“Apa ini? Apa kau salah minum obat?”
Aku terkejut, tiba-tiba saja Axel mendorong tubuhku. Dia seolah menolakku. Ucapannya tajam membuatku mengernyit. Hampir saja aku lupa, aku tidak pernah sama sekali berbicara atau dekat dengannya. Aku selalu bersikap cuek. Mungkin saja saat ini Axel akan menganggapku gila. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Aku harus bisa dekat dengannya. Aku hanya menginginkan dia yang menjadi suami masa depanku. Tidak akan ada lagi aku merasakan kemunafikan juga kebohongan Minna dan Nicholas. Aku harus bisa menggaet Axel lebih dulu. “Umm … ma–maaf, maafkan aku. Aku bukan sengaja. Kau masih ingat aku kan? Aku, Regina Meizura Carlton,” ucapku menarik bibirku hingga membentuk sebongkah senyuman terindah tak lupa tanganku terulur dengan manis. Saat ini mungkin saja aku terlihat seperti cegil yang sedang mengejar laki-laki. Axel menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Dia terlihat bingung dan tatapan dinginnya membuatku sedikit merinding. Namun, sekejap berubah saat aku menatap wajah tampannya. Dilihat lebih dekat, Axel benar-benar tampan, hmm … bodohnya aku dulu sampai melewatkan laki-laki dengan wajah pahatan dari surga ini. Sampai aku lupa diri menggelengkan kepala. Menatap wajahnya yang bersinar seperti cahaya bintang. “Hmm!” Axel menjawab singkat dengan melipat kedua tangannya di dada dan menelitiku dari ujung rambut hingga kaki. Dia terlihat tidak suka dengan penampilanku saat ini. “Mmm, aku ada acara makan malam. Jadi, aku sedikit mengubah penampilanku,” ucapku menjawab dehamannya. “Apa perlu segitunya untuk menarik perhatian seseorang. Kau terlihat seperti wanita murahan!” Dengkus Axel kesal dengan jawabanku. Mungkin kalau itu aku yang dulu aku pasti akan memberikan tamparan keras di wajahnya dan sangat membenci ucapan Axel. Tetapi, kali ini berbeda, kata itu terdengar seperti laki-laki yang sedang cemburu dengan wanita yang disukainya pergi kencan dengan orang lain. “Benarkah?” kataku, aku memajukan wajahku dengan berani. Wajahku tersenyum tidak dapat diartikan oleh Axel. Aku berencana tidak akan melepaskan Axel dari genggamanku. Axel terlihat bingung. Dia sadar ada yang berbeda dariku. “Sudahlah!” ucap Axel seraya berbalik akan pergi, namun aku tidak menginginkan itu. “Mau kemana? Aku kan belum selesai mengobrol denganmu. Memangnya kamu nggak penasaran? Aku pergi dengan siapa?” ucapku mungkin terdengar di luar nalar. Aku tidak akan melepaskannya. Ini memang bukan seperti diriku. Aku yang dulu tidak seberani ini. Dulu ditatap pun sudah gemetaran. Aku balik mencengkram tangan Axel, mencegahnya pergi. Kembali Axel mengerutkan kening. “Temani aku, aku ingin membeli sesuatu dan ingin makan malam. Anggap saja ini adalah permintaan maaf dariku. Aku salah. Aku selalu mengabaikanmu. Pokoknya kamu nggak boleh menolaknya!” tukasku tanpa ragu membuat segurat kebimbangan di wajah Axel. Dengan kecepatan yang mungkin saja Axel tidak sadari, aku sudah berhasil menggandeng lengannya. Membawa dia pergi bersamaku. “Kau suka makan apa? Trus hobi apa? Apa kau suka nonton film? Atau jalan-jalan? Katakanlah. Aku ingin mengetahui semuanya!” Aku benar-benar berubah menjadi cegil yang tidak tahu malu. Aku yakin sebelum kematian itu, Axel menangis untukku. Dia benar-benar mencintaiku. Tidak ada jawaban maupun penolakan keras seperti tadi dari Axel. Saat ini dia seperti sedang mempelajari sikapku. Axel mungkin sedang mengira aku