HAPPY READING đDalam sebuah kamar mewah, seorang laki-laki yang sedang terbaring di atas ranjang King Size itu sibuk menatap cincin berlian di tangannya. Padahal, waktu hampir menjelang pagi."Heh, mari kita lihat berapa hari kau akan bertahan di luar sana. Kau tidak bisa hidup selain di bawah ketiak mamaku. Dasar menyusahkan!" monolog Ammar kemudian mencengkram erat cincin itu.Ingin mengakhiri ikatan suci, tapi hati kecilnya melarang. Ingin berhenti menyakiti tapi hatinya juga telah dibutakan oleh dendam. Setitik penyesalan yang hinggap, tak mampu melenyapkan rasa bencinya pada wanita bernama Elif Sabrina. Ammar membenci Elif, ya laki-laki itu mencintainya..Hari ini Elif tampak bersemangat untuk berkerja, baginya ini adalah awal yang baru dan berharap lebih baik dari sebelumnya. Mulai sekarang Elif tidak perlu lagi berada di toilet kantor dalam durasi waktu yang lama hanya demi menumpahkan segala rasa sakit melalui air mata saat bekerja.Bagi wanita bersurai panjang itu, kemar
Laki-laki yang berada di kursi kebesaran itu masih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan saat ketukan pintu mulai terdengar dari luar. "Masuk!" Beberapa detik setelah Ammar mengeluarkan perintah, pintu mulai terbuka, seorang wanita muncul di baliknya. Wanita yang hingga kemarin masih haus akan perhatian serta mengemis cinta darinya. Maksudnya, hanya sampai kemarin, tidak lagi untuk hari ini.Elif berjalan ragu-ragu sampai langkahnya terhenti tepat di depan meja Ammar. Sedikit menunduk layaknya bawahan ketika bertemu atasan. Ammar memberikan tatapan entah, tapi yang sedang ditelisik tidak menyadari akan hal itu. Ah, lebih tepatnya tidak peduli. "Siapa yang menyuruhmu pindah ke ruangan lain? Bukankah dulu kau yang memohon-mohon pada Mama untuk ditempatkan di ruangan yang dekat denganku?" cerca laki-laki itu meremehkan. "Maaf, Pak! Menurut laporan HRD, saya dipindahkan atas perintah Ny. Risma. Dan terkait perkataan Bapak yang nomor dua, saya ingin sedikit mengoreksi, saya tida
Sesaat setelah kepergian Elif dari ruangannya, Ammar melirik dengan perasaan senang ke arah pintu yang mulai kembali terbuka. Namun, hatinya kembali menciut saat seseorang yang berbeda dengan yang terlintas di pikirannya muncul di baliknya."Hai Sayang, kamu kok kayak nggak semangat gitu lihat aku datang?" "Heum." Tadinya, Ammar mengira Elif yang kembali untuk mengambil cincin pernikahan. Namun, kepercayaan diri Ammar seketika runtuh ketika wanita seksi bernama Rani yang menghampiri. Ternyata, dugaan laki-laki itu tentang Elif yang sangat cepat mengambil keputusan untuk pulang bersamanya, salah besar. "Apa karena perempuan itu, kamu mengabaikanku sekarang?" tanya Rani setelah mendaratkan tubuh ke atas meja kerja Ammar. "Perempuan yang mana?" Ammar pura-pura tidak tahu ke mana arah pembicaraan kekasihnya."Elif""Tidak. Turunlah, ini membuat pekerjaanku terganggu!" "Kamu aneh hari ini. Biasanya malah selalu menyuruhku duduk di depanmu seperti ini." Rani melongos, dan berjalan den
."Kenapa? Di jemarimu tidak ada lagi cincin pernikahan. Berarti, sekarang aku bisa mengajakmu kemanapun, 'kan?" tanya Alzam dengan suara lantang sembari melirik pada jemari Elif kemudian beralih dengan tatapan sinis pada laki-laki yang berdiri tidak jauh dari mereka. Hati Ammar serasa diremas, netranya menatap nyalang ke arah dua manusia yang tengah berdiri di depannya.Hati Ammar juga menyalahkan Elif yang sembarangan melepas cincin pernikahan. Entahlah, ditubuhnya ada wanita lain yang sedang menempel dengan manja. Tapi, jiwanya terperangkap untuk wanita yang sedang bingung menerima ajakan makan siang dari sepupunya sendiri.Ya, Alzam Elfata adalah sepupu Ammar dari pihak mamanya. Laki-laki dengan tubuh atletis berwajah rupawan yang sebelas dua belas dengan Ammar itu adalah satu-satunya orang yang berani melawan Ammar di perusahaan. Selain keluarganya sebagai salah satu investor penting bagi d'Arr Group, Alzam memang di tempatkan Ny. Risma untuk memantau kelakukan Ammar pada menan
Dalam perjalanan, Alzam dan Elif ditemani kebisuan. Tak ada yang ingin memulai percakapan. Meski sesekali, Alzam mencuri-curi pandang pada wajah sendu yang sibuk menatap kosong sekitar. Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, mobil yang dikendarai Alzam berhenti di depan sebuah resto yang ingin Elif kunjungi. Ada beberapa teman yang sudah menunggu di dalam sana. "Masuklah! Teman-temanmu sudah menunggu bukan?" perintah Alzam. "Lalu ... Kak Alzam, bagaimana?" Tatapan tidak enak dari wanita di sampingnya, membuat senyum laki-laki itu mengembang. 'Kau terlalu sibuk menjaga perasaan orang lain. Hingga lupa dengan perasaanmu sendiri yang hampir hancur tak berbentuk.' "Aku bukan anak kecil, aku juga punya urusan di sekitar sini. Habiskan waktu bersama mereka hingga kau bosan. Jangan khawatir kakau kita telat kembali ke kantor! Itu akan menjadi urusanku. Ingat, hubungi aku kalau sudah selesai!" "Benar, Kak Alzam tidak apa-apa sendirian? Eum, kalau tidak keberatan, Kak Alzam bisa ik
"Arghh ...!" Ammar melempar kertas itu sembarangan. Kertas yang isinya surat pengunduran diri dari Elif Sabrina. Beberapa saat laki-laki itu menyenderkan kepala ke belakang kursi kehormatannya, memejam sesaat, lalu kembali melek dengan cincin cantik di atas meja sebagai objek pertama yang tampak di depan mata. Sebelah tangannya tergerak untuk meraih benda kecil itu. Menelisik dengan hati-hati, hingga ukiran nama Ammar di balik cincin ter-eja dengan pasti."Apa susahnya mengambil cincin ini. Dasar angkuh." "Dia memilih pergi. Itu yang aku tunggu-tunggu dari dulu. Apa dia sudah bosan jadi benalu? Memangnya, ada tempat yang mau menerimanya selain keluargaku. Ck." Ammar sibuk bermonolog dalam ruangannya. Berasumsi, bertanya dan menjawab sendiri. Kadang memaki, menganggap Elif terlalu angkuh karena tidak memilih kembali. Ammar mulai mengingat banyak hal tentang Elif yang tak pernah lelah mengambil perhatian darinya. Mas, sudah pulang? Mau mandi atau makan dulu. Mas ini ... Mas itu da
'Aku harus ke mana?'Elif menengadah ke langit dengan tangan menyilang di dada. Berharap siang ini hujan turun lebat seperti semalam, agar wanita itu dapat bersembunyi di baliknya. Ya, jika di bawah guyuran, siapa yang mampu membedakan air mata dan air hujan yang bercampur di pipinya. Namun, sepertinya angan tak pernah jadi kenyataan. Sebab bumi tengah begitu hangat dipeluk matahari. Elif pun bisa merasakan panas yang merasuk pada kedua kaki telanjangnya. "Apa aku pulang ke rumah saja?" Elif tersenyum getir, rumah gubuk yang ditinggal puluhan tahun lalu, masihkah ada hingga hari ini? Tidak. Elif menggelengkan kepala. Untuk dapat melihat bekas rongsokannya saja, wanita itu merasa terlalu berlebihan. Lalu, ke mana kaki mungil itu hendak melangkah? Arah mana yang akan dituju dalam kondisi memprihatinkan seperti itu. Tidak mungkin 'kan dia mengikuti arah mata angin? Mencari kerja?Secepat itu? Tanpa ijazah, tanpa alas kaki, tanpa apapun selain pakaian yang masih melekat di tubuhn
