"Mau nengokin anak kamu. Boleh kan?""Boleh. Tapi untuk saat ini maaf tidak bisa. Dilan sedang tidak di rumah. Mas Gunawan datang saja lagi nanti habis isya.""Ya sudah. Ini, buat kamu, Nay!" dia menyodorkan sebuah amplop coklat kepadaku.Aku mengambil amplop tersebut dan membukanya, ternyata isinya segepok uang berwarna merah."Maaf, Mas. Saya tidak bisa menerima semua ini dari kamu. Ini sudah bukan lagi hak saya!" tolakku secara halus."Anggap saja itu pengganti uang nafkah yang dulu tidak pernah aku tunaikan dengan benar, Nay. Kamu tahu, setiap hari hidup aku terus menerus dibayangi dengan dosa masa lalu. Aku begitu takut Allah tidak mengampuni dosa-dosa yang sudah aku perbuat kepada kamu. Izinkan aku menebus semua kesalahan-kesalahan yang sudah aku perbuat sama kamu, Nay. Supaya hidup aku tenang." Kini mata mantan suami sudah dipenuhi kaca-kaca dan wajahnya mulai memerah."Itu mungkin sugesti kamu saja, Mas. Bertaubatlah deng
POV Gunawan.Duduk terpekur di depan meja kasir, menatap lalu lalang para pelanggan yang datang silih berganti.Alhamdulillah toko kelontongku kembali ramai, dan tidak ada seorang pelanggan pun yang mempermasalahkan statusku sebagai seorang mantan narapidana. Semua yang ada di pasar menerima kehadiranku kembali ditengah-tengah mereka, merangkul diriku yang sedang berjuang untuk kembali menjadi manusia yang lebih baik.“Bos, ini barang yang mau dikirim ke yayasan Aisiyah sudah siap,” ucap salah seorang karyawan seraya menunjukkan daftar barang yang hendak mereka kirim ke sebuah yayasan yang biasa menerima sumbangan dari toko, sebab sebagian penghasilan yang seharusnya menjadi milik Kanaya tidak pernah diterima oleh mantan istri.Kanaya selalu menolak secara halus, dan meminta supaya aku memberikan apa yang seharusnya dia dapat kepada yang lebih membutuhkan.“Bahri, nanti jangan lupa kamu antar barang-barang ini ke yayasan. Saya mau salat!” perintahku kepada sopir yang biasa mengantar b
POV Gunawan.“Bagaimana? Positif?” tanyaku kepada Salwa, sambil menatap penuh harap wajah perempuan itu.Salwa menggeleng perlahan dengan gurat kecewa terpancar jelas di wajah cantiknya.“Mungkin belum rezeki, Dek. Nanti dicoba lagi.” Menerbitkan senyuman, mencoba menutup rasa kecewa yang tengah bersarang dalam dada.“Maaf, ya, Mas. Karena aku udah ngecewain kamu,” ucapnya pelan, hampir tidak terdengar.“Kamu nggak pernah ngecewain Mas, Dek. Mungkin memang Allah belum mempercayai kita seorang keturunan.” Membelai rambut Salwa yang tergerai indah, mendaratkan kecupan di puncak kepala perempuan yang sudah menemani hidupku selama sepuluh tahun itu, mencoba memberikan ketenangan kepadanya. Insya Allah aku menerima jika Tuhan tidak lagi mempercayakan keturunan kepadaku, karena dulu saat Allah mempercayakan dua orang buah hati tapi malah kuabaikan. Mungkin semua ini sebuah teguran untukku, supaya lebih introspeksi diri dan
Hari ini, seperti biasanya toko begitu ramai pengunjung. Tetapi meskipun begitu, kami selalu menyempatkan diri untuk melakukan salat saat waktunya tiba, menghentikan aktivitas sejenak karena melakukan salat itu wajib hukumnya.Dan seperti biasanya, setiap sore aku dan para pekerja bertugas membagikan sembako kepada orang-orang yang membutuhkan, mengatas namakan Kanaya sebagai donaturnya. Sebab sejak kami berpisah, Kanaya tidak mau menerima apa pun pemberian dariku, termasuk bagi hasil toko. Makanya diakali dengan cara dibagi-bagikan kepada panti-panti maupun kaum duafa.Drrrrttt… Drrrttt… Drrrttt… Ponsel dalam saku celana terus saja bergetar. Ada panggilan masuk dari Salwa, menanyakan keberadaanku sekarang ini.“Mas lagi di panti, Dek. Sebentar lagi pulang,” ucapku kepada istri. Dia memang pencemburu, terlebih lagi setelah Haji Maisin mengenalk
“Dek!” panggilku ketika mendengar suara gemercik air di dalam kamar mandi. Tidak ada sahutan, tetapi tidak lama kemudian pintu toilet terbuka dan Salwa keluar dari dalam kamar mandi dengan mata sembab seperti habis menangis. “Dek, kamu kok pulang nggak bilang-bilang sama Mas? Mas muter-muter nyariin kamu sampai kaki Mas pegel, tapi kamu malah sudah pulang!” protesku tanpa melepas pandang dari wajah cantik perempuan berdaster motif bunga-bunga itu. Lagi, Salwa hanya diam. Bahkan menoleh pun enggan dia lakukan, seperti tidak mendengar suaminya berbicara. “Mas ngomong sama kamu loh, Dek!” Sepi. Dia tetap sibuk menggelar sajadah, mengenakan pakaian salat lalu segera melaksanakan ibadah wajib empat rakaat sendirian. Aku menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara kasar lewat mulut. Sepertinya Salwa benar-benar marah saat ini. Mungkin, karena tadi aku menghampiri Kanaya, sampai lupa kalau saat itu sedang bersam
“Maaf, Mbak? Maksud Mbaknya apa ya? Kok tiba-tiba datang ke rumah dan berkata seperti itu kepada saya?” tanyaku tetap berusaha santai, walaupun sebenarnya sedikit terkejut dengan pertanyaan perempuan di hadapanku ini.“Mbak paham lah, maksud saya apa!” Dia menjawab sambil menunduk.Aku semakin bingung. Bertemu dengan Mas Gunawan saja hanya beberapa kali, dan itu pun secara tidak sengaja. Masa iya mau mengganggu rumah tangga orang, sedangkan berbicara dengan mantan suami saja hampir tidak pernah. Lagian, aku sudah melupakan dia dan hidup bahagia bersama Dilan serta putra putri kami.“Jujur saya tidak mengerti maksud Mbak Salwa itu apa. Karena saya juga merasa tidak pernah mengganggu rumah tangga siapapun,” ujarku lagi, seraya menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya Mas Gunawan.Apa iya diam-diam mantan suamiku mengkhianati istrinya, dan Mbak Salwa mengira akulah wanita penggoda itu.Astaghfirullahaladzim...Tuh, kan,
Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas membuka mata, dan ternyata Dilan serta anak-anak sudah bersiap pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kurang bahagia apa aku jika memiliki keluarga mendekati sempurna seperti ini. Masa iya harus menggoda mantan suami seperti yang dituduhkan Mbak Salwa? Rasanya sedikit lucu jika mengingat tuduhan tidak beralasan wanita itu.Selesai mandi, aku segera melaksanakan ibadah wajib dua rakaat, lalu berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta anak-anak. Menu nasi goreng campur sosis, telur serta ayam menjadi favorit semuanya, termasuk Dilan suamiku. Kalau memasak menu seperti itu, tidak akan tersisa walau hanya sesendok saja. Makanya aku paling semangat memasak hidangan tersebut."Ada yang bisa Cici bantu, Ma?" tanya Aisyah putriku seraya berjalan menghampiri."Cici potong-potong sosis sama suir ayamnya bisa?" "Bisa dong ...
Selesai mendengarkan ceramah, aku bergegas pulang dan mendapati Salwa sedang duduk di sofa, dan di dekat kakinya ada sebuah tas besar yang entah apa itu isinya. Apa dia dia benar-benar ingin pergi seperti perkiraanku?“Mas, aku mau minta izin pulang ke rumah Abah!” ucapnya pelan, bagai angin sedang berbisik.“Pulang ke rumah Abah? Maksud kamu apa, Dek?” Mataku membulat sempurna sekarang.“Sepertinya kita memang butuh waktu buat sendiri-sendiri dulu. Supaya kita bisa memahami letak kesalahan kita masing-masing!”“Kamu itu ngawur? Kenapa musti pulang ke rumah orang tua kamu? Kalau ada masalah itu diselesaikan dengan cara dewasa, Dek. Jangan dikit-dikit minggat. Dikit-dikit minggat. Aku nggak ngizinin kamu pergi!”Salwa menggigit bibir bawah. Matanya mengembun dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur melewati pipi putihnya.Duh, kenapa pakai acara nangis segala? Kan jadi nggak tega.“D