Di perjalanan, Darren disuguhkan dengan antrean berbagai kendaraan. Lolongan klakson saling bersahutan seakan-akan berteriak agar kemacetan segera terurai. Darren membuka kaca, kemudian bertanya kepada seorang pengamen jalanan. "Dek, ada apa di depan?""Di sana ada tabrakan beruntun, Tuan," jawab sang pengamen sambil menunjuk. "Sudah lama?""Belum, Tuan. Polisi saja belum datang."Sayup terdengar jeritan orang-orang membuat Darren bergidik ngeri. Setelah berucap terima kasih dan memberi beberapa lembar uang kepada pengamen itu, Darren menutup kaca. Matanya melihat ke belakang melalui kaca spion. "Astaga! Kejebak, deh. Gak bisa maju mundur."Lolongan sirine dari mobil polisi dan ambulan menambah tegang suasana kala itu. Dalam hati, Darren berharap semoga tidak ada para karyawannya yang menjadi korban. Seketika dirinya ingat Rossi. Gegas ia mengusap layar ponselnya yang memang ia simpan di atas dasbor. "Astaga! Angkat Bu!" ucap Darren panik karena Rossi tak kunjung menerima panggila
Malam menjelang. Helena mengendap memastikan jika Olivia sudah tertidur. Pintu yang tidak terkunci tentu saja memudahkan dirinya untuk masuk. Setelah dirasa aman, Helena kembali ke luar. Tok tok tok! Helena mengetuk pintu kamar Bagas. "Ck! Masa jam segini udah tidur?" Helena merasa kesal karena Bagas tak kunjung membukakan pintu. Lagi, Helena mengetuk pintu lebih kencang. "Apa, sih?!" tanya Bagas kesal saat membuka pintu. Helena nyelonong masuk. "Ke luar!"Bukannya ke luar, Helena justru merebahkan diri di kasur. "Lena tau apa yang akan Anda lakukan, Tuan," ledek Helena. "Hallaahh! Sok tau!"Hening. "Lena gak mau hidup susah!"Bagas tersenyum sinis. "Lalu?""Pokoknya, Lena pastikan Darren jatuh dalam pelukan Lena!""Sudah kuduga!"Helena terkekeh-kekeh. Pun dengan Bagas yang mengatakan bahwa dirinya akan menemui Sadewo untuk meminta keadilan. Adik kakak itu akan menggunakan waktu selama tujuh hari sebaik-baiknya. ***Pagi itu Bagas dan Helena mengantar Olivia ke bandara.
Rumah megah bak istana sudah di depan mata. Mobil hitam nan mewah pun sudah memasuki gerbang. Darren bergegas turun. Kaki jenjangnya melangkah tegas menuju rumah. Tempat pertama yang Darren tuju tentu saja kamarnya. Baru saja merebahkan diri, terdengar suara ketukan pintu. "Masuk saja, tidak dikunci," ujarnya. Darren merubah posisinya menjadi duduk setelah tahu siapa yang menemuinya. "Bagas beneran datang ke kantor?" tanya Sadewo. "Iya. Meminta yang tentu saja menurutnya adalah sebagai haknya.""Tolong pertahankan apa pun yang terjadi.""Baiklah, tenang saja.""Ayah bertanya boleh?"Darren mengangguk. "Silakan!""Bagaimana kalau Ayah kembali bersama ibumu?"Darren tersenyum tipis. Ia menjawab jika keputusan itu sudah pasti ada di tangan Rossi."Aku bukan anak kecil yang harus dibujuk rayu agar menerima pinangan seseorang kepada ibunya. Itu urusan kalian.""Intinya setuju?""Kalau ibu bahagia, aku pun turut. Tapi, yang menjadi pertanyaan, apakah ibu mau?"Mendengar pertanyaan demi
Tak lama setelah mengakhiri pembicaraan dengan Bagas, dua orang direktur berikut bawahan mereka masuk ke ruangan Darren. Mereka menundukkan kepala, tak berkutik.Darren paham betul dengan sikap mereka. Ia menghubungi Abimanyu dan kepala HRD agar segera ke ruangannya. Pun kedua polisi yang sedari tadi berada di luar. Tak lupa meminta Bagas untuk turut hadir. "Baiklah, semua sudah berkumpul. Sejujurnya saya tidak mau hal seperti ini terjadi. Saya tahu, istri atau orang tua Anda semua pasti kecewa. Pun mungkin saja hati Anda semua saat ini menyimpan dendam kepada saya," ujar Darren. Darren meminta semua menyebutkan peran masing-masing. Bahkan salah satu diantara mereka mengatakan jika dirinya tidak dapat mengembalikan uang tersebut karena sudah ia kirimkan kepada ibunya di desa. "Saya siap ditahan, Tuan," ucapnya sambil mengulurkan kedua tangan siap untuk diborgol.Batin Darren berkecamuk. Sungguh miris. Ia sendiri merasakan bagaimana hidup kekurangan. Akan tetapi, menyelewengkan uang
Di balik kemudi, Darren menghubungi Sadewo. Ia memastikan keberadaan sang ayah. "Ayah masih di rumah. Sebentar lagi akan pergi. Ada apa?""Tunggu! Ada hal penting yang harus dibicarakan.""Baiklah. Ayah tunggu."Darren mengakhiri panggilan. Mobil pun ia pacu dengan kecepatan tinggi. Mobil milik Darren sudah terparkir di garasi rumah utama. Gegas ia turun dan menemui Sadewo. "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Sadewo penasaran. Darren duduk di sofa. "Bagas datang ke kantor. Tepatnya saat kita melaksanakan rapat.""Lalu?""Dia membawa surat kepemilikan perusahaan. Di sana jelas tertulis bahwa pemilik perusahaan adalah Bagas, lengkap dengan tanda tangan pemberi waris.""Apa?!" Sadewo tercengang sambil memegang dadanya. Rasa sakit menyerang. "Tidak! Tidak mungkin! Ayah tidak pernah menandatangani. Jangankan menandatangani, membuat suratnya saja tidak pernah!""Ayah! Ayah tenang dulu!" Darren menenangkan Sadewo dan menjelaskan perihal kebenaran surat itu. "Ge punya bukti jika surat
Hari demi hari kesehatan Rossi berangsur membaik. Wanita paruh baya itu menyibukkan diri di dapur. Ia kekeh ingin menyiapkan sarapan untuk putranya. "Kenapa sepagi ini ada di sini?" tanya Sadewo. "Maaf, sudah berani memakai dapur punya Mas," ujar Rossi. "Emm ... maksud Mas bukan itu. Tapi, harusnya kamu istirahat. Biarkan bibi yang memasak.""Aku sudah terbiasa. Sudah lama juga tidak membuatkan masakan kesukaan putraku."Sadewo hanya menghela napas. "Bi, tolong buatkan saya nasi goreng!" titah Sadewo kepada pembantunya. "Baik, Tuan."Sadewo pergi meninggalkan dapur. Seiring dengan kepergiannya, Rossi mengatakan kepada sang pembantu agar dirinya saja yang membuatkan nasi goreng untuk Sadewo. Ucapan Rossi samar terdengar oleh Sadewo. Senyum pun terukir lebar. Aneka menu sudah terhidang di meja makan. "Bi, tolong panggilkan Tuan. Biar saya yang panggil Darren," kata Rossi. "Baik, Nya."Tok tok tok! Rossi mengetuk pintu seraya memanggil Darren. "Ge, sarapan sudah siap!"Selang be
Di apartemen, Helena sedang asyik menghubungi Olivia. Gadis itu bercerita perihal sang kakak yang sudah menjadi pemilik perusahaan. "Apa?! Apa yang sudah kakakmu lakukan, Lena?katakan!""Ka-kalau itu, Lena tidak tau, Mi.""Jangan bohong! Selama ini kalian selalu bersekongkol!""Mi, come on! Kita seperti ini juga ikutin Mami!""Jaga mulutmu!"Brak! Pintu kamar Helena terbuka dengan kencang. "Astaga!" Helena kaget. "Mi, sepertinya Kak Bagas ada masalah," ucapnya pelan. Helena menaruh ponsel tanpa mematikannya. "Kenapa, sih?" tanya Helena kepada Bagas. Napas Bagas memburu. Rahangnya mengeras. "Bangsat! Darren dan Sadewo sudah mempermalukan aku di hadapan para investor!""Maksudnya?""Perkara tanda tangan palsu Sadewo yang sudah aku palsukan itu!""Di surat kepemilikan perusahaan itu?" Helena memastikan.Bagas mendengkus. "Ck! Di mana lagi? Banyak tanya!"Helena menepuk bantal. "Jadi, kita miskin lagi, dong?"Seketika mata Helena membola, mengingat sesuatu. Q"Uang yang sudah Kakak
Di IGD sebuah rumah sakit, tampak Bagas tengah mendapatkan pertolongan pertama. Wajah tampannya penuh luka lebam, bahkan terus meringis sambil memegang pergelangan tangan kirinya. Erangan Bagas karena sakit menggema."Aaaah! Pelan-pelan, Dokter!" seru Bagas saat mendapatkan beberapa jahitan di pelipis dan ujung bibir. "Tahan sebentar. Tangan anda juga patah. Untungnya tidak harus operasi, hanya pasang gips saja."Dokter pun membalut tangan yang patah itu. "Darren sialan!" celetuk Bagas. Pletak! Salah seorang pengawal Darren memukul kepala Bagas. "Sembarangan! Masih untung anumu tidak Tuanku patahkan!"Bagas mendengkus. "Sudah selesaikan, Dok? Tidak usah dirawat, kan?" tanya pengawal Darren. "Ti-""Rawat saja, Dok, rawat!" timpal Bagas. "Tidak usah, Tuan," lanjut dokter itu. "Ayok!" Pengawal Darren memasang borgol di tangan kanan Bagas, lalu dikaitkan dengan tangan dirinya. "Dia seorang tahanan?" tanya sang dokter. "Iya. Dia penjahat kelamin!"Dokter itu melongo, kemudian t
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad