[Aku sibuk. Hubungi lagi nanti,]
Kanina menatap sebaris pesan dari Ganindra dengan bola mata hampir pecah. Selama 28 tahun dia hidup di dunia ini, baru pertama kalinya Ganindra membalasnya seperti ini. "Ini seperti bukan Ganindra. Dia tidak pernah melakukan hal ini padaku," bisik Aruna pada dirinya sendiri. Sejak Ganindra tiba-tiba pergi tanpa pamit di acara pesta ulang tahunnya semalam, Kanina sudah mulai dilanda risau. Dia bahkan tidak bisa tidur nyenyak bahkan setelah mengetahui alasan kembalinya Ganindra ke ibukota. Sepengetahuan Kanina soal Ganindra selama bertahun-tahun, pria itu akan selalu mendahulukan dirinya dibandingkan dengan apapun yang ada di dunia ini. Bahkan meeting penting sekalipun. "Aku nggak percaya kalau pesan ini ditulis oleh Ganindra. Pasti bukan dia. Tapi kalau bukan dia, siapa lagi? Nggak mungkin si Aruna 'kan?" Kening Kanina berkerSambil berbaring di tempat tidurnya, air mata mengalir melalui sudut mata Kanina. Dia yang paling membenci pemaksaan harus berkali-kali dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak dia inginkan. Dia sudah sangat muak. Bukan hanya karena telah dipisahkan dari kekasih hatinya sendiri, dia juga dipaksa untuk melayani Dimitri dan bertahan pada pernikahan yang tidak diinginkannya itu. "Ganindra~" Kanina membisikkan nama itu entah untuk yang keberapa kalinya pagi ini. Dia juga tidak menyerah untuk mencoba menghubungi pria itu. Akan tetapi yang terus-terusan menjawab teleponnya adalah mesin operator. "Percuma saja kamu menghubungi Ganindra, mungkin dia sendiri sedang menghabiskan waktu bersama istrinya," seloroh Dimitri. Dia tidak terlihat terkesan dengan air mata yang bersimbah di pipi Kanina. Dia lebih sibuk mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Suatu kebiasaan yang dia lakukan setiap kali mereka selesai bercinta.
"I-itu ... " Ganindra tergagap. Dia kembali tidak bisa menyelesaikan kata-katanya. Dan hal ini membuat Aruna yang mendengar keragu-raguan itu bahkan merasa lebih kesal lagi. Dia yang belum masuk ke dalam kamar pun dengan cepat berbalik untuk menatap kedua insan itu. "Iya. Kami baru saja tidur bareng. Kamu kenapa sih, datang-datang pakai ganggu segala!" omel Aruna. Ucapan Aruna membuat Kanina terperangah. Hal yang paling tidak ingin dia dengar pun menusuk gendang telinganya, membuat kepalanya seketika berdengung. "Ndra, k ... kamu ... " Suara Kanina bergetar saat menuntut kebenaran dari Ganindra. Matanya juga mulai berkaca-kaca menunjukkan keluhan. "I-ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan kok," ujar Ganindra berusaha untuk menjelaskan posisinya. Namun, ekspresi sedih di wajah Kanina membuatnya tidak bisa menjelaskan dengan benar. Pada
Haaahhh~ Di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Ganindra menghela nafas panjang. Dia mendengar apa saja yang dibicarakan oleh Kanina dan juga Aruna di luar sana. Tetapi jika dia ingin menyela kesepakatan yang dibuat oleh kedua wanita itu terkait dengan dirinya, Ganindra tidak mau dihadapkan pada situasi yang lebih rumit daripada ini. Lebih dari siapapun, dia sangat mengenal perangai Kanina yang tidak pernah mau kalah dengan orang lain. Tok tok tok, "Ndra, aku mau ngomong sebentar aja. Kamu bisa keluar, nggak?" suara Kanina terdengar dari balik pintu kamar. Namun, Ganindra meremas jemari tangannya dengan kuat untuk menahan diri agar tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena bertatap muka dengan Kanina. Setelah momen dirinya hampir tenggelam malam itu, Ganindra mulai memikirkan setiap kata-kata yang dilontarkan oleh Aruna. Jika wanita yang tidak sepadan dengan dirinya itu
"Pernahkah kamu jatuh hati padaku?" Pertanyaan dari Ganindra ini membuat Aruna terpana dalam waktu yang cukup lama. Dia bahkan bernafas sepelan mungkin agar tidak menggangu momen semi panas di antara mereka. "Menurut kamu sendiri, gimana?" Aruna bertanya balik sembari memainkan alisnya. "Menurutku sih, iya. Tapi aku tidak yakin," bisik Ganindra. Aruna tersenyum tipis. "Rasa sukaku tergantung bagaimana kamu memperlakukanku. Aku akan sangat menyukaimu jika kamu bisa memperlakukan dengan manis. Dan percaya atau tidak, aku juga bisa dengan mudah menepis rasa suka itu jika kamu tidak bisa bersikap lembut padaku," pungkas Aruna dengan percaya diri. Ganindra mendengus sanksi. "Tidak mungkin. Rasa yang telah terlanjur hadir di dalam hati itu tidak mungkin bisa dikontrol dengan mudah." "Akan selalu ada pengecualian di dunia ini," ucap Aruna. Ganindra perlahan menarik kembali tubuhnya unt
“Yah, mulai besok aku nggak bakal punya teman makan siang lagi,” celetuk Amara dikala mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja. Aruna pun lantas mendengus pelan. “Cih, habisnya kamu sih. Kenapa juga nggak mau langsung ikut aku aja buat resign terus kita buka bisnis bareng.” “Tsk,” Amara mendecakkan lidahnya dengan keras. “Sudahlah tidak usah dipikirkan. Palingan juga rasa mellow ini cuma akan bertahan selama beberapa hari,” tukas Amara untuk mengusir kesenduan yang berputar di antara mereka. “ … “ Aruna tidak menanggapi. Mereka sudah membicarakan soal ini beberapa waktu lalu. Tidak ada gunanya untuk terus ngotot meminta Amara selalu mengikuti jejaknya. Sahabatnya ini jelas memiliki pendapar sendiri. Dia hanya perlu menghormatinya. “Rencama kamu apa setelah ini?” tanya Amara mengalihkan topik pembicaraan. “Em, belajar nyetir deh aku rasa,” jawab Aruna s
“Cih, dasar ayam. Beraninya Cuma sama perempuan saja. Sudah gitu pakai keroyokan lagi!” cibir salah seorang pemuda pada Bimo dan antek-anteknya. Aruna dan Amara lantas dengan kompak menatap ea rah pemuda tampan yang baru saja berbicara untuk mereka. “Heh, bocah. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan orang dewasa!” seru Bimo dengan galak. Matanya melotot lebar. Tetapi bukannya merasa gentar, pria muda itu justru membalas tatapan Bimo dengan sorot mata menantang. “Apa kamu?” seru pria itu. “Sialan!” Bimo berseru dengan kesal. Ayah tiri Aruna itu lalu melangkah menghampiri pemuda itu. Tangannya terangkat tinggi berniat untuk melayangkan pukulan pada pemuda tak dikenal itu agar menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak ikut campur dalam urusannya. Namun, pria itu dengan sigap menangkis tangan Bimo. “Berani-beraninya kamu
"Aruna Anastasia, cepat keluar kamu!""Jangan berani-beraninya sembunyi dariku!"Aruna Anastasia yang disebutkan oleh pria itu tengah bersembunyi di balik pilar besar yang ada di lobi perusahaan Widjaja Group tempatnya bekerja. Wanita yang akrab disapa Aruna itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sambil merutuki kebodohan diri sendiri. Bagaimana bisa dia melupakan kalau ayah tirinya yang belangsak itu mengetahui dengan baik tempat kerjanya?"Kamu tunggu saja, Aruna. Aku pasti akan menemukanmu. Sekalipun kamu bersembunyi di lubang cacing, aku pasti akan menemukanmu!" teriak Bimo –nama pria itu. "Permisi, Pak. Dilarang membuat keributan di tempat ini. Silakan keluar!"Dari persembunyiannya, Aruna dapat melihat seorang satpam tengah berusaha untuk mengusir Bimo agar tidak terus berbuat rusuh di lobi kantor."Lepaskan aku. Aku mencari Aruna. Kamu jangan berani-beraninya menyembunyikan wanita tidak tahu diuntung itu dariku!" seru Bimo seraya menepis dengan kasar tangan satpam yang hendak
Perjanjian Pernikahan Kontrak1. Dilarang mencampuri urusan satu sama lain.2. Dilarang jatuh cinta.3. Bercerai setelah satu tahun menikah.Mata Aruna seketika mengerjap beberapa kali setelah membaca setiap kata yang tertulis di atas kertas HVS itu. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Bukankah seharusnya dia dipecat karena kelakuan ayah tirinya yang berbuat onar kemarin? Tetapi kenapa dia malah ditawarkan pernikahan? Belum lagi dengan ajaibnya orang yang menawarkan pernikahan padanya adalah orang yang sudah cukup lama Aruna kagumi. Sayangnya, berapa kali pun Aruna mengajak kepalanya untuk berpikir, dia tetap tidak menemukan jawaban yang paling mungkin. Alhasil dia dengan takut-takut mengangkat kepala untuk menanyakan langsung maksud dari semua ini."Maaf, Pak. Tapi apa maksud dari semua ini ya?" tanya Aruna dengan hati-hati."Kamu tidak perlu tahu. Dan jangan banyak tanya. Tanda tangani saja surat perjanjian itu!" tukas Ganindra." ... "Nada sengit yang