Masih dari tempat persembunyiannya, Aruna terus menatap aktivitas yang terjadi di kolam renang. Tidak lama setelah mereka terjatuh, sosok Dimitri pun mulai muncul ke permukaan. Tanpa menoleh ke belakang, pria itu langsung pergi begitu saja.
Beberapa menit lagi menunggu, kening Aruna berkerut dalam. Pasalnya sosok Ganindra belum juga muncul ke permukaan. Tapi suara kecipak air masih jelas terdengar. "Dia kok belum muncul juga ya? Keasyikan berenang apa gimana dah?" Aruna bergumam pelan pada dirinya sendiri. " ... " Beberapa menit lagi berlalu, tapi sosok Ganindra belum juga naik ke permukaan yang membuat Aruna tanpa sadar merasa khawatir. "Dia nggak dilukai sama suaminya Kanina 'kan?" bisik Aruna khawatir. Setelah melakukan beberapa pertimbangan, dengan langkah setengah mengendap, Aruna berjalan mendekati kolam renang. Sesampainya di sana, mata Aruna membelalak melihat ke teng"Ganindra, tunggu!" Aruna berteriak sekuat tenaga sambil menggeret kopernya dengan terseok-seok menuju tempat parkir hotel bintang lima yang seharusnya mereka tempati untuk menginap malam ini. Dari kejauhan, Aruna melihat Ganindra yang hendak masuk ke dalam mobilnya, dan bersiap untuk meninggalkannya. "Kamu terlambat lima menit," ujar Ganindra seraya melirik jam mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. "Di jam tanganku baru 55 menit tuh. Masih ada waktu 5 menit sebelum tepat satu jam seperti yang sudah kita sepakati," tukas Aruna berkilah. " ... " Ganindra terdiam seraya menatap lamat-lamat pada wajah Aruna. Hal ini lantas membuat Aruna langsung mengatupkan bibir dengan waspada. Takut Ganindra akan menganggapnya terlalu berisik dan kembali menciumnya seperti tadi. Sungguh imajinasi yang sangat indah untuk dibayangkan. Akan tetapi, hal itu tentu saja tidak terjadi. Ganindra justru berkata
"Tuh 'kan. Kita sama-sama sakit jadinya," seloroh Aruna tak berdaya. Setelah memastikan kalau Ganindra juga demam seperti dirinya, pertama-tama Aruna mengambil handuk kecil dari kamarnya, lalu menggunakannya untuk mengompres dahi Ganindra agar tidak terlalu panas. Baru setelah itu, Aruna berjalan menuju dapur untuk membuat bubur yang mudah dicerna bagi mereka berdua. Untungnya di dalam kulkas sudah penuh dengan berbagai macam bahan mentah. Tidak seperti saat pertama kali dia datang. Aruna membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam untuk menyelesaikan masakannya. Walaupun dia sendiri sedang sakit, Aruna masih bisa memaksakan diri untuk mengerjakan semua ini. Dia memindahkan satu mangkok bubur yang lumayan banyak ke atas nampan. Dua gelas berisi air juga tidak lupa dia siapkan beserta obat demamnya. Baru setelah itu, Aruna kembali ke dalam kamar Ganindra. Aruna meletakkan nampannya di atas nakas samping tempat tidur kemudi
"Ngomong-ngomong, hubunganmu dengan Kanina itu seperti apa sih? Kalau kalian memang saling suka, kenapa kalian tidak bersama? Kenapa dia malah menikah dengan orang lain?" tanya Aruna kepo. Dia tidur telentang sambil menerawang menatap langit-langit kamar. Mengingat kalau Kanina sudah memiliki anak yang terlihat cukup besar, itu artinya pernikahan wanita itu dengan pria bernama Dimitri sudah berjalan selama beberapa tahun lamanya. "Jangan berisik!" ujar Ganindra. Akan tetapi, Aruna memilih untuk mengabaikannya. Dia ingin memanfaatkan saat-saat ini untuk mengulik informasi soal mereka berdua. Paling tidak dia harus tahu medan perang yang dihadapi. "Terus kenapa kamu nggak bisa renang? Bukannya anak-anak orang kaya itu dari sejak kecil sudah kursus renang?" tanya Aruna lagi. " ... " Ganindra seperti biasa hanya diam tak menjawab. Dan Aruna pun tidak memaksanya. Siapa yang tahu ada luka dibalik it
[Aku sibuk. Hubungi lagi nanti,] Kanina menatap sebaris pesan dari Ganindra dengan bola mata hampir pecah. Selama 28 tahun dia hidup di dunia ini, baru pertama kalinya Ganindra membalasnya seperti ini. "Ini seperti bukan Ganindra. Dia tidak pernah melakukan hal ini padaku," bisik Aruna pada dirinya sendiri. Sejak Ganindra tiba-tiba pergi tanpa pamit di acara pesta ulang tahunnya semalam, Kanina sudah mulai dilanda risau. Dia bahkan tidak bisa tidur nyenyak bahkan setelah mengetahui alasan kembalinya Ganindra ke ibukota. Sepengetahuan Kanina soal Ganindra selama bertahun-tahun, pria itu akan selalu mendahulukan dirinya dibandingkan dengan apapun yang ada di dunia ini. Bahkan meeting penting sekalipun. "Aku nggak percaya kalau pesan ini ditulis oleh Ganindra. Pasti bukan dia. Tapi kalau bukan dia, siapa lagi? Nggak mungkin si Aruna 'kan?" Kening Kanina berker
Sambil berbaring di tempat tidurnya, air mata mengalir melalui sudut mata Kanina. Dia yang paling membenci pemaksaan harus berkali-kali dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak dia inginkan. Dia sudah sangat muak. Bukan hanya karena telah dipisahkan dari kekasih hatinya sendiri, dia juga dipaksa untuk melayani Dimitri dan bertahan pada pernikahan yang tidak diinginkannya itu. "Ganindra~" Kanina membisikkan nama itu entah untuk yang keberapa kalinya pagi ini. Dia juga tidak menyerah untuk mencoba menghubungi pria itu. Akan tetapi yang terus-terusan menjawab teleponnya adalah mesin operator. "Percuma saja kamu menghubungi Ganindra, mungkin dia sendiri sedang menghabiskan waktu bersama istrinya," seloroh Dimitri. Dia tidak terlihat terkesan dengan air mata yang bersimbah di pipi Kanina. Dia lebih sibuk mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Suatu kebiasaan yang dia lakukan setiap kali mereka selesai bercinta.
"I-itu ... " Ganindra tergagap. Dia kembali tidak bisa menyelesaikan kata-katanya. Dan hal ini membuat Aruna yang mendengar keragu-raguan itu bahkan merasa lebih kesal lagi. Dia yang belum masuk ke dalam kamar pun dengan cepat berbalik untuk menatap kedua insan itu. "Iya. Kami baru saja tidur bareng. Kamu kenapa sih, datang-datang pakai ganggu segala!" omel Aruna. Ucapan Aruna membuat Kanina terperangah. Hal yang paling tidak ingin dia dengar pun menusuk gendang telinganya, membuat kepalanya seketika berdengung. "Ndra, k ... kamu ... " Suara Kanina bergetar saat menuntut kebenaran dari Ganindra. Matanya juga mulai berkaca-kaca menunjukkan keluhan. "I-ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan kok," ujar Ganindra berusaha untuk menjelaskan posisinya. Namun, ekspresi sedih di wajah Kanina membuatnya tidak bisa menjelaskan dengan benar. Pada
Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu
"Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt
Rahang Aruna mengetat, dan gigi gerahamnya bergemeretak menahan amarah. Dengan langkah pelan, dia lantas mengikis jarak antara dirinya dan juga Bimo. Dia kemudian menunduk agar garis mata mereka berada dalam satu bidang yang sejajar. “Kamu kenapa tertawa?” tanya Aruna di depan wajah Bimo. “Apakah ada yang lucu?” “Aku menertawakan kamu.” “Kenapa kamu menertawakan aku?” tanya Aruna. “Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?” Aruna mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Menyenangkan!” jawabnya. “Dengan uang, aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Termasuk juga menghabisimu!” “Kamu mau menghabisiku?” Aruna tidak ragu-ragu menganggukkan kepalanya. “Benar. Aku sudah muak terus dimanfaatkan oleh pria sepertimu. Dan hanya kematianlah yang bisa membuat hal itu terjadi. Apa kamu sudah siap?” Setelah mengatakan hal ini, Aruna dapa
Keesokan harinya, Ganindra membawa Aruna menuju sebuah gudang kosong yang letaknya berada di pinggiran kota. Lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan juga jalan besar. Melihat jalan raya yang semakin sunyi, Aruna tidak bisa berhenti membuat praduga terkait kehidupan orang kaya. Melihat Ganindra dengan mudahnya melakukan hal semacam ini, itu artinya orang kaya lain juga pasti bisa melakukan hal serupa. “Sudah sampai, ayo turun!” ajak Ganindra. Tegurannya membuat Aruna segera tersadar dari lamunan panjangnya. “Oh, sudah sampai?” tanyanya. “Iya,” jawab Ganindra. Turun dari mobil Ganindra, Aruna mengedarkan tatapan matanya ke segala penjuru mata angin. Di depan Aruna saat ini terdapat satu-satunya Gudang yang dikelilingi oleh semak belukar. Berada di tempat ini saat malam hari pasti akan terasa menyeramkan. Bahkan saat kondisi matahari tengah terik, tempat ini terlihat tampak suram. Hal i
Sesuai dengan apa yang dia rencanakan kemari, hari ini Aruna membantu ibunya mengurus gugatan cerai untuk Bimo di pengadilan agama. Setelah itu, dia membantu Amara mencari sepeda motor yang dia tinggalkan di jalan kemarin. Setiap rumah dan warung yang ada di pinggir jalan itu mereka tanyai, tapi jawaban yang mereka terima tetap nihil. Tidak ada orang yang mengetahui siapa yang mengangmbil sepeda motor itu. “Setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari deh. Tapi karena motor itu beneran hilang, jadinya kita beli yang baru aja buat Amara,” tukas Aruna pada ibunya. “Ya udah. Ayo pergi beli,” timpal Belinda. “Tapi nanti dulu deh, Bu. Aku nggak punya pengalaman beli-beli begini. Gimana kalau kita minta tolong sama Mbak Eka dan Mas Dandi?” “Oke,” jawab Belinda mengangguk setuju. Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Aruna segera men
“Loh, kalian disitu?” sapa Belinda dengan nada sedikit keheranan saat melihat Aruna dan Amara bukannya masuk ke rumah dulu, tapi malah asyik mengobrol di depan sasana tinju. Belum lagi tampang mereka yang kumal tidak seperti biasanya membuat lebih curiga. “Bu,” “Tante,” Aruna dan Amara menyapa Belinda dengan serentak. “Kalian kenapa? Kok tampang kalian kumel begitu?” tanya Belinda seraya berjalan mendekat. “Ceritanya panjang. Nanti aja kita certain di rumah,” jawab Aruna seraya bangkit dari posisi terduduknya di atas lantai semen. Tindakannya pun diikuti oleh Amara. “Mbak Eka, kami pulang dulu. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya,” ucap Aruna sambal menggoyangkan botol air yang sudah tandas isinya. “Sama-sama. Berarti untuk hari ini kalian nggak berlatih?” tanya Mbak Eka, “Besok ajalah, Mbak,” jawab Aruna sembari mering
“Hiyaaaa!” Teriakan Aruna bergema di langit sore yang mulai terlihat kelabu. Dengan sekuat tenaga dia lalu mengayunkan tangannya yang memegang balok kayu dan menghantamkannya dengan keras pada selangkangan pria yang hendak ingin membekuknya. Amara pun melakukan hal yang serupa. Jerita seperti babi kemudian terdengar saling bersahut-sahutan dengan dramatis. “Kerja bagus, Mbak. Sekarang ayo lari!” seru pemuda itu. Baru beberapa saat dirinya berlatih tinju, tapi refleks Aruna dan Amara sudah mulai menunjukkan hasil walau samar. Setidaknya dalam kondisi darurat seperti saat ini mereka tidak hanya bisa bengong seperti orang bodoh. Sebelum rasa sakit yang melanda orang-orang itu mulai mereda, Aruna dan Amara sudah melarikan diri bersama pemuda yang belum mereka ketahui namanya itu hingga ke tempat yang aman. “Terima kasih, sudah membantu kami bebas dari orang-orang
“Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu
“Yah, mulai besok aku nggak bakal punya teman makan siang lagi,” celetuk Amara dikala mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja. Aruna pun lantas mendengus pelan. “Cih, habisnya kamu sih. Kenapa juga nggak mau langsung ikut aku aja buat resign terus kita buka bisnis bareng.” “Tsk,” Amara mendecakkan lidahnya dengan keras. “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Palingan juga rasa mellow ini cuma akan bertahan selama beberapa hari,” tukas Amara untuk mengusir kesenduan yang berputar di antara mereka. “ … “ Aruna tidak menanggapi. Mereka sudah membicarakan soal ini beberapa waktu lalu. Tidak ada gunanya untuk terus ngotot meminta Amara selalu mengikuti jejaknya. Sahabatnya ini jelas memiliki pendapar sendiri. Dia hanya perlu menghormatinya. “Rencama kamu apa setelah ini?” tanya Amara mengalihkan topik pembicaraan. “Em, belajar nyetir deh aku rasa,” jawab Aruna s
"Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt
Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu