Share

7 Pergi

Author: p.hara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Arghh ...!"

Ammar melempar kertas itu sembarangan. Kertas yang isinya surat pengunduran diri dari Elif Sabrina.

Beberapa saat laki-laki itu menyenderkan kepala ke belakang kursi kehormatannya, memejam sesaat, lalu kembali melek dengan cincin cantik di atas meja sebagai objek pertama yang tampak di depan mata.

Sebelah tangannya tergerak untuk meraih benda kecil itu. Menelisik dengan hati-hati, hingga ukiran nama Ammar di balik cincin ter-eja dengan pasti.

"Apa susahnya mengambil cincin ini. Dasar angkuh."

"Dia memilih pergi. Itu yang aku tunggu-tunggu dari dulu. Apa dia sudah bosan jadi benalu? Memangnya, ada tempat yang mau menerimanya selain keluargaku. Ck."

Ammar sibuk bermonolog dalam ruangannya. Berasumsi, bertanya dan menjawab sendiri. Kadang memaki, menganggap Elif terlalu angkuh karena tidak memilih kembali.

Ammar mulai mengingat banyak hal tentang Elif yang tak pernah lelah mengambil perhatian darinya. Mas, sudah pulang? Mau mandi atau makan dulu. Mas ini ... Mas itu dan bla bla bla.

"Dia sangat menyebalkan. Aku membencinya."

Ammar tersenyum sinis, sebelum akhirnya keluar dengan tergesa menuju pintu lift. Tujuannya ke lantai satu, menanyakan tentang Elif pada resepsionis. Dan menurut laporan, Elif sudah pergi beberapa saat yang lalu.

.

Di apartemen, Elif tengah sibuk memasukkan pakaian serta beberapa dokumen penting lainnya ke dalam koper berukuran sedang.

Semalam Elif telah bertekad untuk pergi. Tanpa persiapan yang sempurna,kecuali kemantapan hati. Entah tempat mana dan seperti apa yang hendak dituju, yang penting baginya, terlepas dari jeratan kebencian Ammar terlebih dahulu.

Dengan mengandalkan tabungan yang lumayan jumlahnya, hasil jerih payah selama ini, Elif berharap cukup untuk bertahan hidup hingga dirinya mendapat pekerjaan baru.

Selesai mengemas semuanya, wanita itu mendaratkan tubuhnya di atas ranjang. Seketika, sepasang netranya beralih pada bingkai kecil yang terletak di atas nakas.

"Mama, papa, Elif akan pergi. Terimakasih untuk segalanya yang Elif dapatkan selama ini."

"Maaf, jika Elif lancang melakukan semua ini. Bukan Elif tidak tahu terimakasih, tapi ini adalah bentuk terimakasih Elif yang paling tepat. Selama ini kalian menerimaku dengan sepenuh hati. Tapi, tidak dengan Ammar. Ammar membenciku, karena telah merebut apa yang hanya menjadi miliknya selama ini," lirih Elif dengan pilu.

Saat Elif tengah bernostalgia dengan masa lalu. Bunyi bel terdengar dari luar. Sempat menerka-nerka siapa yang datang. Namun, langsung mempebaiki diri yang tampak berantakan dan bergegas keluar ketika bunyi bel terdengar kian memaksa.

"Siapa?"

Elif termagu saat tahu siapa yang kini berdiri di depan pintu.

"Mas, ada perlu apa ke sini?" ucapnya datar.

"Apartemen ini milikku. Apa aku butuh alasan untuk ke sini?" balas Ammar angkuh dengan memasang wajah kelewat dingin.

Lagi-lagi Elif merasa terhina mendengar ucapan suaminya.

'Benar. Apapun yang aku gunakan selama ini memang miliknya. Dan karena itu dia sangat membenciku. Ya Tuhan, kenapa takdir hidupku harus menyusahkan orang lain. Kenapa kehadiranku harus menghancurkan hubungan seorang anak dengan orangtuanya?'

"Silahkan masuk, Mas!"

Elif mencoba bersikap seperti biasa. Seolah hinaan Ammar tidak berpengaruh apa-apa bagi kondisi psikologisnya.

Ah, atau barangkali, hati Elif sudah kebal. Hinaan semacam itu tidak ada apa-apanya dibanding luka-luka lain yang Ammar torehkan.

Tanpa memberi jawaban apapun. Ammar mendahului Elif masuk ke dalam langsung menuju kamar yang selama ini ditempati Elif. Ammar tidak perlu bertanya untuk memastikan sebelumnya. Karena di apartment itu memang hanya ada satu kamar.

"Ck."

Selama ini yang Ammar sadari, dirinya begitu membenci Elif. Dan kebenciannya semakin menggila saat melihat sebuah koper di atas ranjang.

"M–as." Elif yang muncul di belakang, tampak gelagapan saat mendapati Ammar sudah berada di kamarnya.

"Koper itu isinya apa?"

Ammar langsung berbalik menghadap Elif yang hanya setinggi dadanya.

"Hanya beberapa baju dan perlengkapanku yang lain."

Ammar berjalan mendekat ke arah jendela. Membelakangi Elif yang masih menatap bingung pada pemilik punggung tegap itu.

Ammar menghela nafas kasar.

"Kau benar-benar akan pergi?"

"Ya."

"Ke mana? Kalau suamimu tidak mengizinkanmu pergi, bagaimana?"

'Suami? Sejak kapan aku punya suami?'

Hati Elif tersenyum sinis.

"Aku tetap akan pergi."

Elif masih berbicara dengan normal dan itu membuat Ammar semakin jengah. Muak sekali dengan istrinya yang sekarang.

Rahang Ammar tampak mengeras, laki-laki itu mendekati Elif dan mencengkram kedua bahunya.

"Apa susahnya sih, untuk kembali ke rumah, hah?! Memangnya kau mau ke mana? Tidak ada tempat yang mau menerima wanita sepertimu!" bentaknya menggelegar. Wanita dalam cengkramannya tampak gemetar.

Di hari-hari yang lalu, Ammar juga sering marah hingga membentaknya. Tapi, tidak sampai main fisik.

"Ke–napa? Kenapa aku tidak boleh pergi?"

"Ishh."

Mendengar Elif meringis kesakitan, Ammar buru-buru menarik tangannya dari bahu wanita itu.

"Karena aku belum puas menyakitimu. Kau harus membayar semua yang sudah kau ambil dariku!"

Haha. Tidak, bukan itu yang ingin Ammar katakan. Sebenarnya, Ammar tidak rela jika ditinggal pergi. Hanya saja gengsinya terlalu tinggi. Sampai-sampai ada sebuah rasa lain yang tertimbun oleh tumpukan kebencian di lapisan paling dasar.

Dan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya hanya bisa mengoyak luka Elif dan membuatnya semakin menganga.

'Lihatlah! Selain kebencian, aku memang tidak pernah punya tempat di hatinya.'

Wanita itu mati-matian menahan sesak agar hanya mendekam dalam dada dan tidak muncul kepermukaan.

Bahkan di detik-detik terakhir pun, Ammar hanya bisa memberikan scene menyakitkan untuk disimpan sebagai kenangan.

'Apa salahnya dia berpura-pura baik sekali ini saja, seperti saat menjebakku dulu. Kenapa, nasibku harus mencintai manusia dalam wujud seperti ini, Tuhan?'

Elif mencoba menembus ke dalam mata suaminya, tapi yang hanya tatapan kebencian yang ia temukan.

Wanita itu tersenyum sinis, sebelum akhirnya meraih koper dan tasnya di atas ranjang dan melewati Ammar begitu saja.

Lihat! Laki-laki itu bahkan tidak tahu cara menuruti kata hati untuk menahan agar istrinya tidak pergi.

"Tunggu!"

Langkah Elif terhenti saat sudah tiba di ruang tamu. Elif menoleh bingung saat Ammar berjalan melewati istrinya untuk duduk di sofa.

"Aku hanya ingin menyampaikan satu hal sebelum kau pergi. Barangkali kau sudah lupa. Tidakkah apa kau bawa itu milik keluargaku. Kunci mobil, pakaian, ponsel, bahkan uang yang kau dapatkan itu hasil bekerja di perusahaanku dengan ijazah sarjana yang juga kau peroleh karena belas kasih keluargaku.

Kau masih ingat 'kan, apa yang kau bawa saat pertama kali menginjakkan kaki di rumahku? Jadi, jika berkeras ingin pergi, maka pergilah tanpa membawa apapun," cibir Ammar dengan sinis.

'Ck, aku yakin, dengan begini dia tidak akan pergi. Mau hidup dengan apa dia di luar sana?' batin Ammar merasa menang.

Deg.

Elif masih ingat sekali saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah megah keluarga Ammar. Hanya dengan pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya.

Kasarnya, Elif hanya gadis yatim piatu yang dipungut Ny. Risma dan Tn. Rasyid. Seperti yang sering Ammar katakan untuk membuat Elif sadar diri mulai saat itu.

Ya, Elif memang tidak membawa apapun selain pakaian lusuh. Wanita itu membenarkan, semua yang Ammar sebutkan tadi, memang dia dapat karena belas kasih mertuanya.

Lalu, apa Elif harus mengembalikan semua itu agar bisa bebas dari dendam suaminya?

Laki-laki itu baru saja kembali membuka luka lama.

"Ambillah! Semua ini memang milikmu!"

Elif meletakkan ponsel, kunci mobil serta ATM dan tasnya ke atas meja. Tepat di hadapan Ammar. Kemudian, membuka koper dan mengambil map yang berisi ijazah yang diperjuangkan dengan susah payah untuk diserahkan pada suaminya.

Setelah menutup koper yang hanya berisi beberapa potong pakaian, Elif mendorongnya ke samping sofa, di mana Ammar duduk. Lalu, melepaskan high heels yang yang melekat di kedua kakinya.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak Ammar tidak habis pikir.

"Apa kau sudah gila?!"

Laki-laki itu menatap nyalang pada istrinya.

"Apa aku harus melepaskan pakaian ini juga?" tanya Elif dengan suara tertahan. Sudut matanya mulai berkaca.

Melihat tingkah istrinya, kedua tangan Ammar terkepal erat.

"Tidak. Aku pikir kau masih punya sedikit nurani untuk tidak membiarkan aku pergi dengan telanjang. Tenang saja, aku akan mengganti harga pakaian ini saat aku punya uang. Kalau tidak ada lagi, aku pergi dulu."

Elif meninggalkan suaminya dalam keadaan mematung. Ammar menatap nanar pada benda-benda milik istrinya yang kini tergeletak di hadapannya.

"Dasar wanita keras kepala! Apa dia mencoba menggertakku? Mau ke mana dia dengan kaki telanjang dan tanpa uang sepeser pun," monolog Ammar setuju dengan logikanya.

Entah kapan laki-laki itu sadar dengan rasa sakit yang Elif dapatkan karena ulahnya.

Sementara Elif berjalan di pinggir jalan dengan kaki telanjang. Tanpa tahu ke mana arah yang akan dituju.

Tanpa membawa apapun, selain pakaian yang melekat ditubuhnya.

Ada yang menatapnya dengan aneh, prihatin, dan banyak juga yang tidak peduli. Sebagian ada yang mengira, jika wanita cantik itu sedang putus cinta.

Nyatanya, apa yang Elif alami lebih pelik dari dugaan mereka. Telapak kakinya mulai perih, tapi luka hatinya jauh lebih kentara.

'Aku harus ke mana?'

.

Bersambung ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Siti Marfuah
baik lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Aku Pergi, Mas   8 Keanehan Ammar

    'Aku harus ke mana?'Elif menengadah ke langit dengan tangan menyilang di dada. Berharap siang ini hujan turun lebat seperti semalam, agar wanita itu dapat bersembunyi di baliknya. Ya, jika di bawah guyuran, siapa yang mampu membedakan air mata dan air hujan yang bercampur di pipinya. Namun, sepertinya angan tak pernah jadi kenyataan. Sebab bumi tengah begitu hangat dipeluk matahari. Elif pun bisa merasakan panas yang merasuk pada kedua kaki telanjangnya. "Apa aku pulang ke rumah saja?" Elif tersenyum getir, rumah gubuk yang ditinggal puluhan tahun lalu, masihkah ada hingga hari ini? Tidak. Elif menggelengkan kepala. Untuk dapat melihat bekas rongsokannya saja, wanita itu merasa terlalu berlebihan. Lalu, ke mana kaki mungil itu hendak melangkah? Arah mana yang akan dituju dalam kondisi memprihatinkan seperti itu. Tidak mungkin 'kan dia mengikuti arah mata angin? Mencari kerja?Secepat itu? Tanpa ijazah, tanpa alas kaki, tanpa apapun selain pakaian yang masih melekat di tubuhn

