‘Ya, Gusti, kenapa hidupku jadi begini,’ keluh Painem.CETEKDUAAAR“Tolong ... tolong ....”“Ada apa ini, Nek?” tanya Endi panik. Disusul Renata yang berlari dari kamarnya menuju kobaran api yang setengah menyala di dekat Painem. Dengan segala upaya, Endi berusaha memadamkan api itu dengan kain yang sudah dibasahi air.“Alhamdulillah, ya, Gusti. Syukurlah apinya udah padam,” ucap Painem yang seketika itu terduduk di atas lantai dapur.“Kok, bisa sampai kebakaran gini, sih, Nek?” tanya Renata.“Tadi, ibumu nyuruh nenek masak mi.”“Ehm, itulah, lihat ibumu, Bang. Nenekmu yang udah tua renta gini aja masih disuruh-suruh sama dia. Punya hati, gak, dia, tuh!” celetuk Renata.Tanpa basa basi, Endi segera menuju kamar Hana.“Bu!” Tampak Hana yang sedang ngorok tak mengindahkan kejadian yang baru saja terjadi. “Kompor gas meledak di dapur, ibu gak dengar! Nenek udah pingsan, tuh, di sana.”“Apa!” Segera ia bangkit dan spontan berlari menuju dapur. “Ya Tuhan, Bu, kok, iso meledak ngono, sih?
“Bang, jangan!”Sontak Jefri mendorong Painem dari peraduannya hingga terjatuh.“Aduh ... aduh Gusti, bok*ngku sakit, aduh. Memang anak a*u kui, yo, anak anj*ng kui, yo. Haris, anakku, tolong aku, Ris ... tolong.”“Gak usah panggil-panggil lagi nama anakmu itu. Memang manusia macam kau gak pantas jadi orang tua!” Sergahan itu benar-benar membuat Painem murka.“Kualat kui podo!” (Kualat kalian duanya)“Cukup, Bu! Kerjaanmu nyumpahi anak aja. Kekmana bang Haris dan Yuk Ratih mau betah tinggal sama ibu, wong kerjamu sikit-sikit nyumpahin anak! Bersihkan itu semua, kalau gak, kui gak dapat jatah makan!” amcam Hana lalu beranjak dari kamar yang sebenarnya lebih pantas dikatakan sebuah kand*ng.***Tak lama berselang, siang itu Jefri sedang berkumpul bersama teman sejawatnya di warung kopi langganannya.“Aku kalau jadi abang iparku itu, udah kutarok ibuku di panti jompo. Untuk apa lagi coba dibiarkan tinggal sama kita. Kan, nambahin dosa kami aja dia tinggal sama dia.” Nada bicara yang berk
“Kau terimalah hidupmu terus dibebani anak-anakmu!”Jefri dan Hana menoleh ke arah pusat suara itu. Ternyata suara itu datang dari Painem yang berjalan hendak menuju toilet.“Apa maksud ibu ngomong kayak gitu?” tanya Hana ketus. Tak ada balasan apapun darinya. Ia hanya terus berjalan diiringi irama tongkat alumunium yang diberikan nazir masjid saat ada pembagian zakat untuk kaum fakir dan lansia.“Aku lama-lama nengok ibumu ini mau kuhaj*r aja, Han!” Jefri sangat geram melihat sikap ibu mertuanya yang telah pikun itu.“Udahlah, Bang. Gak usah ditanggapi. Lagian, kan, ibu udah pikun, abaikan aja. Mending kita bahas mengenai rencana pesta si Pita. Dari sebulan yang lalu dia asyik nanya kapan kita punya duit,” ucap Hana.“Loh, kenapa kita pula yang harus nyiapkan duit untuk pestanya?”“Iya, masalahnya, pacarnya itu kerjanya gak tetap, cuman kuli serabutan di grosir pasar.”“Astaga, Pita ... Pita. Kuliah tinggi-tinggi tapi masih gobl*k juga! Heran kali aku nengok Pita itu, gak pande nyari
Hana, pun, mengeluh, “oh, Tuhan.”***“Apa? Keluargamu gak bisa datang, Bang?”TUTTUTSambungan telepon itupun mati. Tampaknya sengaja dimatikan oleh orang yang tadi berbincang panjang dengan Pita.“Pita, dengan siapa tadi kau bicara?” tanya Jefri saat ia hendak melangkahkan kaki ke luar dari kamarnya.Pita melalingkan wajahnya, berusaha menghindari pertanyaan itu dari bapaknya. “Dengan siapa tadi kau bertelponan?” sergah Jefri.“Dengan bang Josep, Pak.”“Lalu apa maksudnya keluarga pacarmu itu gak mau datang?”“Aku gak taulah, Pak!” ucapnya frustasi.“Terus mau ditaruh di mana nanti wajahku dan ibumu! Punya anak semuanya gak ada yang beres!” Pita hanya bisa menangis frustasi. “Terus darimana kau dapat uang tuk beli semua persiapan pestamu ini?”‘Astaga, aku harus jawab apa, kata ibu, aku harus rahasiakan ini dari bapak,’ batinnya.“Jawab!”“A ... aku, aku dapat pinjaman dari temanku, Pak,” ucapnya bual.“Siapa temanmu yang punya uang sebanyak ini? Terus bagaimana caramu nanti mengem
Kulihat foto undangan itu, dan bertanya, “Pita? Ini undangan Pita, dia mau nikah besok?”“Iya, Bu, dia mau nikah besok.”“Terus kamu gak dianggap apa-apa lagi sama mereka, Bang?” tanyaku kesal.“Gak taulah, Dek. Aku udah gak peduli, mau dianggap abang atau gak, biarlah terserah mereka,” respon suamiku pasrah.“Gak, Bang! Besok aku akan datangi rumah Hana dan labrak mereka semua!” Entah apa yang tiba-tiba merasuk dalam jiwaku.“Bu!” tegur Dewo. “Aku ikut nemanin ibu.”Tak ada respon maupun larangan apa-apa dari Bang Haris atas niatku ini.***“Dek, aku berangkat ke kantor dulu, ya,” ucap Bang Haris yang tampaknya sedang terburu-buru.“Kok, pagi-pagi sekali berangkatnya, Bang?” tanyaku.“Iya, hari ini kami kedatangan tamu penting, makanya aku harus sampai di sana lebih dulu.”“Oh, iya, Bang,” balasku sambil menyiapkan sarapan pagi. “Bang, kamu gak sarapan di rumah dulu? Tapi nunggu lima belas menit lagi.”“Kayaknya udah gak sempat kalau harus nunggu lagi. Aku sarapan di luar aja, ya.”“
Jefri yang saat itu sedang menyambut tamu seketika menghentikan langkahnya saat melihatku membuka masker, “Kau ... kau, beraninya!Terlihat jelas di mataku, Jefri jatuh tersungkur memegangi dadanya sebelah kiri.“Bang!” teriak Hana histeris.Disusul oleh Pita yang masih berdiri tegang di pelaminan, iapun berlari menghampiri kedua orangtuanya.“Bang, bangun, bangun, Bang!” Tampak Hana begitu panik dengan keadaan suaminya. “Tolong, tolong, tolong!” Tak seorangpun tamu yang mau menolongnya. Aku berdiri tepat di depan mereka semua yang duduk bertumpukan lutut menantikan kepala keluarganya yang sedang terkena serangan jantung.“Kak, tolong suamiku, Kak, kumohon, tolong suamiku,” pintanya penuh harap.“Bu, untuk apa kita menolong orang yang udah sangat menghancurkan kehidupan kita, mending kita pergi aja dari sini!” celetuk Dewo lalu pergi meninggalkan suasana penuh kepanikan itu.Tetamu yang tadinya ramai kini berangsur-angsur berkurang hingga dalam hitungan menit kemudian, tak ada lagi or
Tangis histeris menyelimuti lorong rumah sakit itu, Hana, pun, berucap, “Oh Tuhan cobaan apa lagi ini!”***“Kulihat tadi malam kamu udah tidur lelap, aku gak tega bangunin kamu.”“Bang, astaghfirullah, aku belum salat subuh. Aku salat dulu, ya, Bang.” Bergegas kutinggalkan suamiku yang masih duduk di atas sajadah dengan sarung serta peci yang melekat di kepalanya.Selesai aku salat, kusalim tangan suamiku dan seperti biasa, ia mengecup lembut keningku.“Bang, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucapku pelan.“Bicaralah, Sayang. Kan memang seperti biasa, pagi-pagi selepas salat subuh, kita selalu bercengrama seperti ini,” balasnya dengan senyuman.“Tapi ini menyangkut keluarga besar kita.” Aku tertunduk takut menatap bagaimana ia meresponku setelah ini.“Tidak apa-apa, bicaralah, baik maupun buruk yang akan kamu sampaikan, takkan mengubah apapun dariku.”“Aku mau minta maaf karena semalam telah melampiaskan seluruh emosiku di pesta anak Hana.” Aku masih menunduk takut.“Lantas?” tanya
“Bang Haris, ngapain abang di sini?”“Kami datang ke sini untuk melihat seorang ibu tua yang kalian telantarkan,” jawabku sinis.“Kang, maafkan aku, ya, atas semua kesalahanku di masa lalu.” Seketika Hana melompat turun dari becak yang ditumpanginya dan bersimpuh di bawah kaki suamiku. “Aku gak pernah berpikir panjang akibat dari ulahku sejak dulu dengan kakang dan kak Ratih. Kumohon maafkan aku, ya, Kang.”Aku gak yakin Hana meminta maaf dengan tulus kepada kami. Namun pada situasi ini, aku tetap berusaha bersikap tenang. Tak kutunjukkan sedikitpun raut kesal di hadapan adik iparku yang licik dan lihai bersandiwara.“Bangkitlah, Han. Aku sudah memaafkan kalian. Sekarang mari kita tuntun Jefri dan ibu ke dalam rumah,” ucap bang Haris.“Aku senang kakang dan kak Ratih datang ke sini.” Kutahu ucapan Hana itu hanyalah basa basi belaka, lagaknya yang sok sibuk membuatkan teh untuk kamipun mungkin hanya penghias sandiwaranya saja.“Kak, kenapa dari tadi kulihat kakak seperti menyimpan sesu