal baik dan dia mampu, dia akan memberikannya. "Ya udah, sekarang kamu habiskan dulu mienya. Nanti keburu dingin nggak enak.""Iya." Yumna mengangguk cepat.***"Pak ... Aku mau beli ayam-ayamnya," ucap Yumna yang melangkah menghampiri penjual ayam warna-warni.Pria setengah baya itu menjual ayam-ayam tersebut di depan pintu keluar wisata air. Ayam-ayam warna-warni itu diletakkan ke dalam beberapa keranjang putih yang terpisah berdasarkan warna. Ada warna pink, biru, kuning, merah, ungu, hijau, dan oren."O
"Bulu apa saja, Bu, bebas." "Maksudnya??" Umi Mae menatap bingung. "Pokoknya semua jenis bulu deh, Bu. Bulu ayam, bulu burung, bulu kucing dan bulu manusia." "Ngeri amat, pakai bulu manusia segala. Memangnya nanti mau diapain itu bulunya?" "Mau diproduksi, Bu. Dijadikan bulu mata palsu," jawab Tora asal. Segera, dia pun mengambil kartu namanya di dalam dompet, lalu memberikannya kepada Umi Mae. "Ini kartu nama saya. Mohon Ibu nanti hubungi saya kalau Yunus sudah pulang, ya? Kalau begitu saya permisi, assalamualaikum." "Tapi, Pak. Aku sepertinya ...." Ucapan Umi Mae belum selesai, tapi pria itu sudah keburu masuk ke dalam mobil. Jadilah dia meneruskan dengan menjawab salam, sembari memerhatikan kartu nama Tora. "Walaikum salam. Tapi kok ada yang aneh, ya??" *** "Habis ini kita mau ke mana, Dek? Apa kamu kepengen pergi ke suatu tempat?" tanya Ustad Yunus yang mulai mengemudikan mobilnya. "Langsung pulang aja, Mas. Aku kepengen main sama mereka," jawab
"Assalamualaikum, Umiiii!!" Yumna turun dari mobil, setibanya di rumah Ustad Yunus. Kemudian langsung berlari masuk ke dalam rumah sederhana itu karena kebetulan pintunya terbuka. Dia merasa sudah tak sabar ingin bertemu Umi Mae, karena sudah cukup lama tidak bertemu dan itu membuatnya rindu. "E-eh!" Umi Mae yang tengah menyapu lantai sontak terkejut, melihat kedatangan menantunya. Apalagi saat dia langsung memeluk tubuhnya. "Aku kangen Umi." "Umi juga kangen kamu, Nak." Umi Mae tersenyum lebar, lalu mencium kening menantunya. "Kamu baru sampai, ya?" "Iya." Yumna mengangguk. "Aku sama Mas Boy bawakan Umi oleh-oleh lho," katanya, saat melihat baru saja Ustad Yunus masuk ke dalam rumah dengan membawa tiga buah kardus berukuran sedang. "Waaahhh ... Apa itu, Nak? Kok banyak banget." Umi Mae tampak antusias dan senang melihatnya. Ustad Yunus meletakkan ketiga benda itu di atas meja, lalu mendekat ke arah Umi Mae dan mencium punggung tangannya. "Jajanan khas Karawang, Umi," jawabnya.