  • Aku Pergi, Mas   9 Mencari

    Ammar menepikan mobilnya di pinggir jalan yang agak sepi. Pikirannya semakin kalut saat melirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dari sore hari dia berkeliling mencari Elif ke sana ke mari. Menelusuri setiap jengkal yang mungkin dilewati wanita itu. Menurutnya. Tapi, nihil. Elif lenyap begitu saja tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. "Apa jangan-jangan ... tidak. Itu tidak mungkin ...." Ammar menggeleng-geleng kepala, lalu meremas rambutnya dengan kasar. Entah apa yang terbesit dalam kepalanya, hingga berakhir dengan membenamkan wajah pada setir. Lumayan lama Ammar menelungkup. Hingga dering ponsel membangunkannya. Matanya berbinar, kala menatap nama siapa yang muncul di layar panggilan. Berharap ada kabar baik yang akan diterima. "Ya," ujar Ammar ketika panggilan tersambung...."Baiklah. Hentikan dulu pencarian! Tunggu sampai aku memberi perintah, besok!" jawab Ammar lesu.Tut.Tidak ada kabar baik sama sekali. Orang-orang suruhan Ammar ti

  • Aku Pergi, Mas   10 Menyesal

    Entah berapa lama mereka saling menyerang. Keduanya terkapar di lantai dalam keadaan sama-sama memprihatinkan. "Lepaskan dia! Kau tidak pantas untuk Elif," ujar Alzam pelan sambil meringis dengan wajah yang sudah babak belur. "Heh. Siapa kau berani memerintahku?" sanggah Ammar dengan kondisi tak kalah mengenaskan. Wajah keduanya penuh lebam bahkan di beberapa bagian sampai berdarah. Seluruh bagian tubuh terasa nyeri, tapi mulut mereka belum berhenti untuk menghina satu sama lain. "Aku ... salah satu orang yang menginginkannya dari sekian banyak pria." Telinga Ammar seketika panas. Ia melirik seseorang yang terkapar tidak jauh darinya dengan ekor mata. Dalam hati, laki-laki itu bersumpah, jika saja tenaganya masih ada, ia akan menghabisi Alzam saat ini juga. "Kenapa diam? Kau tidak mencintainya melainkan kebencian yang sudah lama kau tanam untuk menyiksanya. Dia terlalu baik untuk manusia setengah iblis sepertimu," sambung Alzam yang berhasil membuat dada Ammar berdenyut. "Ck.

  • Aku Pergi, Mas   11 , Bertemu di Pesta

    Darius yang sedang bersandar di pintu mobil terpaku, ketika Elif melangkah menghampirinya. Dari balkon, tampak Hilya mengangkat tangan sebagai tanda penyemangat untuk Darius yang sempat menatap ke atas sana. 'Dia benar-benar sempurna dalam balutan gaun pilihanku,' batin Darius puas saat Elif sudah semakin dekat.Apapun yang melekat di tubuh Elif sekarang, adalah pilihan Darius. Sesuai selera laki-laki itu. Sementara hatinya, sibuk bermain-main, ketar ketir, selalu seperti itu ketika berpapasan dengan Elif, dari dulu. Ah, Elif tidak sadar sama sekali, tengah terjebak dalam permainan dua sahabatnya. Malam ini, mereka berlima akan menghadiri undangan pesta ulang tahun sepupu laki-laki Bima. Tapi, menurut penuturan Hilya pada Elif, mereka tidak bisa pergi bersama. Karena Elena akan mengajak gebetan baru, Bima dengan tunangannya dan Hilya sendiri bersama kekasihnya. Hanya Darius dan Elif yang tersisa. Mereka sama-sama tidak punya pasangan. Padahal, ini rencana licik Hilya untuk memba

  • Aku Pergi, Mas   12 Kebenaran Lain

    Tapi, saat Elif keluar dari toilet ceritanya mulai berbeda lagi. Tubuhnya membeku menyadari siapa yang kini berdiri sambil menyilangkan tangan di dada di depan sana. Beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sebelum akhirnya sosok itu memangkas jarak dengan menghampiri. "Terima kasih ... karena tetap baik-baik saja, wanita keras kepala." Elif mencoba melepas kedua tangan Ammar dari bahunya. "Lepaskan! Kau menyakitiku."Tanpa disadari, cengkraman Ammar terlalu kuat hingga Elif meringis. Bukan, ini bukan seperti kejadian tempo hari, ketika Ammar mencengkram bahu Elif saat wanita itu berkeukeuh untuk pergi.Malam ini, Ammar euforia. Karena terlalu rindu juga tidak percaya, jika orang yang dicari-cari kini tampak nyata di depan mata. Meski, harus membayar mahal untuk rasa cemburu karena pemandangan menyesakkan beberapa waktu yang lalu.Ya, Ammar cemburu, meski cinta masih dilapisi dendam tak jelas masa lalu. Tapi, setidaknya laki-laki itu mulai sadar, kurang lebih begitulah perasaan Elif

  • Aku Pergi, Mas   13 Kehidupan Baru

    Tubuh Ammar lunglai, setelah mendengar percakapan mamanya dengan Alzam. Tidak sanggup berada di sana lebih lama, juga belum sanggup bertemu ny. Risma untuk memastikan bahwa apa yang ia dengar barusan adalah tidak benar. Bagaimana mungkin?'Itu tidak benar.' Laki-laki gagah yang hampir setengah jam bersembunyi di balik pintu, memutuskan untuk pergi dari sana dengan air mata ysng yang sudah menganak sungai.Saat di mobil, pikirannya menerawang jauh pada masa lalu, hari di mana seorang gadis asing masuk ke rumah bersama orangtuanya, yang Ammar tatap dengan penuh kebencian di pertemuan pertama. First impression yang sangat tidak menyenangkan.Selama ini Ammar mengira, Elif adalah perebut kehidupannya yang sangat nyaman. Elif benalu, Elif tidak tahu diri. Elif memanfaatkan kebaikan keluargaku. Benar begitu, Ammar? Tentu saja. Itulah sebutan yang paling cocok yang kau lontarkan untuk istrimu.Dalam keadaan setengah sadar, Ammar menginjak pedal gas dan melajukan mobil dengan kecepatan tingg

  • Aku Pergi, Mas   14 Terasa Nyeri

    Masalah seperti ini, terlalu rumit untuk Ammar pecahkan. Nyali untuk memperjuangkan Elif semakin menciut. Laki-laki itu merasa sangat rendah, tidak pantas untuk membawa istrinya kembali.Tapi, untuk melepas, berat sekali. Ammar menggeleng-geleng kepala tidak rela. Apalagi, ketika bayang-bayang laki-laki beruntung yang bersama Elif malam itu, kerap muncul dalam kepala. "Aku harus apa? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau kehilangan dia?" tanya Ammar pada diri sendiri sembari memukul dada yang terasa nyeri."Seharusnya, aku memperlakukannya dengan baik. Seharusnya, aku menjaganya dengan tulus, bukan malah menyuruhnya untuk pergi. Sekarang, aku harus mencarinya ke mana? Bagaimana caraku membawa pulang? Apa yang harus kujelaskan?" Ammar terus meracau, jika kemarin-kemarin ia menyesali perbuatan dengan setengah hati. Hari ini Ammar sadar sepenuhnya. Tentang perlakuan buruk dan perkataan yang kerap kali membuat hati Elif merasa pesakitan. "Tuhan, bolehkah aku yang tidak tahu diri ini

  • Aku Pergi, Mas   15 Ingin Mandiri

    "Tidak Hilya. Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan masa lalu. Aku hanya ingin merasakan hidup seperti orang-orang biasa di luar sana. Ayolah, aku hanya ingin merasakan mencari pekerjaan seperti orang-orang normal. Anggap saja sahabatmu ini sedang magang. Bagaimana?"Elif sengaja bertingkah menggelikan dengan mengedipkan matanya menggoda Hilya. "Issh! Tolong jangan bercanda, Elif! Aku sedang serius. Jadi, kau tidak menganggapku sebagai temanmu lagi?" Hilya mendelik tajam pada Elif yang sedang menyengir ke arahnya."Haha. Tentu saja kau dan yang lainnya tetap temanku. Karena itu, kau harus mendukung dengan keputusan yang akan kuambil. Atau jangan-jangan, kalian malu punya teman yang hanya pelayan kafe sepertiku?" Tembakan Elif tepat sasaran dan menjadi bumerang bagi Hilya. Meski Elif tengah menjebaknya, tapi kalau sudah begini Hilya bisa apa. "Eh, kau menuduhku sekejam itu? Aku hanya ingin membantumu, tahu! Baiklah- baiklah, terserah kau saja mau bekerja di mana. Yang jelas a

Latest chapter

  • Aku Pergi, Mas   27 Ekstra Part

    Pukul 10 malam. Elif mengerjab perlahan saat tangannya menyentuh sisi ranjang di sebelahnya untuk mencari seseorang yang ternyata kosong—sosok yang dicarinya tidak kunjung ditemukan. Elif segera memaksa mata cantiknya untuk terbuka sepenuhnya. Gadis yang beberapa saat yang lalu telah menjadi wanita seutuhnya itu gegas bangkit untuk duduk. Senyuman di bibir merah jambunya mulai mengembang saat pikirannya mengingatkan Elif tentang sesuatu. Sesuatu yang begitu indah tentu saja. Oh, apakah ini nyata? Begitu tanya yang muncul dalam hati wanita cantik berlesung pipi itu—saat melihat tubuhnya yang polos di balik selimut. Elif sedikit mencubit lengannya, dan ternyata terasa sakit. 'Ini nyata. Akhirnya, mimpi itu telah menjadi nyata,' batin Elif dengan mata berkaca. Dulu, jangankan untuk disentuh, meliriknya saja Ammar seperti sangat jijik. Tapi, hari ini ... ah, Elif bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana cara Ammar memperlakukannya tadi. Sangat lembut. Seolah tubuh istrinya ada

  • Aku Pergi, Mas   26 Ending

    Sementara di lain tempat, sudah beberapa hari Elif tidak pergi bekerja dan hanya menyendiri di kontrakan. Elif sedang memantapkan hati untuk perpisahan, tapi Ammar terus saja hadir mengusik ego dan hatinya. "Kenapa suka sekali hadir untuk mempermainkan hatiku, Mas? Kenapa? Kau senang, kan melihatku seperti ini?" Elif selalu saja memaki Ammar kala bayangnya muncul tanpa tanda dan tiba-tiba. Hingga entah di hitungan hari ke berapa, Elif memilih untuk mengalah dengan hatinya dan bertekad pergi ke rumah utama.Wanita itu menekan bell dengan perasaan cemas. Pasalnya, sudah lama Elif tidak pernah datang setelah hari kepergiannya dari rumah. "Mama!" panggil Elif saat pintu besar berwarna putih itu terbuka lebar dan seorang wanita paruh baya berdiri dengan anggun di hadapannya."Sayang? Elif, ya ampun, akhirnya kamu datang." Ny. Risma memeluk menantunya dengan erat, seolah enggan mengizinkan pergi. "Kamu ke mana saja? Mama sangat merindukan kamu, El," ucap Ny. Risma setelah melepas pelu

  • Aku Pergi, Mas   25 Perpisahan?

    Memaafkan adalah kemenangan terbaik.__ Ali bin Abi Thalib __"Tentu saja. Aku telah memaafkanmu jauh-jauh hari," jawab Elif dengan bibir mengerucut. "Benarkah? Apa itu berarti kau akan pulang bersamaku?" tanya Ammar spontan.Deg. Jantung Elif seketika berdebar kencang. Aliran darahnya seperti terhenti. Pernyataan Ammar terlalu blak-blakan dan tiba-tiba seperti ini. "Mas,""Kenapa? Apa permintaanku terlalu berlebihan? Ammar menahan tangan Elif saat wanita itu hendak beranjak dari sana. Tak bisa melarikan diri, Elif memilih tenggelam dalam mata Ammar. Di mana dirinya tengah menari-nari di sana. Menit kemudian wanita itu tersenyum. Satu yang bisa Ammar tangkap. Ketulusan. Elif laksana Edelweis, senyuman tulus seorang kekasih. "Tak hanya di lisan, aku telah memaafkanmu dari hatiku, Mas. Jujur, aku begitu tersanjung saat diajak untuk pulang, tapi ...." Ammar semakin mempererat pelukan. Menanti kalimat yang terputus dengan perasaan tak karuan. "Mas, bolehkah aku meminta waktu sebe

  • Aku Pergi, Mas   24 Permintaan Tidak Biasa

    Ammar sudah dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan setelah tiga jam lebih berada dalam ruang operasi. Meski sudah melewati masa kritis, Ammar belum sadarkan diri. Dan hanya satu orang yang diperbolehkan dokter untuk menemani, demi ketenangan pasien. Elif—lah yang melakukan itu dengan segala rasa bersalahnya. Alzam dan pak Kidar memilih berjaga-jaga di luar ruangan, dalam keadaan sama-sama membisu. Mengingat kejadian buruk yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dua laki-laki itu tidak berani meninggalkan Elif dan Ammar di rumah sakit. "Saya ke toilet sebentar!" pamit pak Kidar yang hanya diangguki oleh Alzam.Ada banyak hal yang sedang Alzam renungi. Salah satunya, apa yang terjadi dengan Elif beberapa saat yang lalu. 'Aku saja begitu murka saat melihat kondisinya, apa lagi Ammar yang berstatus sebagai suaminya.' Alzam tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang sahabat tega melakukan hal rendahan seperti itu. Seorang laki-laki sekelas Darius, bagaimana bisa memiliki cint

  • Aku Pergi, Mas   23 Nasib Elif

    HAPPY READING ❤️Ammar pulang dari kantor dengan perasaan yang tidak bisa diartikan. Sejak tadi, ingatannya hanya pada Elif, Elif dan Elif saja. Ini berbeda. Bukan rasa seperti biasa. Jika kemarin-kemarin Ammar hanya merindu, kini didampingi kecemasan yang juga berbalut luka."Apa aku menghubunginya, saja?" tanya Ammar pada diri sendiri setelah tiba di depan pintu apartemen. "Tapi, bagaimana kalau dia tidak senang kuhubungi?" ulangnya lagi. Tidak, tidak. Ammar menggeleng-geleng kepala. Laki-laki itu merasa kekhawatirannya sebagai sesuatu yang berlebihan. 'Mungkin aku hanya terlalu rindu, karena efek baru bertemu kemarin. Semoga Elif baik-baik saja.'Setelah menyakinkan diri, Ammar langsung masuk ke dalam, menuju kamar untuk meletakkan tas dan melepas pakaian kantor. Lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berharap di bawah guyuran air bisa membuat dirinya kembali pulih. Juga pikiran yang kembali jernih. 'Apa aku siap jika harus berpisah? Sekarang saja, aku hampir gila karen

  • Aku Pergi, Mas   22 Elif Dalam Bahaya

    Tubuh Elif membeku. Setelah banyak hal tak biasa yang mereka lewati, dengan mudahnya Ammar berucap seperti itu.Kalimat sederhana yang ingin Elif dengar sejak dulu.'Apa dia sedang mencoba membodohiku seperti dulu? Kenapa jantungku seperti ini? Ini akan sangat memalukan jika Mas Ammar sampai mendengarnya.'Elif menatap mata elang itu lekat-lekat. Namun, tidak terdapat setitik kebohongan pun di sana. "Aku tidak sedang berbohong, Elif. Aku berani bersumpah untuk itu." "Maafkan aku, Mas! Kalau saja aku tidak muncul dalam kehidupan ....""Sstt!"Ammar meletakkan telunjuknya di bibir Elif. Lalu, menariknya dengan cepat setelah menyadari kelancangannya. Tak hanya Elif, Ammar juga merasakan ada yang salah dengan jantungnya. Riuh sekali di dalam sana. "Ma–af, aku tidak bermaksud lancang! Hanya saja aku tidak suka mendengarmu meminta maaf seperti itu. Jelas-jelas aku yang bersalah. Harusnya aku berterima kasih karena kamu telah sudi hadir dalam hidupku. Orangtuaku tidak bersalah, begitu ju