Ammar menepikan mobilnya di pinggir jalan yang agak sepi. Pikirannya semakin kalut saat melirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dari sore hari dia berkeliling mencari Elif ke sana ke mari. Menelusuri setiap jengkal yang mungkin dilewati wanita itu. Menurutnya. Tapi, nihil. Elif lenyap begitu saja tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. "Apa jangan-jangan ... tidak. Itu tidak mungkin ...." Ammar menggeleng-geleng kepala, lalu meremas rambutnya dengan kasar. Entah apa yang terbesit dalam kepalanya, hingga berakhir dengan membenamkan wajah pada setir. Lumayan lama Ammar menelungkup. Hingga dering ponsel membangunkannya. Matanya berbinar, kala menatap nama siapa yang muncul di layar panggilan. Berharap ada kabar baik yang akan diterima. "Ya," ujar Ammar ketika panggilan tersambung...."Baiklah. Hentikan dulu pencarian! Tunggu sampai aku memberi perintah, besok!" jawab Ammar lesu.Tut.Tidak ada kabar baik sama sekali. Orang-orang suruhan Ammar ti
Pukul 10 malam. Elif mengerjab perlahan saat tangannya menyentuh sisi ranjang di sebelahnya untuk mencari seseorang yang ternyata kosongâsosok yang dicarinya tidak kunjung ditemukan. Elif segera memaksa mata cantiknya untuk terbuka sepenuhnya. Gadis yang beberapa saat yang lalu telah menjadi wanita seutuhnya itu gegas bangkit untuk duduk. Senyuman di bibir merah jambunya mulai mengembang saat pikirannya mengingatkan Elif tentang sesuatu. Sesuatu yang begitu indah tentu saja. Oh, apakah ini nyata? Begitu tanya yang muncul dalam hati wanita cantik berlesung pipi ituâsaat melihat tubuhnya yang polos di balik selimut. Elif sedikit mencubit lengannya, dan ternyata terasa sakit. 'Ini nyata. Akhirnya, mimpi itu telah menjadi nyata,' batin Elif dengan mata berkaca. Dulu, jangankan untuk disentuh, meliriknya saja Ammar seperti sangat jijik. Tapi, hari ini ... ah, Elif bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana cara Ammar memperlakukannya tadi. Sangat lembut. Seolah tubuh istrinya ada
Sementara di lain tempat, sudah beberapa hari Elif tidak pergi bekerja dan hanya menyendiri di kontrakan. Elif sedang memantapkan hati untuk perpisahan, tapi Ammar terus saja hadir mengusik ego dan hatinya. "Kenapa suka sekali hadir untuk mempermainkan hatiku, Mas? Kenapa? Kau senang, kan melihatku seperti ini?" Elif selalu saja memaki Ammar kala bayangnya muncul tanpa tanda dan tiba-tiba. Hingga entah di hitungan hari ke berapa, Elif memilih untuk mengalah dengan hatinya dan bertekad pergi ke rumah utama.Wanita itu menekan bell dengan perasaan cemas. Pasalnya, sudah lama Elif tidak pernah datang setelah hari kepergiannya dari rumah. "Mama!" panggil Elif saat pintu besar berwarna putih itu terbuka lebar dan seorang wanita paruh baya berdiri dengan anggun di hadapannya."Sayang? Elif, ya ampun, akhirnya kamu datang." Ny. Risma memeluk menantunya dengan erat, seolah enggan mengizinkan pergi. "Kamu ke mana saja? Mama sangat merindukan kamu, El," ucap Ny. Risma setelah melepas pelu
Memaafkan adalah kemenangan terbaik.__ Ali bin Abi Thalib __"Tentu saja. Aku telah memaafkanmu jauh-jauh hari," jawab Elif dengan bibir mengerucut. "Benarkah? Apa itu berarti kau akan pulang bersamaku?" tanya Ammar spontan.Deg. Jantung Elif seketika berdebar kencang. Aliran darahnya seperti terhenti. Pernyataan Ammar terlalu blak-blakan dan tiba-tiba seperti ini. "Mas,""Kenapa? Apa permintaanku terlalu berlebihan? Ammar menahan tangan Elif saat wanita itu hendak beranjak dari sana. Tak bisa melarikan diri, Elif memilih tenggelam dalam mata Ammar. Di mana dirinya tengah menari-nari di sana. Menit kemudian wanita itu tersenyum. Satu yang bisa Ammar tangkap. Ketulusan. Elif laksana Edelweis, senyuman tulus seorang kekasih. "Tak hanya di lisan, aku telah memaafkanmu dari hatiku, Mas. Jujur, aku begitu tersanjung saat diajak untuk pulang, tapi ...." Ammar semakin mempererat pelukan. Menanti kalimat yang terputus dengan perasaan tak karuan. "Mas, bolehkah aku meminta waktu sebe
Ammar sudah dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan setelah tiga jam lebih berada dalam ruang operasi. Meski sudah melewati masa kritis, Ammar belum sadarkan diri. Dan hanya satu orang yang diperbolehkan dokter untuk menemani, demi ketenangan pasien. Elifâlah yang melakukan itu dengan segala rasa bersalahnya. Alzam dan pak Kidar memilih berjaga-jaga di luar ruangan, dalam keadaan sama-sama membisu. Mengingat kejadian buruk yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dua laki-laki itu tidak berani meninggalkan Elif dan Ammar di rumah sakit. "Saya ke toilet sebentar!" pamit pak Kidar yang hanya diangguki oleh Alzam.Ada banyak hal yang sedang Alzam renungi. Salah satunya, apa yang terjadi dengan Elif beberapa saat yang lalu. 'Aku saja begitu murka saat melihat kondisinya, apa lagi Ammar yang berstatus sebagai suaminya.' Alzam tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang sahabat tega melakukan hal rendahan seperti itu. Seorang laki-laki sekelas Darius, bagaimana bisa memiliki cint
HAPPY READING â¤ď¸Ammar pulang dari kantor dengan perasaan yang tidak bisa diartikan. Sejak tadi, ingatannya hanya pada Elif, Elif dan Elif saja. Ini berbeda. Bukan rasa seperti biasa. Jika kemarin-kemarin Ammar hanya merindu, kini didampingi kecemasan yang juga berbalut luka."Apa aku menghubunginya, saja?" tanya Ammar pada diri sendiri setelah tiba di depan pintu apartemen. "Tapi, bagaimana kalau dia tidak senang kuhubungi?" ulangnya lagi. Tidak, tidak. Ammar menggeleng-geleng kepala. Laki-laki itu merasa kekhawatirannya sebagai sesuatu yang berlebihan. 'Mungkin aku hanya terlalu rindu, karena efek baru bertemu kemarin. Semoga Elif baik-baik saja.'Setelah menyakinkan diri, Ammar langsung masuk ke dalam, menuju kamar untuk meletakkan tas dan melepas pakaian kantor. Lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berharap di bawah guyuran air bisa membuat dirinya kembali pulih. Juga pikiran yang kembali jernih. 'Apa aku siap jika harus berpisah? Sekarang saja, aku hampir gila karen
Tubuh Elif membeku. Setelah banyak hal tak biasa yang mereka lewati, dengan mudahnya Ammar berucap seperti itu.Kalimat sederhana yang ingin Elif dengar sejak dulu.'Apa dia sedang mencoba membodohiku seperti dulu? Kenapa jantungku seperti ini? Ini akan sangat memalukan jika Mas Ammar sampai mendengarnya.'Elif menatap mata elang itu lekat-lekat. Namun, tidak terdapat setitik kebohongan pun di sana. "Aku tidak sedang berbohong, Elif. Aku berani bersumpah untuk itu." "Maafkan aku, Mas! Kalau saja aku tidak muncul dalam kehidupan ....""Sstt!"Ammar meletakkan telunjuknya di bibir Elif. Lalu, menariknya dengan cepat setelah menyadari kelancangannya. Tak hanya Elif, Ammar juga merasakan ada yang salah dengan jantungnya. Riuh sekali di dalam sana. "Maâaf, aku tidak bermaksud lancang! Hanya saja aku tidak suka mendengarmu meminta maaf seperti itu. Jelas-jelas aku yang bersalah. Harusnya aku berterima kasih karena kamu telah sudi hadir dalam hidupku. Orangtuaku tidak bersalah, begitu ju
