Aninda Ghea.
Tolong yakinkan saja raguku. Sepenggal lirik lagu milik Fiersa Besari, membuatku menoleh singkat pada cowok ganteng di sebelahku. Cowok yang hari ini memakai Sunglasses Polarized Cloval itu tampak asik bersenandung sambil menyetir, seolah-olah memang hidupnya sudah lepas dari beban sejak lahir. Dia pacarku, kata orang dia ganteng, murah senyum, ramah dan bla bla bla masih banyak lagi pujian untuk dirinya yang membuatku ingin muntah ketika mendengarnya.
Tapi tetap saja, walaupun aku ingin muntah ketika mendengar banyak orang yang memujinya. Aku tetap bersyukur karena dia masih mempertahankan aku untuk jadi kekasihnya.
“Beautiful, aku pengen bikin tato ah, gambar buaya. Keren enggak?” aku mengucap istighfar dalam hati ketika mendengar kalimatnya barusan, sedangkan cowok di sebelahku itu malah tertawa melihat ekspresiku.
“Gambar kadal lebih keren padahal.” aku tahu, dia hanya bergurau, ucapannya tidak pernah seserius wajahnya. Apa tadi dia bilang? Tato? Merokok saja dia batuk, ini malah mau bikin tato!
“Kamu lagi mikirin apa sih, Beautiful? Murung terus dari tadi.” Aku melirik dia sebentar, lalu mendesah berlebihan karena sadar pacarku itu tidak akan mengerti meskipun sudah aku jelaskan dengan bahasa yang paling mudah untuk dipahami.
“Kemarin Lambang ngasih kejutan lagi buat Tissa.” Aku memberitahunya secara singkat, padat dan jelas banget. Kuharap dia mengerti kali ini.
“Oh, itu.” Dia tersenyum geli, dan pada akhirnya bungkam kembali.
Aku menghela napas begitu tahu respon pacarku seperti ini lagi. Oh itu, yaelah gitu doang, banyak duit dia ngasih kejutan mulu. Selalu kata-kata itu yang dia ucapkan untuk merespon ceritaku tentang Lhambang dan Tisa.
“Bentar, ya.” Dia menepikan mobilnya di pinggir jalan. Lalu keluar dari mobil dan berlari menyebrangi jalan, aku tidak tahu dia kemana. Gerakan cowok itu terlalu gesit untuk aku ikuti. Jadilah aku memilih duduk tenang sambil memperhatikan keadaan sekitar.
Lima belas menit setelahnya Syailendra masuk lagi ke dalam mobil, satu tangannya membawa bunga... Angelica kalau tidak salah itu namanya. Lalu salah satu tangannya lagi menenteng plastik putih. Dia memberikan bunga itu padaku dan berkata, “Ayok foto, terus upload deh.” Aku memicingkan mata menatapnya, lalu memperhatikan bunga yang Syailendra berikan.
“Bunga yang kamu pandangi itu punya perlambangan dari niat yang tulus dan murni. Aninda Ghea, walaupun aku gak bisa kasih kejutan-kejutan romantis kayak Lambang, aku tetep pasangan kamu, yang akan menghormati kamu sebagai perempuanku dan yang akan memberikan perhatian yang sangat besar meskipun aku gak romantis.”
Senyumku mengembang ketika Syailendra menyodorkan plastik putih itu padaku. Isinya hanya jajan ringan dari mini market, juga ada es krim, dan beberapa minuman.
“Perhatianku besar banget kan? Kamu laper aja, aku tahu padahal kamu gak bilang.” Aku terkekeh mendengar kalimatnya, Syailendra sendiri sudah melajukan mobilnya lagi.
“Handsome,” panggilku padanya menggunakan panggilan sayang yang Syailendra ciptakan untuk hubungan kami. “I love you, ya!” kulihat senyumnya mengembang ketika aku mengatakan kalimat ajaib itu.
“I know, Beautiful. And i love you too.” Dengan gerakan cepat, dia mengecup pipiku.
“Aku gak akan pamer di sosial media kayak Lambang dan Tissa. Manisnya kamu cukup aku aja yang tahu, kalau semua pada tau, repot aku!” telingaku mendengar nada suaranya. Spontan bibirku tersenyum ketika mendengar suara tawa miliknya.
“Lebih berfaedah aku kan ngasihnya? Apa itu si Lambang, ngasih bunga banyak banget ke ceweknya. Halah, sia-sia kan ujungnya itu bunga gak bisa dimakan. Mendingan aku, ngasih bunga yang bermakna dan makanan yang berguna.” Jelasnya menyombongkan diri. Aku bahkan sampai geleng-geleng kepala mendengar kata-katanya.
“Syailendra, kamu tuh bisa jadi pacar yang baik juga ya ternyata.”
Syailendra Akbar Gibran.
“Syailendra, kamu tuh bisa jadi pacar yang baik juga ya ternyata.” Jadi dari kemarin-kemarin aku ini belum masuk kategori pacar yang baik untuknya? Kalau iya, sungguh terlalu sekali dia ini. Padahal, aku ini sudah melabeli diri sebagai satpamnya seorang Aninda Ghea yang 24 jam selalu ada untuknya. Tapi tetap saja, baginya aku bukan 'pacar yang baik'.
“Sekali-kali nyenengin pacar gak ada salahnya, 'kan? Hehehe.” Lalu aku tertawa bodoh. Menertawakan diriku yang masih belum bisa juga menjadi pacar yang baik versinya.
“Makannya, kamu berubah dong, Handsome. Jadi kayak Lambang, dia keren, selain pintar buat nyaman dia juga penuh perhatian. Ajaibnya, dia itu setia banget.” Katanya, yang mampu membuat aku meringis kecil. Padahal apa sih, si Lambang itu cuma cowok lemah yang suka pamer menurutku. Dikit-dikit kasih kejutan buat pacarnya terus posting, mesra-mesran dikit sama pacarnya posting lagi. Norak kan dia? Tapi anehnya, pacarku yang cantik jelita ini malah mengaguminya setengah mampus. Selalu berandai-andai jika aku bisa punya sifat seperti Lambang. Sialan, 'kan?
Tapi sesialan apapun dirinya, aku tetap akan menyayanginya. Asalkan dia tidak meninggalkan aku, apapun akan aku lakukan untuknya. Kecuali jika dia menyuruhku untuk durhaka kepada kedua orangtuaku dan juga Masku yang panutan itu—Bumi. Maka aku yang akan meninggalkannya nanti tidak peduli sesayang apapun aku padanya. Jangan bilang aku anak yang baik, aku hanya tidak ingin berubah bentuk menjadi batu saja.
Ketika memilihnya menjadi pacarku, aku sudah siap dengan semua konsukensi yang akan aku dapatkan karena telah membuatnya berada di sisiku. Ghea, yang selalu aku panggil Beautiful itu memang cantik. Dia sudah lama naksir Lambang memang, dan siapa sih Lambang? Lambang itu teman satu kantornya Ghea. Cowok lemah itu yang selalu diagung-agungkan Ghea dibelakang Tisa sahabatnya yang bersatus pacar dari seorang Lambang Bharat.
Harga diriku sudah lama hilang ketika Ghea selalu membanggakan, membandingkan bahkan sampai mengagumi Lambang secara terang-terangan saat bersamaku. Thanks To Allah, karena sudah membuatkan hatiku dengan semen tiga roda yang sudah terpercaya tidak akan retak meski ditabrak ribuan kali oleh kambing. Jadilah aku bisa sesabar ini menghadapi Aninda Ghea, pacarku yang unyu.
“Kamu mau?” Ghea menjulurkan tangan berisi roti isi selai cokelat kepadaku. Kugigit kecil roti itu, karena jika terlalu banyak sakit hatiku akan teralihkan.
“Beautiful, menurut kamu bulan ini aku bisa nyelsaiin berapa kasus? Aku gak yakin banyak sih, soalnya klienku bulan ini buaya-buaya semua.”
“Kamu selalu gitu, selalu pesimis. Coba sekali-kali kamu sedikit optimis kalau kamu bisa gitu. Kayak Lambang, dia tuh, apa-apa yakin bisa dan hasilnya selalu oke.” Aku tersenyum simpul mendengar jawaban dari Ghea. Lagi-lagi dia membanding-bandingkan aku dengan cowok lemah itu.
“Iya, ya, kalau dipikir-pikir aku memang selalu pesimis, ya?” merendahkan harga diri di depan seseorang yang kamu sayangi tidak akan membuatmu mati. Jadi, rendahkan saja agar dia senang dan hubunganmu aman.
“Nah, sadar sendiri, 'kan?” iya ndoro iya, aku mah apa atuh, makan nasi pakai sendok aja masih salah menurut kamu.
“Oke, deh, Beautiful. Aku akan berusaha keras supaya bisa jadi seperti Lambang, si cowok lemah itu.”
“Enak aja! Dia gak lemah ya!” iya dia gak lemah, aku yang lemah aku. Hadeh.
Untuk sebagain besar cewek, membanding-bandingkan pasangan menurut mereka itu hal yang biasa. Tapi sayang, sama seperti saat kamu nyeri hati ketika pacar kamu bilang kalau masakan mantannya lebih enak daripada masakan kamu, itu sama sakitnya ketika kalian bilang kalau cowok yang kalian taksir lebih keren daripada pasanganmu saat ini.
“Iya... dia gak lemah. Aku yang lemah.” Mengalah saja lagi, daripada diperpanjang. Ribet nanti urusan.
.
....Aninda GheaSeluruh perempuan di dunia ini pasti setuju denganku, kalau cowok yang sedang memakai kaos hitam polos itu tampan. Apalagi, kalau cowok yang sedang memakai kaos hitam itu adalah orang yang kita sukai. Mau pura-pura tidak memperhatikan pun rasanya sulit. Mata ini, tanpa disuruh selalu mencuri-curi pandang padanya.“Ghe, bahu lo masih sakit?” aku menahan senyum saat Lambang bertanya seperti itu padaku, suara berat milik Lambang yang sudah kuhafal diluar kepala, membuat mataku spontan menatap wajahnya yang kini sedang duduk di hadapanku. “Oh, gak apa-apa kok, Lam. Udah gak apa-apa kok ini.” Aku berujar dengan sehalus mungkin, berharap Lambang akan bertanya kembali.
Aninda Ghea“Lho, Ge? Masih di sini? Gue kira lo udah balik.” Aku sedang menunggu Syailendra, katanya dia akan datang menjemputku. Dia mengajakku makan malam bersama dengan keluarganya dan katanya aku harus ikut, tidak boleh menolak. Dan yang tadi bersuara itu Tissa.“Lagi nungguin Lendra, Tiss. Lo udah mau pulang?” Tissa mendudukkan diri di sampingku, saat ini kami masih berada di loby kantor.Tapi tumben dia sendiri? Biasanya dia selalu pulang dengan Lambang, apa mungkin Lambang lembur?“Iya, nih. Baru beres kerjaan gue, jadi baru keluar sekarang deh. Eh, Ge, gue boleh nebeng sama lo aja gak baliknya? Lambang lembur soalnya.”“Tumben dia lembur? Biasanya on time terus dia baliknya?”
Aninda GheaAku kesal dengan Syailendra. Hobi membuatku malunya makin jadi saja.Aku tidak masalah jika dia memanggil panggilan sayang beautiful hanya saat bersamaku atau saat kami sedang bersama dengan Lambang juga Tissa.Tapi lama kelamaan aku jengah juga dengan sapaannya itu. Bikin malu ternyata.Semenjak menjemputku di lobi kantor, sampai berjalan masuk ke dalam apartemen Syailendra untuk berganti baju sebelum akhirnya berangkat ke rumahnya, dia tidak henti-hentinya memanggilku beautiful dengan suara yang kencang. Hal hasil setiap orang yang mendengar itu langsung menoleh dan memandangi aku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menyebalkan bukan?Karena itu aku dengan sangat kerendahan hati yang besar meminta Syailendra berhenti memanggilku dengan sebu
SYAILENDRA."Nungguin Ghea, Ndra?" Sebuah suara membuat pandanganku teralihkan, aku menoleh, lalu memutar bola mata saat mengetahui siapa yang menyapaku tadi."Iya nih, lo liat Ghea, Lham?""Kalian gak berangkat bareng memang?" Lhambang berjalan mendekat, lalu ikut bersandar pada badan mobilku."Kebetulan lagi gak bareng, sih." Males banget aku kalau bilang kami udah putus ke dia, hiiiy nggak kebayang aku gimana reaksinya. Karena ekspresi wajah Lhambang tuh susah banget buat ditebak kayak kakakku—Bumi, jadi aku rada-rada nggak bisa menilai, gimana sebenarnya Lhambang melihat Ghea. Apa dia benar-benar tidak tertarik, atau hanya sekedar pura-pura tidak tertarik saja padanya."Lo udah hubungi? Atau emang lo lagi berencana mau ngasih dia kejutan?
Ghea“Makanan nggak akan habis kalau cuma dilihatin, Ghe.” Tissa duduk disampingku, menaruh makananya dan menoleh padaku dengan cengiran jenakanya.“Lo sendirian?”“Keliatannya?” Tissa menyahutiku acuh tak acuh sambil mulai memakan makanan siangnya, bento rupanya. Kelihatannya sih enak.“Tumben Lhambang nggak ngikut?” Kalimatku kali ini membuat Tissa menoleh padaku sebentar, namun itu tak berselang lama. Karena setelah aku melihat pandangan heran dari matanya, cepat-cepat ia memalingkan wajah lagi.“Kan gue udah bilang, dia lagi sibuk-sibuknya.”“Oohh ... Masih sibuk.” Tissa tidak menjawab kata-kataku, mungkin dia sedang terheran-heran d
GheaMau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu ... Engkau disana ... Aku disini, meski hatiku memilihmu. Sejak duduk dibangku kafe ini, entah sudah berapa kali aku mendengar band kafe ini menyanyikan lagu milik Raisa tersebut. Di hadapanku, ada Syailendra. Dia memaksaku untuk ikut pulang dengannya, katanya dia akan mengantarkan aku pulang dengan selamat sampai di rumah hitung-hitung sekalian nostalgia. Itu sih katanya, tapi kalau sudah begini ceritanya ini bukan lagi nostalgia. Tapi dia sedang terus berusaha untuk mengajakku kembali padanya, memangnya aku tidak tahu apa jika dia mengeluarkan uang lebih untuk para personil ban
Syailendra“Apa yang harus aku syukuri karena punya kamu, Ndra?” Anjrit. Apa yang harus dia syukuri karena punya aku katanya? Yah, maksudku. Meskipun aku ini tidak ada harga dirinya sama sekali di mata Ghea tapi apa sih salahnya ketika dia punya aku sebagai pasangannya dia mensyukuri itu? Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga itu memang jauh lebih indah, tapi mensyukuri apa yang kita punya itu bukannya jauh lebih indah? Buat apa iri dengan kepunyaan orang lain kalau yang kita punya saja itu jauh lebih indah dari milik orang lain, seharusnya Ghea berpikiran seperti itu entah kemarin atau saat ini.“Wah, aku nggak nyangka banget kamu bisa jawab begitu sadis, Ghe.” aku hanya tertawa bodoh, ketika mengatakan kalimat barusan.“Yah makanya, udah lupain aja aku. Kamu move on, cari yang
TissaSetiap orang di dunia ini pasti mempunyai kriteria masing-masing untuk memilih pasangannya, ada yang suka cowok ganteng, ada juga yang suka cowok biasa aja. Ada yang menyukai cewek cantik, dan ada juga cowok yang nenyukai cewek yang biasa-biasa saja. Semua orang punya tipenya masing-masing, dan setiap orang akan punya waktunya tersendiri dimana dia akan terlihat sangat tampan atau cantik. Dan bagiku, nilai plus seorang cowok adalah ketika mereka menunjukan raut wajah khawatirnya ketika pasangannya terluka. Atau kadang kala, ketika mereka sedang fokus melakukan hobinya. Bukan hobi bermain cewek ya ini melainkan hobinya yang berbau-bau olahraga atau semacam hal-hal yang mereka sukai.“Tiss, nanti kamu tolong mampir ke toko kue dulu ya pulangnya? Bawain kue buat Ibuku, lagi pengen makan kue katanya dia.” Aku memutar bola mataku jengah, mendengar kalimat dengan nada lembut yang berupa
GHEAAku dibawa ke rumah sakit oleh Tissa dan juga Syailendra, apa yang mereka pikirkan saat menolongku aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah Tissa yang menangis saat dia melihatku di dalam kamar dalam kondisi yang tidak mau aku jelaskan, lalu dia pun menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit. Dia terus mengusap punggungku tanpa mengatakan apapun, karena mungkin memang hanya itulah yang bisa dia lakukan, mengusap punggungku dan kemudian menangis. Syailendra tidak berbicara apapun padaku, sampai saat ini sampai kami tiba di rumah sakit dia tidak berbicara apapun padaku. Di UGD ini, aku hanya di temani Tissa, Syailendra sedang berada di luar ruangan menunggu Ibuku datang.Padahal aku sudah mengatakan kepadanya kalau dia tidak usah memberitahu kan Ibuku soal kondisiku saat ini, dan memang benar dia tidak memberitahukannya kepada Ibuku tapi dia malah memberitahu kakakku, jadilah sekarang Ibuku mengetahui bagaimana kondisi anak bungsunya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hi
