Beberapa saat berselang Alma sudah selesai berbelanja di warung. Dia langsung pulang sambil tersenyum membawa belanjaan yang dibelinya. “Aku sudah beli kebutuhan kita, kamu jangan cemas,” ucap Alma dengan bangga memperlihatkan apa yang dibawanya pada Haris. Haris merespon dengan senyuman saat melihat Alma tersenyum lepas. Alma pergi ke dapur untuk memasak, lalu Haris menyusul. “Biar aku bantu,” ucap Haris sambil membuka kantong plastik berisi belanjaan Alma. “Tidak usah, kamu tunggu saja,” tolak Alma. “Aku bisa bantu,” kekeh Haris. Alma menatap Haris yang memaksa, lalu akhirnya membiarkan saja Haris membantu. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Haris. Alma sejenak tampak berpikir sebelum menjawab, “Bantu saja aku mengupas bawang." “Bawang yang mana?” tanya Haris menatap bawang putih dan merah di meja. “Semuanya, bawang merahnya lima biji, bawang putihnya empat,” jawab Alma. Haris mengangguk. Dia mulai mengupas bawang merah lebih dulu. Awalnya biasa saja, tapi sa
Rara menatap Alma yang berdiri di hadapannya. Dia sengaja datang ke sana karena kesal Adhitama memecatnya. Bahkan Rara berniat memberitahukan kebohongan Haris pada Alma, juga taruhan mereka. “Ada perlu apa?” tanya Alma lagi karena Rara tidak kunjung menjawab. Saat Rara hendak bicara, dia melihat Haris keluar dan membuat Rara memilih menahan diri. Sementara itu Haris jelas terkejut melihat Rara berada di sana. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Haris tanpa basa-basi. Dia takut jika Rara sampai bicara macam-macam ke Alma. “Oh, aku ke sini ingin mengantar dokumen saja. Tadi mampir ke rumahmu, tapi kata pembantumu kamu pergi dan mungkin ada di rumah Alma,” jawab Rara. Alma tidak memiliki perasaan curiga sama sekali. Dia malah mempersilakan Rara masuk. “Aku buatkan minum dulu,” ucap Alma setelah Rara duduk. Haris memandang Alma yang berjalan ke dapur, begitu Alma sudah menghilang dari pandangan, Haris langsung menatap benci pada Rara. “Apa maksudmu datang ke sini?” Haris mengam
Meski curiga dengan kedatangan Rara dan sikap Haris setelahnya, tapi Alma masih bisa bersikap biasa. Seperti saat menjelang tidur malam ini, Alma yang baru saja memastikan semua pintu sudah tertutup mendekat ke lemari untuk mengambil selimut. Dia tersenyum pada Haris yang tampak bersandar pada kepala ranjang sambil menonton berita dari televisi berukuran tak seberapa. "Kamu pasti merasa aneh, karena TV di kamarku hanya sebesar tempe," kata Alma. Dia mendekat ke ranjang lalu membentangkan selimut menutupi kakinya dan Haris. Mendengar ucapan merendah Alma yang lucu, Haris hanya tertawa. "Masih bagus masih bisa nonton TV," balas Haris. Alma hanya tersenyum simpul, dia mengatur bantalnya lalu tiduran miring memandang Haris yang masih duduk. "Pak Haris!" Alma iseng memanggil suaminya lalu terkekeh kecil. Haris menoleh sambil menekuk bibir, tangannya terulur melewati kepala Alma lalu membelai pipi wanita itu. "Bapak kenapa bisa ganteng banget? Makan apa dulu waktu kecil?" Haris ma
Haris tak punya pilihan selain pergi ke Mahesa. Setelah sarapan dia pamit ke Alma yang tampak masih saja mencemaskan kondisinya. Tanpa Haris tahu, Alma takut jika sampai Haris kenapa-napa. Dia khawatir dan berpikiran negatif pada Adhitama. 'Bagaimana kalau setelah sampai di sana tiba-tiba sudah ada polisi dan Haris ditangkap?' Sebaik-baiknya Adhitama yang dia tahu, tapi mengingat bagaimana sikap Risha tempo hari membuat Alma khawatir. "Kabari aku kalau sudah sampai Mahesa ya," ucap Alma. Dia berdiri di depan Haris yang tampak gagah seperti biasa. "Aku pasti akan mengabarimu, baik-baik di rumah dan jangan pergi ke mana-mana, aku akan menyelesaikan masalah secepatnya dan langsung pulang," kata Haris. Alma mengangguk, dia meminta Haris hati-hati sesaat sebelum pria itu naik ke taksi online yang sudah dipesan. Alma melambaikan tangan, dia berniat masuk ke dalam setelah taksi yang suaminya tumpangi pergi, akan tetapi tetangganya yang kebetulan melintas lebih dulu menyapa.
Haris menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, dia tidak ingin terlalu sore pulang bekerja sehingga berakibat bisa membuat Alma curiga. Haris juga meminta sedikit bantuan pada Andre terkait pekerjaan, karena dia belum mendapat sekretaris. Haris meregangkan punggung, dia baru ingat kalau sejak tadi lupa memberi kabar pada Alma. "Ya Tuhan! Aku lupa!" Haris berdiri tergesa sambil membuka ponsel dan mengetikkan pesan. Dia berjalan menuju pintu ruang kerjanya untuk keluar sambil terus mengetik pesan. Haris menyelesaikan tulisannya lebih dulu sebelum tangannya meraih gagang pintu untuk membuka. Saat pintu terbuka, alangkah terkejutnya Haris melihat Alma sudah berdiri di depan. Tak lama bunyi notifikasi pesan di ponsel Alma berbunyi, Alma dengan wajah datar memandang layar gawainya yang ada di tangan. Ya, pesan itu berasal dari Haris, pria yang saat ini berada tepat di depannya. "Al...Alma," ucap Haris dengan nada suara bergetar. Alma menatap penuh kekecewaan, dia tak percaya den
Alma keluar dari lift masih dengan memegang keningnya, dia berjalan buru-buru sambil menyembunyikan wajahnya yang sedih. Alma Alma tak peduli dengan tatapan karyawan yang kebetulan berpapasan dengannya. Dia terus berjalan cepat bahkan tak sadar saat melewati Adhitama dan Andre."Sepertinya Haris ketahuan," ucap Adhitama.Andre tak merespon, dia menoleh Alma yang berjalan cepat pergi dari gedung Mahesa dengan tatapan cemas.Alma merasa kalut, sepanjang perjalanan pulang dia harus menahan rasa sakit di kepala juga mual.Sesampainya di rumah Alma menumpahkan tangisan, dia benar-benar bingung dengan perasaannya sendiri. Alma kecewa tapi juga tak bisa membenci Haris. Dia marah, tapi juga tak bisa menjelaskan kenapa hatinya sesakit ini.Alma akhirnya memilih untuk mengurung diri di kamar, hingga dia terlelap tidur dan terbangun karena suara petir yang menggelegar.Alma kaget karena ternyata hujan turun cukup deras. Dia menyalakan lampu tidur dan bersyukur listrik di sana tidak mati."Sudah
Saat pagi hari. Haris bangun tapi tidak melihat Alma di kamar. Dia terkejut dan langsung turun dari ranjang karena takut jika Alma pergi meninggalkannya. Namun, saat baru saja keluar dari kamar, Haris mendapati Alma di dapur sedang menyiapkan sarapan. Dia juga melihat kantong plastik berlogo apotek di meja. Alma menoleh dan melihat Haris yang ternyata sudah bangun. “Duduklah dan sarapan sebelum minum obat,” ucap Alma sambil menyajikan sarapan di meja. Haris menatap mangkuk berisi bubur yang baru saja Alma letakkan. Dia terkejut, jam berapa Alma bangun sampai sepagi ini sudah bisa membuat bubur? Haris duduk berhadapan dengan Alma. Mereka mulai sarapan bersama, tapi Alma memilih untuk tidak bicara. “Apa kamu masih marah?” tanya Haris karena tidak tahan jika Alma mendiamkannya seperti ini. “Apa aku terlihat marah?” Alma melempar balik pertanyaan tanpa menatap pada Haris. “Iya, karena kamu hanya diam saja,” jawab Haris terus memperhatikan Alma. Alma akhirnya menatap pada
Haris berangkat ke kantor dengan kondisi yang masih demam, dia sedikit menyesal karena kemarin memilih untuk berdiam diri di teras menunggu Alma membukakan pintu. Meski dengan kondisi badan yang tidak prima, Haris tetap bekerja. Dia sudah beberapa hari meninggalkan meja kerjanya hingga pekerjaan juga cukup banyak untuk diselesaikan.Haris berniat secepatnya mengurus pekerjaan agar bisa segera menyusul Alma ke kantor Risha. Namun, kondisi tubuhnya semakin tidak bisa diajak kerjasama. Haris menggigil kedinginan hingga memilih mematikan pendingin ruangan. Haris menoleh ke arah jendela, karena mungkin sudah musimnya, hujan lagi-lagi turun membasahi bumi begitu deras.Haris sejenak tertegun, tapi setelahnya kembali fokus ke pekerjaan.[Ndre, bisa ke ruanganku? Laporan kemarin sudah aku selesaikan semua]Haris mengirimkan pesan pada Andre, seperti kemarin dia masih meminta bantuan pemuda itu untuk mengurus pekerjaan yang biasa sekretaris kerjakan.Andre sendiri tak merasa keberatan. Sesaa
Setelah mengantarkan Alma pulang ke rumah, Haris malah berpamitan hendak keluar tanpa mengatakan alasannya kepada Alma. Lelaki itu pergi begitu saja setelah sebelumnya selama di perjalanan pulang dari rumah sakit terus memikirkan apa yang Alma katakan tentang kecelakaan yang menimpanya tadi. "Mobil itu melaju kencang tetapi ketika melihat Alma hendak menyebrang mobil itu tak berhenti atau mengurangi kecepatannya sama sekali?" Walaupun Haris tahu itu bisa saja terjadi sebab si pengemudi gugup setelah melihat Alma yang hendak menyebrang sehingga tak dapat mengendalikan kecepatan mobilnya, tetapi entah mengapa perasaan Haris tak enak. Dia khawatir dan takut kalau-kalau yang menimpa istrinya tadi itu bukan hanya sebuah kebetulan, melainkan sebuah kesengajaan yang orang lain perbuat untuk menyakiti. Maka dari itu, setelah mengantarkan Alma pulang ke rumah, Haris pergi ingin mengecek CCTV yang ada di kafe seberang kantor My Lily. Dia ingin memastikan jika kecelakaan itu memang bukan
Sementara itu, Rico yang termakan ucapan Rara— yang mengatakan jika dipecat dari Mahesa karena Alma mulai memikirkan untuk memberikan balasan pada Alma. Rico lantas berencana untuk menyakiti Alma untuk membalas dendam atas rasa sakit hati sang adik. Rico tak terima dan dia juga tidak akan membiarkan Alma begitu saja. Beberapa hari ini Rico menghabiskan waktunya untuk memperhatikan Alma dan aktivitas wanita itu yang bekerja di My Lily. Seperti hari ini, Rico membuntuti Alma dengan pakaian serba tertutup agar tak mudah dikenali orang-orang. Rico juga mulai mengawasi setiap gerak-gerik Alma. Dia bahkan dengan sabar menunggu seperti orang kurang kerjaan. Siang hari, Rico melihat Alma keluar dari kantor My Lily. Matanya yang tajam terus mengawasi ke mana Alma akan pergi. Ternyata Alma hendak membeli kopi di kafe yang ada di seberang jalan. Rico tersenyum iblis, dia sudah memutuskan apa yang akan dilakukan ke Alma. "Sudah saatnya kamu merasakan akibat perbuatanmu mengusik Rara
Alma menunggu Haris menjemputnya sore itu. Semua staf sudah pulang satu persatu begitu juga dengan Risha yang tadi menawarkan tumpangan tapi ditolak dengan sopan oleh Alma. Alma berkata pada Risha kalau Haris akan menjemputnya, jadi dia akan menunggu sebentar lagi. Alasan Alma ini membuat Risha sampai menggoda."Wah ... jadi kalian sudah baikan?" "Kami akan pulang ke rumah," balas Alma dengan pipi merona.Risha merasa senang, dia terus menggoda Alma sampai akhirnya meninggalkan kantor My Lili. Alma tampak masih berdiri sambil memegang ponsel, dia sempat bertegur sapa juga dengan satpam yang masih berjaga. Tak berselang lama sedan mewah Haris muncul. Alma tak bisa menyembunyikan rasa senangnya saat melihat sosok pria yang dicintainya itu menurunkan kaca jendela. "Atas nama ibu Alma?" goda Haris menirukan gaya pengemudi taksi online. Alma tersenyum semakin lebar, dia hendak meraih gagang pintu tapi Haris lebih dulu mencegahnya. Pria itu turun lalu memutari bagian depan mo
Keesokan harinya. Alma membangunkan Haris karena dia harus pergi bekerja lagi ke kantor Risha seperti kemarin.Alma sudah menyiapkan sarapan bahkan obat yang harus Haris minum.“Kalau masih kurang sehat, tinggallah di rumah dulu, tidak usah ke kantor. Aku mau ke tempat Kak Risha dulu,” ujar Alma. Dia menempelkan tangannya ke kening Haris untuk memastikan bahwa demam suaminya itu benar-benar sudah reda.Haris merasa berbunga-bunga mendapat perlakuan seperti itu. Dia meraih tangan Alma lalu mengecupnya. “Apa tidak sebaiknya kita pulang ke rumah hari ini?” Haris tidak ingin menunda kepulangan mereka. "Bukannya apa-apa, rumah itu lebih dekat jaraknya ke kantor Risha," imbuh Haris.Alma diam berpikir. Alasan Haris memang ada benarnya.“Tidak masalah, kamu ke kantor Risha saja dulu, nanti aku akan menjemputmu di sana,” ujar Haris melihat Alma hanya diam.“Baiklah,” balas Alma mengiyakan saja.Alma pun izin berangkat. Namun, ternyata Alma tidak langsung pergi ke kantor My Lily. Diam-diam
Beberapa saat sebelumnya. Siang tadi Risha mengajak Alma makan bersama.Alma sendiri tidak menolak Risha sebagai bukti kalau dirinya saat ini sudah tidak marah lagi.“Kamu tahu, waktu pertama kali diadopsi oleh keluargaku dan dibawa ke rumah, Kak Haris melakukan sesuatu yang membuat Papa marah,” ucap Risha sambil menyuapkan makanan ke dalam mulut.“Melakukan apa?” tanya Alma penasaran.“Dia ‘kan diadopsi bukan dibawa untuk bekerja, tapi setiap pagi Kak Haris pasti membantu pekerjaan pembantu, dari menyiram tanaman, berkebun, sampai Papa marah-marah karena Kak Haris malah sibuk melakukan itu,” jawab Risha lalu tertawa pelan.“Benarkah?” tanya Alma penasaran.“Iya, bahkan aku ingat Papa sampai berkata seperti ini, ‘Kenapa mengerjakan pekerjaan di sini, kamu itu diangkat jadi anak bukan pembantu.’ Papa marah begitu,” ucap Risha dengan lagak meniru papanya dulu.“Lalu, apa yang Pak Haris, ah … maksudku suamiku lakukan?” tanya Alma begitu antusias ingin tahu.“Tetap saja besoknya Kak Haris
Haris berangkat ke kantor dengan kondisi yang masih demam, dia sedikit menyesal karena kemarin memilih untuk berdiam diri di teras menunggu Alma membukakan pintu. Meski dengan kondisi badan yang tidak prima, Haris tetap bekerja. Dia sudah beberapa hari meninggalkan meja kerjanya hingga pekerjaan juga cukup banyak untuk diselesaikan.Haris berniat secepatnya mengurus pekerjaan agar bisa segera menyusul Alma ke kantor Risha. Namun, kondisi tubuhnya semakin tidak bisa diajak kerjasama. Haris menggigil kedinginan hingga memilih mematikan pendingin ruangan. Haris menoleh ke arah jendela, karena mungkin sudah musimnya, hujan lagi-lagi turun membasahi bumi begitu deras.Haris sejenak tertegun, tapi setelahnya kembali fokus ke pekerjaan.[Ndre, bisa ke ruanganku? Laporan kemarin sudah aku selesaikan semua]Haris mengirimkan pesan pada Andre, seperti kemarin dia masih meminta bantuan pemuda itu untuk mengurus pekerjaan yang biasa sekretaris kerjakan.Andre sendiri tak merasa keberatan. Sesaa
Saat pagi hari. Haris bangun tapi tidak melihat Alma di kamar. Dia terkejut dan langsung turun dari ranjang karena takut jika Alma pergi meninggalkannya. Namun, saat baru saja keluar dari kamar, Haris mendapati Alma di dapur sedang menyiapkan sarapan. Dia juga melihat kantong plastik berlogo apotek di meja. Alma menoleh dan melihat Haris yang ternyata sudah bangun. “Duduklah dan sarapan sebelum minum obat,” ucap Alma sambil menyajikan sarapan di meja. Haris menatap mangkuk berisi bubur yang baru saja Alma letakkan. Dia terkejut, jam berapa Alma bangun sampai sepagi ini sudah bisa membuat bubur? Haris duduk berhadapan dengan Alma. Mereka mulai sarapan bersama, tapi Alma memilih untuk tidak bicara. “Apa kamu masih marah?” tanya Haris karena tidak tahan jika Alma mendiamkannya seperti ini. “Apa aku terlihat marah?” Alma melempar balik pertanyaan tanpa menatap pada Haris. “Iya, karena kamu hanya diam saja,” jawab Haris terus memperhatikan Alma. Alma akhirnya menatap pada
Alma keluar dari lift masih dengan memegang keningnya, dia berjalan buru-buru sambil menyembunyikan wajahnya yang sedih. Alma Alma tak peduli dengan tatapan karyawan yang kebetulan berpapasan dengannya. Dia terus berjalan cepat bahkan tak sadar saat melewati Adhitama dan Andre."Sepertinya Haris ketahuan," ucap Adhitama.Andre tak merespon, dia menoleh Alma yang berjalan cepat pergi dari gedung Mahesa dengan tatapan cemas.Alma merasa kalut, sepanjang perjalanan pulang dia harus menahan rasa sakit di kepala juga mual.Sesampainya di rumah Alma menumpahkan tangisan, dia benar-benar bingung dengan perasaannya sendiri. Alma kecewa tapi juga tak bisa membenci Haris. Dia marah, tapi juga tak bisa menjelaskan kenapa hatinya sesakit ini.Alma akhirnya memilih untuk mengurung diri di kamar, hingga dia terlelap tidur dan terbangun karena suara petir yang menggelegar.Alma kaget karena ternyata hujan turun cukup deras. Dia menyalakan lampu tidur dan bersyukur listrik di sana tidak mati."Sudah
Haris menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, dia tidak ingin terlalu sore pulang bekerja sehingga berakibat bisa membuat Alma curiga. Haris juga meminta sedikit bantuan pada Andre terkait pekerjaan, karena dia belum mendapat sekretaris. Haris meregangkan punggung, dia baru ingat kalau sejak tadi lupa memberi kabar pada Alma. "Ya Tuhan! Aku lupa!" Haris berdiri tergesa sambil membuka ponsel dan mengetikkan pesan. Dia berjalan menuju pintu ruang kerjanya untuk keluar sambil terus mengetik pesan. Haris menyelesaikan tulisannya lebih dulu sebelum tangannya meraih gagang pintu untuk membuka. Saat pintu terbuka, alangkah terkejutnya Haris melihat Alma sudah berdiri di depan. Tak lama bunyi notifikasi pesan di ponsel Alma berbunyi, Alma dengan wajah datar memandang layar gawainya yang ada di tangan. Ya, pesan itu berasal dari Haris, pria yang saat ini berada tepat di depannya. "Al...Alma," ucap Haris dengan nada suara bergetar. Alma menatap penuh kekecewaan, dia tak percaya den