Aninda Ghea
Aku kesal dengan Syailendra. Hobi membuatku malunya makin jadi saja.
Aku tidak masalah jika dia memanggil panggilan sayang beautiful hanya saat bersamaku atau saat kami sedang bersama dengan Lambang juga Tissa.
Tapi lama kelamaan aku jengah juga dengan sapaannya itu. Bikin malu ternyata.
Semenjak menjemputku di lobi kantor, sampai berjalan masuk ke dalam apartemen Syailendra untuk berganti baju sebelum akhirnya berangkat ke rumahnya, dia tidak henti-hentinya memanggilku beautiful dengan suara yang kencang. Hal hasil setiap orang yang mendengar itu langsung menoleh dan memandangi aku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menyebalkan bukan?
Karena itu aku dengan sangat kerendahan hati yang besar meminta Syailendra berhenti memanggilku dengan sebutan itu, malu kubilang. Tapi dia menolak, dengan alasan apapun dia menolak berhenti memanggilku beautiful. Hal itulah yang membuat moodku buruk dan berdampak tidak bersemangatnya aku mengikuti acara makan malam keluarga ini.
Masih sayang adalah alasan yang akan ditoleransi oleh pasangan ketika berbuat salah. Tapi disini, aku tidak sepenuhnya menyayangi Syailendra jadi aku tidak akan mentoleransi kesalahannya yang itu.
“Kamu masih marah?” di sebelahku Syailendra bertanya, makan malamnya sudah selesai dan sekarang kami hanya sedang ngobrol-ngobrol biasa saja. Aku memilih memisahkan diri dengan alasan pekerjaan padahal sedari tadi aku hanya sibuk lihat-lihat i*******m.
“Menurut kamu sih gimana?” aku menjawab tanpa melepaskan pandangan dari ponselku, sengaja ... malas memang melihat wajah Syailendra.
“Marah,” katanya. Berangsur duduk lebih dekat denganku. “Maaf...” dia melanjutkan kalimatnya, memandangku.
“Berhenti panggil aku beautiful kalau gitu.” Lewat ekor mataku, aku melihat dia menggeleng. Sekeras kepala itu memang Syailendra. Kalau katanya tidak, dia akan selamanya berkata tidak. Sedikit aku mulai mengenali dirinya, dia itu tipe orang yang tidak mudah goyah prinsipnya.
Malam ini juga hadir Kakak pertamanya Syailendra, juga kedua adiknya. Adik Syailendra yang paling bungsu baru saja datang dari Yogyakarta. Dia baru lulus dan akan melanjutkan kuliah di sini, Jakarta.
Syailendra memang yang paling beda dengan semua saudara-saudaranya. Kakaknya—Bumi, tidak banyak bicara dan yah apa adanya. Tipe-tipe orang yang jalan hidupnya lurus-lurus saja. Sementara Syailendra dia banyak bicara, terlalu aktif dan bahkan terkesan alay. Menurutku.
Kesan pertama bertemu Syailendra pasti penilaian orang terhadapnya adalah dia lelaki yang sempurna. Dia tampan, murah senyum, baik dan lain sebagainya tapi siapa yang sangka jika dibalik itu semua Syailendra mempunyai sifat manja. Manja yang benar-benar manja sekali.
Bagaimana bisa aku mencintainya, sedangkan dia saja tidak punya hal-hal istimewa yang membuat aku mencintainya.
Tapi ngomong-ngomong, aku jadi kepikiran ucapan Tissa tadi sore. Sebenarnya, Ge. Dia itu cemburu tapi dia diam. Sebenarnya juga Ge, gue tau, tapi gue juga sama kayak Syailendra. Diam.
Kalau tidak salah begitu tadi dia bilang. Perasaan tidak enak mungkin muncul saat aku bersama Tissa tadi, jadi, dia tau? Dia tau kalau aku naksir pacarnya? Dia tau? Kalau aku sering membandingkan-bandingkan Syailendra dengan Lambang? Apa Syailendra diam-diam curhat dengan Tissa?
“Kamu ... Punya kontaknya Tissa, 'kan?” tanyaku. Masih setia memandang layar ponselku.
“Kontak Tissa? Punya, kenapa?” Syailendra menjawab setelah dia bersin. Saat kulit tangannya menempel pada kulit tanganku tadi, aku sempat merasakan jika suhu tubuhnya memang sedikit panas. Apa dia sakit?
“Kamu sering kontekan sama dia?” aku berhenti memainkan ponsel dan menaruhnya di atas meja, saat aku menoleh Syailendra tersenyum.
“Enggak tuh, kenapa sih emang?” dia menaikan sebelah alisnya, memandangku dengan pandangan yang heran.
“Yaaa gak apa-apa, cuma nanya aja.”
“Enggak biasanya kamu nanyain soal Tissa, biasanya juga yang kamu bahas si Lambang.” Mendengar jawabannya itu, aku langsung memutar bola mata malas. Dia nyindir?
“Itu baru mau aku bahas sekarang,” kataku, sedangkan Syailendra kini sudah tertawa.
“Gak bisa apa kita bahas kita aja? Gak usah mereka?” aku menghembuskan napas keras-keras, apa yang mau dia bahas soal kami?
“Apa yang perlu kita bahas emangnya?” aku menoleh lagi, memandangnya.
Dia terkekeh, aku mengamati nada kekehannya itu dan ya, mungkin Tissa benar. Aku terlalu kelewatan dengan Syailendra. Hubungan ini tidak sehat, apakah harus aku akhiri saja?
“Banyak, Ge. Banyak yang perlu kita bahas. Sadar gak sih kamu kalau selama kita berhubungan nama Lambang gak pernah absen kamu bahas setiap hari?” aku diam mendengarkan, memikirkan kata-kata Syailendra barusan kenapa membuatku terusik? Biasanya aku baik-baik saja saat dia mengeluhkan apapun tentang Lambang, tapi kenapa sekarang...
“Syailendra, kamu 'kan tau kalau aku naksir Lambang, sampai sekarang pun aku masih naksir Lambang.” Kataku ringan, seolah-olah kata-kataku itu tidak akan pernah menyakiti siapapun.
“Ghea, sampai sekarang juga aku masih naksir kamu. Sampai sekarang juga, kamu masih jadi manusia favorit aku. Gak bisa kamu syukuri itu aja? Gak bisa kamu terima aku aja apa adanya?” mendengar kalimatnya, aku sontak menatapnya lagi, kali ini dia berbicara dengan nada suara yang serius membuat aku semakin merasa bersalah.
“Kalau kita putus, gimana, Ndra?” aku berkata ringan kembali, dan melihat kali ini dia tersenyum.
Setelah itu, tidak ada lagi ekspresi apapun yang aku lihat dari wajahnya selain senyumnya tadi. Dia masih tersenyum sambil sesekali mengusap lehernya, tapi ini bukan seperti Syailendra yang aku kenali. Biasanya dia akan langsung membantah jika tidak suka, bukannya malah diam dengan waktu yang cukup lama.
Dipaksain seperti apapun, kalau dasarnya memang tidak suka ya akan tetap berakhir tidak suka. Diterima seperti apapun, kalau niatnya memang menolak ya pasti akan tertolak terus.
Begitulah gambaran hatiku untuk seorang Syailendra Akbar Gibran. Waktu aku mau membuka hati menerimanya aku ragu, apa dia memang sesetia ini orangnya? Apa memang dia menyayangi aku setulus ini? Apa benar selama ini dia memang mencintaiku? Syailendra dengan perangainya yang terkenal fakboi abis membuat aku lagi-lagi merutuki diriku yang sampai bisa berurusan dengannya sampai sejauh ini.
“Jujur yah, Ge. Aku tuh udah lama nunggu kamu ngucapin kata itu ke aku.” Mendengar kata-kata itu, kepalaku terasa kaku. Tidak bisa bergerak kemanapun selain memandang wajahnya.
“Ngapain nungguin?” senyumnya tertarik sangat lebar. Aku, baru pertama kali melihat dia tersenyum seperti ini.
“Yaa gak ngapa-ngapain, cuma mau tau aja sejauh mana kamu sanggup pura-pura.” Dia menghela napas berat.
Dia sadar ternyata, jika selama ini aku masih berpura-pura. “Maaf...”
“Kamu bener gak sayang sama sekali sama aku? Meskipun aku udah jungkir-balik bikin kamu senyum, gak ada gitu sedikit aja rasa kamu buat aku?” aku tersenyum, kejujuran apa lagi yang ingin dia dengar?
“Cara aku natap kamu dan Lambang aja beda, Ndra. Kamu harusnya ngerti jawaban itu.” Dia meraih satu tanganku, untuk dia genggaman.
“Harus banget putus, Ge? Kalau pun kita putus, belum tentu kamu bisa dapetin Lambang, 'kan? Aku cuma kurang usaha aja kali ya, Ge?” usaha dia sudah terlalu banyak, tapi memang dasar akunya saja yang tidak ingin dia.
“Usaha kamu udah banyak, Ndra. Tapi emang akunya aja yang gak bener-bener niat nerima kamu.” Dia makin erat menggenggam tanganku.
“Kasih aku waktu lagi, Ge. Sedikit lagi aja buat usahain sayang kamu ke aku, ya?”
“Percuma, Ndra ....” mendengar jawabanku, Syailendra menundukkan pandangannya, memandang genggaman tangan kami yang saling bertautan. Ekspresinya terlihat sedih, apa iya dia memang sesayang ini denganku? Dia ... Tidak sedang berakting, 'kan?
“Gak ada yang percuma, Ge. Aku yakin aku bisa.” lihat, 'kan? Dia masih sekeras kepala itu mempertahankan aku. Inilah Syailendra yang aku kenal.
“Buktinya, selama ini kamu gak bisa bikin aku sayang yang bener-bener sayang ke kamu 'kan, Ndra?” ujarku masih tidak mau kalah.
“Kamu tau gak salahnya di mana?” dia bertanya.
“Di kita lah, aku yang selalu nolak dan kamu yang gak mau ngerti. Kita salah, hubungan ini salah, makannya itu aku gak bisa ngerasain sayang yang bener-bener sayang ke kamu.” Setelah berkata seperti itu, hening menemani kami selama beberapa menit. Aku mendengar Syailendra beberapa kali menghembuskan napas keras-keras sepertinya dia sedang menahan emosi.
“Bukan di situ, Ge. Letak salahnya.” Mendengar suaranya aku menoleh lagi padanya, sedangkan dia, masih setia menatap lurus, menatap taman kecil yang berada di hadapan kami.
“Terus di mana letak salahnya menurut kamu?”
“Letak salahnya ada di saat kamu yang masih mau terus ada di sekitar Lambang dan aku yang gak bisa tegas ke kamu soal Lambang. Aku, terlalu baik ke kamu sampai-sampai lupa kalau sebenarnya aku pun ada hak buat ngatur kamu, karena aku pacar kamu.” Dia tersenyum sebentar, tapi tetap tidak menatapku.
“Nggak gitu, Ndra. Dari awal 'kan kita udah sepakat buat nggak ngatur satu sama lainnya. Aku juga bilang kalau aku gak suka kamu ngatur-ngatur aku dengan Lambang, aku gak suka jaga jarak dari Lambang dan kamu tau itu.” Bukan Syailendra yang terkejut mendengar kalimat itu, melainkan aku. Kok, kesannya aku egois sekali ya?
Dan, apa memang aku seegois ini?
Setelah memandangiku cukup lama, akhirnya Sayilendra berkata. “Ayok kita coba sekali lagi, tapi dengan kita yang gak usah melakukan interaksi apapun dengan Tissa juga Lambang. Ayok kita lihat, apa aku masih gak bisa buat kamu suka aku. Ya?”
Setelah sekian lama berhubungan, baru kali ini aku melihat Syailendra yang meminta dengan benar-benar meminta. Permintaannya terdengar tulus membuat aku sungkan menolak.
“Aku setuju tapi gak dengan jaga jarak dari mereka.” Kataku.
“Kenapa?”
“Bukannya bagus, kalau kamu bisa bikin aku sayang kamu sekaligus lupain Lambang?”
“Tapi aku perlu kamu janji satu hal,”
“Apa?”
“Di sini,” dia menyentuh mulutku dengan tangannya. “Jangan sering-sering ngucap nama Lambang waktu sama aku.” katanya. “Di sini,” lalu dia sentuh kepalaku. “Jangan pikirin Lambang dengan semua kebaikan dan kelebihannya tapi sering-seringlah mikirin aku dengan segala kurang dan keras kepalaku.” lanjutnya. “Terakhir di sini,” dia menunjuk hatiku. “Terima aku dengan ikhlas.” Akhirnya.
Mudah bukan? Iya, terdengar sangat mudah memang. Tapi begitu sulit untuk kuiyakan karena memang sesulit itu rasanya.
Dan ketika, satu kalimat lagi yang dia ucapkan terdengar di telingaku, rasanya duniaku memang harus dipaksa berpusat padanya.
“Dia yang bahkan gak tau kalau kamu suka dia dan sampai rela mengacuhkan banyak hati hanya demi menunggu dia lihat kamu, gak pantas untuk kamu ingat dan kamu bangga-banggakan.” Aku tidak langsung tersenyum, melainkan berpikir. Haruskah kuangguki semua keinginannya tadi?
“Aku ... Nggak bisa, Ndra. Enggak bisa.” Aku menggeleng lemah.
Tuhan, sudah malu rasanya aku menghadapi dia. Kali ini saja aku hanya ingin meminta dia mengerti.
Mungkin perpisahan ini akan menjadi salahku, aku mungkin tidak sadar apa yang sudah aku lakukan padanya. Aku terlalu fokus pada Lambang, sehingga lupa mungkin benar Syailendra jauh lebih baik dari Lambang. Karena Syailendra, tak pernah sedikitpun meninggalkan aku meskipun semua sikapku buruk padanya. Berkali-kali aku coba berpikir untuk menerima dan memulai tapi rasanya sulit...
