Di balik kemudi, Darren menghubungi Sadewo. Ia memastikan keberadaan sang ayah. "Ayah masih di rumah. Sebentar lagi akan pergi. Ada apa?""Tunggu! Ada hal penting yang harus dibicarakan.""Baiklah. Ayah tunggu."Darren mengakhiri panggilan. Mobil pun ia pacu dengan kecepatan tinggi. Mobil milik Darren sudah terparkir di garasi rumah utama. Gegas ia turun dan menemui Sadewo. "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Sadewo penasaran. Darren duduk di sofa. "Bagas datang ke kantor. Tepatnya saat kita melaksanakan rapat.""Lalu?""Dia membawa surat kepemilikan perusahaan. Di sana jelas tertulis bahwa pemilik perusahaan adalah Bagas, lengkap dengan tanda tangan pemberi waris.""Apa?!" Sadewo tercengang sambil memegang dadanya. Rasa sakit menyerang. "Tidak! Tidak mungkin! Ayah tidak pernah menandatangani. Jangankan menandatangani, membuat suratnya saja tidak pernah!""Ayah! Ayah tenang dulu!" Darren menenangkan Sadewo dan menjelaskan perihal kebenaran surat itu. "Ge punya bukti jika surat
Hari demi hari kesehatan Rossi berangsur membaik. Wanita paruh baya itu menyibukkan diri di dapur. Ia kekeh ingin menyiapkan sarapan untuk putranya. "Kenapa sepagi ini ada di sini?" tanya Sadewo. "Maaf, sudah berani memakai dapur punya Mas," ujar Rossi. "Emm ... maksud Mas bukan itu. Tapi, harusnya kamu istirahat. Biarkan bibi yang memasak.""Aku sudah terbiasa. Sudah lama juga tidak membuatkan masakan kesukaan putraku."Sadewo hanya menghela napas. "Bi, tolong buatkan saya nasi goreng!" titah Sadewo kepada pembantunya. "Baik, Tuan."Sadewo pergi meninggalkan dapur. Seiring dengan kepergiannya, Rossi mengatakan kepada sang pembantu agar dirinya saja yang membuatkan nasi goreng untuk Sadewo. Ucapan Rossi samar terdengar oleh Sadewo. Senyum pun terukir lebar. Aneka menu sudah terhidang di meja makan. "Bi, tolong panggilkan Tuan. Biar saya yang panggil Darren," kata Rossi. "Baik, Nya."Tok tok tok! Rossi mengetuk pintu seraya memanggil Darren. "Ge, sarapan sudah siap!"Selang be
Di apartemen, Helena sedang asyik menghubungi Olivia. Gadis itu bercerita perihal sang kakak yang sudah menjadi pemilik perusahaan. "Apa?! Apa yang sudah kakakmu lakukan, Lena?katakan!""Ka-kalau itu, Lena tidak tau, Mi.""Jangan bohong! Selama ini kalian selalu bersekongkol!""Mi, come on! Kita seperti ini juga ikutin Mami!""Jaga mulutmu!"Brak! Pintu kamar Helena terbuka dengan kencang. "Astaga!" Helena kaget. "Mi, sepertinya Kak Bagas ada masalah," ucapnya pelan. Helena menaruh ponsel tanpa mematikannya. "Kenapa, sih?" tanya Helena kepada Bagas. Napas Bagas memburu. Rahangnya mengeras. "Bangsat! Darren dan Sadewo sudah mempermalukan aku di hadapan para investor!""Maksudnya?""Perkara tanda tangan palsu Sadewo yang sudah aku palsukan itu!""Di surat kepemilikan perusahaan itu?" Helena memastikan.Bagas mendengkus. "Ck! Di mana lagi? Banyak tanya!"Helena menepuk bantal. "Jadi, kita miskin lagi, dong?"Seketika mata Helena membola, mengingat sesuatu. Q"Uang yang sudah Kakak
Di IGD sebuah rumah sakit, tampak Bagas tengah mendapatkan pertolongan pertama. Wajah tampannya penuh luka lebam, bahkan terus meringis sambil memegang pergelangan tangan kirinya. Erangan Bagas karena sakit menggema."Aaaah! Pelan-pelan, Dokter!" seru Bagas saat mendapatkan beberapa jahitan di pelipis dan ujung bibir. "Tahan sebentar. Tangan anda juga patah. Untungnya tidak harus operasi, hanya pasang gips saja."Dokter pun membalut tangan yang patah itu. "Darren sialan!" celetuk Bagas. Pletak! Salah seorang pengawal Darren memukul kepala Bagas. "Sembarangan! Masih untung anumu tidak Tuanku patahkan!"Bagas mendengkus. "Sudah selesaikan, Dok? Tidak usah dirawat, kan?" tanya pengawal Darren. "Ti-""Rawat saja, Dok, rawat!" timpal Bagas. "Tidak usah, Tuan," lanjut dokter itu. "Ayok!" Pengawal Darren memasang borgol di tangan kanan Bagas, lalu dikaitkan dengan tangan dirinya. "Dia seorang tahanan?" tanya sang dokter. "Iya. Dia penjahat kelamin!"Dokter itu melongo, kemudian t
Semua menu sarapan akhirnya berhasil terhidang. Olivia bergegas menyendok nasi, serta lauk-pauk untuk Bagas, kemudian ia simpan di atas nampan. "Bagas, buka pintunya!" seru Olivia. Tidak berselang lama, Bagas membuka pintu. "Kenapa gak sama pembantu aja, sih, Mi?"Olivia masuk, kemudian menyimpan nampan itu di atas meja. "Di sini tidak ada pembantu. Kalau pun kamu sehat, tidak akan Mami bawakan meskipun kamu merengek minta diantar ke kamar!""Makanlah," lanjutnya. "Ck! Suapinlah, Mi. Tangan Bagas'kan lagi sakit.""Tangan kananmu, kan, bisa, Gas!""Lagi maen HP!"Olivia melotot. "Simpan dulu! Dan makanlah!"Bagas melempar ponselnya ke atas kasur. Laki-laki itu merasa sikap sang Mami berubah total."Mami kenapa, sih? Gak suka Bagas di sini?""Biasa saja! Habiskan sarapannya dan jangan lupa obatnya diminum. Mami mau siap-siap ke kantor."Olivia meninggalkan kamar Bagas. Akan tetapi, baru saja akan menutup pintu, wanita paruh baya itu berbalik dan kembali menghampiri Bagas. "Mami mau
Hari yang dinantikan oleh seluruh karyawan PT. Aji Jaya Grup pun tiba. Kedatangan mereka disambut oleh suasana halaman perusahaan yang memang luas disulap menjadi sebuah tempat mewah. Di sana banyak meja dan kursi yang dihias. Semua karyawan dilayani bak seorang raja dan ratu. Masing-masing meja dilayani oleh dua orang pelayan. Makanan serta minuman spesial terhidang. Beberapa tamu undangan pun sudah menempati kursi yang sudah disediakan, termasuk di sana hadir Sadewo serta Rossi. Hanya saja, ada yang berbeda dari sebelumnya, yakni pemilik perusahaan tidak mengundang awak media. "Wah, mewah sekali!""Aku gak nyangka bakal seperti ini.""Pemimpin kali ini memang the best!"Semua karyawan memuji tempat, hidangan, serta konsep acara hari itu. Terdengar seorang host membuka acara. Susunan acara pun dibacakannya. Tiba saatnya sambutan dari pemilik perusahaan. "Selamat pagi," sapa Darren. Semua kompak menjawab sapa sang CEO diiringi dengan riuh tepuk tangan. "Terima kasih atas antusi
Tiba di rumah utama, Darren mengantar Sadewo untuk beristirahat di kamar. Ia sangat mengerti dengan diamnya sang ayah. "Ayahmu bagaimana?" tanya Rossi ketika melihat Darren hendak ke kamarnya. "Tampaknya ayah sedikit syok, Bu."Rossi menganggukkan kepalanya, kemudian berkata. "Ge, Ibu mau kembali ke desa.""Kenapa? Ibu tidak kasihan sama ayah?"Rossi mengernyit. "Kita bukan siapa-siapa lagi, Ge. Dan tidak baik juga kami yang bukan suami istri tinggal dalam satu atap, bukan?"Setelah menimbang, akhirnya Darren menyetujui keputusan Rossi. "Baiklah, mari Ge antar.""Tidak, Ibu diantar Bimo saja.""Biar Ge sa-"Rossi menimpali ucapan Darren dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya pertanda sang putra berhenti bicara. Spontan saja membuat Darren membisu. "Kamu istirahat saja," kata Rossi, kemudian berlaku dari hadapan Darren. Rossi mengambil kopernya di kamar, lalu menghampiri Bimo di garasi. Tanpa canggung wanita paruh baya itu meminta Bimo untuk mengantarnya pulang. Darren hanya
Seminggu sudah berlalu. Hampir setiap hari, Sadewo mengunjungi Helena. Tepat hari itu pula Sadewo berniat ingin berkunjung ke pusara Olivia. Tiba di pemakaman, Sadewo disuguhkan dengan pemandangan yang tak biasa. Di sana terlihat seseorang tengah bersimpuh di malam Olivia. Isak tangisnya terdengar jelas di telinga Sadewo. "Maafkan, Bagas, Mi. Bagas gak sengaja," ucap Bagas disela tangisnya. Tangis Bagas makin menjadi. "Bagas janji akan jadi anak penurut, anak yang bisa banggain Mami, seperti pinta Mami waktu lalu," sambungnya dengan napas tersengal. "Tepati permintaan Mamimu," sambar Sadewo sambil berjongkok tepat di samping Bagas. Bagas terhenyak dan hendak berdiri. Namun, Sadewo berhasil menahan Bagas. Pria paruh baya itu membujuk Bagas agar tidak membenci Darren dan menyudahi aksinya yang bisa mencelakai orang lain. Pun Sadewo berjanji tidak akan memenjarakan Bagas. Bagas bergeming. "Darren tidak menyuruh orang-orang itu untuk berbuat bejat terhadap adikmu.""Aku tidak per