Beranda / CEO / Aku Pergi, Mas / 6 Surat Pengunduran Diri

Share

6 Surat Pengunduran Diri

Penulis: p.hara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dalam perjalanan, Alzam dan Elif ditemani kebisuan. Tak ada yang ingin memulai percakapan. Meski sesekali, Alzam mencuri-curi pandang pada wajah sendu yang sibuk menatap kosong sekitar.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, mobil yang dikendarai Alzam berhenti di depan sebuah resto yang ingin Elif kunjungi. Ada beberapa teman yang sudah menunggu di dalam sana.

"Masuklah! Teman-temanmu sudah menunggu bukan?" perintah Alzam.

"Lalu ... Kak Alzam, bagaimana?"

Tatapan tidak enak dari wanita di sampingnya, membuat senyum laki-laki itu mengembang.

'Kau terlalu sibuk menjaga perasaan orang lain. Hingga lupa dengan perasaanmu sendiri yang hampir hancur tak berbentuk.'

"Aku bukan anak kecil, aku juga punya urusan di sekitar sini. Habiskan waktu bersama mereka hingga kau bosan. Jangan khawatir kakau kita telat kembali ke kantor! Itu akan menjadi urusanku. Ingat, hubungi aku kalau sudah selesai!"

"Benar, Kak Alzam tidak apa-apa sendirian? Eum, kalau tidak keberatan, Kak Alzam bisa ikut bergabung dengan mereka," ujar Elif.

Menggemaskan. Simpul Alzam ketika bola mata keduanya berpapasan. Menurutnya, Elif bagian definisi dari bunga Edelweiss, segudang ketulusan begitu memancar dari manik matanya.

Sayang, dendam membuat sang suami tidak mampu melihat itu semua. Elif tetaplah Elif. Perebut hak orang lain. Ammar dan Elif sesuatu yang berbeda.

Perbedaan sikap keduanya, membuat orang tua Ammar membanding-bandingkan Ammar dan Elif.

Lebih tepatnya, Ammar adalah anak yang keras kepala dan pembangkang. Pembuat onar. Melakukan apapun yang diinginkan tanpa peduli itu benar atau salah.

Toh, dirinya anak sultan, dan uang bisa menyelesaikan semuanya.

Tuan Rasyid dan Nyonya Risma kewalahan, mereka menyesal karena telah salah mendidik putra semata wayang.

Sering dinasehati hingga berakhir dengan omelan, tapi Ammar tidak pernah mau peduli. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Tapi, kehadiran Elif membuat keadaan rumah megah itu semakin parah kian hari.

Elif dengan aura positif yang dibawanya dari gubuk sederhana. Membuat Ammar merasa terusik. Mereka sangat bertolak belakang. Tuan Rasyid dan Nyonya Risma sering memuji gadis berusia 15 tahun itu. Dan menyuruh Ammar yang lebih tua 4 tahun belajar darinya.

Apa-apaan. Maki Ammar dalam hati.

Ammar yang tadinya sebagai anak tunggal. Menganggap kehadiran Elif sebagai rival dan mengira Elif sangat menikmati setiap kali mendengar Ammar mendapat omelan dan kemarahan orang tuanya.

Siapapun tidak tahu, sering kali Elif menangis diam-diam karena merasa tertekan dengan rasa bersalah.

Hari demi hari Ammar menatapnya penuh kebencian, hingga kepergian Ammar ke luar negeri memisahkan mereka.

"Trust me, Elif. Bukannya keberatan untuk bergabung, tapi aku ada urusan dengan seseorang. Pergilah! Atau ..."

"Atau apa?"

Elif merasa was-was melihat Alzam mengangkat alisnya.

"Atau ... kau menunggu aku membuka pintu mobil untukmu?"

"Ish, mnyebalkan."

Tanpa menunggu tanggapan Alzam. Elif buru-buru keluar dari sana dan berjalan masuk ke dalam restoran dengan tergesa.

Ada semu yang muncul dengan lancang dari kedua pipi. Humor Alzam membangkitkan sebuah rasa dalam relung hati. Bermekaran, lalu kuncup kembali. Sesingkat itu kebahagian sederhana menghampiri.