“Kamu tetep mau putus?” setelahnya yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk. Mengiyakan pertanyaannya itu, karena memang sepertinya aku harus merasakan kehilangan dulu baru bisa mengerti.
“Iya, Ndra ... Aku, mau putus.” Kupikir dia akan marah, tapi responnya terlalu tidak bisa kuprediksi. Dia makin erat menggenggam tanganku, dia tertawa ... Lalu tak lama ada air mata yang keluar dari matanya. Tawa itu perlahan-lahan berubah, menjadi isak tangis.
Itulah tangisan pertama Syailendra yang kulihat. Tangisan yang dia tunjukkan karena takut kehilanganku, tangisan yang seolah-olah memohon agar aku tidak meninggalkannya.
Aku ingat dulu, ketika dia pertama kali mengenalkan aku pada Ibunya, wajahnya ceria, senyum tak henti-hentinya ia pancarkan dari wajahnya. Bahkan, hari itu kukira Syailendra adalah manusia yang tidak akan pernah bisa menangis karena putus cinta.
Bu, aku mau ngenalin perempuan. Ini namanya Ghea, Aninda Ghea lengkapnya. Cantik 'kan Bu? Oh iya, selain cantik Ghea juga anaknya ceria, cocok sama Syailendra. Ghea juga perhatian, lucu lagi mukanya kalau lagi marah. Tapi Bu, dia belum sayang sama Syailendra, baru suka aja kata. Doain Ghea yah Bu, biar sayang sama Syailendra. Ibu jangan khawatir, Ghea anaknya enak kok di ajak ngobrol, ibu kalau bosen bisa ajak Ghea ngobrol. Tenang Bu, Ghea tipe anak yang sayang banget sama orang tuanya, karena itu Syailendra pilih dia. Jangan kebanyakan muji Ghea juga tapi Bu, sebab dia kalau lagi malu-malu karena dapat pujian jadi tambah cantik.
Itu kata-kata yang Sayilendra katakan pada ibunya hari itu. Hari di mana ibunya menyambutku dengan senyum, Hari di mana ibunya berterima kasih karena mau menerima anaknya yang nakal itu. Hari di mana aku, akhirnya masuk lebih jauh ke dalam hidup Syailendra Akbar Gibran.
Seperti disambar petir, rasanya aku terkejut bukan main saat Syailendra tiba-tiba saja berlutut di hadapanku. Aku tidak ingin begini, aku hanya ingin berpisah secara baik-baik.
“Ghe... Jangan t—”
“Jangan gini, Ndra. Aku gak enak sama keluarga kamu. Ayok bangun.” Kusentuh kedua tangannya, membantunya untuk bangkit dan kembali pada posisinya semua.
Ketika dia sudah duduk kembali, wajahnya masih tertunduk. Tangisnya masih terjadi tanpa suara membuat aku spontan memeluknya untuk menenangkan. Syailendra, laki-laki ini, yang selalu siap menerima hal buruk dari diriku. Yang selalu bertanggungjawab atas apapun yang terjadi padaku, yang tidak meninggalkan aku dalam kondisi tersulitku, dan yang paling sering memberi kabar dan menanyakan kabarku juga keluargaku.
“Ini yang terbaik, Ndra. Percaya deh.” Kutepuk-tepuk punggungnya, dengan lembut.
Tidak ada kata apapun yang Syailendra katakan padaku sampai pelukan kami terlepas. Bahkan, dia tidak mau menatapku sampai dia mengantarkan aku pulang.
Perlahan, kusentuh punggung tangannya saat dia akan berbalik pergi setelah berpamitan kepada orang tuaku. Dia menoleh, tapi tak menaikan pandangannya.
“Gantian nih, kamu yang marah?” kutanya begitu, tapi dia tersenyum, jenis senyuman andalannya yang sudah kuhafal.“Enggak lah, ngapain. Pergi dulu ya, Ge. Besok kalau mau di jemput bilang aja. Meskipun udah jadi mantan, buat kamu aku always free, kok.” Di terkekeh di akhir kalimatnya, dan benar-benar pergi meninggalkan aku begitu saja di depan rumah.
Biasanya saat pergi, mobil itu akan membunyikan klakson atau menurunkan kaca samping lalu tangan Syailendra dengan heboh bergerak ke kiri dan kanan sambil mengucapkan kata dadah beautiful dengan kerasnya. Tapi ini tidak, mobil itu berlalu begitu saja, tanpa membunyikan klakson juga menurunkan kaca samping.
Tidak apa-apa, mungkin Syailendra masih perlu waktu untuk menerima situasi ini. Mungkin juga, setelah ini aku jadi mengerti apa sebenarnya arti Syailendra selama ini di hidupku.
Tapi satu hal yang aku benarkan tentang sebuah quotes yang aku baca tadi bahwa diam adalah cara pamit yang paling sakit.
Sedari tadi Syailendra hanya diam, semenjak kami resemi berputus secara baik-baik yang dia lakukan hanya diam. Aku masih mengijinkan Sayilendra ada di sekitarku, aku juga tidak akan memblokir kontak dan semua akses yang terhubung dengannya.
Karena putus baik-baik artinya berhenti secara baik-baik, tidak mendendam tidak juga pura-pura menerima.
“Yaudah kalau itu keputusan kamu, aku hargai. Tapi, jangan larang aku untuk terus berusaha ya, Ge?” katanya sebelum meninggalkan rumahnya tadi.
“Iya, Ndra. Tapi jangan maksa ya? Karena dipaksa dan memaksa itu gak enak.” Kuingat aku menjawab begitu pertanyaannya saat itu, dan dia hanya tersenyum.
Aku bukan tipe orang yang bisa bilang aku kangen kamu secara terus terang. Tapi saat sesekali mengingat dia—yang selalu mengucapkan kata itu padaku padahal kami baru saja bertemu. Rasanya, aku sedikit senang mengingat hal itu. Dan, terkadang mungkin hal-hal absurd seperti itu yang akan membuatku menyesali keputusanku yang memilih untuk melepaskan Sayilendra.
Tapi jika tidak begini, aku hanya akan terus menyakiti Syailendra sehingga dia mungkin kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan seseorang yang bisa menghargai keberadaan juga usahanya.
.
....SYAILENDRA."Nungguin Ghea, Ndra?" Sebuah suara membuat pandanganku teralihkan, aku menoleh, lalu memutar bola mata saat mengetahui siapa yang menyapaku tadi."Iya nih, lo liat Ghea, Lham?""Kalian gak berangkat bareng memang?" Lhambang berjalan mendekat, lalu ikut bersandar pada badan mobilku."Kebetulan lagi gak bareng, sih." Males banget aku kalau bilang kami udah putus ke dia, hiiiy nggak kebayang aku gimana reaksinya. Karena ekspresi wajah Lhambang tuh susah banget buat ditebak kayak kakakku—Bumi, jadi aku rada-rada nggak bisa menilai, gimana sebenarnya Lhambang melihat Ghea. Apa dia benar-benar tidak tertarik, atau hanya sekedar pura-pura tidak tertarik saja padanya."Lo udah hubungi? Atau emang lo lagi berencana mau ngasih dia kejutan?
Ghea“Makanan nggak akan habis kalau cuma dilihatin, Ghe.” Tissa duduk disampingku, menaruh makananya dan menoleh padaku dengan cengiran jenakanya.“Lo sendirian?”“Keliatannya?” Tissa menyahutiku acuh tak acuh sambil mulai memakan makanan siangnya, bento rupanya. Kelihatannya sih enak.“Tumben Lhambang nggak ngikut?” Kalimatku kali ini membuat Tissa menoleh padaku sebentar, namun itu tak berselang lama. Karena setelah aku melihat pandangan heran dari matanya, cepat-cepat ia memalingkan wajah lagi.“Kan gue udah bilang, dia lagi sibuk-sibuknya.”“Oohh ... Masih sibuk.” Tissa tidak menjawab kata-kataku, mungkin dia sedang terheran-heran d
GheaMau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu ... Engkau disana ... Aku disini, meski hatiku memilihmu. Sejak duduk dibangku kafe ini, entah sudah berapa kali aku mendengar band kafe ini menyanyikan lagu milik Raisa tersebut. Di hadapanku, ada Syailendra. Dia memaksaku untuk ikut pulang dengannya, katanya dia akan mengantarkan aku pulang dengan selamat sampai di rumah hitung-hitung sekalian nostalgia. Itu sih katanya, tapi kalau sudah begini ceritanya ini bukan lagi nostalgia. Tapi dia sedang terus berusaha untuk mengajakku kembali padanya, memangnya aku tidak tahu apa jika dia mengeluarkan uang lebih untuk para personil ban
Syailendra“Apa yang harus aku syukuri karena punya kamu, Ndra?” Anjrit. Apa yang harus dia syukuri karena punya aku katanya? Yah, maksudku. Meskipun aku ini tidak ada harga dirinya sama sekali di mata Ghea tapi apa sih salahnya ketika dia punya aku sebagai pasangannya dia mensyukuri itu? Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga itu memang jauh lebih indah, tapi mensyukuri apa yang kita punya itu bukannya jauh lebih indah? Buat apa iri dengan kepunyaan orang lain kalau yang kita punya saja itu jauh lebih indah dari milik orang lain, seharusnya Ghea berpikiran seperti itu entah kemarin atau saat ini.“Wah, aku nggak nyangka banget kamu bisa jawab begitu sadis, Ghe.” aku hanya tertawa bodoh, ketika mengatakan kalimat barusan.“Yah makanya, udah lupain aja aku. Kamu move on, cari yang
TissaSetiap orang di dunia ini pasti mempunyai kriteria masing-masing untuk memilih pasangannya, ada yang suka cowok ganteng, ada juga yang suka cowok biasa aja. Ada yang menyukai cewek cantik, dan ada juga cowok yang nenyukai cewek yang biasa-biasa saja. Semua orang punya tipenya masing-masing, dan setiap orang akan punya waktunya tersendiri dimana dia akan terlihat sangat tampan atau cantik. Dan bagiku, nilai plus seorang cowok adalah ketika mereka menunjukan raut wajah khawatirnya ketika pasangannya terluka. Atau kadang kala, ketika mereka sedang fokus melakukan hobinya. Bukan hobi bermain cewek ya ini melainkan hobinya yang berbau-bau olahraga atau semacam hal-hal yang mereka sukai.“Tiss, nanti kamu tolong mampir ke toko kue dulu ya pulangnya? Bawain kue buat Ibuku, lagi pengen makan kue katanya dia.” Aku memutar bola mataku jengah, mendengar kalimat dengan nada lembut yang berupa
Ghea"Lah, lo di sini, Ghe? Itu si Lendra nyariin lo juga." Aku hanya tersenyum bodoh saja waktu Lhambang datang menghampiriku yang sedang berdiri di loby dalam kantor dengan tampang bingung.Seneng sih aku bisa melihat wajahnya pagi-pagi gini, apalagi yang barusan aku lihat itu wajahnya Lhambang yang imut abis. Saat dia menghampiriku dengan ekspresi wajah seperti itu rasanya aku ingin sekali berlari menghampirinya lalu menciumi kedua pipinya gemas, tapi aku sadar diri jika itu dosa. Itu hanya pemikiran liarku saja yang mungkin nanti akan berubah menjadi kenyataan, yah 'kan, apa salahnya kita berdoa dulu. Siapa tahu Tuhan mengabulkan doa kita dengan cepat bisa jadi kita juga 'kan yang akan bahagia nantinya? Lagi pula, siapa sih orang yang tidak akan bahagia jika keinginannya yang sudah lama ia pendam terkabul?Semua orang di dunia ini
Tissa"Yaaahhh, ketemu lo lagi ketemu lo lagi gue." Aku yang sedang mengetikan pesan untuk Lhambang mendadak menjadi tersenyum lebar dan mengunci layar ponselku dengan segera, bodo amat deh dengan Lhambang. Manusia dihadapanku ini lebih menarik soalnya."Hahaha .... iya nih, bosen nggak lo ketemu gue terus?" Dia menjawab sembari memasukan kedua tangan pada saku celannya, senyumnya lebar dan ganteng abis.Kadang kalau lagi punya pikiran begini aku suka istighfar dalam hati, yaiyalah aku istighfar orang yang lagi aku puji-puji dan kagumi ini adalah pacar orang lain. 'Kan, kalau begini kedengarannya aku seperti cewek gatel yang nggak punya kerjaan lain selain gangguin cowok orang. Tapi mau bagaimana lagi, katanya 'kan, selama janur kuning belum melengkung ya hajar saja terus. Lagi pula Ghea ini juga nggak ada otak sih, udah dapat cowok yang sempurna macem Syaile
SYAILENDRATahu ah, gondok aku sama Tissa. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu, ya itu memang haknya sih. Dia mau berbicara seperti apa juga itu haknya, hanya saja seharusnya dia bisa sedikit saja lebih prihatin gitu kepadaku. Saat ini 'kan aku sedang dalam kondisi patah hati, meskipun aku nggak tahu pasti dia tahu atau tidak kondisiku saat ini tapi setidaknya mbok ya dia jangan tarlalu kejam gitulah bicaranya kepadaku. Aku saja tadi saat dia berbicara seperti itu langsung diam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena jujur aku merasa tertampar saat Tissa mengatakan kalimat panjang kali lebar itu kepadaku tadi.Jadi yang tadi aku lakukan padanya hanyalah diam, balik badan dan pergi begitu saja dengan tampang bodoh bin tolol yang pernah aku punya. Padahal aku tahu, Ghea ada di dalam. Sedang memandangi kami dari balik pintu loby, aku tahu tapi aku pura-pura tidak
GHEAAku dibawa ke rumah sakit oleh Tissa dan juga Syailendra, apa yang mereka pikirkan saat menolongku aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah Tissa yang menangis saat dia melihatku di dalam kamar dalam kondisi yang tidak mau aku jelaskan, lalu dia pun menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit. Dia terus mengusap punggungku tanpa mengatakan apapun, karena mungkin memang hanya itulah yang bisa dia lakukan, mengusap punggungku dan kemudian menangis. Syailendra tidak berbicara apapun padaku, sampai saat ini sampai kami tiba di rumah sakit dia tidak berbicara apapun padaku. Di UGD ini, aku hanya di temani Tissa, Syailendra sedang berada di luar ruangan menunggu Ibuku datang.Padahal aku sudah mengatakan kepadanya kalau dia tidak usah memberitahu kan Ibuku soal kondisiku saat ini, dan memang benar dia tidak memberitahukannya kepada Ibuku tapi dia malah memberitahu kakakku, jadilah sekarang Ibuku mengetahui bagaimana kondisi anak bungsunya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hi
TISSAAku berkali-kali mendapati Syailendra bergerak gelisah saat mengemudi. Berkali-kali pun jawabannya saat menanggapi obrolannya denganku tampak tidak nyambung, singkatnya. Syailendra sedang tidak fokus saat ini dan sialnya aku tahu kenapa dia jadi tidak fokus seperti itu. Berkali-kali aku memikirkannya, berkali-kali itu juga aku jadi kesal dibuatnya.Aku tidak bertanya kenapa kakaknya Ghea menelpon dan mengirimnya pesan, telponnya memang tidak dia angkat tetapi pesannya dia baca sehingga hal itulah yang membuat aku jadi kesal sendiri sebab setelahnya Syailendra terlihat sekali tidak fokus saat ini. Untungnya, hanya aku yang ikut di mobil Syailendra kalau betulan Mamaku juga ikut disini, bisa dipastikan suasana akan berubah menjadi canggung.Sejujurnya, aku penasaran sekali tentang apa isi pesan kakaknya Ghea kepada Syailendra sehingga pesan itu bisa membuat Syailendra menjadi seperti ini. Tapi, disatu sisi pun aku merasa bahwa aku tidak berhak bertanya sebab aku bukan siapa-siapa
SYAILENDRAPagi hujan, siang cerah. Kondisi cuaca Jakarta memang tidak bisa dipresiksi semaksimal mungkin, aku hampir saja merutuki cuaca karena mereka hari ini aku terpaksa datang dengan salah konstum. Kalau tahu siang hari ini tidak akan turun hujan juga seperti pagi hari tadi, mana mau aku datang ke kedai kopi kakaku dengan swetter panas begini.Yah, tapi apa mau dikata deh. Sudah kejadian, lagipula mau datang pakai baju apapun aku, aku yakin aku masih dan akan sangat terlihat tampan.Hahaha ...Kok aku geli sendiri ya mendengarnya? Biarlah, aku kan jomlo, tidak ada yang memuji aku ganteng lagi sekarang jadi biarkan saja aku memuji diriku sendiri saat ini."Kenapa sih?""Hah? Apa? Apa yang kenapa?""Kamu kenapa?""Aku?" aku menunjuk diriku sendiri saat Tissa bertanya aku kenapa, aku kamu dengan Tissa memang hal yang baru tapi entah kenapa aku nyaman dengan kata ganti Lo-Gue diantara kami ini. "Aku kenapa?""Kayak orang bingung." Tissa menggaruk kecil hidungnya, kemudian melemparkan
GHEAMalam minggu kemarin, aku tidak pulang ke rumah Ibuku. Aku juga tidak masuk lembur, padahal hari sabtu kemarin adalah hari dimana aku seharusnya bekerja lembur tapi aku tidak melakukannya sebab Lhambang tidak memperbolehkan aku untuk pergi ke kantor. Jadi, dari pada wajahku kena tampar lagi olehnya lebih baik aku menurut saja dan mengatakan kepada pihak kantor kalau aku sedang sakit.Yah, walaupun aku tidak menjamin alasan itu akan diterima oleh atasanku mengingat lembur kemarin adalah aku yang meminta sendiri dan aku juga yang membatalkan senaknya. Aku meminta lembur karena aku butuh uang lebih diakhir bulan nanti, tentu saja untuk mengganti uang yang aku pinjam untuk Lhambang, aku berjanji untuk menggantinya meskipun aku meminjam uang tersebut kepada kakakku."Ghe?" Itu suara Lhambang, yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri Lhambang di dalam kamar, aku tidak mau kena omel lagi hanya karena aku terlalu lama menghampirinya padahal katanya jar
TISSASelimut yang masih menyelimuti tubuhku, pendingin ruangan yang masih menyala serta hujan yang mengguyur bumi menjadi saksi bahwa hari mingguku kali ini benar-benar sangat nyaman. Masih menscroll media sosial, dari satu aplikasi lalu ke aplikasi berikutnya jam sembilan pagi ini aku masih betah tidur-tiduran diatas kasurku.Tumben sekali, biasanya Ibuku akan masuk kamar lalu menyuruhku untuk bangun. Setidaknya untuk membantunya membereskan rumah yang sebenarnya selalu rapih ini atau sekedar olahraga bersama keliling komplek dan berakhir singgah di pasar untuk membeli kebutuhan rumah. Tapi hari minggu kali ini agak berbeda, sedikit lebih tenang dan sedikit lebih membahagiakan karena ketika aku bangun ada satu pesan yang selalu aku mimpikan untuk masuk ke dalam ponselku ketika pagi tiba. Yap! Chat dari Syailendra yang berhasil membuat pagiku yang sedang mendung ini menjadi lebih berwarna.Pesannya memang bukan sebuah pesan yang romantis, dipesan itu Syailendra hanya membalas pesanku
SYAILENDRAHari ini aku berjanji untuk berkunjung ke rumah Tissa, tapi sebelum berkunjung aku sudah menyempatkan diri datang ke tukang martabak pinggir jalan. Bukan abang-abang yang sedang berdagang di pinggir jalan melainkan di sebuah toko yang letaknya kebetulan berada di pinggir jalan, katanya ayahnya Tissa sangat suka martabak telur di tempat ini sebab itulah aku membelikannya martabak telur saja sebagai bawaanku malam ini. Karena aku bingung, apa yang harus aku bawa ke sana. Niatku hanya ingin bertamu karena Ibunya Tissa mengundangku untuk makan malam, jadilah aku ke sana malam hari ini selepas pulang bekerja. Ini pun aku datang agak telat, biasanya memang aku pulang sore tetapi tadi ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini juga makanya aku datang agak terlambat sedikit."Ndra!" Seseorang memanggil namaku dari arah belakang, ketika aku menoleh. Aku sudah menemukan seseorang yang sangat aku kenali sekali.Karena itulah, sembari tersenyum aku melangkah mendekatinya
GHEAPada akhirnya Lhambang mengantarkan aku pulang ke rumah, dengan mengancam perihal mobil yang akan aku ambil barulah dia mau mengantarkan aku pulang ke rumah. Sepanjang jalan menuju rumahku ini dia terus-terusan mengoceh perihal ini dan itu membuatku makin malas untuk meladeni dirinya. Bukan, ini bukan pekara aku yang sudah tak cinta lagi dengannya tapi ini perkara harga diri. Sampai saat ini aku masih menyukainya, saat ini aku hanya sedang memberikan pelajaran saja bagi dirinya kalau dia tak boleh semena-mena dengan diriku karena semua yang dia pakai dan gunakan saat ini adalah milikku. Jadi satu-satunya orang yang boleh sombong dan semena-mena itu adalah aku."Kamu masih marah sama aku?" Sambil menyetir, dia menoleh padaku sesekali untuk melihat ekspresiku saat ini. "Ghe?""Hmm?" Tadinya aku masih enggan untuk menyahuti dirinya t
GHEATiada satupun dari kita yang selalu tertawa tanpa hadirnya air mata. Namun Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kadar kemampuan nya. Aku selalu ingat ketika Syailendra ceramah mengenai hidup manusia, dulu ketika Syailendra mengatakan kata-kata bijak perihal hidup aku tak pernah sama sekali mendengarkan apa yang dia katakan dengan seksama. Tapi kadang-kadang kata-katanya itu bisa masuk ke dalam pikiranku dengan sendirinya, membuat aku berpikir kalau apa yang dia katakan itu sebenarnya memang benar. Akunya saja yang selama ini menolak ini dan itu perihal perkataannya padahal perkataannya itu adalah benar, sangat-sangat benar dan memang fakta."Udah?" Aku menoleh pada Lhambang yang baru saja keluar dari kamar mandi."Apanya yang udah?""Transfer ke aku, udah belum?" Katanya santai sambil
SYAILENDRADulu waktu umurku masih belasan tahun, sering berkata kepada teman-temanku kalau nanti ketika aku ingin menikah aku pasti tak perlu pusing mengajak wanita manapun untuk menikah. Aku tampan, aku kaya. Keluargaku baik, aku juga bukan tipekal orang yang suka macam-macam. Siapa yang tak mau denganku? Pastilah mau, karena pada saat kita ada di umur-umur belasan tahun sesorang hanya akan mengagumi orang lain hanya dari kemewahan. Ketulusan hati? Tak perlu, pada umur-umur belasan tahun aku tak pernah memikirkan perihal hati. Semuanya dengan mudah bisa aku dapatkan kalau aku kaya dan hidup berkecukupan, wanita manapun pada saat umur belasan tahun pasti akan memikirkan hal yang sama.Tapi diumurku yang sekarang, yang hampir mencapai angka tiga, saat ini aku lebih memilih mengagumi seseorang karena ketulusan hatinya. Sebab itulah mungkin saat ini aku selalu gagal perihal per