Bab 6 Kecewa.
Brak... Pintu di banting keras. Damar bergegas menaiki anak tangga menyusul Nisa, tetapi pintu kamar di kunci dari dalam. Brak. Brak. Brak.... Damar menggedor pintu kamar keras. "Nisa buka!!!" teriak Damar. "Jangan sampai Mas ambil kunci serep, satu, dua, ti --." Klek... Terdengar kunci diputar. " Apa Mas!? " tanya Nisa dengan tatapan nyalang. Damar mendorong tubuh Nisa ke dalam, lalu mengunci pintu kamar. Ruang kamar yang kedap suara membuat Mbok Darmi was-was terjadi sesuatu di antara mereka. Damar mengunci pintu kamar. Melihat wajah Damar yang begitu muram, membuat Nisa bergidik ngeri. "Apa yang kamu lakukan di rumah Kirana?" tanya Damar. "Memang ngadu apa perempuan murahanmu?" tanya Nisa. Damar terbelalak "Apa perempuan murahan?" tanya Damar wajahnya semakin muram. "Apa namanya? Wanita bersuamikan suami orang?" tanya Nisa menantang. walau hatinya sedikit ciut melihat tatapan ber-netra hitam legam itu "Tapi dia istri Mas. Dia sudah menjadi istri Mas lima tahun." Damar berkata pelan di tekan, berusaha meredam gejolak emosi. "Aku gak mau tau. Gak peduli!!!" Nisa berteriak. Tangannya kembali melayang memukuli dada bidang Damar. " Nisa. Dewasalah sedikit...," ucap Damar, masih dengan suara di tekan berat. "Dewasa untuk apa? Untuk menerima gundik mu?" netra Nisa nyalang saat mengatakan kalimat terakhir. Sakit di dada mendapati kakak plus suaminya, membela wanita ayu yang dia labrak kemarin. Dengan tergesa Nisa mendatangi rumah Kirana, berteriak - teriak. Memaki-maki Kirana dengan sebutan entah apa saja yang keluar dari mulut Nisa. Hilang sudah kewaran Nisa saat itu, bahkan beberapa tetangga Kirana mendekat. Lana yang mendengar makian yang keluar dari mulut Nisa seakan ingin tenggelam ke dasar bumi, menyembunyikan wajah yang malu di tatap sedemikian rupa oleh orang-orang yang berdatangan menyaksikan keributan yang di buat Nisa. Yang membuat Lana terpana, wanita itu begitu tenang, tak bereaksi banyak, hanya. "Sudah puas memakinya? Kalau sudah silahkan pulang." wanita ayu itu membalikkan tubuh masuk ke dalam rumah dan tak keluar lagi, apapun yang Nisa teriakkan dan ancamkan. "Nisa!!" suara berat Damar mengembalikan pikiran Nisa. Wanita muda itu berontak, berusaha melepaskan diri dari dekapan Damar. "Aku denger sendiri, Mas berjanji padanya untuk menceraikan Nisa. Sekarang juga Nisa minta Mas ceraikan, Nisa." Alfathunisa tergugu di pelukan Damar. "Ceraikan Nisa, Mas. Kenapa Mas Damar mau Nikahin Nisa, kalau akhirnya ada niatan mau menceraikan Nisa. Sangat tidak berhargakah Nisa, Mas." Alfathunisa mendongak menatap netra tajam milik Damar. Ada kegundahan di sana. "Sekarang Nisa baru tau, kenapa Mas Damar gak mau menyentuh aku," Nisa masih tergugu dalam dekapan Damar. "Kita bicarakan baik-baik, Nis. Semua pasti ada jalan keluar yang terbaik," ucap Damar memapah istri kecilnya ke atas pembaringan. "Kamu masih punya masa depan, Mas hanya ingin melindungi kamu, kamu pasti bisa mendapatkan lelaki layak." Damar meraih dagu Nisa mengecup kening lama. "Tadi dari mana?" Damar mengalihkan pembicaraan. "Bukan urusan kamu!" sentak Nisa. "Tapi, Mas kan suami kamu, kemana pun dan apapun yang kamu lakuin nanti Mas akan di mintai pertanggung jawaban di hadapan Allah," Damar berargumen. Nisa tak menjawab, dia memalingkan wajahnya, karna tatapan Damar seperti menguliti. Desahan panjang keluar dari bibir Damar. Dia bangkit dan berlalu ke dalam kamar mandi. Setelah beberapa saat lelaki tampan itu keluar hanya dengan mengunakan handuk yang melingkar di tubuh. Nisa hanya melirik, ingin rasanya dia terjang tubuh atletis ini seperti biasanya. Damar mengambil pakaian di dalam lemari, dekat ranjang yang Nisa tiduri. Aroma sabun menguar dari tubuh Damar, membuat pikiran Nisa traveling. Nisa merapatkan mata, berusaha mengontrol degup jantung. "Nisa, kamu harus bisa lupakan Damar sialan itu." hati Nisa menasehati. Nisa mengingat masa di mana, dia baru saja melangsungkan pernikahan. Sah... Suara penghulu menggema. Sah... Suara para saksi mengikuti. Hari ini sah sudah Damar dan Nisa menjadi suami istri. "Nisa, sini duduk dekat Mas," panggil Damar, ketika mereka sudah berada di kamar yang sama untuk pertama kali. Malu-malu Nisa menghampiri Damar yang duduk di sofa kamar menghadap jendela. Entah kenapa tirai jendela, tadi di buka kembali oleh Damar.Dan juga entah mengapa Nisa jadi seperti ini? biasanya dia tak pernah ada rasa canggung. Tetapi kini dia Benar-benar malu saat berdekatan dengan Damar. Nisa menghampiri lelaki yang sedari kecil dia puja, duduk di dekat Damar. "Nisa, kamu kan masih kuliah. Jadi kita tunda dulu malam pertamanya. " Nisa refleks mendongak menatap Netra hitam milik Damar. Senyum teduh tersungging dari bibir Damar. Dia mengecup kening Nisa. "Nanti kalau sudah waktunya pasti, Mas lakukan." Hanya anggukan yang bisa Nisa lakukan.Bab 7 Mulai Bikin Masalah. Ranjang bergoyang, Damar duduk di sebelah Nisa, sudah berpakaian lengkap. "Solat jamaah, yuk," ajak Damar, Nisa hanya melirik sinis, tak menanggapi ucapan Damar. Tak mendapat respon dari Nisa, Damar bangun dan menggelar sajadah. Melakukan kewajiban pada Tuhannya. Damar lelaki taat, Kirana wanita pujaannya, selalu mengingatkan pentingnya Tuhan dalam kehidupan kita. Seperti apapun liku kehidupan kita, asal ada Tuhan di setiap gerak kita, Insha Allah, Allah akan selalu memberikan jalan yang terbaik. Ketukan pintu, menghentikan kegiatan Damar, bermunajat kepada sang pencipta. Kakinya dilangkahkan pada daun pintu. Ternyata Mbok Darmi, "Den, makan malam sudah siap," ucapnya, ketika Damar membuka pintu kamar. Netranya mencari keberadaan majikan perempuan yang sudah seperti anak. "Iya, Mbok nanti saya turun," jawab Damar. "Nisa ada di kasur itu, Mbok," ucap Damar, karna melihat gelagat mata Mbok Darmi. "Oohh... Ya sudah, Mbok turun. Makanan su
