“Kenapa liatin seperti itu? Ada yang aneh dengan penampilan aku?” “Kamu cantik banget hari ini, Sayang.”“Memangnya biasanya nggak cantik?”“Biasanya juga cantik, tapi hari ini cantik luar biasa.”“Bilang saja mau minta jatah, Yang.” Kanaya terkekeh dan melingkarkan tangan di leher.“Nanti malam saja, Umar ngeliat kita.” Sang pemilik bulu mata lentik menoleh ke arah putra kami dan kembali tertawa. “Sudah ganti baju sekarang. Jangan sampai membatalkan janji sama dokter Fatihah gara-gara tergoda oleh kamu.” Menjawil pipi tembam istri lalu duduk menemani Umar.Setelah Kanaya siap segera mengenakan jaket kembali, mengambil kunci motor dan membantu istri menggendong Umar ke depan.“Doain Papa ya, Ko. Supaya Papa bisa segera bisa beli mobil. Biar kita nggak angin-anginan terus seperti ini kalau jalan-jalan.”“Aamiin...” timpal Kanaya mengaminkan doaku.***
“Assalamu’alaikum ya ahlad diyar minal mukminin wa muslimin,wa inna insya Allahu bikum la hiqun, nasalullahi lana walakumul ‘afyah.” Kuucapkan salam seraya melangkahkan kaki memasuki gerbang pemakaman dan berjalan gontai menuju makam Thalita. Semoga kesejahteraan terlimpah kepada kalian, para penghuni kubur, dari kaum Mukminin dan muslimin, dan sesungguhnya kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kami memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan kalian. (HR Ibnu Majah) Air mata tidak bisa aku bendung kala menatap pusara kecil bertabur kelopak mawar beserta irisan pandan yang masih segar. Sepertinya makam ini baru saja dikunjungi, karena bunga yang bertabur masih terlihat baru serta wangi. “Maafkan Papa, Dek!” menjatuhkan lutut sambil menangis tergugu di depan makam Thalita. Sepertinya air mata yang tumpah ini tidak akan pernah mampu menggantikan derita yang telah aku berikan. Lima tahun usia anakku, tapi tidak sekali pun aku menggendong
POV KanayaDuduk di sofa sambil mengelus perut yang kian membukit sambil menatap Dilan yang sedang sibuk memungut buah-buahan yang tercecer di lantai. Ada rasa sesak di dada saat tiba-tiba kedatangan tamu yang tidak disangka-sangka. Mas Gunawan—mantan suamiku. Kenapa cepat sekali dia dibebaskan? Padahal menurutku kurungan selama tujuh tahun juga tidak sesuai dengan apa yang telah dia lakukan. Ini, malah hanya hitungan belasan bulan saja dia sudah bebas. Biarlah. Mungkin hukum dunia masih bisa dibeli. Tapi tidak dengan hukum di akhirat kelak. Dia yang menanam pasti akan menuai. Tuhan juga tidak akan pernah tidur dan akan membalas perbuatan para hamba-Nya walaupun hanya sebesar biji zarrah.“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8).Begitulah bunyi
“Kamu siap-siap saja, Sayang. Aku pulang sekarang.” Kata Dilan terdengar sedikit panik.Setelah beberapa menit menunggu, suami datang membawa ambulans dari rumah sakit dan kami segera meluncur ke tempat kerja suami untuk meminta bantuan dokter spesialis kandungan.“Udah mules belum?” tanya suami seraya menggenggam erat jemari ini.“Belum, Yang. Baru dikit. Tapi kalau terlalu banyak gerak air ketubannya keluar terus.”“Oh, ya sudah. Nanti biar kita tanyakan kepada Dokter Fatihah.” Suami terus saja menggenggam erat tanganku hingga kami sampai di rumah sakit dan menjalani serangkaian pemeriksaan sebelum persalinan.Kata dokter Fatihah air ketubanku sudah mengering dan harus segera menjalani operasi caesar.Seorang suster menyuruhku berbaring di atas brankar, menyibak pakaian yang sedang aku kenakan hingga seluruh perutku terlihat dan dia segera memasang cardiotocography di perut yang berfungsi untuk mengukur
Meletakkan Aisyah Nadila yang baru selesai kususui, meminta Dilan memindahkan Umar ke ranjang. Rasanya tidak tega jika membiarkan jagoan kecilku harus tidur di kasur lantai, walaupun sebenarnya lebih aman karena dia mulai bertambah aktif dan kalau tidur mengusai tempat. Ngeri jatuh jika tidur di atas ranjang."Kamu mau makan lagi nggak, Sayang?" tanya Dilan seraya memindai wajahku."Masih kenyang. Nanti saja malaman kali, Yang. Udah gih, kamu istirahat. Kamu 'kan capek seharian kerja."Dilan menggeser tubuhnya lebih mendekat, melingkarkan tangan di pinggang dan mengecup pipiku."Kangen lama gak peluk-peluk istri aku. Istri aku sekarang sibuk sama anak-anak sampe papanya dilupakan," Protes Dilan."Maaf ya, Yang, kalau kamu merasa diabaikan.""Enggak, Kok. Aku bercanda. Lima hari lagi ya, Sayang?" lelaki berparas tampan itu mengerling nakal."Ish! Apa-apaan sih? Puasa dulu sampe lima bulan!" mencubit pinggang suami membuat dia mengaduh kesakitan."Nggak kuat kalau puasa lama-lama, Sayan
"Mau nengokin anak kamu. Boleh kan?""Boleh. Tapi untuk saat ini maaf tidak bisa. Dilan sedang tidak di rumah. Mas Gunawan datang saja lagi nanti habis isya.""Ya sudah. Ini, buat kamu, Nay!" dia menyodorkan sebuah amplop coklat kepadaku.Aku mengambil amplop tersebut dan membukanya, ternyata isinya segepok uang berwarna merah."Maaf, Mas. Saya tidak bisa menerima semua ini dari kamu. Ini sudah bukan lagi hak saya!" tolakku secara halus."Anggap saja itu pengganti uang nafkah yang dulu tidak pernah aku tunaikan dengan benar, Nay. Kamu tahu, setiap hari hidup aku terus menerus dibayangi dengan dosa masa lalu. Aku begitu takut Allah tidak mengampuni dosa-dosa yang sudah aku perbuat kepada kamu. Izinkan aku menebus semua kesalahan-kesalahan yang sudah aku perbuat sama kamu, Nay. Supaya hidup aku tenang." Kini mata mantan suami sudah dipenuhi kaca-kaca dan wajahnya mulai memerah."Itu mungkin sugesti kamu saja, Mas. Bertaubatlah deng
POV Gunawan.Duduk terpekur di depan meja kasir, menatap lalu lalang para pelanggan yang datang silih berganti.Alhamdulillah toko kelontongku kembali ramai, dan tidak ada seorang pelanggan pun yang mempermasalahkan statusku sebagai seorang mantan narapidana. Semua yang ada di pasar menerima kehadiranku kembali ditengah-tengah mereka, merangkul diriku yang sedang berjuang untuk kembali menjadi manusia yang lebih baik.“Bos, ini barang yang mau dikirim ke yayasan Aisiyah sudah siap,” ucap salah seorang karyawan seraya menunjukkan daftar barang yang hendak mereka kirim ke sebuah yayasan yang biasa menerima sumbangan dari toko, sebab sebagian penghasilan yang seharusnya menjadi milik Kanaya tidak pernah diterima oleh mantan istri.Kanaya selalu menolak secara halus, dan meminta supaya aku memberikan apa yang seharusnya dia dapat kepada yang lebih membutuhkan.“Bahri, nanti jangan lupa kamu antar barang-barang ini ke yayasan. Saya mau salat!” perintahku kepada sopir yang biasa mengantar b
POV Gunawan.“Bagaimana? Positif?” tanyaku kepada Salwa, sambil menatap penuh harap wajah perempuan itu.Salwa menggeleng perlahan dengan gurat kecewa terpancar jelas di wajah cantiknya.“Mungkin belum rezeki, Dek. Nanti dicoba lagi.” Menerbitkan senyuman, mencoba menutup rasa kecewa yang tengah bersarang dalam dada.“Maaf, ya, Mas. Karena aku udah ngecewain kamu,” ucapnya pelan, hampir tidak terdengar.“Kamu nggak pernah ngecewain Mas, Dek. Mungkin memang Allah belum mempercayai kita seorang keturunan.” Membelai rambut Salwa yang tergerai indah, mendaratkan kecupan di puncak kepala perempuan yang sudah menemani hidupku selama sepuluh tahun itu, mencoba memberikan ketenangan kepadanya. Insya Allah aku menerima jika Tuhan tidak lagi mempercayakan keturunan kepadaku, karena dulu saat Allah mempercayakan dua orang buah hati tapi malah kuabaikan. Mungkin semua ini sebuah teguran untukku, supaya lebih introspeksi diri dan
Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d
Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.
[Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar
Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member
Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann
“Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk
Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D
Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...
“Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,