Bab 7 Mulai Bikin Masalah.
Ranjang bergoyang, Damar duduk di sebelah Nisa, sudah berpakaian lengkap. "Solat jamaah, yuk," ajak Damar, Nisa hanya melirik sinis, tak menanggapi ucapan Damar. Tak mendapat respon dari Nisa, Damar bangun dan menggelar sajadah. Melakukan kewajiban pada Tuhannya. Damar lelaki taat, Kirana wanita pujaannya, selalu mengingatkan pentingnya Tuhan dalam kehidupan kita. Seperti apapun liku kehidupan kita, asal ada Tuhan di setiap gerak kita, Insha Allah, Allah akan selalu memberikan jalan yang terbaik. Ketukan pintu, menghentikan kegiatan Damar, bermunajat kepada sang pencipta. Kakinya dilangkahkan pada daun pintu. Ternyata Mbok Darmi, "Den, makan malam sudah siap," ucapnya, ketika Damar membuka pintu kamar. Netranya mencari keberadaan majikan perempuan yang sudah seperti anak. "Iya, Mbok nanti saya turun," jawab Damar. "Nisa ada di kasur itu, Mbok," ucap Damar, karna melihat gelagat mata Mbok Darmi. "Oohh... Ya sudah, Mbok turun. Makanan sudah siap semua. Marni tadi Mbok suruh masak kesukaan Den Damar, sama Non Nisa," ucap Mbok Darmi. Damar hanya mengangguk, kembali menutup pintu, mendekati Nisa. "Nis, ayo solat dulu, kamu mau Mas masuk neraka, karna kamu gak solat. Tadi juga kamu pergi gak pake hijab," ujar Damar pelan. "kalo Mas, gak mau masuk neraka cerein Nisa," jawab Nisa ketus. Damar hanya diam, tak lagi menanggapi. "Kok kalo lagi marah jadi lucu banget," Damar mendekati Nisa berusah mencium pipi Nisa. Tetapi dengan sigap sikut Nisa diangkat untuk menghalau, tak ayal menggenai muka Damar. "Aduuhhh... Nis, kamu KDRT sama Mas." Damar meringis karna bibirnya terkena sikut Nisa. "Bodo, sukurin," ucap Nisa judes. "Ya ampun, judes banget." Damar langsung membopong tubuh mungil Nisa. Walau berontak Nisa tak dapat melepaskan diri. Damar membawa Nisa ke kamar mandi menyuruh Nisa, berwudhu. "Cepet wudhu, kalo nggak, Mas mandiin di sini." Wajah Nisa merona malu. Dia mengingat beberapa hari lalu dia memaksa Damar untuk mandi bersama, tetapi dengan keras Damar menolak. Seandainya hal romantis ini di lakukan Damar kemarin-kemarin, sudah pasti dia memilih dimandikan Damar. Kalo sekarang perihnya hati Nisa gak sebanding sama perlakuan romantis Damar saat ini. Dengan wajah masam Nisa mengambil wudhu dan solat dengan terpaksa. Setelah itu Damar kembali, membopong Nisa menuju meja makan. "Buruan makan yang banyak, biar punya energi nanti malam." Damar menaik turun kan alis mata. Issshhh... Nisa memalingkan wajah, "Gak sudi aku disentuh kamu sekarang," gumam Nisa. "Apa? Mas gak denger?" tanya Damar, terus menggoda istri kecilnya, berusaha meraih kembali hati yang telah pergi. "Setelah selasai makan, Nisa langsung beranjak ke kamar, tanpa percakapan apapun pada Damar." Lelaki tampan ini hanya memandangi kepergian Nisa, dia hanya menggelengkan kepala. "Kita lihat saja Nisa, kamu bisa gak hidup tanpa aku," gumam Damar. Setelah selesai makan, Damar masuk ke dalam ruang kerja, melakukan panggilan lalu berbincang serius. "Untuk wanita itu awasi saja terus, untuk Nisa juga jangan sampai lengah, aku tak ingin dia buat masalah di mana-mana, karna untuk saat ini dia masih tanggung jawabku," ucap Damar pada orang yang dia telpon. Setelah selesai berbincang, kembali Damar menghubungi wanita yang mampu menaklukkan hatinya. Tetapi beberapa kali panggilan tak kunjung juga di angkat. Bibirnya tersungging sinis. "Bisa ngambek juga kamu kirana," ujar Damar. Pluk!! Dilempar ponsel ke atas meja. Tangannya ditaruh di dagu, otak lelaki ini mulai berfikir, bagaimana menyelesaikan masalah rumit ini. Damar harus segera menceraikan Nisa. Tetapi hati kecilnya mengatakan mempertahankan rumah tangga dengan Nisa. Bagaimanapun Damar menyayangi Nisa. Dan perusahaan menjadi taruhan jika dia menceraikan Nisa. Damar tak ingin Nisa jatuh pada lelaki tak tepat. Untuk saat ini, Damar belum menemukan lelaki yang tepat untuk Nisa. Damar meremas rambutnya frustasi. Masalah dengan perasaan memang begitu rumit. Tok, tok, tok .... Suara pintu membuyarkan lamuanan Damar. "Masuk!!" Suara berat Damar terdengar lemah. "Den ini kopinya! Malam-malam ngopi, nanti gak bisa tidur," ucap Mbok Darmi. Damar tak menanggapi hanya tersenyum. "Sini, Mbok bawa sini," perintah Damar. "Ko, Mbok belum tidur, biasanya Marni yang anter." "Marni lagi izin pulang, Den," jawab Darmi singkat. "Ya, sudah Mbok pamit Den," ujar Darmi, sebenarnya ada beberapa hal yang ingin Darmi tanyakan, tetapi urung saat melihat wajah Damar yang kusut. "Makasih, Mbok. Maaf merepotkan," ucap Damar, bagaimanapun Darmi berada di sini dari sebelum dia datang. "Sama-sama, Den." setelah Darmi keluar dari dalam ruang kantor, dia melihat sekelebat bayangan menuju garasi. Tak berapa lama mobil yang biasa di kendarai Nisa melesat keluar pagar rumah. Tok,tok,tok ... "Den." Tanpa menunggu jawaban Damar, Darmi membuka ruang kerja Damar. "Ada apa Mbok??" tanya Damar. "Den itu, Non Nisa mau pergi ke mana malem-malem begini?" ujar Darmi panik.Bab 8 Bikin masalah.Damar langsung meraih gawai yang tadi dia lempar. "Awasi saja terus. Langsung kabari kalau dia pergi ke tempat buruk," ujar Damar. "Tenang aja, Mbok. Ada orang-orangku yang mengawasi," ucap Damar menenangkan Darmi yang terlihat khawatir. Wanita tua ini paham betul seperti apa sifat dan kebiasaan Nisa jika sudah ngambek. "Den, Mbok cuma mau pesen, jangan sia-siakan, Non Nisa, ya. Non Nisa sudah Mbok anggap anak sendiri. Mbok sakit kalo Non Nisa terluka," ucap Darmi memandang sendu pada Damar. Berharap banyak pada Damar, agar bisa menjaga dan membahagiakan Nisa. "Insha Allah, Mbok. Untuk masalah itu, aku sudah berjanji untuk menjaga Nisa. Sampai kapan pun aku akan selalu menjaga sesuai kemampuanku," jawab Damar. "Sekarang Mbok tidur, udah malem, gak usah khawatirin, Nisa," suruh Damar lagi, menyentuh lembut lengan keriput Darmi yang sudah mengeriput. Memberikan ketenangan pada wnaita tua ini. ***Damar, lelaki tampan yang mampu menjadikan perusahaan Chand
Bab 9 Ladies Night. Tin. Tin. Tin....Suara klakson menginterupsi percakapan dua sahabat ini. "Gue pergi dulu Lan. By ... lo bukan fren kali ini." Nisa berlalu dari hadapn Lana, dengan raut kecewa. Lana mengikuti dari belakang, hanya senyum masam terlihat di bibirnya. "Lan, elo gak ikut?!!" teriak gadis-gadis cantik yang berada di dalam mobil. "Biarin, gak fren dia, yuk cabut!!" seru Nisa masuk ke dalam mobil. Lana hanya tersenyum masam. " Jagain Nisa ya, dia punya laki yang kalo marah serem, gue gak ikut-ikutan," jawab Lana, menggelengkan kepala. Hanya tawa menggema yang keluar dari bibir gadis-gadis cantik, ini. "By Lana...." Mobil melaju cepat membelah malam kota Jakarta. Hanya celoteh-celoteh receh yang terdengar dari mulut gadis-gadis cantik seumuran Nisa ini. Musik berdentum keras di dalam mobil. Tawa memenuhi isi mobil yang di penuhi lima gadis cantik berpenampilan seronok dan glamour. "Nis, emng bener laki elo galak?" tanya salah satu gadis. "Nggaakk ...," jawab
Bab 10. Urakan.Tetapi Nisa tetap menolak, mendapat penolakan membuat si lelaki meraih dagu Nisa, tangan satunya meraih gelas berisi minuman. Tak ada yang memperhatikan mereka kecuali seoarang lelaki yang sudah berjalan menghampiri tempat Nisa duduk. Damar menepuk pundak lelaki yang akan menghampiri Nisa, memberi kode untuk mundur. Dengan tangkas Damar meraih gelas di tangan lelaki yang memaksa Nisa. Membanting gelas lalu menyeret lelaki ke depan meja, Damar memukuli si lelaki dengan membabi buta. Lelaki yang sejak tadi mengawasi Nisa, menyadarkan Damar. Netra hitam milik Damar menyorot pada Nisa yang terlihat ketakutan. Tubuhnya bergetar mendapati tatapan mematikan dari Damar. Damar mendekati Nisa, menutupi tubuh Nisa dengan sarung yang dia bawa lalu membopong seperti, mengangkat karung beras, Nisa meronta di pundak Damar. Tanpa menghiraukan tatapan orang Damar terus berjalan melewati pintu keluar.
Bab 11"Mbok, udah tidur belum? telpon Mas Damar!! Nisa masuk ke dalam kamar Darmi, wanita tua ini sudah berbaring. Darmi membangkitkan kembali tubuh tuanya. "Memangnya gak bisa di telpon pake telpon di ruang kerja?" "Nggak bisa Mbok, udah gini hari juga belum pulang, pasti Mas Damar pergi ke rumah perempuan itu, Mbok." Wajah Nisa seketika muram. Gadis ini melangkah mendekati Darmi duduk di sebelah wanita tua itu. "Coba telpon Mas Damar, Mbok...," rengek Nisa pada wanita tua yang sudah merawatnya sejak kecil. Darmi mengelus kepala Nisa, "Non ... beneran Den Damar punya istri lagi?" "Bukan punya istri lagi, Mbok. Tapi udah punya istri sebelum nikah sama aku, aku jadi istri keduanya Mas Damar, dia udah punya anak sekitar umur 5 tahun, Mbok." Nisa mengusap air mata yang meleleh mengingat sakit hatinya. "Yang sabar, Non ... Kok bisa Den Damar berbuat seperti itu?" Darmi menarik
Bab 12."Jangan berteriak Kirana?" ucap Damar, masih dengan suara pelan. Dia tak menyangka Kirana bisa meninggikan suara. "Kenapa? Malu? Aku yang seharusnya malu, seperti perempuan gak laku, yang mau hanya di nikah siri," suara Kirana di tekan. Rahangnya mengatup rapat menahan amarah. "Tapi semua masalah akan segera selesai," Damar membela diri. "Tapi kamu berjanji akan segera menceraikan Nisa. Mana? Bahkan sampai saat ini, ini waktu yang tepat, Nisa sudah mengetahui hubungan kita. Apa lagi yang kamu tunggu?" netra kirana sudah berkaca-kaca. "Ada hal lain, kenapa aku belum bisa menceraikan Nisa, tolong Kirana mengertilah. Di hatiku hanya ada kamu, gak usah cemburu." "Bulsyit ...." suara kirana melengking. "Kalian dua orang dewasa dan sudah menikah, tinggal satu atap, tak mungkin akan selamanya tak tergoda melakukan hal itu!!" Netra Kirana membola menatap tajam pada Damar. D