Bagaimana bisa dia mengira aku berharap dibukakan pintu. Apa aku terlihat seperti wanita yang jarang dibelai, Ammar memang tidak pernah membuka pintu mobil untukku, dia hanya bisa membanting sesuatu saat di depanku.

Tuhan, bisakah aku menyalahkan takdir? Apa aku salah satu wanita yang kuat di dunia ini, hingga harus melewati hidup semacam ini?'

Atau, aku memang tidak layak untuk dicintai?

Elif adalah wanita miskin yang menginjakkan kaki di istana dengan cara yang tak pernah wanita itu duga. Tapi, kisahnya tak seberuntung cinderella.

Jauh sekali perbedaan suami Elif dengan pangeran dalam kisah dongeng cinderella.

"Hai!" sapa Elif saat tiba di meja di mana para sahabatnya sudah berkumpul.

Darius, Bima, Hilya dan Elena menatap rindu pada sosok yang kini berdiri di hadapan mereka.

"Hai, El! Duh kangen tauuu!"

Peluk Hilya yang memang posisi duduknya di samping Elif.

"Hehe, aku juga kangen sama kalian."

"Ayo, duduk, El! Darius dari tadi nanya-nanya kamu terus tau," timpal Elena terbahak.

"Fitnah woi, fitnah! Jangan percaya El! Elena itu udah nggak waras gara-gara ditinggal nikah pacarnya."

"Enak aja lo bilang gue nggak waras. Emang cuma dia laki-laki di dunia ini. Sorry ya, gue bukan wanita bodoh yang menyiksa diri gara-gara laki-laki buaya seperti itu. Ya 'kan, Elif?"

"Eh, iya- iya."

"Lo kenapa sih, kaku banget sama kita?"

Elif merasa tersentil dengan ucapan Elena. Meski, sahabatnya tidak bermaksud menyindir. Tapi, hati kecil Elif tersadar, sudah terlalu lama dirinya bertahan dalam kebodohan.

Membiarkan harga diri terinjak-injak. Untuk kesalahan yang tak sepatutnya dia terima.

.

Entah seperti apa ceritanya Ammar dan Rani berakhir dalam Private Room sebuah restoran bintang lima.

Nyatanya, laki-laki itu lebih banyak membisu. Mengabaikan aneka hidangan mewah juga Rani yang sedari tadi sibuk mengoceh.

"Diam dan habiskan saja makananmu!" ujar Ammar datar dengan tatapan mematikan.

Wanita itu memilih diam dan menghabiskan makanannya, setelah membujuk laki-laki kepala batu dengan berbagai cara.

Aneh.

Sementara di tempat lain.

Lumayan lama Elif menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Hingga baru menghubungi Alzam saat waktu telah menunjukkan pukul empat sore.

Mereka bercerita banyak hal, lebih tepatnya Elif menjadi pendengar untuk setiap cerita mereka.

Tentang Darius yang baru kembali dari luar negeri untuk meneruskan bisnis sang papa. Bima yang akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Elena yang sibuk memaki mantan kekasihnya. Dan Hilya yang sedang menempuh pendidikan S-2nya.

Elif?

Wanita itu menciptakan beberapa kebohongan untuk menutupi kisah pelik rumah tanggannya.

Hingga para sahabat berkesimpulan, pernikahan mewah yang mereka hadiri beberapa bulan yang lalu, hanya ada kebahagiaan yang Elif dapatkan di dalamnya.

Sampai-sampai hati Darius yang awalnya terasa perih berubah lega. Ikut bahagia mendengar dongeng Elif yang penuh kebohongan.

.

Elif berdiri di samping jendela dengan tirai yang tersibak. Menatap kota dalam gemerlapan yang tengah diguyur hujan lebat.

Apa yang terjadi besok? Hidup macam apa yang akan kujalani ke depannya?

Dosakah aku jika memilih terjun lewat jendela ini untuk menyusul ayah dan ibu?

Elif bergidik ngeri, membayangkan tubuhnya remuk saat jatuh dari ketinggian puluhan meter dari tempatnya berdiri saat ini.

Tidak. Tuhan akan membenciku. Begitupun ayah dan ibu. Meski lelah, aku tak boleh menyerah.

Setelah menutup tirai rapat-rapat. Elif berjalan ke sofa minimalis yang terletak tidak jauh dari tempat tidur.

Sejenak merebahkan diri, lalu bangkit duduk kembali. Itu-itu saja yang dilakukannya hingga berulang kali sebelum tangisnya pecah menyusul derasnya hujan yang sedang mengguyur bumi.

Tiba-tiba Elif teringat dengan ucapan Elena tadi siang. Tentang definisi wanita bodoh yang berkorban untuk laki-laki tidak tahu diri.

Aku hanya ingin menangis untuk yang terakhir kali. Ya, aku tidak ingin menghabiskan waktu seumur hidup untuk penantian tidak berguna seperti ini.

Harusnya aku tidak memikirkan laki-laki itu lagi. Tapi, kenapa dia tak juga pergi dari hatiku? Kenapa? Batin Elif menjerit. Lukanya semakin menganga.

Elif terus menampik bahwa dirinya masih mencintai Ammar. Meski ... kenyataan begitu bertolak belakang.

.

Tepat pukul sepuluh pagi. Pintu ruangan Ammar diketuk dari luar.

"Masuk!"

Laki-laki itu bersorak dalam hati, setelah melihat siapa yang datang.

Ammar mengeluarkan cincin yang sempat bertahta di jemari Elif dari laci meja, tepat setelah Elif berdiri di hadapannya.

'Aku tahu kau akan mengambil langkah yang tepat. Tidak mungkin kau sanggup menjalani kehidupan yang keras di luar sana apalagi dengan pergi dari hidupku.'

"Ambillah, apa perlu aku yang pakaikan?" tanya Ammar dengan senyum penuh arti.

"Maaf, Pak! Saya hanya ingin menyerahkan ini."

Elif mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya kemudian meletakkannya ke atas meja Ammar.

Sekilas Ammar memicingkan mata. Sebelum meraih amplop berwana putih itu untuk dibuka.

SURAT PENGUNDURAN DIRI.

Mata Ammar membulat, seperti ingin keluar dari kelopak, lalu beralih pada wanita yang masih membeku di depannya.

"Kalau begitu, saya permisi!"

Laki-laki itu masih sibuk mencerna apa yang terjadi, hingga akhirnya tersadar saat Elif sudah sampai di depan pintu.

"Hei, tunggu! Elif!"

.

Bersambung ...

Bab terkait

  • Aku Pergi, Mas   7 Pergi

    "Arghh ...!" Ammar melempar kertas itu sembarangan. Kertas yang isinya surat pengunduran diri dari Elif Sabrina. Beberapa saat laki-laki itu menyenderkan kepala ke belakang kursi kehormatannya, memejam sesaat, lalu kembali melek dengan cincin cantik di atas meja sebagai objek pertama yang tampak di depan mata. Sebelah tangannya tergerak untuk meraih benda kecil itu. Menelisik dengan hati-hati, hingga ukiran nama Ammar di balik cincin ter-eja dengan pasti."Apa susahnya mengambil cincin ini. Dasar angkuh." "Dia memilih pergi. Itu yang aku tunggu-tunggu dari dulu. Apa dia sudah bosan jadi benalu? Memangnya, ada tempat yang mau menerimanya selain keluargaku. Ck." Ammar sibuk bermonolog dalam ruangannya. Berasumsi, bertanya dan menjawab sendiri. Kadang memaki, menganggap Elif terlalu angkuh karena tidak memilih kembali. Ammar mulai mengingat banyak hal tentang Elif yang tak pernah lelah mengambil perhatian darinya. Mas, sudah pulang? Mau mandi atau makan dulu. Mas ini ... Mas itu da

  • Aku Pergi, Mas   8 Keanehan Ammar

    'Aku harus ke mana?'Elif menengadah ke langit dengan tangan menyilang di dada. Berharap siang ini hujan turun lebat seperti semalam, agar wanita itu dapat bersembunyi di baliknya. Ya, jika di bawah guyuran, siapa yang mampu membedakan air mata dan air hujan yang bercampur di pipinya. Namun, sepertinya angan tak pernah jadi kenyataan. Sebab bumi tengah begitu hangat dipeluk matahari. Elif pun bisa merasakan panas yang merasuk pada kedua kaki telanjangnya. "Apa aku pulang ke rumah saja?" Elif tersenyum getir, rumah gubuk yang ditinggal puluhan tahun lalu, masihkah ada hingga hari ini? Tidak. Elif menggelengkan kepala. Untuk dapat melihat bekas rongsokannya saja, wanita itu merasa terlalu berlebihan. Lalu, ke mana kaki mungil itu hendak melangkah? Arah mana yang akan dituju dalam kondisi memprihatinkan seperti itu. Tidak mungkin 'kan dia mengikuti arah mata angin? Mencari kerja?Secepat itu? Tanpa ijazah, tanpa alas kaki, tanpa apapun selain pakaian yang masih melekat di tubuhn

  • Aku Pergi, Mas   9 Mencari

    Ammar menepikan mobilnya di pinggir jalan yang agak sepi. Pikirannya semakin kalut saat melirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dari sore hari dia berkeliling mencari Elif ke sana ke mari. Menelusuri setiap jengkal yang mungkin dilewati wanita itu. Menurutnya. Tapi, nihil. Elif lenyap begitu saja tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. "Apa jangan-jangan ... tidak. Itu tidak mungkin ...." Ammar menggeleng-geleng kepala, lalu meremas rambutnya dengan kasar. Entah apa yang terbesit dalam kepalanya, hingga berakhir dengan membenamkan wajah pada setir. Lumayan lama Ammar menelungkup. Hingga dering ponsel membangunkannya. Matanya berbinar, kala menatap nama siapa yang muncul di layar panggilan. Berharap ada kabar baik yang akan diterima. "Ya," ujar Ammar ketika panggilan tersambung...."Baiklah. Hentikan dulu pencarian! Tunggu sampai aku memberi perintah, besok!" jawab Ammar lesu.Tut.Tidak ada kabar baik sama sekali. Orang-orang suruhan Ammar ti

  • Aku Pergi, Mas   10 Menyesal

    Entah berapa lama mereka saling menyerang. Keduanya terkapar di lantai dalam keadaan sama-sama memprihatinkan. "Lepaskan dia! Kau tidak pantas untuk Elif," ujar Alzam pelan sambil meringis dengan wajah yang sudah babak belur. "Heh. Siapa kau berani memerintahku?" sanggah Ammar dengan kondisi tak kalah mengenaskan. Wajah keduanya penuh lebam bahkan di beberapa bagian sampai berdarah. Seluruh bagian tubuh terasa nyeri, tapi mulut mereka belum berhenti untuk menghina satu sama lain. "Aku ... salah satu orang yang menginginkannya dari sekian banyak pria." Telinga Ammar seketika panas. Ia melirik seseorang yang terkapar tidak jauh darinya dengan ekor mata. Dalam hati, laki-laki itu bersumpah, jika saja tenaganya masih ada, ia akan menghabisi Alzam saat ini juga. "Kenapa diam? Kau tidak mencintainya melainkan kebencian yang sudah lama kau tanam untuk menyiksanya. Dia terlalu baik untuk manusia setengah iblis sepertimu," sambung Alzam yang berhasil membuat dada Ammar berdenyut. "Ck.

  • Aku Pergi, Mas   11 , Bertemu di Pesta

    Darius yang sedang bersandar di pintu mobil terpaku, ketika Elif melangkah menghampirinya. Dari balkon, tampak Hilya mengangkat tangan sebagai tanda penyemangat untuk Darius yang sempat menatap ke atas sana. 'Dia benar-benar sempurna dalam balutan gaun pilihanku,' batin Darius puas saat Elif sudah semakin dekat.Apapun yang melekat di tubuh Elif sekarang, adalah pilihan Darius. Sesuai selera laki-laki itu. Sementara hatinya, sibuk bermain-main, ketar ketir, selalu seperti itu ketika berpapasan dengan Elif, dari dulu. Ah, Elif tidak sadar sama sekali, tengah terjebak dalam permainan dua sahabatnya. Malam ini, mereka berlima akan menghadiri undangan pesta ulang tahun sepupu laki-laki Bima. Tapi, menurut penuturan Hilya pada Elif, mereka tidak bisa pergi bersama. Karena Elena akan mengajak gebetan baru, Bima dengan tunangannya dan Hilya sendiri bersama kekasihnya. Hanya Darius dan Elif yang tersisa. Mereka sama-sama tidak punya pasangan. Padahal, ini rencana licik Hilya untuk memba

  • Aku Pergi, Mas   12 Kebenaran Lain

    Tapi, saat Elif keluar dari toilet ceritanya mulai berbeda lagi. Tubuhnya membeku menyadari siapa yang kini berdiri sambil menyilangkan tangan di dada di depan sana. Beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sebelum akhirnya sosok itu memangkas jarak dengan menghampiri. "Terima kasih ... karena tetap baik-baik saja, wanita keras kepala." Elif mencoba melepas kedua tangan Ammar dari bahunya. "Lepaskan! Kau menyakitiku."Tanpa disadari, cengkraman Ammar terlalu kuat hingga Elif meringis. Bukan, ini bukan seperti kejadian tempo hari, ketika Ammar mencengkram bahu Elif saat wanita itu berkeukeuh untuk pergi.Malam ini, Ammar euforia. Karena terlalu rindu juga tidak percaya, jika orang yang dicari-cari kini tampak nyata di depan mata. Meski, harus membayar mahal untuk rasa cemburu karena pemandangan menyesakkan beberapa waktu yang lalu.Ya, Ammar cemburu, meski cinta masih dilapisi dendam tak jelas masa lalu. Tapi, setidaknya laki-laki itu mulai sadar, kurang lebih begitulah perasaan Elif

  • Aku Pergi, Mas   13 Kehidupan Baru

    Tubuh Ammar lunglai, setelah mendengar percakapan mamanya dengan Alzam. Tidak sanggup berada di sana lebih lama, juga belum sanggup bertemu ny. Risma untuk memastikan bahwa apa yang ia dengar barusan adalah tidak benar. Bagaimana mungkin?'Itu tidak benar.' Laki-laki gagah yang hampir setengah jam bersembunyi di balik pintu, memutuskan untuk pergi dari sana dengan air mata ysng yang sudah menganak sungai.Saat di mobil, pikirannya menerawang jauh pada masa lalu, hari di mana seorang gadis asing masuk ke rumah bersama orangtuanya, yang Ammar tatap dengan penuh kebencian di pertemuan pertama. First impression yang sangat tidak menyenangkan.Selama ini Ammar mengira, Elif adalah perebut kehidupannya yang sangat nyaman. Elif benalu, Elif tidak tahu diri. Elif memanfaatkan kebaikan keluargaku. Benar begitu, Ammar? Tentu saja. Itulah sebutan yang paling cocok yang kau lontarkan untuk istrimu.Dalam keadaan setengah sadar, Ammar menginjak pedal gas dan melajukan mobil dengan kecepatan tingg

  • Aku Pergi, Mas   14 Terasa Nyeri

    Masalah seperti ini, terlalu rumit untuk Ammar pecahkan. Nyali untuk memperjuangkan Elif semakin menciut. Laki-laki itu merasa sangat rendah, tidak pantas untuk membawa istrinya kembali.Tapi, untuk melepas, berat sekali. Ammar menggeleng-geleng kepala tidak rela. Apalagi, ketika bayang-bayang laki-laki beruntung yang bersama Elif malam itu, kerap muncul dalam kepala. "Aku harus apa? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau kehilangan dia?" tanya Ammar pada diri sendiri sembari memukul dada yang terasa nyeri."Seharusnya, aku memperlakukannya dengan baik. Seharusnya, aku menjaganya dengan tulus, bukan malah menyuruhnya untuk pergi. Sekarang, aku harus mencarinya ke mana? Bagaimana caraku membawa pulang? Apa yang harus kujelaskan?" Ammar terus meracau, jika kemarin-kemarin ia menyesali perbuatan dengan setengah hati. Hari ini Ammar sadar sepenuhnya. Tentang perlakuan buruk dan perkataan yang kerap kali membuat hati Elif merasa pesakitan. "Tuhan, bolehkah aku yang tidak tahu diri ini

Bab terbaru

  • Aku Pergi, Mas   27 Ekstra Part

    Pukul 10 malam. Elif mengerjab perlahan saat tangannya menyentuh sisi ranjang di sebelahnya untuk mencari seseorang yang ternyata kosong—sosok yang dicarinya tidak kunjung ditemukan. Elif segera memaksa mata cantiknya untuk terbuka sepenuhnya. Gadis yang beberapa saat yang lalu telah menjadi wanita seutuhnya itu gegas bangkit untuk duduk. Senyuman di bibir merah jambunya mulai mengembang saat pikirannya mengingatkan Elif tentang sesuatu. Sesuatu yang begitu indah tentu saja. Oh, apakah ini nyata? Begitu tanya yang muncul dalam hati wanita cantik berlesung pipi itu—saat melihat tubuhnya yang polos di balik selimut. Elif sedikit mencubit lengannya, dan ternyata terasa sakit. 'Ini nyata. Akhirnya, mimpi itu telah menjadi nyata,' batin Elif dengan mata berkaca. Dulu, jangankan untuk disentuh, meliriknya saja Ammar seperti sangat jijik. Tapi, hari ini ... ah, Elif bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana cara Ammar memperlakukannya tadi. Sangat lembut. Seolah tubuh istrinya ada

  • Aku Pergi, Mas   26 Ending

    Sementara di lain tempat, sudah beberapa hari Elif tidak pergi bekerja dan hanya menyendiri di kontrakan. Elif sedang memantapkan hati untuk perpisahan, tapi Ammar terus saja hadir mengusik ego dan hatinya. "Kenapa suka sekali hadir untuk mempermainkan hatiku, Mas? Kenapa? Kau senang, kan melihatku seperti ini?" Elif selalu saja memaki Ammar kala bayangnya muncul tanpa tanda dan tiba-tiba. Hingga entah di hitungan hari ke berapa, Elif memilih untuk mengalah dengan hatinya dan bertekad pergi ke rumah utama.Wanita itu menekan bell dengan perasaan cemas. Pasalnya, sudah lama Elif tidak pernah datang setelah hari kepergiannya dari rumah. "Mama!" panggil Elif saat pintu besar berwarna putih itu terbuka lebar dan seorang wanita paruh baya berdiri dengan anggun di hadapannya."Sayang? Elif, ya ampun, akhirnya kamu datang." Ny. Risma memeluk menantunya dengan erat, seolah enggan mengizinkan pergi. "Kamu ke mana saja? Mama sangat merindukan kamu, El," ucap Ny. Risma setelah melepas pelu

  • Aku Pergi, Mas   25 Perpisahan?

    Memaafkan adalah kemenangan terbaik.__ Ali bin Abi Thalib __"Tentu saja. Aku telah memaafkanmu jauh-jauh hari," jawab Elif dengan bibir mengerucut. "Benarkah? Apa itu berarti kau akan pulang bersamaku?" tanya Ammar spontan.Deg. Jantung Elif seketika berdebar kencang. Aliran darahnya seperti terhenti. Pernyataan Ammar terlalu blak-blakan dan tiba-tiba seperti ini. "Mas,""Kenapa? Apa permintaanku terlalu berlebihan? Ammar menahan tangan Elif saat wanita itu hendak beranjak dari sana. Tak bisa melarikan diri, Elif memilih tenggelam dalam mata Ammar. Di mana dirinya tengah menari-nari di sana. Menit kemudian wanita itu tersenyum. Satu yang bisa Ammar tangkap. Ketulusan. Elif laksana Edelweis, senyuman tulus seorang kekasih. "Tak hanya di lisan, aku telah memaafkanmu dari hatiku, Mas. Jujur, aku begitu tersanjung saat diajak untuk pulang, tapi ...." Ammar semakin mempererat pelukan. Menanti kalimat yang terputus dengan perasaan tak karuan. "Mas, bolehkah aku meminta waktu sebe

  • Aku Pergi, Mas   24 Permintaan Tidak Biasa

    Ammar sudah dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan setelah tiga jam lebih berada dalam ruang operasi. Meski sudah melewati masa kritis, Ammar belum sadarkan diri. Dan hanya satu orang yang diperbolehkan dokter untuk menemani, demi ketenangan pasien. Elif—lah yang melakukan itu dengan segala rasa bersalahnya. Alzam dan pak Kidar memilih berjaga-jaga di luar ruangan, dalam keadaan sama-sama membisu. Mengingat kejadian buruk yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dua laki-laki itu tidak berani meninggalkan Elif dan Ammar di rumah sakit. "Saya ke toilet sebentar!" pamit pak Kidar yang hanya diangguki oleh Alzam.Ada banyak hal yang sedang Alzam renungi. Salah satunya, apa yang terjadi dengan Elif beberapa saat yang lalu. 'Aku saja begitu murka saat melihat kondisinya, apa lagi Ammar yang berstatus sebagai suaminya.' Alzam tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang sahabat tega melakukan hal rendahan seperti itu. Seorang laki-laki sekelas Darius, bagaimana bisa memiliki cint

  • Aku Pergi, Mas   23 Nasib Elif

    HAPPY READING ❤️Ammar pulang dari kantor dengan perasaan yang tidak bisa diartikan. Sejak tadi, ingatannya hanya pada Elif, Elif dan Elif saja. Ini berbeda. Bukan rasa seperti biasa. Jika kemarin-kemarin Ammar hanya merindu, kini didampingi kecemasan yang juga berbalut luka."Apa aku menghubunginya, saja?" tanya Ammar pada diri sendiri setelah tiba di depan pintu apartemen. "Tapi, bagaimana kalau dia tidak senang kuhubungi?" ulangnya lagi. Tidak, tidak. Ammar menggeleng-geleng kepala. Laki-laki itu merasa kekhawatirannya sebagai sesuatu yang berlebihan. 'Mungkin aku hanya terlalu rindu, karena efek baru bertemu kemarin. Semoga Elif baik-baik saja.'Setelah menyakinkan diri, Ammar langsung masuk ke dalam, menuju kamar untuk meletakkan tas dan melepas pakaian kantor. Lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berharap di bawah guyuran air bisa membuat dirinya kembali pulih. Juga pikiran yang kembali jernih. 'Apa aku siap jika harus berpisah? Sekarang saja, aku hampir gila karen

  • Aku Pergi, Mas   22 Elif Dalam Bahaya

    Tubuh Elif membeku. Setelah banyak hal tak biasa yang mereka lewati, dengan mudahnya Ammar berucap seperti itu.Kalimat sederhana yang ingin Elif dengar sejak dulu.'Apa dia sedang mencoba membodohiku seperti dulu? Kenapa jantungku seperti ini? Ini akan sangat memalukan jika Mas Ammar sampai mendengarnya.'Elif menatap mata elang itu lekat-lekat. Namun, tidak terdapat setitik kebohongan pun di sana. "Aku tidak sedang berbohong, Elif. Aku berani bersumpah untuk itu." "Maafkan aku, Mas! Kalau saja aku tidak muncul dalam kehidupan ....""Sstt!"Ammar meletakkan telunjuknya di bibir Elif. Lalu, menariknya dengan cepat setelah menyadari kelancangannya. Tak hanya Elif, Ammar juga merasakan ada yang salah dengan jantungnya. Riuh sekali di dalam sana. "Ma–af, aku tidak bermaksud lancang! Hanya saja aku tidak suka mendengarmu meminta maaf seperti itu. Jelas-jelas aku yang bersalah. Harusnya aku berterima kasih karena kamu telah sudi hadir dalam hidupku. Orangtuaku tidak bersalah, begitu ju

  • Aku Pergi, Mas   21 Antara Darius dan Ammar

    "Ma–af, Darius! Kita tidak bisa seperti ini." Elif menarik tangannya dari genggaman Darius yang terus mencoba mempertahankan. "Kenapa, Elif? Apa karena laki-laki itu, sehingga kamu tidak bisa melihatku? Lihatlah setelah apa yang dia perbuat, kau bahkan masih memikirkannya.""Bu–bukan seperti itu Da ...." "Lirik aku sedikit saja, Elif! Please! Bertahun-tahun aku menunggumu" lirih Darius dengan pilu. Laki-laki sekelas Darius pun bisa menjadi pengemis saat terjebak dalam rasa. Elif tidak menyangka dengan apa yang baru saja Darius akui. Dirinya merasa bersalah ketika menatap mata elang yang berusaha ia selami.Tapi, masa lalu masih saja membelenggu. Tak hanya karena ikatan yang belum terlepas, hatinya pun belum kuasa untuk berbalas. Elif belum siap untuk cinta yang baru. "Maaf, Darius! Tapi, aku tidak bisa. Kegagalan di mana lalu, telah mengajarkanku untuk lebih berhati-hati. Maaf, tapi semenjak saat itu, cinta bukan lagi sesuatu yang indah untukku. Bagiku cinta adalah luka. Aku but

  • Aku Pergi, Mas   20 Rani Dicampakkan

    "Mari akhiri semuanya sampai di sini!" Ucapan Ammar membuat sepasang mata Rani melebar. "Mak–sudmu? Meng ... akhiri semuanya? Aku tidak mengerti." "Hubungan kita. Aku ingin mengakhirinya." Apa yang Ammar katakan kali ini terdengar cukup jelas. Lucu. Jika Rani belum juga paham. "Apa? Kamu bercanda 'kan?" Wanita itu menggeram. Bukan ini yang diinginkan dari makan siang yang sudah lama tertunda. "Aku serius. Jadi, tolong jangan ganggu aku lagi. Panggilan telponmu benar-benar menggangu akhir-akhir ini." "Tidak. Aku tidak mau kita berakhir! Aku mau kita segera menikah. Kau sangat mencintaiku, kan? Begitupun aku, aku sangat mencintai kamu, Ammar." Ah, sepertinya drama baru akan dimulai. Rani sudah mengaktifkan mode sedih. Dengan mata yang mulai berkaca. "Selama ini, apa kau pernah mendengar aku mengatakan cinta padamu?" Rani termagu. Benar, tidak pernah sekalipun Ammar mengatakannya. Hanya Rani yang sibuk mengungkapkan rasa setiap kali mereka bersama. Tanpa balasan apa

  • Aku Pergi, Mas   19 Terlalu Percaya Diri

    "Ishh!"Darius meringis saat kapas di tangan Elif bersentuhan dengan lukanya. "Apakah ini perih?""Sedikit." "Maaf! Gara-gara aku kamu jadi seperti ini." Elif mengambil kapas yang baru dan memberinya sedikit betadin. "Tidak masalah asal kau tetap baik-baik saja."Seketika pandangan mereka bertemu."Apa maksudmu, Darius?" Pertanyaan sederhana yang keluar dari bibir mungil itu seketika membuat Darius salah tingkah. Dalam hati Darius mengutuk dirinya yang terlalu terburu-buru. "A—aku tidak bisa diam saja melihat sahabatku kesulitan," jawab Darius menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sementara Elif hanya ber 'oh' riya. Kemudian, melanjutkan aktivitasnya mengobati wajah Darius. Dalam hati, Elif merasa lega setelah mendengar kalimat terakhir laki-laki itu. Berarti, apa yang Hilya katakan selama ini tidaklah benar. Darius belum mengakhiri masa lajang, bukan karena dirinya, pikir Elif.'Tentu saja apa yang aku khawatirkan selama ini tidak benar.'Elif geleng-geleng kepala, dalam hati

DMCA.com Protection Status