sedang bermain tipu daya dengannya. “Apa warna kesukaanmu?” Aku terus saja mengoceh dan berhenti di depan salah satu toko yang memajang beberapa mannequin laki-laki. Axel mengikuti arah suaraku dan tatapanku yang tertuju pada mannequin tersebut. “Bagaimana kalau kita mencoba yang ini,” kataku, aku langsung menarik Axel masuk ke dalam toko tersebut. “Warna biru ini sepertinya cocok untukmu,” tanganku meraih syal rajut berwarna biru dengan motif bunga lili. Tanpa ragu aku berbalik dan mengalungkannya di leher Axel. “Apa kamu suka?” Aku benar-benar gila. Aku bahkan bersikap sangat agresif terhadap Axel. Dia benar-benar melongo melihat sikapku. Tidak ada jawaban maupun penolakannya. Axel hanya menatapku dalam diam. Gelombang matanya mengisyaratkan sesuatu yang dalam, namun dibaliknya tersimpan keraguan. “Aku mau yang ini!” ucapku lagi tanpa aba-aba langsung menarik Axel ke meja kasir dan membayar yang sudah tersemat di lehernya. “Terima kasih!” Aku menggandeng lagi tangan Axel yang tanpa penolakan. Dia benar-benar mengikuti kemana kakiku melangkah. Sampai pada tempat yang dijanjikan oleh Minna dan Nicholas, aku sudah melihat Minna mondar-mandir di depan ruangan yang sudah dipesan. “Ka–kakak … kenapa kakak lama sekali. Kasihan kan kak Nick, dia terus menunggumu dan merasa khawatir,” ucap Minna manja yang berlari ke arahku dan segera menyandarkan lagi kepalanya di lenganku. “Ah, maaf aku telat!” Lagi aku mendorong perlahan kepala Minna dari lenganku. Aku benar-benar tidak mau lagi berdekatan dengan ulet keket pengganggu itu. Namun, setelah aku meneliti, aku mencium parfum Nicholas di tubuh Minna. Sepertinya mereka tadi sudah sangat berdekatan ketika tidak ada diriku. Dan satu fokusku tanpa sengaja aku malah melihat leher Minna dengan kissmark disana. Juga baju Minna terlihat kusut. Kali ini Minna menggunakan baju press body hingga benar-benar menampilkan bentuk lekuk tubuhnya. Minna memang paling jago melakukan perpaduan itu, siapapun yang melihat pasti akan membangkitkan rasa penasaran untuk mencobanya. Hmm … ternyata begini cara kalian melakukannya. Setiap ada kesempatan kalian selalu melakukannya. Aku benar-benar bodoh bahkan dulu tak pernah menyadarinya. “Oya, aku membawa tamu dadakan, nggak apa-apa kan?” Minna baru menyadari saat aku berbicara dan dia melihatku menggandeng tangannya. Bagi Minna itu adalah pemandangan langka apalagi dia tahu aku tidak terlalu suka dekat-dekat Axel. Ya, benar itu dulu karena semua dalam pengaruh dan kendali dari pasangan tidak tahu malu ini. “Oh … tapi, tumben sekali kak Regi membawanya? Bukannya dia selalu bersikap kasar pada kakak? Kakak juga nggak suka dengannya kan?” satu sudut bibir Minna terlihat kecut saat menatap Axel. Jelas Minna menganggap Axel sebagai penghalang semua rencana mereka. “Siapa bilang? Aku nggak merasa seperti itu. Axel, dia cukup ramah dan dia juga cukup penurut. Buktinya dia tidak keberatan aku menariknya kesini. Dan sepertinya nggak salah … kan lebih banyak yang datang bukankah akan lebih seru!” Ucapanku membuat Minna bungkam dan kesal. Dia tidak lagi beradu argumen denganku, namun kedua tangannya mengepal dengan erat. “Ayo kita masuk Kak, kak Nick sudah lama sekali menunggu kakak,” Minna mengalihkan suasana dan menuntut langkah kami. Duar duar! Aku tidak terkejut seperti saat ini. Ketika aku membuka pintu, aku melihat papaku, Nicholas dan ibu tiri yang selalu digadang-gadang papa berada disana. Mereka mempersiapkan kejutan untuk dengan tiupan alat pesta ulang tahun dengan hiasan kertas yang langsung bertaburan di atas kepalaku. Lalu dihadapanku berdiri Nicholas membawa buket bunga untuk menyambut kedatanganku.“Selamat malam, Reg, akhirnya kamu datang,” Nicholas mengembangkan senyum sesaat, namun senyuman itu seolah lenyap saat dia melihat Axel ada disampingku, tepatnya, aku yang menggandeng lengan Axel penuh percaya diri.Dan tentunya Axel tidak pernah pergi sendiri. Dulu aku bahkan tidak pernah menyadari karena menganggapnya bukan orang yang penting untuk diperhatikan.Namun, sekarang, di kehidupanku yang kedua, apapun tentang Axel sekecil-kecilnya, akan aku perhatikan.Di belakang kami ada beberapa orang pengawal yang mengikuti juga tentu saja orang kepercayaan Axel, Billy yang selalu ada disampingnya.Billy sebenarnya juga tidak percaya dengan perubahan sikapku yang bertolak belakang. Tapi, semua diabaikan ketika Axel memberikan kode untuk mengikuti segala keinginanku. Axel seolah membiarkanku untuk melakukan hal apapun dan dia sedang mengawasiku. Axel seperti ingin mengetahui tipu daya apa yang sedang ku mainkan. “Ada apa ini? Kenapa kau membawanya? Bukankah kau tahu ini adalah acara
Minna seperti banteng betina yang kesal. Dia menyeruduk mendahului kami duduk.Aku sengaja membukakan kursi untuk Axel. Aku ingin menjamu dia sebagai tamu istimewaku dan perubahanku diperhatikan oleh mereka.Aku sangat yakin Nicholas kesal. Dia mengepal kedua tangannya ketika aku begitu perhatian pada Axel. Billy agak sedikit menjauh dari meja dan memantau situasi.“Apa kalian sudah memesan?” tanyaku sambil membuka buku menu tidak ingin lagi memperdulikan raut wajah mereka yang sudah seperti kukusan butut.Dari hal apapun, aku masih mengingat dengan jelas, mereka selalu ikut campur. Bahkan dalam hal makanan yang kumakan pun. Saat ini aku ingin semuanya berubah.Karena aku sudah tahu dari mulai makanan mereka meracuniku maka dari itu apapun yang sekarang akan masuk ke tubuhku, aku akan memilih dan memastikannya sendiri.Aku tidak akan membiarkan mereka turut campur.“Aku sudah memesan semua makanan kesukaanmu, Kakak,” ucap Minna, dia terlihat semakin kesal dan menyentuh tanganku.Minna
“Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Nona Besar? Sepertinya ini bukan rencana yang dia inginkan?”Axel berkata saat kami sudah berada di dalam mobil dan dia menurunkanku di kursi penumpang dengan perlahan juga hati-hati. Tatapannya tetap lekat seolah menanti jawaban pasti dariku.“Sshh … hmmm … bisakah kita membahasnya nanti saja,” ucapku masih mengibas panas yang terasa di kaki.Axel hanya melirik, tapi tetap saja dia lebih tidak tega melihatku seperti itu.“Billy, apa kau siput? Kenapa lama sekali jalannya?” Nada bariton Axel keluar lagi dan aku ikut menatap kearah suaranya.“Aku nggak tau kalau kamu benar-benar perhatian banget padaku. Kenapa dulu kamu nggak pernah bilang sih?” ucapku hampir tak terdengar karena bergerutu.“Memangnya kamu kasih aku kesempatan!” jawab Axel.Dia terlihat tidak malu atau ragu mengungkapkan perasaannya. Padahal setahuku dulu Axel selalu bersikap ketus saat berbicara denganku. Atau aku saja yang tidak pernah peka dan menyadari semua ketulusan Axel.“J
“Apa maksud ucapan, Anda, Nona?”Billy memang berbeda dari pengawal lainnya. Dia tidak takut mengungkapkan pikirannya.“Nggak ada maksud apa-apa kok. Aku hanya asal bicara saja. Lagian aku lebih suka yang melakukan semua adalah Axel. Jadi, kau nggak usah ikut campur deh urusan tuanmu,” sahutku benar-benar tidak mau mengalah.“Apa?” delik Billy.Bugh! Tiba-tiba saja Axel menonjok kursi yang didudukinya.Axel terlihat tidak setuju saat Billy menentang ucapanku.“Aku nggak ngajakin dia ribut ya, dia saja yang mau ribut denganku. Harusnya dia tuh nggak usah banyak omong,” kataku menjadi berani karena aku yakin meski Axel bersikap dingin padaku seperti itu, aku tetap menjadi prioritasnya.“Kalau kamu gak mau beliin juga ga apa-apa, tapi karena tasku tertinggal disana jadinya aku nggak bisa belanja sendiri. Aku sanggup kok beli sendiri, aku punya uang. Cuma ya sekarang memang lagi gak pegang uang kan.”Hmmm … aku yakin 100% sekarang Axel sedang menganggapku gila atau hilang ingatan. Semua k
“Apa kamu masih ingin ice cream dan kentang gorengnya?” Axel berbicara sambil mengusap rambutku.Dia terus tersenyum melihat tingkahku. Aku malu. Hanya bisa memeluknya dengan erat. Ini pertama kalinya aku merasa seperti saat ini.Terus berdebar tanpa henti dan perasaan itu hanya bisa aku rasakan ketika bersama dengan Axel.Dulu aku pernah salah mengartikan perasaanku. Aku berpikir cintaku dulu pada Nicholas adalah cinta sejati, tapi setelah aku mengetahui semua kebusukan mereka, aku hanya menyesal membiarkan para serangga itu tetap di sisiku.Secepatnya aku harus mengusir serangga itu menjauh agar aku tidak kembali tersengat oleh mereka.“Aku mau, tapi aku gak mau turun dari sini,” ucapku menjawab lirih, sungguh memalukan, aku bertambah cegil dan tak tahu diri setelah perlakuan dari Axel barusan.Aku merasa itu adalah ikatan dan janji kami yang tak sempat terealisasi di masa lalu. Sekarang, aku hanya mengakui Axel seorang sebagai kekasihku.“Jadi, aku bagaimana kalau Billy yang membel
Rumahku tanpa adanya kakekku adalah dalam pengaturan Papaku. Yang di kaki tangani oleh ibu, adik tiri dan juga kekasih adikku itu.Bodohnya aku bertahun-tahun hanya memelihara penjahat. Aku memberikan semua akses juga fasilitas. Bahkan perusahaan warisan kakek saja aku berikan dengan mudah pada Nicholas.Aku mempercayakan semua. Aku bukan terlahir dari orang tidak punya bahkan aku bisa menjadi ratu untuk diriku sendiri dengan warisan kakekku Thomson itu.Namun, semua adalah ilusi semata. Saat pernikahan ku dan Nicholas, dia selalu saja mencari alasan sibuk mengurus perusahaan dan jarang pulang ke rumah.Dari awal pernikahan kami dulu, Minna dan Nicholas sudah bersekongkol memberikan aku racun yang bisa membuatku perlahan lumpuh dan tidak bisa bicara.Aku tidak pernah menyadari karena semua dicampur dengan makananku. Dan Minna selalu ada disisiku, merawat dan menemaniku, itu yang terlihat di mataku. Juga Nicholas selalu memberikanku banyak hadiah, tetapi dia sebenarnya tidak pernah men
Bruk! Aku mendorong tubuh Nicholas dengan kasar. Seolah itu adalah kekuatan yang kusimpan bertahun-tahun dan tidak digunakan.“Apa yang kau lakukan hah? Itu ponselku tahu!” Aku melotot dan segera mengambil ponselku yang dibuangnya ke lantai.Aku gak pernah melihat sikap Nick seperti itu dulu. Dia selalu bersikap lembut padaku, sikapnya yang seperti ini tidak pernah dia tunjukkan. Dia dulu tidak pernah marah padaku karena aku selalu menurutinya.Nicholas segera tersadar meskipun kedua tangannya mengepal dan giginya mengerat dengan kesal.“Ma–maafkan aku, Regi, sungguh aku gak bermaksud begitu. Aku hanya jadi terbawa suasana karena kau mengabaikanku. Kau gak pernah bersikap seperti ini padaku,” Nicholas buru-buru menghampiri dan membantuku berdiri, tapi aku segera menepis.“Jangan sentuh-sentuh lagi, aku gak mau ketemu kamu lagi, Nick. Jadi, pergilah!” Usirku.“Kakak jangan seperti itu, Nick gak bermaksud seperti tadi, dia sudah menjelaskan. Kakak jangan marah lagi ya,” si ulet keket M
“Ka–Kamar utama?”Aku mendengar ibu tiriku langsung bersuara ketika aku mengatakan pindah ke kamar utama. Dia terlihat kasak-kusuk dengan papaku.Aku menaikan rahangku dengan kasar. Mereka harus melihat keseriusanku. Aku tidak boleh lemah dan ditindas lagi.Ini baru permulaan bagi mereka.“Kenapa? Apa kalian keberatan? Bukankah itu kamar yang paling besar dan juga kamar mamaku. Aku ingin mengenang mamaku, aku kangen banget. Apa itu juga gak boleh?” ucapku sarkas.Tentunya tatapanku paling tajam pada papaku. Aku ingin papa ingat kembali tentang mama yang dikecewakan juga dikhianati olehnya.“Tapi, sayang, bukankah kamar lain masih banyak yang besar. Itu kan sudah menjadi kamar Pa–pa,” meski ragu, papaku tetap ingin mempertahankan kamar yang dirasa miliknya itu.“Meski banyak kamar lainnya, kamar mamaku itu yang paling besar, Pah. Toh, semua yang ada disini adalah milikku. Benarkan? Apa papa lupa karena terlalu nyaman di kamar mama?” cetus ku jadi lebih berani menentang papa.Papa terli
“Berisik!”Aku memutar posisiku, tapi sama sekali enggan turun dari pangkuan Axel.“Re–Regina, kemarilah sayang, kita perlu bicara,” Nick mencoba menahan semua penghinaan.Aku tahu dia menahan semua karena masih tidak ingin kehilangan pulau uang di hadapannya.“Billy, apa kamu menemukan barang-barangku yang terjatuh?” ucapku mengarahkan pandangan pada Billy.“Sebentar Nona Regina,” kata Billy menjawab dan meminta salah seorang dari pengawal memberikan apa yang ditemukan di lorong tadi.“Yang ini, Nona?”Billy memberikan buket bunga Lily yang sudah rusak dan satu paperbag yang berisi hadiahku untuk Axel.“Ya ampun, bunganya jadi rusak. Ini gara-gara mereka,” sahutku kecut dan seolah mengabaikan keberadaan Nick.Tangan Nick terkepal semakin erat, dia tidak menyangka kalau apa yang dilihatnya sekarang adalah benar-benar diriku yang berbeda.“Sayang, aku mohon, tolong kemarilah. Kita bisa bicarakan ini baik-baik!” kata Nick seraya tidak terima aku bersikap acuh tak acuh.Aku menarik senyu
“Tenanglah Regina, jangan takut, aku pasti akan membebaskanmu dari penjahat-penjahat ini,” kata mantan suami bodohku yang masih percaya kalau aku masih akan tersentuh dengan kisah superheroik nya.“Hei, kalian lepaskan dia. Jangan macam-macam!” gertak Nick.Dia maju dan bersiap memberikan perlawanan pada tiga orang tersebut.“Dasar kalian laki-laki kurang ajar beraninya sama perempuan saja. Kemarilah, aku siap melawan kalian!” kata Nick seolah menantang para pemain sandiwara yang dibayarnya.“Siapa dia? Berani sekali ikut campur urusan kita! Kau benar-benar membuatku marah saja!” kata Carlos maju lebih dulu dengan tatapan bringas dan siap menghajar.Kedua tangannya Carlos sudah mengeluarkan dan terdengar bunyi krek krek seolah-olah dia bersiap memberikan pelajaran berharga pada Nick karena sudah menghalangi mereka.Dia mengepalkan tinju dan siap baku hantam. Sepertinya drama kolosal epik yang dibuat Nick akan berjalan dengan lancar.Tanpa ragu Nick maju dan melawan mereka satu persatu
Tapi, ini semua tidak ada dalam rangkaian cerita laluku. Urutan ini sepertinya teracak karena aku yang mengubah segalanya.Jangan bilang, kali ini pun ada rancangan dari mantan suami bodohku itu. Aku tidak menyangka kalau dia akan melakukan hal bodoh yang sama.Mungkin saja dia masih berpikir, aku masih mudah ditipu dan akan luluh setelah mendapatkan serangan kejutan seperti ini.Padahal aku baru saja senang karena memberikan pesan singkat pada Axel untuk segera menjemput. Tidak menyangka akan ada si bodoh itu yang mencegal jalanku.“Ada apa? Kalian menghalangi jalanku,” kataku tidak gentar sama sekali. Ini pasti diluar dugaan mantan suami bodohku itu kalau memang dia sedang mengawasiku.“Xoxoxo, sepertinya gadis cantik ini tidak takut sekali sama kita,” seringai salah satu dari mereka. Dia terlihat tidak senang melihat reaksiku.Aku mengabaikan dan lebih memilih jalan ingin melewati mereka, namun sepertinya itu tidak semudah yang aku bayangkan. Mereka tetap menjegalku.Mantan suami
“Mau ke klinik kampus atau kita ke rumah sakit, Rena?!Aku menawarkan karena takut ada luka lain yang tidak terlihat.“Gak perlu. Ini cuma hal biasa kok! Kamu gak usah terlalu khawatir, Regi!” Kata Rena seolah itu adalah hal yang biasa dia terima.Aku menatap setiap kata yang terucap dari bibir Rena, itu seperti luka yang pernah aku rasakan.Aku seperti bisa merasakan luka Renata yang sama dengan luka di kehidupan laluku.Aku juga mengingat di kehidupan lalu, Rena sempat tidak ada kabar dan berhenti kuliah. Aku gak tahu penyebabnya, karena dulu aku memang sama sekali gak dekat dengan dirinya.“Baiklah kalau begitu kita masuk saja. Jam pelajaran sudah mau mulai kan?”Aku melirik jam di tanganku setelah benar-benar memastikan kondisi Renata saat ini baik-baik saja meskipun dia ga mau di bawa ke klinik kampus atau rumah sakit.Dia harus terlihat seperti tidak terjadi apa-apa. Yang menonton tadi juga kan anak-anak yang kebetulan ada disana.“Uhm, ayo!”Kami bergegas ke kelas untuk mengiku
“Kau?!” delik Jessy yang merasa harga dirinya dipermalukan apalagi posisinya sekarang mereka sedang ditonton teman sekampus.Apalagi Jessy merasa kalau selama ini Renata tidak akan pernah melawan meskipun dia dihina atau di bully dengan berbagai cara.“Kau boleh menghinaku apa saja, tapi jangan libatkan Regina dalam hal ini. Aku gak pernah memperdayai nya. Regina pun tahu hal itu!” Kali ini Rena tidak akan diam saja. Dia sudah cukup mendapatkan ejekan juga penghinaan dari mereka.“Dasar cewek kampungan kurang ajar. Berani sekali kamu menamparku?” Naik pitam Jessy dan dia tidak terima ditampar oleh Rena.Dengan emosi yang tersulit dan dia juga merespon kembali tamparan Rena dengan membalasnya. Rena pun tidak kalah tinggal diam, ketika ditampar lagi, dia membalasnya.Hingga emosi mereka benar-benar meluap. Semua barang juga tas yang dipegang berserakan di lantai.Sekarang kedua tangan Rena maupun Jessy sudah berada di kepala. Mereka sedang aduk tarik menarik rambut.Aku membekap mulutk
“Meski saya jomblo, selera saya ga seburuk itu, Nona!” sahut Billy sedikit kecut, dia hanya melirik dari spion seperti gak ada saringan sama sekali saat berbicara.Dia langsung menolak mentah-mentah niat baikkuAku melihat situasi sedikit tidak sesuai dengan harapan.“Xoxoxo, ingat Billy, karma itu nyata loh. Nanti kamu kena batunya sendiri,” celetukku sedikit menyumpahi.Billy tidak menggubris ucapan dan tetap fokus pada menyetir.“Kami turun di sini saja,” kataku dan sepertinya Renata pun gak keberatan.“Disini? Kamu yakin? Ini masih cukup jauh dari kampus,” Axel yang melihat keluar jendela, karena aku minta berhenti di salah satu taman.“Ga apa, kami mau ngobrol dulu dan aku mau lanjut makan!” kataku sambil menunjukkan box kue yang aku bawa tadi.Axel terlihat tidak rela, tapi dia tidak bisa menolak keinginanku.“Hati-hati, setelah kuliah langsung kabarin aku. Aku akan menjemputmu,” Axel berpesan saat aku membuka pintu mobilnya. Dan mobil melesat pergi.“Jadi, rumor yang tersebar d
“Lalu? Apa ini?! Aku kan hanya bilang, kau temani dia, bukan kau makan bersama dengannya,” cetus Axel.Ini sudah jelas kalau dia sedang terbakar cemburu.“Ti–tidak, Tuan, mana berani saya seperti itu. Itu … itu …,” Billy menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung menjelang dengan serba-salah.“Aku yang menyuruhnya. Bukannya kamu sedang sibuk dengan wanita mu,” sahutku tidak kalah sewot.“Kau?!”“Apa? Mau marah? Kalau mau marah, marah saja padaku. Aku kan bilang, aku kelaparan dan belum sarapan. Aku pikir kamu mau menemaniku, tapi apa coba? Kamu malah mengusirku!” Axel hanya mengeluarkan satu kata, aku membalasnya dengan sikap lebih posesif darinya.Aku berdiri dihadapannya sambil berkacak pinggang. Aku juga kesal karena Axel tidak langsung memberikan penjelasan padaku.Billy hanya memalingkan wajah, pura-pura tidak mendengar saat aku sedang beradu argumen dengan tuannya.Axel menghela napas sebelum melanjutkan ucapan, “Dia, Carol, maksudku, Carolina Herrera, rekan bisnis ku. Aku
“Kamu yang siapa? Seenaknya menyambut pacar orang! Memangnya kamu pikir senyuman kamu itu bagus!” cetusku sewot dan gak mau kalah.Aku ga bisa mengingat apapun tentang kejadian ini. Karena semua kejadian yang aku alami aku merubahnya. Jadi, ini merupakan hal baru bagiku.Di kehidupan lalu, wanita itu gak pernah ada. Karena memang aku gak sedekat itu dengan Axel.Tapi, karena di kehidupan ini aku memilih Axel. Tantangan baru harus aku perjuangkan. Dia adalah seorang Axel Witsel Witzlem.“Pa–pacar? Cih percaya diri sekali kamu?! Sejak kapan Axel Ku punya pacar,” cibir wanita itu lalu melayangkan tatapan pada Axel, “Siapa wanita jelek ini, seenaknya saja ngaku-ngaku pacarmu?!” si wanita tadi pun gak mau kalah denganku melirik pada Axel.Dia berperilaku sama dengan diriku. Mengejek balik.“Dia memegang pacarku. Aku gak ngaku-ngaku. Kamu tanya saja,” jawabku semakin ketus, tapi anehnya Axel masih saja diam.Hih, kok Axel diam sih? Apa dia gak peduli denganku. Kenapa dia gak mau membelaku s
“Sudahlah, aku sudah bosan memerankan peran pelayan dan majikan. Aku mau posisiku kembali. Dan, itu sudah sepantasnya kan?” Lanjut ucapanku semakin tajam pada Minna.“Tapi, Kak … aku sama sekali gak pernah berma–...,”“Nona Regina, tas anda. Sepertinya, ponsel Anda terus berbunyi,” kata Markus menyela bicara dan berada diantara kami.Mau tidak mau Minna menghentikan ucapannya.“Uhm, baiklah, aku lelah. Energiku terkuras begitu saja untuk hal yang sepele. Ingatkan mereka lagi Markus. Apa yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan uang. Semuanya gak gratis lagi. Kalau mereka mau makan, suruh mereka bekerja lebih dulu,” pesanku lebih sarkas lagi gak peduli kalau mereka semakin merutukiku dengan kebencian.“Baik Nona, saya akan pastikan semua berjalan dengan kemauan Nona,” kata Markus menjawab dengan jelas.Martha dan Minna sudah seperti menggali lubangnya sendiri. Niatnya, mengusir Lusi yang dianggap sebagai batu sandungan mereka, tapi keputusan yang aku ambil diluar dugaan mereka.“Dan