SYAILENDRA
Tahu ah, gondok aku sama Tissa. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu, ya itu memang haknya sih. Dia mau berbicara seperti apa juga itu haknya, hanya saja seharusnya dia bisa sedikit saja lebih prihatin gitu kepadaku. Saat ini 'kan aku sedang dalam kondisi patah hati, meskipun aku nggak tahu pasti dia tahu atau tidak kondisiku saat ini tapi setidaknya mbok ya dia jangan tarlalu kejam gitulah bicaranya kepadaku. Aku saja tadi saat dia berbicara seperti itu langsung diam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena jujur aku merasa tertampar saat Tissa mengatakan kalimat panjang kali lebar itu kepadaku tadi.
Jadi yang tadi aku lakukan padanya hanyalah diam, balik badan dan pergi begitu saja dengan tampang bodoh bin tolol yang pernah aku punya. Padahal aku tahu, Ghea ada di dalam. Sedang memandangi kami dari balik pintu loby, aku tahu tapi aku pura-pura tidak tahu saja tadi agar kelihatan keren.
Sebenarnya, aku juga tahu kalau Ghea sedang menghindariku selama ini. Dia tidak mengangkat teleponku, tidak membalas semua pesanku. Bahkan, saat aku datang untuk menjemputnya pun orang-orang di rumahnya mengatakan bahwa dia sudah berangkat kerja. Apa namanya kalau begitu? Dia sedang menghindariku bukan? Aku tahu akan hal itu, tapi lagi-lagi aku bersikap seolah-olah aku tak tahu. Karena aku berpikir saat ini mungkin Ghea hanya sedang mengujiku saja seperti kemarin-kemarin, dia tidak ingin putus denganku dia hanya ingin mengujiku saja. Apakah aku sudah layak untuk menjadi pendampingnya atau belum, saat ini aku hanya berpikir seperti itu saja tidak lebih.
Sampai akhinya saat ini, yang aku lakukan hanyalah guling-guling bodoh di tempat tidur saja sejak tadi. Mikirin kata-kata Tissa tadi sore, yang mungkin akan menyadarkan aku saat ini. Mungkin memang aku harusnya melepaskan Ghea dengan ikhlas dan berkata padanya untuk tidak jatuh cinta terlalu dalam dengan Lhambang.
Mungkin saat aku mengatakan hal itu kepada Ghea, hal yang pertama kali akan dia lakukan adalah menabokku lalu mencaiku. Aku sudah hapal betul hal itu diluar kepala, karena saat aku mengatakan hal buruk tentang Lhambamg dia pasti akan langsung marah kepadaku. Seharusnya dia tidak perlu melakukan itu padaku, aku ini 'kan pacarnya saat itu. Dia jelas tahu kalau aku biara tentang seseorang itu berdasarkan fakta, aku paling anti membicarakan tentang hal yang tidak pasti mengenai seseorang kepada orang-orang di sekitarku. Karena bisa jadi nantinya itu akan menjadi fitnah, dan aku tidak ingin menambah dosa dengan memfitnah seseorang. Gila, aku kalau ngomong kaya orang bener, ya?
Jadi sekarang aku harus bagaimana dong? Mempertahankan Ghea atau melepaskannya saja? Aku ini sebenarnya mau-mau saja melepaskan Ghea asalkan orang yang akan menjadi pendampingnya nanti bukan Lhambang. Biar bagaimana pun aku tahu Ghea ini orang baik, kami kenal cukup lama jadi mana mungkin aku tega menjerumuskan Ghea?
Dan lagi itu si Tissa, kok bisa ya dia tahan lama punya hubungan sama si Lhambang? Aku yakin sebenarnya dia sudah tahu tentang sifat Lhambang, mungkin saat ini dia juga sudah jengah bersama Lhambang. Tapi kenapa dia masih menutupi semua aibnya? Kalau aku jadi dia, saat dia--Lhambang meninggalkan sebuah bukti, aku akan langsung pergi ke kantor polisi. Meminta perlindungan di sana dan juga membuat si pelaku jera akan tindakannya, bukannya malah diam saja. Bermesraan seolah-olah tidak ada hal menyakitkan yang sedang terjadi, kalau Tissa bersikap seperti ini terus bisa jadi Lhambang akan besar kepala terus seumur hidupnya.
"Ndra, belum tidur?" Abangku, bang Bumi masuk ke dalam kamarku. Tumben dia ke sini? Ada angin apa ya kira-kira?
"Belum Mas, kenapa?" Aku bangkit dari posisku dan duduk bersila di atas kasur.
"Kenapa belum tidur?" Anak sulung di keluarga kami itu masih berdiri, pandangannya datar menatapku membuatku merinding ketakutan.
"Lagi nggak bisa tidur, Mas." Karena kami tidak terbiasa mengobrol santai, aku jadi bingung sendiri harus berkata apa padanya.
"Lagi mikirin apa emang kamu? Hutang?" Satu pandangan malas lolos begitu saja dari wajahku, bisa-bisanya ya dia berkata seperti itu. Luar biasa memang kakakku ini.
Aku dan kakakku yang bernama Jalaludin Bumi Bagaisar ini memang beda sekali, dari sifat dan wajah saja sudah jelas kami berbeda. Kalau ganteng, memang gantengan dia aku tidak akn berkata kalau aku yang paling ganteng di keluarga kami. Tidak, manusia paling ganteng di keluarga kami itu ya dia. Abangku.
Dia baru saja menikah dengan pacarnya yang ia pacari sudah lama, aku tidak tahu berapa lamanya mereka berpacaran namun yang aku tahu mereka berpacaran sudah lumayan lama. Nama pacarnya Shania, perempuan beruntung yang sayangnya pernah menyelingkuhi kakakku ini satu kali. Aku tidak tahu terbuat dari apa hati kakaku ini hanya saja, kalau aku jadi dirinya saat aku tahu kalau pacarku berselingkuh aku akan meinggalkannya detik itu juga. Tidak pakai kompromi dan tidak pakai belas kasihan, pokoknya putus. Selesai the end titik. Bukannya malah di nikahi seperti yang kakakku lakukan sekarang ini, agak kurang waras sih sepertinya dia.
Saat memutuskan untuk menikahi Shania, banyak dari keluargaku yang menentangnya. Mereka bilang begini dan begitu tapi entah kenapa hasil akhirnya mereka tetap jadi menikah dan akan melahirkan anak pertama, saat ini kakak iparku itu tinggal di Paris. Dan abangku satu bulan sekali menjenguknya di sana, di Paris Shania tinggal dengan Ibu dan Ayahku. Jadi tidak mungkin 'kan dia bisa berselingkuh lagi?
Kalau dia bisa sampai berselingkuh lagi di sana mungkin aku akan menyuruh kakakku untuk memceraikan dia, tidak ada yang bisa di pertahankan dari seseorang yang gemar berselingkuh. Dan kalau semisal kakakku masih tetap mempertahankannya, aku akan buat dia memilih antara keluarga kami dan keluarganya mana yang akan dia pilih? Setahuku, dia ini tipekal orang yang sangat sayang keluarga tapi keluarga yang benar keluarga. Bukan keluarga jadi-jadian yang saat ini dia punya, meresahkan. Aku bukannya tidak menyukai Shania hanya saja kalau dia berani menyakiti kakakku sekali lagi, lihat saja.
Akan aku buat hidupnya menderita, menyesal dan sedih selalu. Masa iya dia tega menyakiti orang dan keluarga yang sudah baik kepadanya? Yang mau memaafkan kesalahannya, mau menutupi keburukannya. Dan mau menerimanya sebagai keluarga, seolah-olah kesalahannya tidak pernah ada dan terjadi. Jadi, masa iya dia tega menyakiti kami lagi?
Aduh, kok malah jadi membahas kakakku sih? Sorry, sorry ... kelepasan aku.
"Enggak, Mas. Saya belum punya hutang ke siapa-siapa." Jawabanku itu akhirnya membuat Mas Bumi beranjak dari tempatnya berdiri dan duduk di sofa yang ada di dalam kamarku.
"Sombong bener kamu." Mas Bumi hanya menjawab begitu, sedangkan aku mulai pusing harus menjawab apa lagi. Haruskah aku tertawa canggung?
"Kapan ke Paris, Mas?" Ya sudah, basa-basinya begitu sajalah dulu.
"Akhir bulan." Katanya.
"Oh, salam ya sama keponakan dan kakak ipar. Buat Ayah sama Ibu juga."
"Iya." Gumamnya ringan.
"Mas?" Harus aku usir saja kali ya? Aku 'kan, sedang galau ceritanya malam hari ini.
"Hmmm?" Tuh 'kan, irit banget lagi dia kalau ngomong. Sedangkan aku cerewet banget macam cewek.
Terus aku harus bagaimana dong sekarang? Aku bingung, sebenarnya aku ingin curhat kepadanya mengenai Ghea. Tapi aku takut kalau nanti responnya hanya ala kadarnya saja, aku kan sedang ingin di beri masukan saat ini. Kalau aku curhat sama dia, itu sama saja seperti aku curhat sama tembok.
Yah walaupun tidak bisa aku pungkiri sih, ada perasaan senang yang timbul di dalam hati ini. Karena kami sudah lama tidak nggak ngobrol berdua seperti ini, aku bahkan hampir lupa kapan terakhir kali kami bisa mengobrol bebas sebelum hari ini.
Kami sudah terlalu sibuk masing-masing, sampai akhirnya kami sadar, mungkin sudah nggak akan banyak waktu lagi sampai akhirnya istrinya melahirkan anak mereka dan dia sudah tidak tinggal di sini lagi.
"Mas ... inget Ghea, 'kan?" Mendengar pertanyaanku, sontak wajah Mas Bumi mengeluarkan ekspresi wajah berpikir.
"Ingat, kenapa?" Dahi Mas Bumi berlipat menatapku.
"Dia, minta putus Mas." Aku menghela napas berat, ketika mengatakan kalimat barusan.
Mas Bumi menatapku datar. "Terus?"
"Saya nggak mau putus." Mendengar kalimatku barusan, Mas Bumi makin menatapku datar.
"Kenapa?" Bisa lebih panjang nggak ya dia perihal merespons seseorang?
"Karena saya sayang dia." Terdengar klise, tapi memang begitulah alasannya.
"Terus?" Aku menatap Mas Bumi kesal, tidak ada jawaban lain yang bisa dia keluarkan apa ya?
"Udah nggak ada terusannya, Mas." Jawabku jutek.
"Oh, yaudah." Tatapan kesalku berubah menjadi datar seketika saat mendengar jawaban dari kakakku ini.
"Saya ini sebenernya lagi minta saran, lho, Mas."
"Oh, gitu ya?" Mendengar jawabannya makin membuatku kesal, aku jadi menyesal menyahuti perkataannya barusan.
"Ya iya emang begitu." Mas Bumi terkekeh sebentar, baru kali ini aku mendengarnya terkekeh seperti itu.
"Ya maaf, kamu 'kan tadi cuman nanya Mas inget apa enggak sama dia. Terus kamu bilang kalau kamu sama dia putus, ya Mas mana tahu kalau kamu lagi minta saran. Orang kata-kata kamu nggak terdengar seperti orang yang lagi minta saran, kok." Tumben dia ngomong panjang kali lebar?
"Emang begitu ya? Ya udah maaf, saya nggak biasa curhat soalnya." Kataku.
"Jadi, kenapa dia minta putus?" Tanyanya dengan nada kalem.
"Alasan pastinya, karena dia nggak percaya saya dan karena dia lagi suka sama orang lain." Perlu aku sebutkan nama orang yang sedang dia suka sekalian?
"Ya bagus kalau kalian putus." Setelah itu, hening menyelimuti kami. Tapi ini bukan jenis keheningan yang memuakan, dan aku menikmatinya.
"Kenapa bagus?" Mendengar pertanyaanku, Mas Bumi tersenyum.
"Karena kamu nggak akan kehilangan hidup kamu nantinya."
"Maksudnya?" Mas Bumi tersenyum sebentar, matanya tampak menerawang tapi sama sekali tidak menoleh.
"Dia minta udahan sama kamu karena dia suka orang lain, dia nggak percaya kamu ya karena hal apa? Karena kamu orang yang nggak bisa di percaya atau apa? Orang, kalau udah bilang dia suka sama orang itu dia bisa nekat ngelakuin apa aja buat orang itu jadi miliknya. Dan kita nih, orang yang bertahan mati-matian buat orang yang kia sayang itu nggak akan di lirik sama sekali. Yang ada, kamu kehilangan masa depan kamu cuma buat orang itu. Syukur kalau dia minta putus, kamu bisa ngelanjutin hidup dengan pasangan yang lebih baik." Aku terpekur mendengar jawaban Mas Bumi, merasa lengkap.
Baik, sepertinya aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.
Thanks to kakakku, Mas Bumi.
****
GheaAku baru saja tiba di kantor setelah bergulat dengan kantukku pagi-pagi buta begini. Bagaimana tidak, sudah beberapa hari ini aku berangkat dari rumah subuh buta karena menghindari Syailendra Akbar Gibran, mantan pacarku yang belum bisa move on dariku. Merepotkan? Tentu saja iya, perkara aku yang tidak mau pergi dan pulang dengannya aku jadi harus mengorbankan diriku sendiri beberapa hari ini. Bangun subuh, berangkat pagi-pagi buta dan sampai di kantor dengan keadaan kantor masih sepi begini. Aku heran dengan Syailendra, kenapa ya dia susah sekali move on padahal aku sudah jungkir balik membuat dia benci kepadaku, harus aku apakan ya dia?Aku tidak mau mempunyai hubungan buruk dengannya, biar bagaimana pun juga sebenarnya Syailendra itu orang baik. Dia memperlakukan aku dengan baik dan dia juga dari keluarga baik-baik, jadi aku sama sekali tidak ingin mempunyai hubungan
Tissa"Lah, gue nggak salah lihat ini?" Aku mengusap-usap mata beberapa kali, saking tidak percayanya dengan apa yang aku lihat saat ini. Syailendra? Di teras rumahku? Pagi-pagi ini? Dia salah alamat atau bagaimana ya?"Udah siap lo?""Udah, kenapa lo ada di sini pagi-pagi gini, Ndra?" Aku duduk di kursi sebelahnya, tempat yang tadi di duduki Ayahku untuk menemani Syailendra."Mau jemput lo, lo hari ini nggak berangkat bareng Lhambang, 'kan?" Tanyanya, Syailendra mengalihkan pandangannya ke arahku."Tumben, ada angin apa?""Angin sepoy-sepoy. Serius nih, lo berangkat barenga cowok lo nggak?" Alis Syailendra bertaut, sepenasaran itukah dia dengan jawabanku?"Enggak, dia masih
SyailendraAku tidak menyangka jika Tissa memang bisa selucu ini, kupikir dia hanya akan bersikap galak dan kalau ngomong suka nggak ngenakin aja. Tapi tadi aku sedikit mau ketawa ngakak saat melihat tingkah konyolnya, kok bisa-bisanya ya dia seambigu tadi. Orang lain mungkin akan berpikir negatif tentang kata yuk yang aku ucapkan tadi, dan Tissa salah satu dari orang lain yang berpikir negatif itu.Maksudku tadi saat mengatakan yuk padanya artinya aku mengajaknya berpamitan kepada orang rumahnya, masa iya aku datang bersalaman dengan Ayahnya dan pulang main slonong boy saja 'kan tidak sopan. Biarpun kurang iman gini aku masih tahu adat dan sopan santun kali.Tapi Tissa malah menganggap yuk ku yang tadi adalah yuk yang lain, kalau aku pacarnya saat ini mungkin yuk yang kumaksudkan a
GheaRencana PDKT? Bubar jalan.Aku sudah mempunyai niat untuk menjenguk Lhambang nanti sore selepas pulang bekerja, tadinya aku memang akan mengunjungi dia kemarin tapi kemarin aku sibuk sekali. Lembur pula, jadi aku tidak bisa menjenguk Lhambang kemarin. Dan sepertinya hari ini pun aku gagal untuk menjenguk Lhambang, kenapa? Orang yang mau aku jenguk rupanya sudah masuk saat ini. Jadi, untuk apa aku menjenguknya kalau dia saja sudah masuk. Lhambang memang masih terlihat sekali tidak enak badannya, wajahnya masih pucat dan aku masih terlalu khawatir dengan kondisinya. Kalau masih sakit begitu untuk apa juga dia masuk kerja? Lebih baik dia istirahat saja di rumah.Lhambang yang aku tahu memang gila kerja, dia anak sulung dari keluarga yang sederhana. Jadi aku mewajarkan jika dia gila kerja, dia pasti ingin memberikan khidupan yang baik
GheaAku nggak terlalu mikirin juga sih soal kata-kata Lhambang tadi pagi yang katanya nganter Ghea karena kebetulan ketemu di jalan. Tadi, saat aku kebingungan setengah mampus karena takut Lhambang marah kepadaku karena aku menjelek-jelekan Tissa secara langsung. Aku malah dibuat terkesima kepadanya karena dia malah bilang Tissa kadang emang suka ngelengkelin sih, Ghe. Wajar kalau sekarang lo marah karena Tissa bersikap begini sementara lo tahu gue lagi sakit. Gila, aku pikir tadinya Lhambang malah akan marah dan memakiku, tapi dia malah bilang begitu dan lalu berkata nggak apa-apa, nggak usah dipikirin. Gue nggak marah, santai aja.Tadinya kami memang akan langsung makan dikantin bersama, tapi sebuah mobil yang sangat aku kenali berhenti di lobi. Aku dan Lhambang sempat berhenti karena terkejut salah satu orang yang turun dari mobil itu adalah Tissa, orang
SYAILENDRAEntah aku harus bersyukur atau pura-pura mati saja saat ini, kantorku sedang kedatangan tamu penting sore hari ini. Coba tebak siapa? Yap, Ghea. Nggak angin nggak ada hujan, tau-tau mantan pacarku yang paling nyebelin ini muncul gitu aja di kantorku. Ini pertama kalinya dia datang ke sini dengan status sebagai teman bukan klien.Dulu, kami pertama kali bertemu memang disini. Di kantorku, bedanya dia datang bersama dengan kakaknya yang menjadi korban kekerasan pacarnya sendiri. Karena pacarnya itu anak orang kaya yang nggak mungkin banget dihukum apalagi sampai masuk penjara, Ghea dan kakaknya datang ke sini untuk memintaku membelanya. Hari itulah aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya.Kasusnya selesai, kami berpacaran. Sesingkat itulah pdkt kami karena memang dari awal pun aku tahu kalau Ghea hany
TISSAAku rasa ada rasa sangat wajar kalau saat ini aku ingin sekali memanggil tukang pijat lewat aplikasi ojek online untuk manjakan tubuhku yang nyaris runtuh saat ini, bagaimana tidak, baru saja aku selesai menyuci lima bak pakaian saat ini aku malah harus menyeterika setumpuk pakaian si pemilik rumah, padahal aku baru saja pulang bekerja lembur.Coba tebak deh siapa kira-kira orang yang bisa melakukan hal separah ini sama aku? Yap, tentu saja pacarku sendirilah pelakunya. Tadi saat jam pulang kerja selesai dia langsung menghampiriku ke divisiku, dia bilang dia ingin makan malam denganku tapi aku sempat menolaknya dengan mengatakan bahwa aku lembur. Tapi sialnya, dia malah mau menungguku pulang bekerja lembur.Sialan banget 'kan? Padahal aku tahu maksud dan tujuan dia mengajakku makan malam itu untuk apa, y
TISSAAda hal-hal tertentu yang terkadang membuat aku malas untuk bekerja salah satu diantaranya adalah; bertemu Lhambang. Kemarin, Ayah dan Ibuku sampai terbengong-bengong melihatku meminta uang untuk membayar taksi lalu pagi hari tadi mereka juga terbengong-bengong melihatku meminjam uang pada mereka dengan asalan akhir bulan nanti aku ganti.Mereka memang sempat menanyakan ada apa dengan aku, kemana tasku dan apa yang sebenarnya terjadi kenapa hari ini aku tak sama sekali mengenakan pakaian kerjaku malah mengenakan pakaian santai dan bangun siang hari. Kubilang saja kalau hari ini aku memang sedang malas bekerja dan ingin jalan-jalan, memanjakan diriku sendiri. Untungnya, mereka tak banyak bertanya sehingga aku bisa pergi secepat mungkin dari rumah.Dan disinilah aku saat ini, di toko roti dan kopi di sebrang kantor
GHEAAku dibawa ke rumah sakit oleh Tissa dan juga Syailendra, apa yang mereka pikirkan saat menolongku aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah Tissa yang menangis saat dia melihatku di dalam kamar dalam kondisi yang tidak mau aku jelaskan, lalu dia pun menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit. Dia terus mengusap punggungku tanpa mengatakan apapun, karena mungkin memang hanya itulah yang bisa dia lakukan, mengusap punggungku dan kemudian menangis. Syailendra tidak berbicara apapun padaku, sampai saat ini sampai kami tiba di rumah sakit dia tidak berbicara apapun padaku. Di UGD ini, aku hanya di temani Tissa, Syailendra sedang berada di luar ruangan menunggu Ibuku datang.Padahal aku sudah mengatakan kepadanya kalau dia tidak usah memberitahu kan Ibuku soal kondisiku saat ini, dan memang benar dia tidak memberitahukannya kepada Ibuku tapi dia malah memberitahu kakakku, jadilah sekarang Ibuku mengetahui bagaimana kondisi anak bungsunya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hi
TISSAAku berkali-kali mendapati Syailendra bergerak gelisah saat mengemudi. Berkali-kali pun jawabannya saat menanggapi obrolannya denganku tampak tidak nyambung, singkatnya. Syailendra sedang tidak fokus saat ini dan sialnya aku tahu kenapa dia jadi tidak fokus seperti itu. Berkali-kali aku memikirkannya, berkali-kali itu juga aku jadi kesal dibuatnya.Aku tidak bertanya kenapa kakaknya Ghea menelpon dan mengirimnya pesan, telponnya memang tidak dia angkat tetapi pesannya dia baca sehingga hal itulah yang membuat aku jadi kesal sendiri sebab setelahnya Syailendra terlihat sekali tidak fokus saat ini. Untungnya, hanya aku yang ikut di mobil Syailendra kalau betulan Mamaku juga ikut disini, bisa dipastikan suasana akan berubah menjadi canggung.Sejujurnya, aku penasaran sekali tentang apa isi pesan kakaknya Ghea kepada Syailendra sehingga pesan itu bisa membuat Syailendra menjadi seperti ini. Tapi, disatu sisi pun aku merasa bahwa aku tidak berhak bertanya sebab aku bukan siapa-siapa
SYAILENDRAPagi hujan, siang cerah. Kondisi cuaca Jakarta memang tidak bisa dipresiksi semaksimal mungkin, aku hampir saja merutuki cuaca karena mereka hari ini aku terpaksa datang dengan salah konstum. Kalau tahu siang hari ini tidak akan turun hujan juga seperti pagi hari tadi, mana mau aku datang ke kedai kopi kakaku dengan swetter panas begini.Yah, tapi apa mau dikata deh. Sudah kejadian, lagipula mau datang pakai baju apapun aku, aku yakin aku masih dan akan sangat terlihat tampan.Hahaha ...Kok aku geli sendiri ya mendengarnya? Biarlah, aku kan jomlo, tidak ada yang memuji aku ganteng lagi sekarang jadi biarkan saja aku memuji diriku sendiri saat ini."Kenapa sih?""Hah? Apa? Apa yang kenapa?""Kamu kenapa?""Aku?" aku menunjuk diriku sendiri saat Tissa bertanya aku kenapa, aku kamu dengan Tissa memang hal yang baru tapi entah kenapa aku nyaman dengan kata ganti Lo-Gue diantara kami ini. "Aku kenapa?""Kayak orang bingung." Tissa menggaruk kecil hidungnya, kemudian melemparkan
GHEAMalam minggu kemarin, aku tidak pulang ke rumah Ibuku. Aku juga tidak masuk lembur, padahal hari sabtu kemarin adalah hari dimana aku seharusnya bekerja lembur tapi aku tidak melakukannya sebab Lhambang tidak memperbolehkan aku untuk pergi ke kantor. Jadi, dari pada wajahku kena tampar lagi olehnya lebih baik aku menurut saja dan mengatakan kepada pihak kantor kalau aku sedang sakit.Yah, walaupun aku tidak menjamin alasan itu akan diterima oleh atasanku mengingat lembur kemarin adalah aku yang meminta sendiri dan aku juga yang membatalkan senaknya. Aku meminta lembur karena aku butuh uang lebih diakhir bulan nanti, tentu saja untuk mengganti uang yang aku pinjam untuk Lhambang, aku berjanji untuk menggantinya meskipun aku meminjam uang tersebut kepada kakakku."Ghe?" Itu suara Lhambang, yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri Lhambang di dalam kamar, aku tidak mau kena omel lagi hanya karena aku terlalu lama menghampirinya padahal katanya jar
TISSASelimut yang masih menyelimuti tubuhku, pendingin ruangan yang masih menyala serta hujan yang mengguyur bumi menjadi saksi bahwa hari mingguku kali ini benar-benar sangat nyaman. Masih menscroll media sosial, dari satu aplikasi lalu ke aplikasi berikutnya jam sembilan pagi ini aku masih betah tidur-tiduran diatas kasurku.Tumben sekali, biasanya Ibuku akan masuk kamar lalu menyuruhku untuk bangun. Setidaknya untuk membantunya membereskan rumah yang sebenarnya selalu rapih ini atau sekedar olahraga bersama keliling komplek dan berakhir singgah di pasar untuk membeli kebutuhan rumah. Tapi hari minggu kali ini agak berbeda, sedikit lebih tenang dan sedikit lebih membahagiakan karena ketika aku bangun ada satu pesan yang selalu aku mimpikan untuk masuk ke dalam ponselku ketika pagi tiba. Yap! Chat dari Syailendra yang berhasil membuat pagiku yang sedang mendung ini menjadi lebih berwarna.Pesannya memang bukan sebuah pesan yang romantis, dipesan itu Syailendra hanya membalas pesanku
SYAILENDRAHari ini aku berjanji untuk berkunjung ke rumah Tissa, tapi sebelum berkunjung aku sudah menyempatkan diri datang ke tukang martabak pinggir jalan. Bukan abang-abang yang sedang berdagang di pinggir jalan melainkan di sebuah toko yang letaknya kebetulan berada di pinggir jalan, katanya ayahnya Tissa sangat suka martabak telur di tempat ini sebab itulah aku membelikannya martabak telur saja sebagai bawaanku malam ini. Karena aku bingung, apa yang harus aku bawa ke sana. Niatku hanya ingin bertamu karena Ibunya Tissa mengundangku untuk makan malam, jadilah aku ke sana malam hari ini selepas pulang bekerja. Ini pun aku datang agak telat, biasanya memang aku pulang sore tetapi tadi ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini juga makanya aku datang agak terlambat sedikit."Ndra!" Seseorang memanggil namaku dari arah belakang, ketika aku menoleh. Aku sudah menemukan seseorang yang sangat aku kenali sekali.Karena itulah, sembari tersenyum aku melangkah mendekatinya
GHEAPada akhirnya Lhambang mengantarkan aku pulang ke rumah, dengan mengancam perihal mobil yang akan aku ambil barulah dia mau mengantarkan aku pulang ke rumah. Sepanjang jalan menuju rumahku ini dia terus-terusan mengoceh perihal ini dan itu membuatku makin malas untuk meladeni dirinya. Bukan, ini bukan pekara aku yang sudah tak cinta lagi dengannya tapi ini perkara harga diri. Sampai saat ini aku masih menyukainya, saat ini aku hanya sedang memberikan pelajaran saja bagi dirinya kalau dia tak boleh semena-mena dengan diriku karena semua yang dia pakai dan gunakan saat ini adalah milikku. Jadi satu-satunya orang yang boleh sombong dan semena-mena itu adalah aku."Kamu masih marah sama aku?" Sambil menyetir, dia menoleh padaku sesekali untuk melihat ekspresiku saat ini. "Ghe?""Hmm?" Tadinya aku masih enggan untuk menyahuti dirinya t
GHEATiada satupun dari kita yang selalu tertawa tanpa hadirnya air mata. Namun Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kadar kemampuan nya. Aku selalu ingat ketika Syailendra ceramah mengenai hidup manusia, dulu ketika Syailendra mengatakan kata-kata bijak perihal hidup aku tak pernah sama sekali mendengarkan apa yang dia katakan dengan seksama. Tapi kadang-kadang kata-katanya itu bisa masuk ke dalam pikiranku dengan sendirinya, membuat aku berpikir kalau apa yang dia katakan itu sebenarnya memang benar. Akunya saja yang selama ini menolak ini dan itu perihal perkataannya padahal perkataannya itu adalah benar, sangat-sangat benar dan memang fakta."Udah?" Aku menoleh pada Lhambang yang baru saja keluar dari kamar mandi."Apanya yang udah?""Transfer ke aku, udah belum?" Katanya santai sambil
SYAILENDRADulu waktu umurku masih belasan tahun, sering berkata kepada teman-temanku kalau nanti ketika aku ingin menikah aku pasti tak perlu pusing mengajak wanita manapun untuk menikah. Aku tampan, aku kaya. Keluargaku baik, aku juga bukan tipekal orang yang suka macam-macam. Siapa yang tak mau denganku? Pastilah mau, karena pada saat kita ada di umur-umur belasan tahun sesorang hanya akan mengagumi orang lain hanya dari kemewahan. Ketulusan hati? Tak perlu, pada umur-umur belasan tahun aku tak pernah memikirkan perihal hati. Semuanya dengan mudah bisa aku dapatkan kalau aku kaya dan hidup berkecukupan, wanita manapun pada saat umur belasan tahun pasti akan memikirkan hal yang sama.Tapi diumurku yang sekarang, yang hampir mencapai angka tiga, saat ini aku lebih memilih mengagumi seseorang karena ketulusan hatinya. Sebab itulah mungkin saat ini aku selalu gagal perihal per