TISSAAku berkali-kali mendapati Syailendra bergerak gelisah saat mengemudi. Berkali-kali pun jawabannya saat menanggapi obrolannya denganku tampak tidak nyambung, singkatnya. Syailendra sedang tidak fokus saat ini dan sialnya aku tahu kenapa dia jadi tidak fokus seperti itu. Berkali-kali aku memikirkannya, berkali-kali itu juga aku jadi kesal dibuatnya.Aku tidak bertanya kenapa kakaknya Ghea menelpon dan mengirimnya pesan, telponnya memang tidak dia angkat tetapi pesannya dia baca sehingga hal itulah yang membuat aku jadi kesal sendiri sebab setelahnya Syailendra terlihat sekali tidak fokus saat ini. Untungnya, hanya aku yang ikut di mobil Syailendra kalau betulan Mamaku juga ikut disini, bisa dipastikan suasana akan berubah menjadi canggung.Sejujurnya, aku penasaran sekali tentang apa isi pesan kakaknya Ghea kepada Syailendra sehingga pesan itu bisa membuat Syailendra menjadi seperti ini. Tapi, disatu sisi pun aku merasa bahwa aku tidak berhak bertanya sebab aku bukan siapa-siapa
SYAILENDRAPagi hujan, siang cerah. Kondisi cuaca Jakarta memang tidak bisa dipresiksi semaksimal mungkin, aku hampir saja merutuki cuaca karena mereka hari ini aku terpaksa datang dengan salah konstum. Kalau tahu siang hari ini tidak akan turun hujan juga seperti pagi hari tadi, mana mau aku datang ke kedai kopi kakaku dengan swetter panas begini.Yah, tapi apa mau dikata deh. Sudah kejadian, lagipula mau datang pakai baju apapun aku, aku yakin aku masih dan akan sangat terlihat tampan.Hahaha ...Kok aku geli sendiri ya mendengarnya? Biarlah, aku kan jomlo, tidak ada yang memuji aku ganteng lagi sekarang jadi biarkan saja aku memuji diriku sendiri saat ini."Kenapa sih?""Hah? Apa? Apa yang kenapa?""Kamu kenapa?""Aku?" aku menunjuk diriku sendiri saat Tissa bertanya aku kenapa, aku kamu dengan Tissa memang hal yang baru tapi entah kenapa aku nyaman dengan kata ganti Lo-Gue diantara kami ini. "Aku kenapa?""Kayak orang bingung." Tissa menggaruk kecil hidungnya, kemudian melemparkan
GHEAMalam minggu kemarin, aku tidak pulang ke rumah Ibuku. Aku juga tidak masuk lembur, padahal hari sabtu kemarin adalah hari dimana aku seharusnya bekerja lembur tapi aku tidak melakukannya sebab Lhambang tidak memperbolehkan aku untuk pergi ke kantor. Jadi, dari pada wajahku kena tampar lagi olehnya lebih baik aku menurut saja dan mengatakan kepada pihak kantor kalau aku sedang sakit.Yah, walaupun aku tidak menjamin alasan itu akan diterima oleh atasanku mengingat lembur kemarin adalah aku yang meminta sendiri dan aku juga yang membatalkan senaknya. Aku meminta lembur karena aku butuh uang lebih diakhir bulan nanti, tentu saja untuk mengganti uang yang aku pinjam untuk Lhambang, aku berjanji untuk menggantinya meskipun aku meminjam uang tersebut kepada kakakku."Ghe?" Itu suara Lhambang, yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri Lhambang di dalam kamar, aku tidak mau kena omel lagi hanya karena aku terlalu lama menghampirinya padahal katanya jar
TISSASelimut yang masih menyelimuti tubuhku, pendingin ruangan yang masih menyala serta hujan yang mengguyur bumi menjadi saksi bahwa hari mingguku kali ini benar-benar sangat nyaman. Masih menscroll media sosial, dari satu aplikasi lalu ke aplikasi berikutnya jam sembilan pagi ini aku masih betah tidur-tiduran diatas kasurku.Tumben sekali, biasanya Ibuku akan masuk kamar lalu menyuruhku untuk bangun. Setidaknya untuk membantunya membereskan rumah yang sebenarnya selalu rapih ini atau sekedar olahraga bersama keliling komplek dan berakhir singgah di pasar untuk membeli kebutuhan rumah. Tapi hari minggu kali ini agak berbeda, sedikit lebih tenang dan sedikit lebih membahagiakan karena ketika aku bangun ada satu pesan yang selalu aku mimpikan untuk masuk ke dalam ponselku ketika pagi tiba. Yap! Chat dari Syailendra yang berhasil membuat pagiku yang sedang mendung ini menjadi lebih berwarna.Pesannya memang bukan sebuah pesan yang romantis, dipesan itu Syailendra hanya membalas pesanku
SYAILENDRAHari ini aku berjanji untuk berkunjung ke rumah Tissa, tapi sebelum berkunjung aku sudah menyempatkan diri datang ke tukang martabak pinggir jalan. Bukan abang-abang yang sedang berdagang di pinggir jalan melainkan di sebuah toko yang letaknya kebetulan berada di pinggir jalan, katanya ayahnya Tissa sangat suka martabak telur di tempat ini sebab itulah aku membelikannya martabak telur saja sebagai bawaanku malam ini. Karena aku bingung, apa yang harus aku bawa ke sana. Niatku hanya ingin bertamu karena Ibunya Tissa mengundangku untuk makan malam, jadilah aku ke sana malam hari ini selepas pulang bekerja. Ini pun aku datang agak telat, biasanya memang aku pulang sore tetapi tadi ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini juga makanya aku datang agak terlambat sedikit."Ndra!" Seseorang memanggil namaku dari arah belakang, ketika aku menoleh. Aku sudah menemukan seseorang yang sangat aku kenali sekali.Karena itulah, sembari tersenyum aku melangkah mendekatinya
GHEAPada akhirnya Lhambang mengantarkan aku pulang ke rumah, dengan mengancam perihal mobil yang akan aku ambil barulah dia mau mengantarkan aku pulang ke rumah. Sepanjang jalan menuju rumahku ini dia terus-terusan mengoceh perihal ini dan itu membuatku makin malas untuk meladeni dirinya. Bukan, ini bukan pekara aku yang sudah tak cinta lagi dengannya tapi ini perkara harga diri. Sampai saat ini aku masih menyukainya, saat ini aku hanya sedang memberikan pelajaran saja bagi dirinya kalau dia tak boleh semena-mena dengan diriku karena semua yang dia pakai dan gunakan saat ini adalah milikku. Jadi satu-satunya orang yang boleh sombong dan semena-mena itu adalah aku."Kamu masih marah sama aku?" Sambil menyetir, dia menoleh padaku sesekali untuk melihat ekspresiku saat ini. "Ghe?""Hmm?" Tadinya aku masih enggan untuk menyahuti dirinya t
GHEATiada satupun dari kita yang selalu tertawa tanpa hadirnya air mata. Namun Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kadar kemampuan nya. Aku selalu ingat ketika Syailendra ceramah mengenai hidup manusia, dulu ketika Syailendra mengatakan kata-kata bijak perihal hidup aku tak pernah sama sekali mendengarkan apa yang dia katakan dengan seksama. Tapi kadang-kadang kata-katanya itu bisa masuk ke dalam pikiranku dengan sendirinya, membuat aku berpikir kalau apa yang dia katakan itu sebenarnya memang benar. Akunya saja yang selama ini menolak ini dan itu perihal perkataannya padahal perkataannya itu adalah benar, sangat-sangat benar dan memang fakta."Udah?" Aku menoleh pada Lhambang yang baru saja keluar dari kamar mandi."Apanya yang udah?""Transfer ke aku, udah belum?" Katanya santai sambil
SYAILENDRADulu waktu umurku masih belasan tahun, sering berkata kepada teman-temanku kalau nanti ketika aku ingin menikah aku pasti tak perlu pusing mengajak wanita manapun untuk menikah. Aku tampan, aku kaya. Keluargaku baik, aku juga bukan tipekal orang yang suka macam-macam. Siapa yang tak mau denganku? Pastilah mau, karena pada saat kita ada di umur-umur belasan tahun sesorang hanya akan mengagumi orang lain hanya dari kemewahan. Ketulusan hati? Tak perlu, pada umur-umur belasan tahun aku tak pernah memikirkan perihal hati. Semuanya dengan mudah bisa aku dapatkan kalau aku kaya dan hidup berkecukupan, wanita manapun pada saat umur belasan tahun pasti akan memikirkan hal yang sama.Tapi diumurku yang sekarang, yang hampir mencapai angka tiga, saat ini aku lebih memilih mengagumi seseorang karena ketulusan hatinya. Sebab itulah mungkin saat ini aku selalu gagal perihal per