  • Aku Pergi, Mas   21 Antara Darius dan Ammar

    "Ma–af, Darius! Kita tidak bisa seperti ini." Elif menarik tangannya dari genggaman Darius yang terus mencoba mempertahankan. "Kenapa, Elif? Apa karena laki-laki itu, sehingga kamu tidak bisa melihatku? Lihatlah setelah apa yang dia perbuat, kau bahkan masih memikirkannya.""Bu–bukan seperti itu Da ...." "Lirik aku sedikit saja, Elif! Please! Bertahun-tahun aku menunggumu" lirih Darius dengan pilu. Laki-laki sekelas Darius pun bisa menjadi pengemis saat terjebak dalam rasa. Elif tidak menyangka dengan apa yang baru saja Darius akui. Dirinya merasa bersalah ketika menatap mata elang yang berusaha ia selami.Tapi, masa lalu masih saja membelenggu. Tak hanya karena ikatan yang belum terlepas, hatinya pun belum kuasa untuk berbalas. Elif belum siap untuk cinta yang baru. "Maaf, Darius! Tapi, aku tidak bisa. Kegagalan di mana lalu, telah mengajarkanku untuk lebih berhati-hati. Maaf, tapi semenjak saat itu, cinta bukan lagi sesuatu yang indah untukku. Bagiku cinta adalah luka. Aku but

  • Aku Pergi, Mas   20 Rani Dicampakkan

    "Mari akhiri semuanya sampai di sini!" Ucapan Ammar membuat sepasang mata Rani melebar. "Mak–sudmu? Meng ... akhiri semuanya? Aku tidak mengerti." "Hubungan kita. Aku ingin mengakhirinya." Apa yang Ammar katakan kali ini terdengar cukup jelas. Lucu. Jika Rani belum juga paham. "Apa? Kamu bercanda 'kan?" Wanita itu menggeram. Bukan ini yang diinginkan dari makan siang yang sudah lama tertunda. "Aku serius. Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi. Panggilan telponmu benar-benar menggangu akhir-akhir ini." "Tidak. Aku tidak mau kita berakhir! Aku mau kita segera menikah. Kau sangat mencintaiku, kan? Begitupun aku, aku sangat mencintai kamu, Ammar." Ah, sepertinya drama baru akan dimulai. Rani sudah mengaktifkan mode sedih. Dengan mata yang mulai berkaca. "Selama ini, apa kau pernah mendengar aku mengatakan cinta padamu?" Rani termagu. Benar, tidak pernah sekalipun Ammar mengatakannya. Hanya Rani yang sibuk mengungkapkan rasa setiap kali mereka bersama. Tanpa balasan apa

  • Aku Pergi, Mas   19 Terlalu Percaya Diri

    "Ishh!"Darius meringis saat kapas di tangan Elif bersentuhan dengan lukanya. "Apakah ini perih?""Sedikit." "Maaf! Gara-gara aku kamu jadi seperti ini." Elif mengambil kapas yang baru dan memberinya sedikit betadin. "Tidak masalah asal kau tetap baik-baik saja."Seketika pandangan mereka bertemu."Apa maksudmu, Darius?" Pertanyaan sederhana yang keluar dari bibir mungil itu seketika membuat Darius salah tingkah. Dalam hati Darius mengutuk dirinya yang terlalu terburu-buru. "A—aku tidak bisa diam saja melihat sahabatku kesulitan," jawab Darius menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sementara Elif hanya ber 'oh' riya. Kemudian, melanjutkan aktivitasnya mengobati wajah Darius. Dalam hati, Elif merasa lega setelah mendengar kalimat terakhir laki-laki itu. Berarti, apa yang Hilya katakan selama ini tidaklah benar. Darius belum mengakhiri masa lajang, bukan karena dirinya, pikir Elif.'Tentu saja apa yang aku khawatirkan selama ini tidak benar.'Elif geleng-geleng kepala, dalam hati

DMCA.com Protection Status