Darius yang sedang bersandar di pintu mobil terpaku, ketika Elif melangkah menghampirinya. Dari balkon, tampak Hilya mengangkat tangan sebagai tanda penyemangat untuk Darius yang sempat menatap ke atas sana. 'Dia benar-benar sempurna dalam balutan gaun pilihanku,' batin Darius puas saat Elif sudah semakin dekat.Apapun yang melekat di tubuh Elif sekarang, adalah pilihan Darius. Sesuai selera laki-laki itu. Sementara hatinya, sibuk bermain-main, ketar ketir, selalu seperti itu ketika berpapasan dengan Elif, dari dulu. Ah, Elif tidak sadar sama sekali, tengah terjebak dalam permainan dua sahabatnya. Malam ini, mereka berlima akan menghadiri undangan pesta ulang tahun sepupu laki-laki Bima. Tapi, menurut penuturan Hilya pada Elif, mereka tidak bisa pergi bersama. Karena Elena akan mengajak gebetan baru, Bima dengan tunangannya dan Hilya sendiri bersama kekasihnya. Hanya Darius dan Elif yang tersisa. Mereka sama-sama tidak punya pasangan. Padahal, ini rencana licik Hilya untuk memba
Tapi, saat Elif keluar dari toilet ceritanya mulai berbeda lagi. Tubuhnya membeku menyadari siapa yang kini berdiri sambil menyilangkan tangan di dada di depan sana. Beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sebelum akhirnya sosok itu memangkas jarak dengan menghampiri. "Terima kasih ... karena tetap baik-baik saja, wanita keras kepala." Elif mencoba melepas kedua tangan Ammar dari bahunya. "Lepaskan! Kau menyakitiku."Tanpa disadari, cengkraman Ammar terlalu kuat hingga Elif meringis. Bukan, ini bukan seperti kejadian tempo hari, ketika Ammar mencengkram bahu Elif saat wanita itu berkeukeuh untuk pergi.Malam ini, Ammar euforia. Karena terlalu rindu juga tidak percaya, jika orang yang dicari-cari kini tampak nyata di depan mata. Meski, harus membayar mahal untuk rasa cemburu karena pemandangan menyesakkan beberapa waktu yang lalu.Ya, Ammar cemburu, meski cinta masih dilapisi dendam tak jelas masa lalu. Tapi, setidaknya laki-laki itu mulai sadar, kurang lebih begitulah perasaan Elif
Tubuh Ammar lunglai, setelah mendengar percakapan mamanya dengan Alzam. Tidak sanggup berada di sana lebih lama, juga belum sanggup bertemu ny. Risma untuk memastikan bahwa apa yang ia dengar barusan adalah tidak benar. Bagaimana mungkin?'Itu tidak benar.' Laki-laki gagah yang hampir setengah jam bersembunyi di balik pintu, memutuskan untuk pergi dari sana dengan air mata ysng yang sudah menganak sungai.Saat di mobil, pikirannya menerawang jauh pada masa lalu, hari di mana seorang gadis asing masuk ke rumah bersama orangtuanya, yang Ammar tatap dengan penuh kebencian di pertemuan pertama. First impression yang sangat tidak menyenangkan.Selama ini Ammar mengira, Elif adalah perebut kehidupannya yang sangat nyaman. Elif benalu, Elif tidak tahu diri. Elif memanfaatkan kebaikan keluargaku. Benar begitu, Ammar? Tentu saja. Itulah sebutan yang paling cocok yang kau lontarkan untuk istrimu.Dalam keadaan setengah sadar, Ammar menginjak pedal gas dan melajukan mobil dengan kecepatan tingg
Masalah seperti ini, terlalu rumit untuk Ammar pecahkan. Nyali untuk memperjuangkan Elif semakin menciut. Laki-laki itu merasa sangat rendah, tidak pantas untuk membawa istrinya kembali.Tapi, untuk melepas, berat sekali. Ammar menggeleng-geleng kepala tidak rela. Apalagi, ketika bayang-bayang laki-laki beruntung yang bersama Elif malam itu, kerap muncul dalam kepala. "Aku harus apa? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau kehilangan dia?" tanya Ammar pada diri sendiri sembari memukul dada yang terasa nyeri."Seharusnya, aku memperlakukannya dengan baik. Seharusnya, aku menjaganya dengan tulus, bukan malah menyuruhnya untuk pergi. Sekarang, aku harus mencarinya ke mana? Bagaimana caraku membawa pulang? Apa yang harus kujelaskan?" Ammar terus meracau, jika kemarin-kemarin ia menyesali perbuatan dengan setengah hati. Hari ini Ammar sadar sepenuhnya. Tentang perlakuan buruk dan perkataan yang kerap kali membuat hati Elif merasa pesakitan. "Tuhan, bolehkah aku yang tidak tahu diri ini
"Tidak Hilya. Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan masa lalu. Aku hanya ingin merasakan hidup seperti orang-orang biasa di luar sana. Ayolah, aku hanya ingin merasakan mencari pekerjaan seperti orang-orang normal. Anggap saja sahabatmu ini sedang magang. Bagaimana?"Elif sengaja bertingkah menggelikan dengan mengedipkan matanya menggoda Hilya. "Issh! Tolong jangan bercanda, Elif! Aku sedang serius. Jadi, kau tidak menganggapku sebagai temanmu lagi?" Hilya mendelik tajam pada Elif yang sedang menyengir ke arahnya."Haha. Tentu saja kau dan yang lainnya tetap temanku. Karena itu, kau harus mendukung dengan keputusan yang akan kuambil. Atau jangan-jangan, kalian malu punya teman yang hanya pelayan kafe sepertiku?" Tembakan Elif tepat sasaran dan menjadi bumerang bagi Hilya. Meski Elif tengah menjebaknya, tapi kalau sudah begini Hilya bisa apa. "Eh, kau menuduhku sekejam itu? Aku hanya ingin membantumu, tahu! Baiklah- baiklah, terserah kau saja mau bekerja di mana. Yang jelas a
"Kak Alzam mau pesan apa?" Elif kembali membuka suara setelah beberapa saat keduanya terjebak dalam hening. Mencoba bersikap santai seperti biasa, meski terasa sulit. Tak terkecuali Alzam, yang intens menatap Elif dari ujung rambut sampai ujung kaki.Hati kecil wanita itu sibuk bertanya, apakah Alzam punya maksud tertentu atau hanya kebetulan saja. "Red Velvet Latte dan ...." "Ada lagi?" Elif memotong ucapan laki-laki yang terlihat sedang kebingungan itu."Dan kamu. Ya, aku ingin bicara ....""Tapi, aku tidak bisa. Aku sedang bekerja ....""Tidak lebih dari sepuluh menit. Atau biarkan aku yang meminta izin pada managermu," tawar Alzam serius. Elif tidak punya alasan lagi untuk menghindar. "Baiklah. Biar kusiapkan pesanannya dulu," jawab wanita itu lesu, kemudian berlalu dengan gelisah. Sementara, Alzam menatap kepergiannya dengan tatapan yang sukar dijabarkan. 'Gara-gara laki-laki itu, hidupmu jadi sesulit ini.'"Apa yang ingin Kak Alzam bicarakan?" tanya Elif setelah meletakkan
"Percayalah, Kak! Sungguh, aku baik-baik saja." Ya. Alzam tidak lagi menemukan celah untuk mendebat. Elif tidak memberinya kesempatan sama sekali. 'Ya Tuhan sampai kapan aku harus memendamnya. Melakukan sandiwara untuk menutupi semuanya.' Alzam mendesah. Ingin sekali ia berteriak agar dunia tahu dengan jelas dihatinya. Terlebih wanita yang menurutnya tidak peka sama sekali. Tapi, lagi-lagi akal sehatnya menentang. 'Walau bagaimanapun, Elif istri orang, istri saudaraku. Sungguh, aku akan sangat rendah, jika sampai bertindak sejauh itu.' "Baiklah. Aku akan mencoba mengerti. Tapi, bolehkah jika sesekali aku mengunjungimu? Tante juga sangat merindukanmu." Hati Elif mencolos, saat mama mertuanya di sebut. Wanita baik itu, Elif juga sangat rindu terhadapnya. Tapi ...."Kak Alzam bisa mampir ke sini jika ingin bertemu denganku. Soal mama ...." wajah Elif seketika sendu. "Katakan padanya aku baik-baik saja. Tolong yakinkan mama agar tidak perlu mengkhawatirkan aku.""Kau tidak ingin b
Setelah lumayan lama mengantri, akhirnya Darius berhasil mendapatkan dua cup es krim dengan rasa yang berbeda."Ini, kamu masih suka vanila 'kan?" Darius menyodorkan milik Elif sembari bertanya untuk memastikan. Sudah hukum alam, setelah lumayan lama tidak bertemu, mungkin ada beberapa bahkan banyak hal telah berubah bagi seseorang. Meski untuk hal-hal kecil, seperti makanan kesukaan. "Tidak jauh di depan ada taman. Mampir dulu atau bagaimana?" tanya Darius meminta jawaban. "Eum boleh." Di sinilah kini dua anak manusia itu menikmati senja. Dengan ea krim yang kadang membuat mulut salah satunya tampak belepotan. Dan itu sukses membuat salah satunya lagi mengambil kesempatan. Ah, hal-hal kecil seperti itu membuat Darius candu. Berharap bisa melakukannya berulang-ulang. Besok atau selamanya. Tiap kali sisa es krim tertinggal di sudut bibir Elif. Darius akan menyapunya dengan jempol. Dan tentu saja, Elif tidak punya kesempatan untuk menolak. Sebab, Darius suka bertindak tiba-tiba ta
Pukul 10 malam. Elif mengerjab perlahan saat tangannya menyentuh sisi ranjang di sebelahnya untuk mencari seseorang yang ternyata kosong—sosok yang dicarinya tidak kunjung ditemukan. Elif segera memaksa mata cantiknya untuk terbuka sepenuhnya. Gadis yang beberapa saat yang lalu telah menjadi wanita seutuhnya itu gegas bangkit untuk duduk. Senyuman di bibir merah jambunya mulai mengembang saat pikirannya mengingatkan Elif tentang sesuatu. Sesuatu yang begitu indah tentu saja. Oh, apakah ini nyata? Begitu tanya yang muncul dalam hati wanita cantik berlesung pipi itu—saat melihat tubuhnya yang polos di balik selimut. Elif sedikit mencubit lengannya, dan ternyata terasa sakit. 'Ini nyata. Akhirnya, mimpi itu telah menjadi nyata,' batin Elif dengan mata berkaca. Dulu, jangankan untuk disentuh, meliriknya saja Ammar seperti sangat jijik. Tapi, hari ini ... ah, Elif bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana cara Ammar memperlakukannya tadi. Sangat lembut. Seolah tubuh istrinya ada
Sementara di lain tempat, sudah beberapa hari Elif tidak pergi bekerja dan hanya menyendiri di kontrakan. Elif sedang memantapkan hati untuk perpisahan, tapi Ammar terus saja hadir mengusik ego dan hatinya. "Kenapa suka sekali hadir untuk mempermainkan hatiku, Mas? Kenapa? Kau senang, kan melihatku seperti ini?" Elif selalu saja memaki Ammar kala bayangnya muncul tanpa tanda dan tiba-tiba. Hingga entah di hitungan hari ke berapa, Elif memilih untuk mengalah dengan hatinya dan bertekad pergi ke rumah utama.Wanita itu menekan bell dengan perasaan cemas. Pasalnya, sudah lama Elif tidak pernah datang setelah hari kepergiannya dari rumah. "Mama!" panggil Elif saat pintu besar berwarna putih itu terbuka lebar dan seorang wanita paruh baya berdiri dengan anggun di hadapannya."Sayang? Elif, ya ampun, akhirnya kamu datang." Ny. Risma memeluk menantunya dengan erat, seolah enggan mengizinkan pergi. "Kamu ke mana saja? Mama sangat merindukan kamu, El," ucap Ny. Risma setelah melepas pelu
Memaafkan adalah kemenangan terbaik.__ Ali bin Abi Thalib __"Tentu saja. Aku telah memaafkanmu jauh-jauh hari," jawab Elif dengan bibir mengerucut. "Benarkah? Apa itu berarti kau akan pulang bersamaku?" tanya Ammar spontan.Deg. Jantung Elif seketika berdebar kencang. Aliran darahnya seperti terhenti. Pernyataan Ammar terlalu blak-blakan dan tiba-tiba seperti ini. "Mas,""Kenapa? Apa permintaanku terlalu berlebihan? Ammar menahan tangan Elif saat wanita itu hendak beranjak dari sana. Tak bisa melarikan diri, Elif memilih tenggelam dalam mata Ammar. Di mana dirinya tengah menari-nari di sana. Menit kemudian wanita itu tersenyum. Satu yang bisa Ammar tangkap. Ketulusan. Elif laksana Edelweis, senyuman tulus seorang kekasih. "Tak hanya di lisan, aku telah memaafkanmu dari hatiku, Mas. Jujur, aku begitu tersanjung saat diajak untuk pulang, tapi ...." Ammar semakin mempererat pelukan. Menanti kalimat yang terputus dengan perasaan tak karuan. "Mas, bolehkah aku meminta waktu sebe
Ammar sudah dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan setelah tiga jam lebih berada dalam ruang operasi. Meski sudah melewati masa kritis, Ammar belum sadarkan diri. Dan hanya satu orang yang diperbolehkan dokter untuk menemani, demi ketenangan pasien. Elif—lah yang melakukan itu dengan segala rasa bersalahnya. Alzam dan pak Kidar memilih berjaga-jaga di luar ruangan, dalam keadaan sama-sama membisu. Mengingat kejadian buruk yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dua laki-laki itu tidak berani meninggalkan Elif dan Ammar di rumah sakit. "Saya ke toilet sebentar!" pamit pak Kidar yang hanya diangguki oleh Alzam.Ada banyak hal yang sedang Alzam renungi. Salah satunya, apa yang terjadi dengan Elif beberapa saat yang lalu. 'Aku saja begitu murka saat melihat kondisinya, apa lagi Ammar yang berstatus sebagai suaminya.' Alzam tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang sahabat tega melakukan hal rendahan seperti itu. Seorang laki-laki sekelas Darius, bagaimana bisa memiliki cint
HAPPY READING ❤️Ammar pulang dari kantor dengan perasaan yang tidak bisa diartikan. Sejak tadi, ingatannya hanya pada Elif, Elif dan Elif saja. Ini berbeda. Bukan rasa seperti biasa. Jika kemarin-kemarin Ammar hanya merindu, kini didampingi kecemasan yang juga berbalut luka."Apa aku menghubunginya, saja?" tanya Ammar pada diri sendiri setelah tiba di depan pintu apartemen. "Tapi, bagaimana kalau dia tidak senang kuhubungi?" ulangnya lagi. Tidak, tidak. Ammar menggeleng-geleng kepala. Laki-laki itu merasa kekhawatirannya sebagai sesuatu yang berlebihan. 'Mungkin aku hanya terlalu rindu, karena efek baru bertemu kemarin. Semoga Elif baik-baik saja.'Setelah menyakinkan diri, Ammar langsung masuk ke dalam, menuju kamar untuk meletakkan tas dan melepas pakaian kantor. Lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berharap di bawah guyuran air bisa membuat dirinya kembali pulih. Juga pikiran yang kembali jernih. 'Apa aku siap jika harus berpisah? Sekarang saja, aku hampir gila karen
Tubuh Elif membeku. Setelah banyak hal tak biasa yang mereka lewati, dengan mudahnya Ammar berucap seperti itu.Kalimat sederhana yang ingin Elif dengar sejak dulu.'Apa dia sedang mencoba membodohiku seperti dulu? Kenapa jantungku seperti ini? Ini akan sangat memalukan jika Mas Ammar sampai mendengarnya.'Elif menatap mata elang itu lekat-lekat. Namun, tidak terdapat setitik kebohongan pun di sana. "Aku tidak sedang berbohong, Elif. Aku berani bersumpah untuk itu." "Maafkan aku, Mas! Kalau saja aku tidak muncul dalam kehidupan ....""Sstt!"Ammar meletakkan telunjuknya di bibir Elif. Lalu, menariknya dengan cepat setelah menyadari kelancangannya. Tak hanya Elif, Ammar juga merasakan ada yang salah dengan jantungnya. Riuh sekali di dalam sana. "Ma–af, aku tidak bermaksud lancang! Hanya saja aku tidak suka mendengarmu meminta maaf seperti itu. Jelas-jelas aku yang bersalah. Harusnya aku berterima kasih karena kamu telah sudi hadir dalam hidupku. Orangtuaku tidak bersalah, begitu ju
"Ma–af, Darius! Kita tidak bisa seperti ini." Elif menarik tangannya dari genggaman Darius yang terus mencoba mempertahankan. "Kenapa, Elif? Apa karena laki-laki itu, sehingga kamu tidak bisa melihatku? Lihatlah setelah apa yang dia perbuat, kau bahkan masih memikirkannya.""Bu–bukan seperti itu Da ...." "Lirik aku sedikit saja, Elif! Please! Bertahun-tahun aku menunggumu" lirih Darius dengan pilu. Laki-laki sekelas Darius pun bisa menjadi pengemis saat terjebak dalam rasa. Elif tidak menyangka dengan apa yang baru saja Darius akui. Dirinya merasa bersalah ketika menatap mata elang yang berusaha ia selami.Tapi, masa lalu masih saja membelenggu. Tak hanya karena ikatan yang belum terlepas, hatinya pun belum kuasa untuk berbalas. Elif belum siap untuk cinta yang baru. "Maaf, Darius! Tapi, aku tidak bisa. Kegagalan di mana lalu, telah mengajarkanku untuk lebih berhati-hati. Maaf, tapi semenjak saat itu, cinta bukan lagi sesuatu yang indah untukku. Bagiku cinta adalah luka. Aku but
"Mari akhiri semuanya sampai di sini!" Ucapan Ammar membuat sepasang mata Rani melebar. "Mak–sudmu? Meng ... akhiri semuanya? Aku tidak mengerti." "Hubungan kita. Aku ingin mengakhirinya." Apa yang Ammar katakan kali ini terdengar cukup jelas. Lucu. Jika Rani belum juga paham. "Apa? Kamu bercanda 'kan?" Wanita itu menggeram. Bukan ini yang diinginkan dari makan siang yang sudah lama tertunda. "Aku serius. Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi. Panggilan telponmu benar-benar menggangu akhir-akhir ini." "Tidak. Aku tidak mau kita berakhir! Aku mau kita segera menikah. Kau sangat mencintaiku, kan? Begitupun aku, aku sangat mencintai kamu, Ammar." Ah, sepertinya drama baru akan dimulai. Rani sudah mengaktifkan mode sedih. Dengan mata yang mulai berkaca. "Selama ini, apa kau pernah mendengar aku mengatakan cinta padamu?" Rani termagu. Benar, tidak pernah sekalipun Ammar mengatakannya. Hanya Rani yang sibuk mengungkapkan rasa setiap kali mereka bersama. Tanpa balasan apa
"Ishh!"Darius meringis saat kapas di tangan Elif bersentuhan dengan lukanya. "Apakah ini perih?""Sedikit." "Maaf! Gara-gara aku kamu jadi seperti ini." Elif mengambil kapas yang baru dan memberinya sedikit betadin. "Tidak masalah asal kau tetap baik-baik saja."Seketika pandangan mereka bertemu."Apa maksudmu, Darius?" Pertanyaan sederhana yang keluar dari bibir mungil itu seketika membuat Darius salah tingkah. Dalam hati Darius mengutuk dirinya yang terlalu terburu-buru. "A—aku tidak bisa diam saja melihat sahabatku kesulitan," jawab Darius menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sementara Elif hanya ber 'oh' riya. Kemudian, melanjutkan aktivitasnya mengobati wajah Darius. Dalam hati, Elif merasa lega setelah mendengar kalimat terakhir laki-laki itu. Berarti, apa yang Hilya katakan selama ini tidaklah benar. Darius belum mengakhiri masa lajang, bukan karena dirinya, pikir Elif.'Tentu saja apa yang aku khawatirkan selama ini tidak benar.'Elif geleng-geleng kepala, dalam hati