“Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Nona Besar? Sepertinya ini bukan rencana yang dia inginkan?”
Axel berkata saat kami sudah berada di dalam mobil dan dia menurunkanku di kursi penumpang dengan perlahan juga hati-hati. Tatapannya tetap lekat seolah menanti jawaban pasti dariku. “Sshh … hmmm … bisakah kita membahasnya nanti saja,” ucapku masih mengibas panas yang terasa di kaki. Axel hanya melirik, tapi tetap saja dia lebih tidak tega melihatku seperti itu. “Billy, apa kau siput? Kenapa lama sekali jalannya?” Nada bariton Axel keluar lagi dan aku ikut menatap kearah suaranya. “Aku nggak tau kalau kamu benar-benar perhatian banget padaku. Kenapa dulu kamu nggak pernah bilang sih?” ucapku hampir tak terdengar karena bergerutu. “Memangnya kamu kasih aku kesempatan!” jawab Axel. Dia terlihat tidak malu atau ragu mengungkapkan perasaannya. Padahal setahuku dulu Axel selalu bersikap ketus saat berbicara denganku. Atau aku saja yang tidak pernah peka dan menyadari semua ketulusan Axel. “Jadi kalau sekarang aku kasih kesempatan, kamu mau mengambilnya?” Wuaahhh … aku benar-benar cegil gak tau malu. Bisa tanpa ada ayakan terus saja mengompori Axel. “Tuan sudah sampai!” Billy berkata memotong tatapan penuh arti kami. Axel bergegas keluar dan berputar membuka pintuku. Dia dengan cekatan tanpa menunggu persetujuan langsung mengangkat tubuhku ala pengantin baru. Aku hanya bisa menatap kembali. Perlahan namun pasti jantungku hampir sulit dikendalikan. Omaygot … dia benar-benar ganteng banget sih. Aku benar-benar bodoh sampai bisa menikah dengan Nicholas dulu. Mataku benar-benar buta sampai nggak bisa melihat kebaikan juga ketulusannya saat itu. Dengan penuh percaya diri, aku pun nggak meminta izin Axel saat meletakkan kepalaku di dadanya. “Tolong periksa dan pastikan lukanya tidak membekas, Roger!” ucap Axel menurunkan aku pada kamar entah kapan juga dia memesannya tahu-tahu aku sudah berada di dalamnya. Dan seorang laki-laki dengan tampang ketus menyambut kedatangan kami. “Kau gila, Xel, kau suruh aku batalkan operasi hanya untuk menangani orang yang ketumpahan sup saja!” cerca nya kesal, namun tangannya dengan segera menangani lukaku. Aku tidak tahu siapa dia. Sepertinya orang ini tidak ada dalam masa laluku. Dulu kan aku dibawa Nicholas ke rumah sakit sambil menangis dan hanya dokter umum yang menangani lukaku. “Tutup mulutmu atau aku akan hentikan semua dukunganku pada rumah sakit ini,” dengkus Axel masih dengan pose melipat kedua tangannya. “Kau gila? Ancaman macam apa itu? Hanya demi wanita yang tidak mau membalas perasaanmu ini kau tega melakukan itu padaku. Cih, dasar otak tidak berguna. Mau saja kau dimanfaatkan. Dia ini hanya akan jadi bencana saja buatmu, Xel!” Sahutan menjadi lebih ketus. Roger terlihat tidak suka padaku. Padahal aku sama sekali merasa tidak punya masalah dengannya. “Diam! Tutup mulutmu, Roger, atau pisau bedah ini akan merobek mulut tidak tahu dirimu itu!” Axel mode on devil. Aku benar-benar tidak menyangka di kehidupanku yang sekarang aku bisa menyaksikan suasana lain yang kujalani dengan Minna juga Nicholas. Mereka selalu berada disisiku. Bersikap baik dan terlihat memanjakanku, padahal mereka sedang mengikat diriku seperti boneka yang mudah mereka mainkan. Roger tidak berani beradu argumen lagi dengan Axel. Dia segera membalut lukaku dan memastikan obat untuk kaki agar tidak membekas. “Oleskan tiga kali sehari dan pastikan habiskan salep juga obat yang diresepkan. Untungnya ini tidak terlalu dalam jadi aku rasa ini tidak akan menimbulkan bekas,” Roger menjelaskan sambil menatap mataku. Dia terlihat masih tidak percaya padaku. Lirikannya sudah membuatku mengerti. “Tolong jangan salah paham. Aku bukan nggak mau membalas perasaan Axel padaku. Aku kan memang nggak tahu kalau Axel suka denganku. Dia nggak pernah bilang apa-apa kok, jadi aku harusnya nggak salah dong,” entah kenapa aku merasa harus memberikan penjelasan pada Roger. Dia itu sok tahu banget sih. “Kalau dia mau aku balas perasaannya, bukannya dia juga harus mengungkap perasaannya padaku, kan?” Aku yang tidak bisa berhenti kini menoleh pada Axel seolah menyalahkannya juga. Roger menelan ludahnya, dia tidak menyangka kalau aku akan berbicara seperti itu. “Hah, kau gila, Xel? Ini yang kau bilang wanita pendiam dan polos? Cih, aku rasa matamu sudah berlapis belek puluhan tahun sampai kau tidak bisa membedakan wanita pendiam dan mulut iblis,” jawab Roger semakin ketus setelah mendengar ucapanku. Axel tidak berkomentar. “Apa kamu masih lapar?” ucap Axel seketika membuat Roger geleng-geleng dan menghempaskan nafas kasarnya. “Pergilah dan jangan ganggu pekerjaanku lagi. Kalian berdua ternyata sama saja. Kepala batu,” cetus Roger kemudian beranjak dari duduk dan meninggalkan kami. Karena aku menjawab pertanyaan Axel dengan anggukan kepala seolah tidak peduli lagi dengan siapapun. “Apa boleh aku memakan apapun yang aku inginkan? Selama ini aku hanya makan apa yang diatur oleh Minna dan Nicholas juga keluargaku,” ucapku yang sekarang sudah mengalungkan tanganku di leher Axel lagi. “Uhm!” Jawabnya. “Aku mau ice cream strawberry dan kentang goreng,” sahutku penuh antusias. “Apa itu berarti kau memberikanku kesempatan?” ucap Axel, sesaat dia menghentikan langkahnya dan menatapku, dia benar-benar menantikan aku menjawabnya. “Aku akan memberikanmu kesempatan asalkan malam ini kamu memberiku sesuatu yang paling berharga darimu,” ucapku, Axel menautkan keningnya. Dan dia benar-benar merasa aku sudah banyak berubah. Axel tidak menjawab ku, dia malah melanjutkan langkahnya. Ya ampun … kok dia diam aja sih?? Akh jangan-jangan dia berubah pikiran dan menolakku. Dia malah ilfil gara-gara aku yang kepedean banget. Padahal kan aku bersikap seperti ini hanya ingin dia tahu kalau aku mau berubah dan aku hanya ingin dia yang jadi masa depanku. Tapi … kalau dia benar-benar menolakku, aku harus bagaimana? Masa aku harus tetap menikah dengan Nicholas sih? Ahh!! Ga mau pokoknya aku nggak mau. Itu gak boleh terjadi. Meskipun langit runtuh dan bumi terbelah, aku hanya ingin Axel yang menjadi bagian dariku. Bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkan hati Axel. Meskipun aku harus menggoda atau merayunya mati-matian, aku harus bersama Axel. Aku nggak mau lagi mati sia-sia. “Billy, kita cari ice cream dan kentang goreng,” kata Axel setelah kami sudah ada lagi di dalam mobil dan Axel tidak membahas apapun lagi. “Baik, Tuan!” Jawab Billy hanya melirik dari kaca spion yang melihat gerak-gerikku. Billy merasa tuannya seolah menutup mata dengan apa yang aku lakukan. Aku langsung berinisiatif mendekat dengannya dan meraih lengannya. Axel tetap diam dan tanpa reaksi. Tatapannya seolah berubah dingin. “Aku maunya kamu yang membelikan langsung. Aku gak mau dia yang membelikan, aku takut nanti dia meracuniku!” ucapku dengan manja di lengan Axel sambil melirik ke arah Billy yang menyetir terus mengawasiku. Sontak mobil mengerem mendadak. Bruk! “Agh!” jeritku. Karena Billy mengerem mendadak tubuhku ikut tidak stabil hingga membuat dahiku terbentur kursi depan.“Apa maksud ucapan, Anda, Nona?”Billy memang berbeda dari pengawal lainnya. Dia tidak takut mengungkapkan pikirannya.“Nggak ada maksud apa-apa kok. Aku hanya asal bicara saja. Lagian aku lebih suka yang melakukan semua adalah Axel. Jadi, kau nggak usah ikut campur deh urusan tuanmu,” sahutku benar-benar tidak mau mengalah.“Apa?” delik Billy.Bugh! Tiba-tiba saja Axel menonjok kursi yang didudukinya.Axel terlihat tidak setuju saat Billy menentang ucapanku.“Aku nggak ngajakin dia ribut ya, dia saja yang mau ribut denganku. Harusnya dia tuh nggak usah banyak omong,” kataku menjadi berani karena aku yakin meski Axel bersikap dingin padaku seperti itu, aku tetap menjadi prioritasnya.“Kalau kamu gak mau beliin juga ga apa-apa, tapi karena tasku tertinggal disana jadinya aku nggak bisa belanja sendiri. Aku sanggup kok beli sendiri, aku punya uang. Cuma ya sekarang memang lagi gak pegang uang kan.”Hmmm … aku yakin 100% sekarang Axel sedang menganggapku gila atau hilang ingatan. Semua k
“Apa kamu masih ingin ice cream dan kentang gorengnya?” Axel berbicara sambil mengusap rambutku.Dia terus tersenyum melihat tingkahku. Aku malu. Hanya bisa memeluknya dengan erat. Ini pertama kalinya aku merasa seperti saat ini.Terus berdebar tanpa henti dan perasaan itu hanya bisa aku rasakan ketika bersama dengan Axel.Dulu aku pernah salah mengartikan perasaanku. Aku berpikir cintaku dulu pada Nicholas adalah cinta sejati, tapi setelah aku mengetahui semua kebusukan mereka, aku hanya menyesal membiarkan para serangga itu tetap di sisiku.Secepatnya aku harus mengusir serangga itu menjauh agar aku tidak kembali tersengat oleh mereka.“Aku mau, tapi aku gak mau turun dari sini,” ucapku menjawab lirih, sungguh memalukan, aku bertambah cegil dan tak tahu diri setelah perlakuan dari Axel barusan.Aku merasa itu adalah ikatan dan janji kami yang tak sempat terealisasi di masa lalu. Sekarang, aku hanya mengakui Axel seorang sebagai kekasihku.“Jadi, aku bagaimana kalau Billy yang membel
Rumahku tanpa adanya kakekku adalah dalam pengaturan Papaku. Yang di kaki tangani oleh ibu, adik tiri dan juga kekasih adikku itu.Bodohnya aku bertahun-tahun hanya memelihara penjahat. Aku memberikan semua akses juga fasilitas. Bahkan perusahaan warisan kakek saja aku berikan dengan mudah pada Nicholas.Aku mempercayakan semua. Aku bukan terlahir dari orang tidak punya bahkan aku bisa menjadi ratu untuk diriku sendiri dengan warisan kakekku Thomson itu.Namun, semua adalah ilusi semata. Saat pernikahan ku dan Nicholas, dia selalu saja mencari alasan sibuk mengurus perusahaan dan jarang pulang ke rumah.Dari awal pernikahan kami dulu, Minna dan Nicholas sudah bersekongkol memberikan aku racun yang bisa membuatku perlahan lumpuh dan tidak bisa bicara.Aku tidak pernah menyadari karena semua dicampur dengan makananku. Dan Minna selalu ada disisiku, merawat dan menemaniku, itu yang terlihat di mataku. Juga Nicholas selalu memberikanku banyak hadiah, tetapi dia sebenarnya tidak pernah men
Bruk! Aku mendorong tubuh Nicholas dengan kasar. Seolah itu adalah kekuatan yang kusimpan bertahun-tahun dan tidak digunakan.“Apa yang kau lakukan hah? Itu ponselku tahu!” Aku melotot dan segera mengambil ponselku yang dibuangnya ke lantai.Aku gak pernah melihat sikap Nick seperti itu dulu. Dia selalu bersikap lembut padaku, sikapnya yang seperti ini tidak pernah dia tunjukkan. Dia dulu tidak pernah marah padaku karena aku selalu menurutinya.Nicholas segera tersadar meskipun kedua tangannya mengepal dan giginya mengerat dengan kesal.“Ma–maafkan aku, Regi, sungguh aku gak bermaksud begitu. Aku hanya jadi terbawa suasana karena kau mengabaikanku. Kau gak pernah bersikap seperti ini padaku,” Nicholas buru-buru menghampiri dan membantuku berdiri, tapi aku segera menepis.“Jangan sentuh-sentuh lagi, aku gak mau ketemu kamu lagi, Nick. Jadi, pergilah!” Usirku.“Kakak jangan seperti itu, Nick gak bermaksud seperti tadi, dia sudah menjelaskan. Kakak jangan marah lagi ya,” si ulet keket M
“Ka–Kamar utama?”Aku mendengar ibu tiriku langsung bersuara ketika aku mengatakan pindah ke kamar utama. Dia terlihat kasak-kusuk dengan papaku.Aku menaikan rahangku dengan kasar. Mereka harus melihat keseriusanku. Aku tidak boleh lemah dan ditindas lagi.Ini baru permulaan bagi mereka.“Kenapa? Apa kalian keberatan? Bukankah itu kamar yang paling besar dan juga kamar mamaku. Aku ingin mengenang mamaku, aku kangen banget. Apa itu juga gak boleh?” ucapku sarkas.Tentunya tatapanku paling tajam pada papaku. Aku ingin papa ingat kembali tentang mama yang dikecewakan juga dikhianati olehnya.“Tapi, sayang, bukankah kamar lain masih banyak yang besar. Itu kan sudah menjadi kamar Pa–pa,” meski ragu, papaku tetap ingin mempertahankan kamar yang dirasa miliknya itu.“Meski banyak kamar lainnya, kamar mamaku itu yang paling besar, Pah. Toh, semua yang ada disini adalah milikku. Benarkan? Apa papa lupa karena terlalu nyaman di kamar mama?” cetus ku jadi lebih berani menentang papa.Papa terli
“Pa–papa, tolong jangan dibuang, Pa, ini semua milik mama,” tangisku sambil berlutut dan memegangi kaki papaku.Papaku sedang menyuruh beberapa pelayan membuang semua barang-barang Mamaku. Dari bingkai pernikahan, album foto, baju-baju mama juga semua benda yang berhubungan dengan kuas, cat air dan canvas.Semua adalah kegemaran mama dan semenjak papa ada ibu tiri, papa selalu mengikuti permintaan wanita itu. Dia menginginkan kamar terbesar dimana mamaku tidur menjadi miliknya.“Sudahlah, Regi, ini kan hanya barang-barang yang sudah tidak berguna. Untuk apa disimpan. Hanya membuat kamar sumpek saja. Lebih baik dibuang,” ucap papa acuh tidak peduli lagi dengan semua barang peninggalan mamaku.“Jangan Pah … Regi mohon, Pah. Biarkan barang-barang Mama setidaknya berada di kamar lain saja, asalkan papa tidak membuangnya. Regi mohon, Pah. Huhuhu … Regi yang akan merawat semua barang-barang Mama, Pah,” tangisku semakin kencang.Aku ingin memiliki kenangan mama. Meskipun bagi papaku semua su
“Nona, maaf mengganggu sarapan Anda!”Tiba-tiba Markus menghampiri. Aku menoleh dengan satu suapan di dalam mulutku.“Ada tamu untuk Anda …,” sebelum Markus selesai melanjutkan ucapannya aku segera beranjak dari duduk dan meletakkan sendok tadi tanpa ragu.Hmm … ternyata dia benar-benar datang pagi hari. Kataku berbisik, aku sudah tersenyum mengarah ke ruang tamu dan ketika aku melihat siapa yang ada di ruang tamu, senyuman langsung berubah.“Akhirnya, aku bisa masuk. Ada apa sayang? Kenapa aku tidak diizinkan masuk?”Ternyata yang datang pasangan si ulet keket. Dia belum tahu kelanjutannya kalau aku sudah memberikan perintah tidak bisa sembarangan orang lagi keluar masuk kediaman Thomson.“Oh, bukannya semalam kau sudah tahu. Aku mengatur ulang segalanya. Aku hanya ga ingin sembarang orang masuk ke rumahku!” sahutku ketus.Nicholas mengerutkan kening. Dia tidak pernah melihat aku bersikap seperti ini padanya. Nicholas selalu dapat perlakuan istimewa setelah dia menyandang sebagai ke
“Apa wanita ini sudah gila dan konslet otaknya. Mana mungkin tuan Axel mau memakan bekas gigitannya!” Batin Billy yang sedang berperang dengan hati, tapi matanya masih melotot melihat tingkahku.“A–apa ini? Sejak kapan Regina akrab dengannya? Aku yakin, aku dan Minna sudah menjauhkan dia. Tapi, apa ini? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?” Batin Nicholas pun tak luput bersitegang dengan pikirannya yang hampir tidak mempercayai kenyataan di depan matanya.Nicholas merasa, aku sedang membuatnya cemburu.“Si bodoh ini benar-benar menyukainya? Hah?! Aku benar-benar gila? Kapan dia dekatnya sih? Aku gak mungkin salah, tiap hari aku selalu bersama dengannya dan ini gak mungkin terjadi!” Batin Minna pun pasti ikut geram, sambil mengepal kedua tangannya.“A–a–am … rasanya enak kan?” Kataku yang telah berhasil memasukkan bekas gigitan ku tadi ke dalam mulut Axel.“Astagaaa!!” Billy menggeleng tidak percaya. Meremas wajahnya dengan kasar. Tuannya benar-benar seperti serigala dingin yang jinak
“Berisik!”Aku memutar posisiku, tapi sama sekali enggan turun dari pangkuan Axel.“Re–Regina, kemarilah sayang, kita perlu bicara,” Nick mencoba menahan semua penghinaan.Aku tahu dia menahan semua karena masih tidak ingin kehilangan pulau uang di hadapannya.“Billy, apa kamu menemukan barang-barangku yang terjatuh?” ucapku mengarahkan pandangan pada Billy.“Sebentar Nona Regina,” kata Billy menjawab dan meminta salah seorang dari pengawal memberikan apa yang ditemukan di lorong tadi.“Yang ini, Nona?”Billy memberikan buket bunga Lily yang sudah rusak dan satu paperbag yang berisi hadiahku untuk Axel.“Ya ampun, bunganya jadi rusak. Ini gara-gara mereka,” sahutku kecut dan seolah mengabaikan keberadaan Nick.Tangan Nick terkepal semakin erat, dia tidak menyangka kalau apa yang dilihatnya sekarang adalah benar-benar diriku yang berbeda.“Sayang, aku mohon, tolong kemarilah. Kita bisa bicarakan ini baik-baik!” kata Nick seraya tidak terima aku bersikap acuh tak acuh.Aku menarik senyu
“Tenanglah Regina, jangan takut, aku pasti akan membebaskanmu dari penjahat-penjahat ini,” kata mantan suami bodohku yang masih percaya kalau aku masih akan tersentuh dengan kisah superheroik nya.“Hei, kalian lepaskan dia. Jangan macam-macam!” gertak Nick.Dia maju dan bersiap memberikan perlawanan pada tiga orang tersebut.“Dasar kalian laki-laki kurang ajar beraninya sama perempuan saja. Kemarilah, aku siap melawan kalian!” kata Nick seolah menantang para pemain sandiwara yang dibayarnya.“Siapa dia? Berani sekali ikut campur urusan kita! Kau benar-benar membuatku marah saja!” kata Carlos maju lebih dulu dengan tatapan bringas dan siap menghajar.Kedua tangannya Carlos sudah mengeluarkan dan terdengar bunyi krek krek seolah-olah dia bersiap memberikan pelajaran berharga pada Nick karena sudah menghalangi mereka.Dia mengepalkan tinju dan siap baku hantam. Sepertinya drama kolosal epik yang dibuat Nick akan berjalan dengan lancar.Tanpa ragu Nick maju dan melawan mereka satu persatu
Tapi, ini semua tidak ada dalam rangkaian cerita laluku. Urutan ini sepertinya teracak karena aku yang mengubah segalanya.Jangan bilang, kali ini pun ada rancangan dari mantan suami bodohku itu. Aku tidak menyangka kalau dia akan melakukan hal bodoh yang sama.Mungkin saja dia masih berpikir, aku masih mudah ditipu dan akan luluh setelah mendapatkan serangan kejutan seperti ini.Padahal aku baru saja senang karena memberikan pesan singkat pada Axel untuk segera menjemput. Tidak menyangka akan ada si bodoh itu yang mencegal jalanku.“Ada apa? Kalian menghalangi jalanku,” kataku tidak gentar sama sekali. Ini pasti diluar dugaan mantan suami bodohku itu kalau memang dia sedang mengawasiku.“Xoxoxo, sepertinya gadis cantik ini tidak takut sekali sama kita,” seringai salah satu dari mereka. Dia terlihat tidak senang melihat reaksiku.Aku mengabaikan dan lebih memilih jalan ingin melewati mereka, namun sepertinya itu tidak semudah yang aku bayangkan. Mereka tetap menjegalku.Mantan suami
“Mau ke klinik kampus atau kita ke rumah sakit, Rena?!Aku menawarkan karena takut ada luka lain yang tidak terlihat.“Gak perlu. Ini cuma hal biasa kok! Kamu gak usah terlalu khawatir, Regi!” Kata Rena seolah itu adalah hal yang biasa dia terima.Aku menatap setiap kata yang terucap dari bibir Rena, itu seperti luka yang pernah aku rasakan.Aku seperti bisa merasakan luka Renata yang sama dengan luka di kehidupan laluku.Aku juga mengingat di kehidupan lalu, Rena sempat tidak ada kabar dan berhenti kuliah. Aku gak tahu penyebabnya, karena dulu aku memang sama sekali gak dekat dengan dirinya.“Baiklah kalau begitu kita masuk saja. Jam pelajaran sudah mau mulai kan?”Aku melirik jam di tanganku setelah benar-benar memastikan kondisi Renata saat ini baik-baik saja meskipun dia ga mau di bawa ke klinik kampus atau rumah sakit.Dia harus terlihat seperti tidak terjadi apa-apa. Yang menonton tadi juga kan anak-anak yang kebetulan ada disana.“Uhm, ayo!”Kami bergegas ke kelas untuk mengiku
“Kau?!” delik Jessy yang merasa harga dirinya dipermalukan apalagi posisinya sekarang mereka sedang ditonton teman sekampus.Apalagi Jessy merasa kalau selama ini Renata tidak akan pernah melawan meskipun dia dihina atau di bully dengan berbagai cara.“Kau boleh menghinaku apa saja, tapi jangan libatkan Regina dalam hal ini. Aku gak pernah memperdayai nya. Regina pun tahu hal itu!” Kali ini Rena tidak akan diam saja. Dia sudah cukup mendapatkan ejekan juga penghinaan dari mereka.“Dasar cewek kampungan kurang ajar. Berani sekali kamu menamparku?” Naik pitam Jessy dan dia tidak terima ditampar oleh Rena.Dengan emosi yang tersulit dan dia juga merespon kembali tamparan Rena dengan membalasnya. Rena pun tidak kalah tinggal diam, ketika ditampar lagi, dia membalasnya.Hingga emosi mereka benar-benar meluap. Semua barang juga tas yang dipegang berserakan di lantai.Sekarang kedua tangan Rena maupun Jessy sudah berada di kepala. Mereka sedang aduk tarik menarik rambut.Aku membekap mulutk
“Meski saya jomblo, selera saya ga seburuk itu, Nona!” sahut Billy sedikit kecut, dia hanya melirik dari spion seperti gak ada saringan sama sekali saat berbicara.Dia langsung menolak mentah-mentah niat baikkuAku melihat situasi sedikit tidak sesuai dengan harapan.“Xoxoxo, ingat Billy, karma itu nyata loh. Nanti kamu kena batunya sendiri,” celetukku sedikit menyumpahi.Billy tidak menggubris ucapan dan tetap fokus pada menyetir.“Kami turun di sini saja,” kataku dan sepertinya Renata pun gak keberatan.“Disini? Kamu yakin? Ini masih cukup jauh dari kampus,” Axel yang melihat keluar jendela, karena aku minta berhenti di salah satu taman.“Ga apa, kami mau ngobrol dulu dan aku mau lanjut makan!” kataku sambil menunjukkan box kue yang aku bawa tadi.Axel terlihat tidak rela, tapi dia tidak bisa menolak keinginanku.“Hati-hati, setelah kuliah langsung kabarin aku. Aku akan menjemputmu,” Axel berpesan saat aku membuka pintu mobilnya. Dan mobil melesat pergi.“Jadi, rumor yang tersebar d
“Lalu? Apa ini?! Aku kan hanya bilang, kau temani dia, bukan kau makan bersama dengannya,” cetus Axel.Ini sudah jelas kalau dia sedang terbakar cemburu.“Ti–tidak, Tuan, mana berani saya seperti itu. Itu … itu …,” Billy menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung menjelang dengan serba-salah.“Aku yang menyuruhnya. Bukannya kamu sedang sibuk dengan wanita mu,” sahutku tidak kalah sewot.“Kau?!”“Apa? Mau marah? Kalau mau marah, marah saja padaku. Aku kan bilang, aku kelaparan dan belum sarapan. Aku pikir kamu mau menemaniku, tapi apa coba? Kamu malah mengusirku!” Axel hanya mengeluarkan satu kata, aku membalasnya dengan sikap lebih posesif darinya.Aku berdiri dihadapannya sambil berkacak pinggang. Aku juga kesal karena Axel tidak langsung memberikan penjelasan padaku.Billy hanya memalingkan wajah, pura-pura tidak mendengar saat aku sedang beradu argumen dengan tuannya.Axel menghela napas sebelum melanjutkan ucapan, “Dia, Carol, maksudku, Carolina Herrera, rekan bisnis ku. Aku
“Kamu yang siapa? Seenaknya menyambut pacar orang! Memangnya kamu pikir senyuman kamu itu bagus!” cetusku sewot dan gak mau kalah.Aku ga bisa mengingat apapun tentang kejadian ini. Karena semua kejadian yang aku alami aku merubahnya. Jadi, ini merupakan hal baru bagiku.Di kehidupan lalu, wanita itu gak pernah ada. Karena memang aku gak sedekat itu dengan Axel.Tapi, karena di kehidupan ini aku memilih Axel. Tantangan baru harus aku perjuangkan. Dia adalah seorang Axel Witsel Witzlem.“Pa–pacar? Cih percaya diri sekali kamu?! Sejak kapan Axel Ku punya pacar,” cibir wanita itu lalu melayangkan tatapan pada Axel, “Siapa wanita jelek ini, seenaknya saja ngaku-ngaku pacarmu?!” si wanita tadi pun gak mau kalah denganku melirik pada Axel.Dia berperilaku sama dengan diriku. Mengejek balik.“Dia memegang pacarku. Aku gak ngaku-ngaku. Kamu tanya saja,” jawabku semakin ketus, tapi anehnya Axel masih saja diam.Hih, kok Axel diam sih? Apa dia gak peduli denganku. Kenapa dia gak mau membelaku s
“Sudahlah, aku sudah bosan memerankan peran pelayan dan majikan. Aku mau posisiku kembali. Dan, itu sudah sepantasnya kan?” Lanjut ucapanku semakin tajam pada Minna.“Tapi, Kak … aku sama sekali gak pernah berma–...,”“Nona Regina, tas anda. Sepertinya, ponsel Anda terus berbunyi,” kata Markus menyela bicara dan berada diantara kami.Mau tidak mau Minna menghentikan ucapannya.“Uhm, baiklah, aku lelah. Energiku terkuras begitu saja untuk hal yang sepele. Ingatkan mereka lagi Markus. Apa yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan uang. Semuanya gak gratis lagi. Kalau mereka mau makan, suruh mereka bekerja lebih dulu,” pesanku lebih sarkas lagi gak peduli kalau mereka semakin merutukiku dengan kebencian.“Baik Nona, saya akan pastikan semua berjalan dengan kemauan Nona,” kata Markus menjawab dengan jelas.Martha dan Minna sudah seperti menggali lubangnya sendiri. Niatnya, mengusir Lusi yang dianggap sebagai batu sandungan mereka, tapi keputusan yang aku ambil diluar dugaan mereka.“Dan