Bab 8 Bikin masalah.Damar langsung meraih gawai yang tadi dia lempar. "Awasi saja terus. Langsung kabari kalau dia pergi ke tempat buruk," ujar Damar. "Tenang aja, Mbok. Ada orang-orangku yang mengawasi," ucap Damar menenangkan Darmi yang terlihat khawatir. Wanita tua ini paham betul seperti apa sifat dan kebiasaan Nisa jika sudah ngambek. "Den, Mbok cuma mau pesen, jangan sia-siakan, Non Nisa, ya. Non Nisa sudah Mbok anggap anak sendiri. Mbok sakit kalo Non Nisa terluka," ucap Darmi memandang sendu pada Damar. Berharap banyak pada Damar, agar bisa menjaga dan membahagiakan Nisa. "Insha Allah, Mbok. Untuk masalah itu, aku sudah berjanji untuk menjaga Nisa. Sampai kapan pun aku akan selalu menjaga sesuai kemampuanku," jawab Damar. "Sekarang Mbok tidur, udah malem, gak usah khawatirin, Nisa," suruh Damar lagi, menyentuh lembut lengan keriput Darmi yang sudah mengeriput. Memberikan ketenangan pada wnaita tua ini. ***Damar, lelaki tampan yang mampu menjadikan perusahaan Chand
Bab 9 Ladies Night. Tin. Tin. Tin....Suara klakson menginterupsi percakapan dua sahabat ini. "Gue pergi dulu Lan. By ... lo bukan fren kali ini." Nisa berlalu dari hadapn Lana, dengan raut kecewa. Lana mengikuti dari belakang, hanya senyum masam terlihat di bibirnya. "Lan, elo gak ikut?!!" teriak gadis-gadis cantik yang berada di dalam mobil. "Biarin, gak fren dia, yuk cabut!!" seru Nisa masuk ke dalam mobil. Lana hanya tersenyum masam. " Jagain Nisa ya, dia punya laki yang kalo marah serem, gue gak ikut-ikutan," jawab Lana, menggelengkan kepala. Hanya tawa menggema yang keluar dari bibir gadis-gadis cantik, ini. "By Lana...." Mobil melaju cepat membelah malam kota Jakarta. Hanya celoteh-celoteh receh yang terdengar dari mulut gadis-gadis cantik seumuran Nisa ini. Musik berdentum keras di dalam mobil. Tawa memenuhi isi mobil yang di penuhi lima gadis cantik berpenampilan seronok dan glamour. "Nis, emng bener laki elo galak?" tanya salah satu gadis. "Nggaakk ...," jawab
Bab 10. Urakan.Tetapi Nisa tetap menolak, mendapat penolakan membuat si lelaki meraih dagu Nisa, tangan satunya meraih gelas berisi minuman. Tak ada yang memperhatikan mereka kecuali seoarang lelaki yang sudah berjalan menghampiri tempat Nisa duduk. Damar menepuk pundak lelaki yang akan menghampiri Nisa, memberi kode untuk mundur. Dengan tangkas Damar meraih gelas di tangan lelaki yang memaksa Nisa. Membanting gelas lalu menyeret lelaki ke depan meja, Damar memukuli si lelaki dengan membabi buta. Lelaki yang sejak tadi mengawasi Nisa, menyadarkan Damar. Netra hitam milik Damar menyorot pada Nisa yang terlihat ketakutan. Tubuhnya bergetar mendapati tatapan mematikan dari Damar. Damar mendekati Nisa, menutupi tubuh Nisa dengan sarung yang dia bawa lalu membopong seperti, mengangkat karung beras, Nisa meronta di pundak Damar. Tanpa menghiraukan tatapan orang Damar terus berjalan melewati pintu keluar.
Bab 11"Mbok, udah tidur belum? telpon Mas Damar!! Nisa masuk ke dalam kamar Darmi, wanita tua ini sudah berbaring. Darmi membangkitkan kembali tubuh tuanya. "Memangnya gak bisa di telpon pake telpon di ruang kerja?" "Nggak bisa Mbok, udah gini hari juga belum pulang, pasti Mas Damar pergi ke rumah perempuan itu, Mbok." Wajah Nisa seketika muram. Gadis ini melangkah mendekati Darmi duduk di sebelah wanita tua itu. "Coba telpon Mas Damar, Mbok...," rengek Nisa pada wanita tua yang sudah merawatnya sejak kecil. Darmi mengelus kepala Nisa, "Non ... beneran Den Damar punya istri lagi?" "Bukan punya istri lagi, Mbok. Tapi udah punya istri sebelum nikah sama aku, aku jadi istri keduanya Mas Damar, dia udah punya anak sekitar umur 5 tahun, Mbok." Nisa mengusap air mata yang meleleh mengingat sakit hatinya. "Yang sabar, Non ... Kok bisa Den Damar berbuat seperti itu?" Darmi menarik
Bab 12."Jangan berteriak Kirana?" ucap Damar, masih dengan suara pelan. Dia tak menyangka Kirana bisa meninggikan suara. "Kenapa? Malu? Aku yang seharusnya malu, seperti perempuan gak laku, yang mau hanya di nikah siri," suara Kirana di tekan. Rahangnya mengatup rapat menahan amarah. "Tapi semua masalah akan segera selesai," Damar membela diri. "Tapi kamu berjanji akan segera menceraikan Nisa. Mana? Bahkan sampai saat ini, ini waktu yang tepat, Nisa sudah mengetahui hubungan kita. Apa lagi yang kamu tunggu?" netra kirana sudah berkaca-kaca. "Ada hal lain, kenapa aku belum bisa menceraikan Nisa, tolong Kirana mengertilah. Di hatiku hanya ada kamu, gak usah cemburu." "Bulsyit ...." suara kirana melengking. "Kalian dua orang dewasa dan sudah menikah, tinggal satu atap, tak mungkin akan selamanya tak tergoda melakukan hal itu!!" Netra Kirana membola menatap tajam pada Damar. D
Bab 13.Mendengar Nisa lagi-lagi berteriak, Damar lebih memprofokasi perasaan gadis muda ini. "Dia Istri Mas Damar, sekarang kamu sudah tau, mulai hari ini Mas akan sering mengunjunginya," ucap Damar santai, netra legam hanya melirik sekilas. "Tapi Nisa juga istri kamu! kamu gak adil. Kamu jahat!!" ucap Nisa, nafasnya turun naik tangannya sudah mulai mengepal. "Kamu berbeda Nisa, Mas gak ingin menyentuh kamu, mas menyayangimu." Damar mendekati Nisa, menatap tajam pada gadis yang sudah bersimbah air mata. "Namanya kamu jahat, Mas. Mengikat tapi menelantarkan." Nisa menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergoyang.Memdapati Nisa menangis setelah sekian lama bersama hati Damar terenyuh. Lelaki bertubuh tegap ini mendekap tubuh kecil Nisa. "Maafin Mas Damar, Nis," ucap Damar pelan. "Makanya cerein Nisa, Mas," ujar Nisa. "Biar Nisa cari kebah
Bab 14"Nis, beneran lo mau di rumah sendirian?" tanya Lana, gadis manis ini sedang bersiap berangkat kuliah. "Iya gue mau tidur aja." Nisa kembali masuk ke dalam bedcover. "Btw nyokap elo kapan balik, tar tau-tau nyokap loe balik," tanya Nisa. "Belum tau," jawab Lana, dia menyahut tas. "Gue berangkat ya!!" tanpa menunggu jawaban Nisa Lana keluar kamar. Terdengar suara mobil keluar dari garasi. Nisa bangkit dari tempat tidur. Duduk termenung di pinggiran ranjang. Menatap cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya. "Mah, aku merindukan mu!!" sudah lama Nisa tak merasakan rindu teramat sangat seperti sekarang ini. Selama ini Damar menemani dan mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan. Tapi kini? Hanya Damar kala itu orang yang dapat menggantikan kehangatan Mama-nya. Chandra saat itu sedang menggilai wanita yang kini menjadi mama tirinya. Nisa menelungkupkan tangan pa
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal