Aninda Ghea
Seluruh perempuan di dunia ini pasti setuju denganku, kalau cowok yang sedang memakai kaos hitam polos itu tampan. Apalagi, kalau cowok yang sedang memakai kaos hitam itu adalah orang yang kita sukai. Mau pura-pura tidak memperhatikan pun rasanya sulit. Mata ini, tanpa disuruh selalu mencuri-curi pandang padanya.
“Ghe, bahu lo masih sakit?” aku menahan senyum saat Lambang bertanya seperti itu padaku, suara berat milik Lambang yang sudah kuhafal diluar kepala, membuat mataku spontan menatap wajahnya yang kini sedang duduk di hadapanku.
“Oh, gak apa-apa kok, Lam. Udah gak apa-apa kok ini.” Aku berujar dengan sehalus mungkin, berharap Lambang akan bertanya kembali.
“Syukur deh kalau udah gak apa-apa.” Aku langsung menghela napas saat lagi-lagi Lambang mengakhiri percakapan kami seperti ini. Dia lalu tersenyum, sambil menenggak sprite, minuman kesukaannya.
“Jangan banyak-banyak minum soda, Lam.” Lambang tidak menjawabnya, dia hanya terkekeh dan meminum minumannya lagi. Niat hati ingin membuka obrolan kembali, tapi sayang dia tidak tertarik.
“Beautiful, nih salepnya, pakai gih biar gak sakit bahunya. Eh, Lam, Tissa mana?” aku menoleh dan menemukan Syailendra yang sudah berdiri disampingku. Sepertinya dia terburu-buru datang ke rumahku, sampai tidak sempat mengganti pakaian kerjanya.
“Tissa di kamar mandi, Ndra, lagi ganti baju.”
“Gak lo tungguin?”
“Ngapain gue tungguin?”
“Yaaa jaga-jaga aja, takutnya ada apa-apa kan di kamar mandi?” apa sih Syailendra? Ampun deh!
“Yaudah, coba bentar gue cek deh,” dengan tersenyum, Lambang bangkit lalu berjalan menuju kamar mandi rumahku.
“Kamu nih apaan sih?! Emangnya Tissa anak kecil apa segala harus di tungguin pas di kamar mandi?!” Aku langsung mengomel ketika Syailendra sudah duduk disampingku.
“Itu lebih baik daripada dia berduaan begini sama kamu.”
“Berlebihan kamu, Ndra.”
“Iya, iya. Aku berlebihan. Udah, ini pakai dulu salepnya.”
“Gak perlu, tadi udah di pakaiin sama Tissa di mobilnya Lambang.” Syailendra langsung mengangguk-anggukan kepalanya lalu menaruh salep nyeri otot itu di meja taman halaman belakang rumahku.
Tadi, aku, Lambang dan Tissa sedang bermain tenis. Kenapa hanya kami bertiga? Karena Syailendra masih bekerja. Setiap akhir pekan, kami memang selalu menghabiskan waktu bersama. Double Date, begitu orang-orang bilang.
Rencana kami, malam hari ini ingin ngumpul biasa saja di rumahku sambil bakar-bakar ayam atau ikan. Itu ide dari Lambang yang langsung kami setujui. Oleh karenanya, sambil menunggu Syailendra pulang bekerja sore hari tadi, Tissa mengajak kami untuk bermain tenis dulu. Tapi siapa sangka, bahuku malah keram dan kaku karena terlalu banyak set yang kami mainkan.
Ya setidaknya aku cukup puas melihat wajah khawatir Lambang karena melihatku yang kesakitan, aku tidak memberitahu Syailendra perihal bahuku yang sakit, kupikir nanti juga akan sembuh dengan sendirinya tapi Tissa malah memberitahu Syailendra, jadilah cowok dengan stelan kerja yang sudah awut-awutan itu datang dengan cepat ke rumahku.
“Eh, Ndra? Lo langsung kesini? Gak baik dulu? Biasanya balik dulu ganti baju?” aku mendongak, baru sadar kalau Tissa sudah berdiri sambil melipat baju kotornya. Syailendra hanya tersenyum, lalu menoleh padaku yang sedang mencari-cari seseorang.
“Lambang mana?”
“Pulang, ambil ayam yang dia pesan ke ibunya tadi. Jadi kan bakar-bakarnya?”
“Jadi lah,” jawabku, Tissa menarik bangku untuk duduk, setelah duduk, dia memberikan Syailendra teh kotak yang memang sudah ada di meja.
“Buru-buru banget lo kayaknya, Ndra.” Aku mendengar Syailendra tertawa geli.
“Iya, tapi tetep gak guna sih buru-buru juga.”
“Gak guna?” Tissa mengangkat sebelah alisnya, sementara aku mengambil sedotan teh kotak yang tadi Tissa berikan kepada Syailendra untuk aku buka plastiknya.
Tissa ini temanku, teman semasa SMA, semasa kuliah dan teman sekantorku. Kami sudah berteman cukup lama, sampai kami terlalu saling mempercayai.
“Mau ganti baju kamu?”
“Enggak usah lah, gini aja emang kenapa? Aku tinggal lepas dasi sama jas aja, kok. kenapa? Kamu malu? Penampilanku gak keren kayak Lambang?” aku melotot saat Syailendra berkata seperti itu, reflek kucubit saja pinggangnya. Bukannya mengaduh dia malah terkikik geli sambil mengambil sedotan dari tanganku dan mulai meminum teh kotaknya.
“Apa sih kamu ngomongnya?!” Syailendra tertawa keras sambil mengigit sedotannya, karena dia langsung menoleh padaku saat aku berkata seperti itu mau tak mau aku juga memaksakan tertawa kecil, agar Tissa tidak salah paham dengan apa yang tadi Syailendra katakan.
“Becanda sayang,” Syailendra mengusap-usap kecil kepalaku tanpa melepaskan senyum geli di wajahnya. Sebelah tangannya masih memegang teh kotak, tapi entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi teh kotak kemasan itu seperti sedang di remas kecil oleh tangan Syailendra.
Syailendra Akbar Gibran
“Ghe, bahu lo masih sakit?” aku berhenti melangkah saat melihat pacarku sedang duduk berduan dengan cowok yang dia taksir setengah mampus. Agak kesel sih, cuma gimana ya, aku hanya tidak ingin Ghea meminta putus dariku dengan alasan aku yang terlalu posesif atau berlebihan padanya.
Menyebalkan bukan? Orang yang ingin kamu pertahankan adalah orang yang selalu ingin lepas darimu. Aku bukannya tidak tau atau tidak peka dengan Ghea yang selalu membuatku kesal karena selalu membandingkan-bandingkan diriku dengan Lambang, tapi berpura-pura bodoh dan selalu sabar adalah jalan paling baik menurutku, karena jika aku terbawa emosi, maka bisa dipastikan hubungan kami sudah berakhir sejak lama.
Jangan menyukainya. Jangan membangga-banggakannya. Jangan membanding-bandingkannya dengan aku. Ingin aku mengatakan seperti itu pada Ghea, tetapi aku takut, dia marah dan memilih pergi.
Aku ingat dulu, pernah sekali bertanya pada Ghea, kenapa dia bisa sampai menyukai Lambang sampai sebegitunya. Lalu, dengan raut wajah yang cantik, sorot mata yang bahagia dia mengatakan kalau Lambang itu mengagumkan. Lambang itu, penyayang, manis, dan selalu memperlakukan pasangannya dengan baik.
Lalu aku bertanya lagi, kenapa dulu dia mau menerimaku padahal dia sedang dan masih menyukai orang lain. Tau apa jawabannya? Katanya, aku terlihat seperti laki-laki yang tidak setia, aku terlihat sekali playboy-nya, aku terlihat sekali tidak bisa membahagiakan pasangannya. Dan yang paling penting, katanya, saat aku memintanya menjadi pacarku, raut wajahku tidak serius. Tidak bersungguh-sungguh dan tidak tulus. Karena itulah dia menerimaku, karena aku terlihat ingin main-main dengannya. Makannya dia menerimaku, dan mengatakan bahwa aku juga harus menerimanya yang menyukai orang lain.
Bahkan, meyakinkannya seratus, ribuan, atau bahkan miliyaran kali bahwa aku mencintainya pun terasa percuma. Dia tetap tidak akan mempercayai itu.
Aku harus bagaimana? Dengan pasanganku yang masih menyukai orang lain?
Karena mencintai Ghea, aku jadi membenci wajahku yang seperti fakboi abis ini. Padahal kalau disejajarkan Lambang dengan aku jelas jauh beda. Gantengan aku kemana-mana, ah iya benar. Ini bukan soal fisik, tapi hati. Menurut Ghea, Lambang itu punya hati yang tulus, bersih dan bersinar layaknya seseorang yang belum pernah melakukan dosa.
“Syukur deh kalau udah gak apa-apa.”
Dan aku bisa langsung melihat jika pacarku itu sedang salah tingkah saat ini. Kalian, pernah gak sih? Sayang banget sama seseorang sampai mikir kayak gini “Ini gue kenapa bodoh banget sih?”
“Jangan banyak-banyak minum soda, Lam.”
Aku melongo waktu mendengar Ghea mengatakan itu pada Lambang, aku aja, yang jadi pacarnya, yang udah jungkir-balik bikin dia senyum karena aku, gak pernah tuh diingetin buat 'jangan banyak-banyak minum soda' padahal dia tau, aku cowok yang paling gak bisa banyak minum soda.
Setelah menghembuskan napas, mencoba sabar menahan kesal yang makin jadi, akhirnya aku melangkahkan kaki mendekati mereka. Lihat, suara pantofel yang berjalan mendekati mereka saja tidak membuat Ghea menoleh padaku. Padahal, aku sudah mengetuk-ngetuk kakiku dengan keramik halaman rumah Ghea sekencang mungkin tapi cewek itu masih gak sadar. Tatapan mata itu masih memuja sosok Lambang yang duduk di hadapannya.
“Beautiful, nih salepnya, pakai gih biar gak sakit bahunya. Eh, Lam, Tissa mana?”
See? Muka Ghea langsung gak enak waktu aku nyampe. Boro-boro nyapa bilang 'Eh, sayang' ini nerima salep yang aku kasih aja enggak.
Pada akhirnya, yang memperjuangkan setengah mati akan kalah dengan dia yang disukai sepenuh hati. Karena dari sanalah rasa cinta itu akhirnya tumbuh, dan tentunya percakapan-percakapan yang hadir pun terdengar lebih menyenangkan.
.
.....Aninda Ghea“Lho, Ge? Masih di sini? Gue kira lo udah balik.” Aku sedang menunggu Syailendra, katanya dia akan datang menjemputku. Dia mengajakku makan malam bersama dengan keluarganya dan katanya aku harus ikut, tidak boleh menolak. Dan yang tadi bersuara itu Tissa.“Lagi nungguin Lendra, Tiss. Lo udah mau pulang?” Tissa mendudukkan diri di sampingku, saat ini kami masih berada di loby kantor.Tapi tumben dia sendiri? Biasanya dia selalu pulang dengan Lambang, apa mungkin Lambang lembur?“Iya, nih. Baru beres kerjaan gue, jadi baru keluar sekarang deh. Eh, Ge, gue boleh nebeng sama lo aja gak baliknya? Lambang lembur soalnya.”“Tumben dia lembur? Biasanya on time terus dia baliknya?”
Aninda GheaAku kesal dengan Syailendra. Hobi membuatku malunya makin jadi saja.Aku tidak masalah jika dia memanggil panggilan sayang beautiful hanya saat bersamaku atau saat kami sedang bersama dengan Lambang juga Tissa.Tapi lama kelamaan aku jengah juga dengan sapaannya itu. Bikin malu ternyata.Semenjak menjemputku di lobi kantor, sampai berjalan masuk ke dalam apartemen Syailendra untuk berganti baju sebelum akhirnya berangkat ke rumahnya, dia tidak henti-hentinya memanggilku beautiful dengan suara yang kencang. Hal hasil setiap orang yang mendengar itu langsung menoleh dan memandangi aku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menyebalkan bukan?Karena itu aku dengan sangat kerendahan hati yang besar meminta Syailendra berhenti memanggilku dengan sebu
SYAILENDRA."Nungguin Ghea, Ndra?" Sebuah suara membuat pandanganku teralihkan, aku menoleh, lalu memutar bola mata saat mengetahui siapa yang menyapaku tadi."Iya nih, lo liat Ghea, Lham?""Kalian gak berangkat bareng memang?" Lhambang berjalan mendekat, lalu ikut bersandar pada badan mobilku."Kebetulan lagi gak bareng, sih." Males banget aku kalau bilang kami udah putus ke dia, hiiiy nggak kebayang aku gimana reaksinya. Karena ekspresi wajah Lhambang tuh susah banget buat ditebak kayak kakakku—Bumi, jadi aku rada-rada nggak bisa menilai, gimana sebenarnya Lhambang melihat Ghea. Apa dia benar-benar tidak tertarik, atau hanya sekedar pura-pura tidak tertarik saja padanya."Lo udah hubungi? Atau emang lo lagi berencana mau ngasih dia kejutan?
Ghea“Makanan nggak akan habis kalau cuma dilihatin, Ghe.” Tissa duduk disampingku, menaruh makananya dan menoleh padaku dengan cengiran jenakanya.“Lo sendirian?”“Keliatannya?” Tissa menyahutiku acuh tak acuh sambil mulai memakan makanan siangnya, bento rupanya. Kelihatannya sih enak.“Tumben Lhambang nggak ngikut?” Kalimatku kali ini membuat Tissa menoleh padaku sebentar, namun itu tak berselang lama. Karena setelah aku melihat pandangan heran dari matanya, cepat-cepat ia memalingkan wajah lagi.“Kan gue udah bilang, dia lagi sibuk-sibuknya.”“Oohh ... Masih sibuk.” Tissa tidak menjawab kata-kataku, mungkin dia sedang terheran-heran d
GheaMau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu ... Engkau disana ... Aku disini, meski hatiku memilihmu. Sejak duduk dibangku kafe ini, entah sudah berapa kali aku mendengar band kafe ini menyanyikan lagu milik Raisa tersebut. Di hadapanku, ada Syailendra. Dia memaksaku untuk ikut pulang dengannya, katanya dia akan mengantarkan aku pulang dengan selamat sampai di rumah hitung-hitung sekalian nostalgia. Itu sih katanya, tapi kalau sudah begini ceritanya ini bukan lagi nostalgia. Tapi dia sedang terus berusaha untuk mengajakku kembali padanya, memangnya aku tidak tahu apa jika dia mengeluarkan uang lebih untuk para personil ban
Syailendra“Apa yang harus aku syukuri karena punya kamu, Ndra?” Anjrit. Apa yang harus dia syukuri karena punya aku katanya? Yah, maksudku. Meskipun aku ini tidak ada harga dirinya sama sekali di mata Ghea tapi apa sih salahnya ketika dia punya aku sebagai pasangannya dia mensyukuri itu? Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga itu memang jauh lebih indah, tapi mensyukuri apa yang kita punya itu bukannya jauh lebih indah? Buat apa iri dengan kepunyaan orang lain kalau yang kita punya saja itu jauh lebih indah dari milik orang lain, seharusnya Ghea berpikiran seperti itu entah kemarin atau saat ini.“Wah, aku nggak nyangka banget kamu bisa jawab begitu sadis, Ghe.” aku hanya tertawa bodoh, ketika mengatakan kalimat barusan.“Yah makanya, udah lupain aja aku. Kamu move on, cari yang
TissaSetiap orang di dunia ini pasti mempunyai kriteria masing-masing untuk memilih pasangannya, ada yang suka cowok ganteng, ada juga yang suka cowok biasa aja. Ada yang menyukai cewek cantik, dan ada juga cowok yang nenyukai cewek yang biasa-biasa saja. Semua orang punya tipenya masing-masing, dan setiap orang akan punya waktunya tersendiri dimana dia akan terlihat sangat tampan atau cantik. Dan bagiku, nilai plus seorang cowok adalah ketika mereka menunjukan raut wajah khawatirnya ketika pasangannya terluka. Atau kadang kala, ketika mereka sedang fokus melakukan hobinya. Bukan hobi bermain cewek ya ini melainkan hobinya yang berbau-bau olahraga atau semacam hal-hal yang mereka sukai.“Tiss, nanti kamu tolong mampir ke toko kue dulu ya pulangnya? Bawain kue buat Ibuku, lagi pengen makan kue katanya dia.” Aku memutar bola mataku jengah, mendengar kalimat dengan nada lembut yang berupa
Ghea"Lah, lo di sini, Ghe? Itu si Lendra nyariin lo juga." Aku hanya tersenyum bodoh saja waktu Lhambang datang menghampiriku yang sedang berdiri di loby dalam kantor dengan tampang bingung.Seneng sih aku bisa melihat wajahnya pagi-pagi gini, apalagi yang barusan aku lihat itu wajahnya Lhambang yang imut abis. Saat dia menghampiriku dengan ekspresi wajah seperti itu rasanya aku ingin sekali berlari menghampirinya lalu menciumi kedua pipinya gemas, tapi aku sadar diri jika itu dosa. Itu hanya pemikiran liarku saja yang mungkin nanti akan berubah menjadi kenyataan, yah 'kan, apa salahnya kita berdoa dulu. Siapa tahu Tuhan mengabulkan doa kita dengan cepat bisa jadi kita juga 'kan yang akan bahagia nantinya? Lagi pula, siapa sih orang yang tidak akan bahagia jika keinginannya yang sudah lama ia pendam terkabul?Semua orang di dunia ini
GHEAAku dibawa ke rumah sakit oleh Tissa dan juga Syailendra, apa yang mereka pikirkan saat menolongku aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah Tissa yang menangis saat dia melihatku di dalam kamar dalam kondisi yang tidak mau aku jelaskan, lalu dia pun menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit. Dia terus mengusap punggungku tanpa mengatakan apapun, karena mungkin memang hanya itulah yang bisa dia lakukan, mengusap punggungku dan kemudian menangis. Syailendra tidak berbicara apapun padaku, sampai saat ini sampai kami tiba di rumah sakit dia tidak berbicara apapun padaku. Di UGD ini, aku hanya di temani Tissa, Syailendra sedang berada di luar ruangan menunggu Ibuku datang.Padahal aku sudah mengatakan kepadanya kalau dia tidak usah memberitahu kan Ibuku soal kondisiku saat ini, dan memang benar dia tidak memberitahukannya kepada Ibuku tapi dia malah memberitahu kakakku, jadilah sekarang Ibuku mengetahui bagaimana kondisi anak bungsunya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hi
TISSAAku berkali-kali mendapati Syailendra bergerak gelisah saat mengemudi. Berkali-kali pun jawabannya saat menanggapi obrolannya denganku tampak tidak nyambung, singkatnya. Syailendra sedang tidak fokus saat ini dan sialnya aku tahu kenapa dia jadi tidak fokus seperti itu. Berkali-kali aku memikirkannya, berkali-kali itu juga aku jadi kesal dibuatnya.Aku tidak bertanya kenapa kakaknya Ghea menelpon dan mengirimnya pesan, telponnya memang tidak dia angkat tetapi pesannya dia baca sehingga hal itulah yang membuat aku jadi kesal sendiri sebab setelahnya Syailendra terlihat sekali tidak fokus saat ini. Untungnya, hanya aku yang ikut di mobil Syailendra kalau betulan Mamaku juga ikut disini, bisa dipastikan suasana akan berubah menjadi canggung.Sejujurnya, aku penasaran sekali tentang apa isi pesan kakaknya Ghea kepada Syailendra sehingga pesan itu bisa membuat Syailendra menjadi seperti ini. Tapi, disatu sisi pun aku merasa bahwa aku tidak berhak bertanya sebab aku bukan siapa-siapa
SYAILENDRAPagi hujan, siang cerah. Kondisi cuaca Jakarta memang tidak bisa dipresiksi semaksimal mungkin, aku hampir saja merutuki cuaca karena mereka hari ini aku terpaksa datang dengan salah konstum. Kalau tahu siang hari ini tidak akan turun hujan juga seperti pagi hari tadi, mana mau aku datang ke kedai kopi kakaku dengan swetter panas begini.Yah, tapi apa mau dikata deh. Sudah kejadian, lagipula mau datang pakai baju apapun aku, aku yakin aku masih dan akan sangat terlihat tampan.Hahaha ...Kok aku geli sendiri ya mendengarnya? Biarlah, aku kan jomlo, tidak ada yang memuji aku ganteng lagi sekarang jadi biarkan saja aku memuji diriku sendiri saat ini."Kenapa sih?""Hah? Apa? Apa yang kenapa?""Kamu kenapa?""Aku?" aku menunjuk diriku sendiri saat Tissa bertanya aku kenapa, aku kamu dengan Tissa memang hal yang baru tapi entah kenapa aku nyaman dengan kata ganti Lo-Gue diantara kami ini. "Aku kenapa?""Kayak orang bingung." Tissa menggaruk kecil hidungnya, kemudian melemparkan
GHEAMalam minggu kemarin, aku tidak pulang ke rumah Ibuku. Aku juga tidak masuk lembur, padahal hari sabtu kemarin adalah hari dimana aku seharusnya bekerja lembur tapi aku tidak melakukannya sebab Lhambang tidak memperbolehkan aku untuk pergi ke kantor. Jadi, dari pada wajahku kena tampar lagi olehnya lebih baik aku menurut saja dan mengatakan kepada pihak kantor kalau aku sedang sakit.Yah, walaupun aku tidak menjamin alasan itu akan diterima oleh atasanku mengingat lembur kemarin adalah aku yang meminta sendiri dan aku juga yang membatalkan senaknya. Aku meminta lembur karena aku butuh uang lebih diakhir bulan nanti, tentu saja untuk mengganti uang yang aku pinjam untuk Lhambang, aku berjanji untuk menggantinya meskipun aku meminjam uang tersebut kepada kakakku."Ghe?" Itu suara Lhambang, yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri Lhambang di dalam kamar, aku tidak mau kena omel lagi hanya karena aku terlalu lama menghampirinya padahal katanya jar
TISSASelimut yang masih menyelimuti tubuhku, pendingin ruangan yang masih menyala serta hujan yang mengguyur bumi menjadi saksi bahwa hari mingguku kali ini benar-benar sangat nyaman. Masih menscroll media sosial, dari satu aplikasi lalu ke aplikasi berikutnya jam sembilan pagi ini aku masih betah tidur-tiduran diatas kasurku.Tumben sekali, biasanya Ibuku akan masuk kamar lalu menyuruhku untuk bangun. Setidaknya untuk membantunya membereskan rumah yang sebenarnya selalu rapih ini atau sekedar olahraga bersama keliling komplek dan berakhir singgah di pasar untuk membeli kebutuhan rumah. Tapi hari minggu kali ini agak berbeda, sedikit lebih tenang dan sedikit lebih membahagiakan karena ketika aku bangun ada satu pesan yang selalu aku mimpikan untuk masuk ke dalam ponselku ketika pagi tiba. Yap! Chat dari Syailendra yang berhasil membuat pagiku yang sedang mendung ini menjadi lebih berwarna.Pesannya memang bukan sebuah pesan yang romantis, dipesan itu Syailendra hanya membalas pesanku
SYAILENDRAHari ini aku berjanji untuk berkunjung ke rumah Tissa, tapi sebelum berkunjung aku sudah menyempatkan diri datang ke tukang martabak pinggir jalan. Bukan abang-abang yang sedang berdagang di pinggir jalan melainkan di sebuah toko yang letaknya kebetulan berada di pinggir jalan, katanya ayahnya Tissa sangat suka martabak telur di tempat ini sebab itulah aku membelikannya martabak telur saja sebagai bawaanku malam ini. Karena aku bingung, apa yang harus aku bawa ke sana. Niatku hanya ingin bertamu karena Ibunya Tissa mengundangku untuk makan malam, jadilah aku ke sana malam hari ini selepas pulang bekerja. Ini pun aku datang agak telat, biasanya memang aku pulang sore tetapi tadi ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini juga makanya aku datang agak terlambat sedikit."Ndra!" Seseorang memanggil namaku dari arah belakang, ketika aku menoleh. Aku sudah menemukan seseorang yang sangat aku kenali sekali.Karena itulah, sembari tersenyum aku melangkah mendekatinya
GHEAPada akhirnya Lhambang mengantarkan aku pulang ke rumah, dengan mengancam perihal mobil yang akan aku ambil barulah dia mau mengantarkan aku pulang ke rumah. Sepanjang jalan menuju rumahku ini dia terus-terusan mengoceh perihal ini dan itu membuatku makin malas untuk meladeni dirinya. Bukan, ini bukan pekara aku yang sudah tak cinta lagi dengannya tapi ini perkara harga diri. Sampai saat ini aku masih menyukainya, saat ini aku hanya sedang memberikan pelajaran saja bagi dirinya kalau dia tak boleh semena-mena dengan diriku karena semua yang dia pakai dan gunakan saat ini adalah milikku. Jadi satu-satunya orang yang boleh sombong dan semena-mena itu adalah aku."Kamu masih marah sama aku?" Sambil menyetir, dia menoleh padaku sesekali untuk melihat ekspresiku saat ini. "Ghe?""Hmm?" Tadinya aku masih enggan untuk menyahuti dirinya t
GHEATiada satupun dari kita yang selalu tertawa tanpa hadirnya air mata. Namun Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kadar kemampuan nya. Aku selalu ingat ketika Syailendra ceramah mengenai hidup manusia, dulu ketika Syailendra mengatakan kata-kata bijak perihal hidup aku tak pernah sama sekali mendengarkan apa yang dia katakan dengan seksama. Tapi kadang-kadang kata-katanya itu bisa masuk ke dalam pikiranku dengan sendirinya, membuat aku berpikir kalau apa yang dia katakan itu sebenarnya memang benar. Akunya saja yang selama ini menolak ini dan itu perihal perkataannya padahal perkataannya itu adalah benar, sangat-sangat benar dan memang fakta."Udah?" Aku menoleh pada Lhambang yang baru saja keluar dari kamar mandi."Apanya yang udah?""Transfer ke aku, udah belum?" Katanya santai sambil
SYAILENDRADulu waktu umurku masih belasan tahun, sering berkata kepada teman-temanku kalau nanti ketika aku ingin menikah aku pasti tak perlu pusing mengajak wanita manapun untuk menikah. Aku tampan, aku kaya. Keluargaku baik, aku juga bukan tipekal orang yang suka macam-macam. Siapa yang tak mau denganku? Pastilah mau, karena pada saat kita ada di umur-umur belasan tahun sesorang hanya akan mengagumi orang lain hanya dari kemewahan. Ketulusan hati? Tak perlu, pada umur-umur belasan tahun aku tak pernah memikirkan perihal hati. Semuanya dengan mudah bisa aku dapatkan kalau aku kaya dan hidup berkecukupan, wanita manapun pada saat umur belasan tahun pasti akan memikirkan hal yang sama.Tapi diumurku yang sekarang, yang hampir mencapai angka tiga, saat ini aku lebih memilih mengagumi seseorang karena ketulusan hatinya. Sebab itulah mungkin saat ini aku selalu gagal perihal per