"Maâaf, Darius! Kita tidak bisa seperti ini." Elif menarik tangannya dari genggaman Darius yang terus mencoba mempertahankan. "Kenapa, Elif? Apa karena laki-laki itu, sehingga kamu tidak bisa melihatku? Lihatlah setelah apa yang dia perbuat, kau bahkan masih memikirkannya.""Buâbukan seperti itu Da ...." "Lirik aku sedikit saja, Elif! Please! Bertahun-tahun aku menunggumu" lirih Darius dengan pilu. Laki-laki sekelas Darius pun bisa menjadi pengemis saat terjebak dalam rasa. Elif tidak menyangka dengan apa yang baru saja Darius akui. Dirinya merasa bersalah ketika menatap mata elang yang berusaha ia selami.Tapi, masa lalu masih saja membelenggu. Tak hanya karena ikatan yang belum terlepas, hatinya pun belum kuasa untuk berbalas. Elif belum siap untuk cinta yang baru. "Maaf, Darius! Tapi, aku tidak bisa. Kegagalan di mana lalu, telah mengajarkanku untuk lebih berhati-hati. Maaf, tapi semenjak saat itu, cinta bukan lagi sesuatu yang indah untukku. Bagiku cinta adalah luka. Aku but
"Mari akhiri semuanya sampai di sini!" Ucapan Ammar membuat sepasang mata Rani melebar. "Makâsudmu? Meng ... akhiri semuanya? Aku tidak mengerti." "Hubungan kita. Aku ingin mengakhirinya." Apa yang Ammar katakan kali ini terdengar cukup jelas. Lucu. Jika Rani belum juga paham. "Apa? Kamu bercanda 'kan?" Wanita itu menggeram. Bukan ini yang diinginkan dari makan siang yang sudah lama tertunda. "Aku serius. Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi. Panggilan telponmu benar-benar menggangu akhir-akhir ini." "Tidak. Aku tidak mau kita berakhir! Aku mau kita segera menikah. Kau sangat mencintaiku, kan? Begitupun aku, aku sangat mencintai kamu, Ammar." Ah, sepertinya drama baru akan dimulai. Rani sudah mengaktifkan mode sedih. Dengan mata yang mulai berkaca. "Selama ini, apa kau pernah mendengar aku mengatakan cinta padamu?" Rani termagu. Benar, tidak pernah sekalipun Ammar mengatakannya. Hanya Rani yang sibuk mengungkapkan rasa setiap kali mereka bersama. Tanpa balasan apa
"Ishh!"Darius meringis saat kapas di tangan Elif bersentuhan dengan lukanya. "Apakah ini perih?""Sedikit." "Maaf! Gara-gara aku kamu jadi seperti ini." Elif mengambil kapas yang baru dan memberinya sedikit betadin. "Tidak masalah asal kau tetap baik-baik saja."Seketika pandangan mereka bertemu."Apa maksudmu, Darius?" Pertanyaan sederhana yang keluar dari bibir mungil itu seketika membuat Darius salah tingkah. Dalam hati Darius mengutuk dirinya yang terlalu terburu-buru. "Aâaku tidak bisa diam saja melihat sahabatku kesulitan," jawab Darius menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sementara Elif hanya ber 'oh' riya. Kemudian, melanjutkan aktivitasnya mengobati wajah Darius. Dalam hati, Elif merasa lega setelah mendengar kalimat terakhir laki-laki itu. Berarti, apa yang Hilya katakan selama ini tidaklah benar. Darius belum mengakhiri masa lajang, bukan karena dirinya, pikir Elif.'Tentu saja apa yang aku khawatirkan selama ini tidak benar.'Elif geleng-geleng kepala, dalam hati