Bab 13.Mendengar Nisa lagi-lagi berteriak, Damar lebih memprofokasi perasaan gadis muda ini. "Dia Istri Mas Damar, sekarang kamu sudah tau, mulai hari ini Mas akan sering mengunjunginya," ucap Damar santai, netra legam hanya melirik sekilas. "Tapi Nisa juga istri kamu! kamu gak adil. Kamu jahat!!" ucap Nisa, nafasnya turun naik tangannya sudah mulai mengepal. "Kamu berbeda Nisa, Mas gak ingin menyentuh kamu, mas menyayangimu." Damar mendekati Nisa, menatap tajam pada gadis yang sudah bersimbah air mata. "Namanya kamu jahat, Mas. Mengikat tapi menelantarkan." Nisa menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergoyang.Memdapati Nisa menangis setelah sekian lama bersama hati Damar terenyuh. Lelaki bertubuh tegap ini mendekap tubuh kecil Nisa. "Maafin Mas Damar, Nis," ucap Damar pelan. "Makanya cerein Nisa, Mas," ujar Nisa. "Biar Nisa cari kebah
Bab 14"Nis, beneran lo mau di rumah sendirian?" tanya Lana, gadis manis ini sedang bersiap berangkat kuliah. "Iya gue mau tidur aja." Nisa kembali masuk ke dalam bedcover. "Btw nyokap elo kapan balik, tar tau-tau nyokap loe balik," tanya Nisa. "Belum tau," jawab Lana, dia menyahut tas. "Gue berangkat ya!!" tanpa menunggu jawaban Nisa Lana keluar kamar. Terdengar suara mobil keluar dari garasi. Nisa bangkit dari tempat tidur. Duduk termenung di pinggiran ranjang. Menatap cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya. "Mah, aku merindukan mu!!" sudah lama Nisa tak merasakan rindu teramat sangat seperti sekarang ini. Selama ini Damar menemani dan mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan. Tapi kini? Hanya Damar kala itu orang yang dapat menggantikan kehangatan Mama-nya. Chandra saat itu sedang menggilai wanita yang kini menjadi mama tirinya. Nisa menelungkupkan tangan pa
Bab 15 "Sin gue istirahat dulu, cape, masih amatir gue, masih butuh jam terbang lebih banyak." kekeh Nisa, dia berlalu menjatuhkan bobot tubuh kasar di sofa empuk. Tangan gadis itu meraih air mineral menenggak cepat, lalu meraih cemilan di atas meja, saat ini bahagia yang dia rasa. Apa lagi melihat teman-teman yang lain juga tertawa lepas, terlihat aura kebahagiaan dari diri meraka lalu menular pada diri Nisa. Setelah mengistirahatkan tubuh sesaat dia kembali ikut berjikrak-jingkrak lagi, lagu yang di putar Dj kesukaan Nisa. "Sin ternyata menyenangakan, kenapa gue gak ketemu elo dari dulu. Nyesel Lana gak ikut." Nisa tertawa riang, tubuhnya ringan, terus bergoyang mengikuti irama. Suasana semakin panas. Beberapa orang sudah mulai lelah. Tapi Sinta masih juga energik. "Lo kuat banget Sin, gak ada capenya," teriak Nisa pada sinta.
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal