Sudah dua hari sejak Adhitama pergi, Risha memilih tinggal di apartemennya untuk menenangkan diri.
Pagi itu dia berada di dapur untuk menyiapkan sarapan sambil melamun. Sejak suaminya pergi hari itu sampai saat ini, ia tidak memberikan kabar apa pun pada Risha. Apakah suaminya itu begitu senang bertemu dengan Sevia hingga ia melupakan istrinya sendiri? “Kenapa aku harus pusing memikirkan mereka?” Risha menggeleng pelan, mencoba menepis rasa penasaran dan kekesalan yang mulai timbul di hati. Risha menarik napas pelan dan memejamkan mata untuk menenangkan diri, tetapi terganggu dengan suara bel pintu apartemennya yang berbunyi. “Siapa yang tahu aku ada di sini?” tanya Risha lantas buru-buru ke depan. Di depan pintu Risha terpaku. Di sana Adhitama berdiri diam menatap padanya. Risha melihat kembali sang suami. Wajahnya yang tampan, rambutnya yang hitam legam, dan mata gelap nan tajam itu pernah membuat Risha begitu mencintai Adhitama. Hingga saat ini. Namun, Risha telah bertekad, ia tidak boleh jatuh cinta lagi pada Adhitama. Risha memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya, mengusir perasaan rindu pada Adhitama yang tiba-tiba menyeruak hatinya. Saat Risha membuka mata, napasnya tertahan. Adhitama telah berdiri begitu dekat di hadapannya. Adhitama masih diam, namun kakinya dengan pelan melangkah masuk, membuat Risha harus melangkah mundur hingga terpojok di tembok. Tubuhnya bergetar, tetapi ia harus tenang. Dengan seluruh kekuatan di dalam hatinya, Risha bertanya “Kenapa Mas Tama tiba-tiba datang ke sini? Bukankah Mas punya urusan penting?” “Kenapa ponselmu mati?” tanya Adhitama dingin, tidak menghiraukan pertanyaan Risha. Risha membalas tatapan Adhitama yang dingin. “Aku hanya ingin sendiri.” "Apa karena hari itu kamu jadi begini?" tanya Adhitama. Kening Risha berkerut halus, hatinya mencelos. Apa ia sedang membicarakan pertemuannya dan Sevia? Karena Risha tidak menjawab apa pun, Adhitama kembali bersuara dengan sangat pelan hampir berbisik, hingga membuat darah Risha berdesir. “Pulanglah.” “Kenapa harus pulang? Aku masih ingin di sini,” balas Risha pelan sambil memalingkan wajah. Adhitama melangkah mundur, kedua tangan ia masukkan ke dalam saku. “Kakek sangat cemas karena kamu tidak bisa dihubungi. Aku menjemputmu pulang agar kita bisa menemui Kakek bersama." Risha tersenyum kecut mendengar ucapan Adhitama. ‘Kupikir dia datang atas keinginannya sendiri karena mencemaskanku, ternyata kedatangannya karena perintah Kakek,’ gumam Risha dalam hati penuh kekecewaan. Seharusnya Risha tidak boleh berharap Adhitama akan berubah dan peduli padanya. Risha melangkah menjauh dari Adhitama dan menuju meja makan sambil berkata, “Aku akan menemui Kakek nanti. Jadi, katakan saja pada Kakek untuk tidak mencemaskanku. Aku baik-baik saja.” “Apa kamu ingin menemui Kakek sendiri karena mau menyampaikan keinginanmu?” tanya Adhitama curiga. Risha hanya tersenyum tipis, tidak ada gunanya menjelaskan apa yang dia inginkan pada Adhitama. “Aku minta kamu untuk tidak bertindak macam-macam,” kata Adhitama datar. Tanpa menatap Adhitama, Risha membalas, “Permintaanku tidak macam-macam, aku hanya ingin bercerai dari Mas Tama.” Ada perasaan tidak mengenakkan di hati Adhitama, tetapi Adhitama tetap diam lalu berjalan mengikuti Risha. Meskipun hatinya kecewa, sebagai istri Risha tetap akan melayani Adhitama. Risha mengambil sandwich yang tadi sudah disiapkan dan telur dadar di penggorengan, ia berjalan sambil menatap Adhitama yang berdiri tak jauh dari meja makan. “Aku hanya ingin kita tak lagi saling menyakiti,” ucap Risha sambil meletakkan piring berisi sandwich dan telur ke meja lalu menaruhnya di depan Adhitama. “Sarapan, Mas.” Adhitama masih diam menatap Risha melihat menyiapkan sarapan lain. “Duduklah, Mas. Mungkin ini sarapan terakhir yang bisa aku buat untuk Mas Tama,” ucap Risha dengan senyum getir menatap piring di meja. Risha diam-diam menghela napas, tetapi dengan tenang dia menoleh pada Adhitama dan berkata, “Karena setelah ini, ada wanita lain yang setiap pagi akan menyiapkan sarapan untuk Mas Tama." Adhitama mengernyit dan ekspresi wajahnya berubah. “Apa yang kamu bicarakan?” Risha mengulas senyum tipis mendengar pertanyaan Adhitama. Tidak ingin menjawab pertanyaan itu, Risha lantas berucap, “Maaf karena aku sudah menjadi orang ketiga di antara Mas Tama dan wanita itu.” Ekspresi wajah Adhitama makin berubah. Adhitama hendak menjawab ucapan Risha, tetapi ponsel di kantong celana pria itu berbunyi. Adhitama melihat nama kontak di ponselnya. ‘Itu pasti dari Sevia.’ batin Risha tersenyum masam. "Pergilah, Mas, wanita yang Mas cintai sudah menunggu.” Risha memutar tumit berjalan memunggungi Adhitama setelah bicara. Namun, Risha tidak tahu, wajah Adhitama berubah gelap. Dengan langkah cepat, Adhitama menggamit lengan Risha hingga membuat istrinya itu berputar cepat berhadapan dengannya.Adhitama tidak pernah menyangka bahwa Risha benar-benar ingin bercerai darinya tanpa ragu-ragu. Terlebih, sejak tadi Risha selalu berkata ‘wanita lain’ padanya.Adhitama merasa marah.Dia menatap lekat istri kecilnya di bawahnya.Istri kecilnya ini memang cantik. Adhitama tidak merasa rugi ketika dijodohkan dan harus menikah dengan Risha. Risha juga berasal dari keluarga dengan reputasi yang baik, tetapi Adhitama tidak pernah mencintainya.Cengkeraman Adhitama di lengan Risha cukup keras, membuat Risha meringis. “Lepaskan aku, Mas.”Akan tetapi, alih-alih dilepas, Adhitama justru menggendong Risha dan melemparkan Risha ke sofa duduk ruang tamunya.Adhitama menekan Risha di sofa yang sempit. Adhitama menyatukan keningnya, lalu berpindah ke hidung. Kemudian, Adhitama menggerakkan bibirnya ke belakang Risha dan berbisik, “Kamu tidak mengenalku dengan baik, Risha.”Tubuh Risha bergetar. Sofa yang sempit ini membuat Risha kesulitan bergerak, hingga menyentuh bagian bawah Adhitama yang menge
[Aku tidak bisa menjemputmu. Pergilah naik taksi ke rumah Kakek.]Risha membaca pesan Adhitama lantas buru-buru mengunci layar ponselnya setelah menyambut kedatangan Haris dengan pelukan.Risha tersenyum menyapa Haris. Senyuman untuk menutupi kekecewaan Risha yang kesekiankalinya pada Adhitama.Haris tampak mengerutkan alis melihat adik kecilnya. Curiga meski tidak sempat melihat kata-kata yang tertulis di sana.Haris adalah anak angkat orang tua Risha. "Apa itu suamimu?” tanya Haris.Risha mengangguk lalu menggenggam erat ponselnya.“Apa dia tahu kalau kemarin kamu pingsan dan .... "Risha menggeleng cepat.Kedatangan pria yang sudah Risha anggap kakak kandungnya itu untuk memastikan kondisinya.Ya, setelah bertemu Sevia waktu itu Risha pingsan di jalan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Saat sadar Risha memilih meminta bantuan Haris untuk menjemputnya.Pria itu bahkan sempat membuat dokter mengira sebagai suami Risha. Ucapan selamat dari dokter yang mengatakan Risha tengah hamil ju
Adhitama tidak membalas, pria itu hanya menatap Risha dengan ekspresi yang tidak bisa Risha artikan.Mereka masih terus saling tatap dalam diam hingga Risha yang lebih dulu membuang tatapannya dan pergi meninggalkan Adhitama tanpa berkata apa pun lagi.Risha masuk kembali ke ruang makan dan menuju kursinya diiringi tatapan mata semua orang, terutama Kakek Roi. “Kenapa kamu mual? Apa jangan-jangan kamu hamil?” tanya Kakek Roi antusias.Ditanya dan ditatap dengan pandangan harap dari Kakek Roi membuat jantung Risha berdebar. Risha bingung untuk menjawab pertanyaan Kakek Roi. Haruskah ia jujur atau menutupi kehamilannya?“Kalau ada kabar baik pasti akan kami sampaikan pada semua orang terutama Kakek,” Risha menoleh ketika mendengar suara Adhitama yang sudah berdiri di sampingnya. “tapi ini bukan seperti yang Kakek harapkan. Risha hanya kelelahan.”Bibir Risha memulas senyum ironi, jika Adhitama memang menginginkan anak dari pernikahan mereka, bukankah seharusnya pria itu curiga dengan kon
Risha terus berjalan tanpa arah setelah meninggalkan mobil Adhitama. Meskipun di dalam pikiran Risha, Adhitama hanya memikirkan diri sendiri dan tidak mungkin mau repot-repot mengejarnya. Namun, Risha tetap menoleh ke belakang.Risha semakin merutuki kebodohannya sendiri.Untuk apa berharap pada sesuatu yang tidak mungkin?Risha terus berkelahi dengan pikirannya sendiri sambil tetap berjalan, hingga langkahnya terhenti karena dia mulai kelelahan.Risha mengedarkan pandangan, memastikan saat ini sedang berada di mana, tetapi malah kebingungan.“Di mana ini?”Risha merasa asing dengan jalan yang dilaluinya, apalagi saat ini hari mulai gelap. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Perasaan was-was mulai merayapi hatinya.Dari jauh lampu mobil menyilaukan pandangannya membuat Risha menyipitkan mata. Sebuah mobil mulai mendekatinya, tetapi Risha tidak beranjak.Risha masih diam di tempat hingga mobil itu berhenti di dekatnya. Setelah dengan jelas melihat si pengemudi mobil, pandangan awas Risha beru
Sudah beberapa hari ini Risha tetap berada di apartemen, menjalani hari-harinya.Ia tak ingin pulang ke kediaman Adhitama, meski begitu Adhitama tak menghubunginya sama sekali padahal ponselnya dinyalakan agar tak terjadi masalah lagi.“Sepertinya dia memang tak pernah peduli.”Risha tersenyum getir memandang ponselnya, wanita itu mencoba mengabaikan, tak peduli lagi Adhitama akan menghubunginya atau tidak.Lebih baik ia mempersiapakn dirinya untuk bekerja hari ini.Risha tampak memakai setelan kerja, dia mematut diri di depan cermin sambil mengembuskan napas kasar dari mulut.Sebenarnya tak mudah bagi Risha karena perusahaan tempatnya akan bekerja masih berhubungan dengan Adhitama.Dua tahun lalu saat perusahaan orangtua Risha bangkrut, Kakek Roi memilih mengambil alih. Pria tua itu pun memberi kepercayaan pada Haris untuk menjadi direktur, karena tahu bagaimana kemampuan anak angkat orang tua Risha.Sedang Risha sebenarnya tidak memiliki apa-apa, yang ia miliki hanya kemampuan dan m
“Kenapa dia di sini?” Adhitama heran Sevia sampai datang ke perusahaan, tetapi ekspresi wajahnya sangat datar. Tanpa menunggu jawaban Andre, Adhitama kembali berkata dengan nada sedikit acuh, “Bawa dia pergi dari perusahaan. Katakan padanya aku akan menemuinya, tapi tidak di sini.”“Lalu mau dibawa ke mana, Pak? Nona Sevia sudah berada di sini, kenapa harus diajak ke tempat lain?” tanya Andre bingung.Adhitama mengangkat sebelah alisnya. “Apa masih harus aku yang berpikir?” Andre meneguk ludah menyadari tatapan Adhitama semakin dingin. Andre masih diam ketika atasannya kembali berkata dengan suara yang agak keras, “Kamu yang tentukan, yang penting tidak di perusahaan!”Adhitama tidak ingin menemui Sevia di perusahaan. Pria itu tidak ingin repot mengurus masalah yang mungkin terjadi jika menemui Sevia di sini.Andre terkejut mendengar suara Adhitama yang agak tinggi, tanpa berkata apa pun lagi, Andre pergi dari ruangan dan langsung menemui Sevia.“Bagaimana?” tanya Sevia saat melihat
Adhitama mencengkeram erat kemudi, pedal gas diinjak kencang.Ada perasaan sangat tidak senang di hatinya mengetahui Risha ternyata benar-benar bersama Haris. Jadi, Adhitama cepat-cepat pergi untuk menjemput Risha. Ia tidak bisa membiarkan Risha bersama Haris lebih lama lagi.Saat ini sedang jam makan siang, jalanan ramai, dan itu semakin membuat Adhitama kesal.Adhitama memijat pangkal hidungnya. Tadi, ia butuh hampir dua puluh menit untuk tiba ke kantor ini, dan sekarang ia masih harus menunggu lift?Hatinya benar-benar tidak senang.Di depan pintu lift ada beberapa karyawan yang ingin kembali ke ruangan mereka masing-masing. Akan tetapi, mereka tidak ada yang berani berdiri berdekatan dengan Adhitama. Aura mengancam terasa di sekeliling pria itu.Seluruh karyawan di perusahaan tahu siapa Adhitama, tetapi mereka tidak menyangka Presdir Mahesa Grup akan datang ke kantor mereka.Para karyawan langsung teringat berita hangat pagi tadi tentang istri Adhitama yang juga tiba-tiba datang
Kakek Roi sedang berkunjung ke perusahaan milik mendiang orang tua Risha, beberapa jajaran direksi mengikuti di belakangnya. Pria paruh baya itu sedikit mengernyitkan matanya ketika melihat Risha dan Adhitama dari kejauhan, setelah yakin lantas ia tersenyum kecil dan memanggil keduanya.Risha dan Adhitama terkejut melihat Kakek Roi, keduanya pun langsung bersikap biasa seperti tak terjadi apa-apa.“Kenapa kalian ada di sini?” tanya Kakek Roi setelah sampai di depan Risha dan Adhitama.Risha tersenyum menyembunyikkan rasa canggung, hendak menjawab pertanyaan Kakek Roi, tetapi Adhitama lebih dulu berkata, “Aku baru saja mengantar Risha bertemu Haris,” kemudian menarik tangan Risha sebagai isyarat agar Risha tak membantah ucapannya.Risha terkejut mendengar jawaban Adhitama, hingga suaminya itu kembali berkata, “Sudah lama Risha tidak bertemu Haris. Bagaimana pun mereka ini saudara meski hanya saudara angkat.” Risha hanya diam mendengar semua omong kosong Adhitama, ingin mengelak dan me
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin