Share

Kecanduan

Penulis: Ida Saidah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Mama kenapa melamun?" Aku terkesiap ketika Dilan membelai lembut rambutku.

"Nggak melamun. Tapi lagi liatin kamu sama Umar." Menerbitkan senyuman paling manis yang aku punya.

"Mandi gih, aku mau ngajak kamu nengokin ibunya Gunawan. Sudah hampir sebulan kita nggak melihat Ibu lho. Biar bagaimanapun, Gunawan telah mengamanahkan ibunya sama kita. Kemarin juga orang toko bilang, katanya kamu suruh sekali-kali datang untuk melihat kios."

"Iya, kapan-kapan. Aku lagi malas kemana-mana. Badan aku itu sering lemes kaya orang kurang darah. Jadi agak malas kalau harus datang ke pasar."

Mata tajam penuh kehangatan itu terus saja memindai diriku, menyiratkan cinta yang begitu dalam yang membuat diri ini selalu dimabuk kepayang.

Memang selama Mas Gunawan dalam tahanan. Seluruh penghasilan toko aku bagi dua untuk membiayai pengobatan Ibu, membayar cicilan bank sampai akhirnya lunas dan sertifikat rumah milik Mas Gunawan dikembalikan. Sedang j
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Aku Menyerah, Mas!   Kado Terindah

    Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk serta menyilaukan. Dilan tersenyum seraya mengucapkan hamdalah ketika aku menatap wajahnya.“Sayang, aku kenapa?” tanyaku sambil memegangi pelipis yang masih terasa sedikit pusing.“Tadi kamu pingsan, Sayang. Kamu seperti kelelahan.” Tangan lembut suami meremas jemari ini dan mendaratkan kecupan di punggung tangan.“Kelelahan? Tapi aku nggak pernah kerja berat lho, Yang?”“Aku sedikit ada filing kalau kamu ....”Dilan menggantung kalimat. Feeling apa?“Ada apa, Sayang? Apa aku sakit?”Lawan bicaraku menggeleng perlahan. Dia lalu kembali menerbitkan senyuman, dan mengusap lembut puncak kepalaku yang masih terbungkus rapat oleh hijab.“Assalamualaikum, sudah siuman, Bu?” sapa seorang perempuan berambut pendek serta berjas putih yang baru saja muncul dari balik pintu.“Waalaikumsalam, alhamdulillah, Bu

  • Aku Menyerah, Mas!   hyperemesis gravidarum

    “Duh, bumilku kasihan banget kalau udah begini,” tangan lembut suami terus saja menyapukan tisu di wajah, mengelap keringat yang menitik di dahi kemudian mendaratkan ciuman singkat seperti biasa.Setelah itu, Dilan duduk di bibir ranjang, memangku kakiku kemudian memijat-mijat lembut kaki ini menghadirkan rasa nyaman sekaligus kantuk.“Kamu yang capek kerja tapi aku yang dipijat. Enak banget ya jadi aku.” Kekehku seraya membenarkan posisi tidur.“Kamu lebih capek di rumah, Sayang. Belum lagi kalo Koko Umar lagi datang solehnya.” Ralat suami membuatku merasa beruntung mempunyai pendamping hidup seperti dia.***#Dilan.Meletakkan kaki istri perlahan di atas kasur, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlelap merasa kasihan karena hampir setiap hari dia harus mengalami muntah-muntah baik siang maupun pagi. Aku sedikit khawatir kalau dia sampai mengalami hyperemesis gravidarum karena kondisinya saat ini. Apalagi dia

  • Aku Menyerah, Mas!   Kedatangan Ayah Mertua

    “Kanaya masih tidur, Ayah.” Aku menjawab seraya membuka pintu pagar.“Kamu cekoki dia obat tidur ya? Perasaan dari tadi anak saya tidur terus!” ketusnya lagi.Aku mengulas senyum terpaksa. Masa iya berani berbuat jahat terhadap istri, apalagi saat ini dia sedang mengandung buah cinta kami.“Silakan masuk, Ayah!”“Panggil Kanaya sekarang!”“Nanti tunggu dia bangun dulu ya Yah.”Pria berkemeja kotak-kotak di hadapanku mendengkus kesal. Tanpa basa-basi lagi lelaki bertubuh jangkung itu masuk ke dalam kamar, mengguncang tubuh istri yang sedang terlelap sambil memeluk Umar, memanggilnya dengan suara menggelegar.“Astaghfirullahaladzim, Yah. Bukan begitu cara membangunkan orang yang sedang tidur. Pelan-pelan saja!” Aku mulai tersulut emosi dibuatnya.“Halah ... dia bukan anak kecil yang harus dimanja. Kanaya sudah besar dan sudah waktunya berbakti sama saya!”“Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah bisa berada di kamar aku?” tanya Kanaya dengan mimik bingung serta terkejut.“Ayo, ganti baju dan ikut pu

  • Aku Menyerah, Mas!   Keluar dari Penjara

    “Kenapa liatin seperti itu? Ada yang aneh dengan penampilan aku?” “Kamu cantik banget hari ini, Sayang.”“Memangnya biasanya nggak cantik?”“Biasanya juga cantik, tapi hari ini cantik luar biasa.”“Bilang saja mau minta jatah, Yang.” Kanaya terkekeh dan melingkarkan tangan di leher.“Nanti malam saja, Umar ngeliat kita.” Sang pemilik bulu mata lentik menoleh ke arah putra kami dan kembali tertawa. “Sudah ganti baju sekarang. Jangan sampai membatalkan janji sama dokter Fatihah gara-gara tergoda oleh kamu.” Menjawil pipi tembam istri lalu duduk menemani Umar.Setelah Kanaya siap segera mengenakan jaket kembali, mengambil kunci motor dan membantu istri menggendong Umar ke depan.“Doain Papa ya, Ko. Supaya Papa bisa segera bisa beli mobil. Biar kita nggak angin-anginan terus seperti ini kalau jalan-jalan.”“Aamiin...” timpal Kanaya mengaminkan doaku.***

  • Aku Menyerah, Mas!   Sesal Tiada Bertepi

    “Assalamu’alaikum ya ahlad diyar minal mukminin wa muslimin,wa inna insya Allahu bikum la hiqun, nasalullahi lana walakumul ‘afyah.” Kuucapkan salam seraya melangkahkan kaki memasuki gerbang pemakaman dan berjalan gontai menuju makam Thalita. Semoga kesejahteraan terlimpah kepada kalian, para penghuni kubur, dari kaum Mukminin dan muslimin, dan sesungguhnya kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kami memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan kalian. (HR Ibnu Majah) Air mata tidak bisa aku bendung kala menatap pusara kecil bertabur kelopak mawar beserta irisan pandan yang masih segar. Sepertinya makam ini baru saja dikunjungi, karena bunga yang bertabur masih terlihat baru serta wangi. “Maafkan Papa, Dek!” menjatuhkan lutut sambil menangis tergugu di depan makam Thalita. Sepertinya air mata yang tumpah ini tidak akan pernah mampu menggantikan derita yang telah aku berikan. Lima tahun usia anakku, tapi tidak sekali pun aku menggendong

  • Aku Menyerah, Mas!   Pecah Ketuban

    POV KanayaDuduk di sofa sambil mengelus perut yang kian membukit sambil menatap Dilan yang sedang sibuk memungut buah-buahan yang tercecer di lantai. Ada rasa sesak di dada saat tiba-tiba kedatangan tamu yang tidak disangka-sangka. Mas Gunawan—mantan suamiku. Kenapa cepat sekali dia dibebaskan? Padahal menurutku kurungan selama tujuh tahun juga tidak sesuai dengan apa yang telah dia lakukan. Ini, malah hanya hitungan belasan bulan saja dia sudah bebas. Biarlah. Mungkin hukum dunia masih bisa dibeli. Tapi tidak dengan hukum di akhirat kelak. Dia yang menanam pasti akan menuai. Tuhan juga tidak akan pernah tidur dan akan membalas perbuatan para hamba-Nya walaupun hanya sebesar biji zarrah.“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8).Begitulah bunyi

  • Aku Menyerah, Mas!   Penyempurna Hidup

    “Kamu siap-siap saja, Sayang. Aku pulang sekarang.” Kata Dilan terdengar sedikit panik.Setelah beberapa menit menunggu, suami datang membawa ambulans dari rumah sakit dan kami segera meluncur ke tempat kerja suami untuk meminta bantuan dokter spesialis kandungan.“Udah mules belum?” tanya suami seraya menggenggam erat jemari ini.“Belum, Yang. Baru dikit. Tapi kalau terlalu banyak gerak air ketubannya keluar terus.”“Oh, ya sudah. Nanti biar kita tanyakan kepada Dokter Fatihah.” Suami terus saja menggenggam erat tanganku hingga kami sampai di rumah sakit dan menjalani serangkaian pemeriksaan sebelum persalinan.Kata dokter Fatihah air ketubanku sudah mengering dan harus segera menjalani operasi caesar.Seorang suster menyuruhku berbaring di atas brankar, menyibak pakaian yang sedang aku kenakan hingga seluruh perutku terlihat dan dia segera memasang cardiotocography di perut yang berfungsi untuk mengukur

  • Aku Menyerah, Mas!   Sensitif

    Meletakkan Aisyah Nadila yang baru selesai kususui, meminta Dilan memindahkan Umar ke ranjang. Rasanya tidak tega jika membiarkan jagoan kecilku harus tidur di kasur lantai, walaupun sebenarnya lebih aman karena dia mulai bertambah aktif dan kalau tidur mengusai tempat. Ngeri jatuh jika tidur di atas ranjang."Kamu mau makan lagi nggak, Sayang?" tanya Dilan seraya memindai wajahku."Masih kenyang. Nanti saja malaman kali, Yang. Udah gih, kamu istirahat. Kamu 'kan capek seharian kerja."Dilan menggeser tubuhnya lebih mendekat, melingkarkan tangan di pinggang dan mengecup pipiku."Kangen lama gak peluk-peluk istri aku. Istri aku sekarang sibuk sama anak-anak sampe papanya dilupakan," Protes Dilan."Maaf ya, Yang, kalau kamu merasa diabaikan.""Enggak, Kok. Aku bercanda. Lima hari lagi ya, Sayang?" lelaki berparas tampan itu mengerling nakal."Ish! Apa-apaan sih? Puasa dulu sampe lima bulan!" mencubit pinggang suami membuat dia mengaduh kesakitan."Nggak kuat kalau puasa lama-lama, Sayan

Bab terbaru

  • Aku Menyerah, Mas!   Ending

    Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d

  • Aku Menyerah, Mas!   Menghabiskan Waktu Bersama

    Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.

  • Aku Menyerah, Mas!   Tabayun

    [Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar

  • Aku Menyerah, Mas!   Mengajaknya Tabayun

    Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member

  • Aku Menyerah, Mas!   Malu

    Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann

  • Aku Menyerah, Mas!   Mencari Salwa

    “Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku Menyerah, Mas!

    Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D

  • Aku Menyerah, Mas!   POV Gunawan

    Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...

  • Aku Menyerah, Mas!   Aku Mencintai Kamu

    “Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,

DMCA.com Protection Status