Sudah beberapa hari ini Risha tetap berada di apartemen, menjalani hari-harinya.Ia tak ingin pulang ke kediaman Adhitama, meski begitu Adhitama tak menghubunginya sama sekali padahal ponselnya dinyalakan agar tak terjadi masalah lagi.“Sepertinya dia memang tak pernah peduli.”Risha tersenyum getir memandang ponselnya, wanita itu mencoba mengabaikan, tak peduli lagi Adhitama akan menghubunginya atau tidak.Lebih baik ia mempersiapakn dirinya untuk bekerja hari ini.Risha tampak memakai setelan kerja, dia mematut diri di depan cermin sambil mengembuskan napas kasar dari mulut.Sebenarnya tak mudah bagi Risha karena perusahaan tempatnya akan bekerja masih berhubungan dengan Adhitama.Dua tahun lalu saat perusahaan orangtua Risha bangkrut, Kakek Roi memilih mengambil alih. Pria tua itu pun memberi kepercayaan pada Haris untuk menjadi direktur, karena tahu bagaimana kemampuan anak angkat orang tua Risha.Sedang Risha sebenarnya tidak memiliki apa-apa, yang ia miliki hanya kemampuan dan m
“Kenapa dia di sini?” Adhitama heran Sevia sampai datang ke perusahaan, tetapi ekspresi wajahnya sangat datar. Tanpa menunggu jawaban Andre, Adhitama kembali berkata dengan nada sedikit acuh, “Bawa dia pergi dari perusahaan. Katakan padanya aku akan menemuinya, tapi tidak di sini.”“Lalu mau dibawa ke mana, Pak? Nona Sevia sudah berada di sini, kenapa harus diajak ke tempat lain?” tanya Andre bingung.Adhitama mengangkat sebelah alisnya. “Apa masih harus aku yang berpikir?” Andre meneguk ludah menyadari tatapan Adhitama semakin dingin. Andre masih diam ketika atasannya kembali berkata dengan suara yang agak keras, “Kamu yang tentukan, yang penting tidak di perusahaan!”Adhitama tidak ingin menemui Sevia di perusahaan. Pria itu tidak ingin repot mengurus masalah yang mungkin terjadi jika menemui Sevia di sini.Andre terkejut mendengar suara Adhitama yang agak tinggi, tanpa berkata apa pun lagi, Andre pergi dari ruangan dan langsung menemui Sevia.“Bagaimana?” tanya Sevia saat melihat
Adhitama mencengkeram erat kemudi, pedal gas diinjak kencang.Ada perasaan sangat tidak senang di hatinya mengetahui Risha ternyata benar-benar bersama Haris. Jadi, Adhitama cepat-cepat pergi untuk menjemput Risha. Ia tidak bisa membiarkan Risha bersama Haris lebih lama lagi.Saat ini sedang jam makan siang, jalanan ramai, dan itu semakin membuat Adhitama kesal.Adhitama memijat pangkal hidungnya. Tadi, ia butuh hampir dua puluh menit untuk tiba ke kantor ini, dan sekarang ia masih harus menunggu lift?Hatinya benar-benar tidak senang.Di depan pintu lift ada beberapa karyawan yang ingin kembali ke ruangan mereka masing-masing. Akan tetapi, mereka tidak ada yang berani berdiri berdekatan dengan Adhitama. Aura mengancam terasa di sekeliling pria itu.Seluruh karyawan di perusahaan tahu siapa Adhitama, tetapi mereka tidak menyangka Presdir Mahesa Grup akan datang ke kantor mereka.Para karyawan langsung teringat berita hangat pagi tadi tentang istri Adhitama yang juga tiba-tiba datang
Kakek Roi sedang berkunjung ke perusahaan milik mendiang orang tua Risha, beberapa jajaran direksi mengikuti di belakangnya. Pria paruh baya itu sedikit mengernyitkan matanya ketika melihat Risha dan Adhitama dari kejauhan, setelah yakin lantas ia tersenyum kecil dan memanggil keduanya.Risha dan Adhitama terkejut melihat Kakek Roi, keduanya pun langsung bersikap biasa seperti tak terjadi apa-apa.“Kenapa kalian ada di sini?” tanya Kakek Roi setelah sampai di depan Risha dan Adhitama.Risha tersenyum menyembunyikkan rasa canggung, hendak menjawab pertanyaan Kakek Roi, tetapi Adhitama lebih dulu berkata, “Aku baru saja mengantar Risha bertemu Haris,” kemudian menarik tangan Risha sebagai isyarat agar Risha tak membantah ucapannya.Risha terkejut mendengar jawaban Adhitama, hingga suaminya itu kembali berkata, “Sudah lama Risha tidak bertemu Haris. Bagaimana pun mereka ini saudara meski hanya saudara angkat.” Risha hanya diam mendengar semua omong kosong Adhitama, ingin mengelak dan me
Hari itu Arin pergi menemui Sevia. Ini bukan pertemuan pertama, karena sebelumnya mereka sudah pernah bertemu. Arin bertemu Sevia untuk pertama kali saat bersama Rara, mereka tanpa sengaja melihat mobil Adhitama yang saat itu berbelok ke hotel kelas melati. Saat itu Arin sudah sangat optimis dan semangat ingin memergoki Adhitama selingkuh, tetapi sayang ternyata anak tirinya itu hanya menemui Sevia di lobi. Saat itu Arin sedikit kecewa, namun dia juga merasa jika hubungan Sevia dan Adhitama pasti tak biasa karena anak tirinya yang terhormat itu sampai mau menemui wanita di hotel kelas melati. Setelah memastikan Adhitama pergi, Arin nekat menemui Sevia dan mengajak bicara demi tujuannya.Pucuk dicinta ulam tiba, Sevia ternyata menyambut baik ajakannya. Wanita itu bukan wanita baik di mata Arin. “Apa kamu sudah bertemu Tama lagi?” tanya Arin sekadar basa-basi ketika menemui Sevia untuk yang kedua kalinya. “Sudah, tapi Mas Adhitama seperti tak suka dengan keberadaanku di sini, bahk
“Nanti malam kalian harus menginap di rumah.” Kak Roi bicara di sela makan siangnya bersama Risha dan Adhitama. Risha sangat terkejut mendengar ajakan Kakek Roi. Baru dia ingin membuka suara untuk menolak, tapi Adhitama sudah menjawab lebih dulu.“Tentu, Kek. Aku bahkan berniat langsung ke rumah kakek setelah dari sini,” Kakek Roi tersenyum senang, hal itu membuat Risha tak berkutik hingga hanya bisa menerima ajakan Kakek Roi dengan pasrah.Dia menoleh pada Adhitama, pria itu tampak dengan tenang menyesap air mineral dari gelas. Ketenangan Adhitama membuat kedongkolan Risha pada suaminya itu makin naik.Selesai makan, Risha terpaksa harus bersama Adhitama sampai di kediaman utama Kakek Roi. Ketika sampai, Risha mencoba untuk tidak bersama dalam satu ruangan yang sama dengan Adhitama, jadi ia lebih memilih menghabiskan waktu siangnya di perpustakaan.Risha baru kembali ke kamarnya ketika hari terlihat gelap dan ia ingin mandi. Wanita itu lega ketika tidak melihat Adhitama di dalam ka
Risha baru turun menuju halaman belakang ketika ia merasa yakin mualnya sudah hilang.Di halaman belakang, tempat keluarga Adhitama berkumpul untuk minum teh. Semua orang sudah ada di sana, termasuk Adhitama dan ayah mertuanya, Roshadi, yang duduk bersama Kakek Roi.Risha melempar senyum untuk membalas senyum Kakek Roi ketika tiba di halaman belakang. Dia melihat salah satu pelayan rumah Kakek Roi yang hendak menuang teh, dengan sopan, ia meminta teko yang berada di tangan pelayan rumah itu dan mengambil alih. “Biar aku saja.”“Kamu itu ya, selalu saja bisa menyenangkan hati kakek,” ucap Kakek Roi saat melihat Risha menuang teh ke masing-masing cangkir.“Risha memang tipe menantu idaman,” timpal Roshadi.Risha hanya membalas ucapan Kakek Roi dan sang mertua dengan senyuman. Risha terus menuang teh pada cangkir-cangkir hingga tiba saat giliran mengisi cangkir Adhitama, meskipun sadar Adhitama sedang memandanginya Risha memilih tak menoleh sama sekali pada suaminya itu.Tak lama setelah
Cukup lama Adhitama menatap wajahnya dalam diam, membuat Risha tertegun sekaligus tidak mengerti. Risha semakin tidak mengerti dengan sikap Adhitama ketika pria itu ternyata pergi begitu saja meninggalkannya.Risha menatap kepergian Adhitama hingga pintu kamarnya tertutup dengan perasaan yang Risha sendiri tidak mengerti.Tiba-tiba dadanya sesak dan rasanya ingin menangis!Air mata muncul di ujung matanya.Risha tidak mengerti kenapa ia ingin menangis, atau mungkin ini karena kehamilannya? Namun, Risha membiarkan dirinya jatuh terduduk di ranjangnya dan menangis dengan pilu.Ketika pagi harinya, Risha terbangun dan tidak menemukan Adhitama di sebelahnya.Ada perasaan yang mengganjal di hatinya ketika tidak menemukan Adhitama di sampingnya, padahal kemarin ia sendiri yang tidak ingin tidur bersama dengan Adhitama, sekarang melihat ranjang sebelahnya kosong, hatinya tetap tidak enak.Risha merutuki dirinya sendiri. Ini pasti karena hormon kehamilan!Risha memilih bangun lebih cepat dan
Kepercayaan diri Mahira menghilang dan menguap entah ke mana saat datang ke perusahaan tempatnya ingin melamar pekerjaan yang ternyata milik Risha.Gadis itu membeku bak arca purba saat wanita yang anaknya dia jahili di Jogja tersenyum sambil memegang CV di tangan. Hilang sudah harapan Mahira mendapat pekerjaan sebagai host live di sana."Coba jelaskan mengenai dirimu secara singkat!" pinta Risha. Mahira menelan ludah susah payah. Sepertinya dia baru saja menenggak setengah botol air mineral sebelum masuk ke ruang wawancara, tapi entah kenapa kini tenggorokannya terasa kering."Saya ..., saya mudah belajar, energik dan suka anak kecil," ucap Mahira asal. Dia terlalu grogi sampai tidak yakin dengan jawabannya sendiri.Salah satu staf My Lily yang ikut melakukan wawancara tampak kaget, tapi dia heran mendapati Risha yang duduk di sebelahnya malah tersenyum. "Suka anak kecil? Apa maksudmu menggoda anak kecil?" tanya Risha.Mahira kaget, dia diam tak membalas pertanyaan Risha dan kini
Mahira sejenak ragu, tetapi akhirnya menerima uang pemberian Andre itu. "Terima kasih," ucapnya pelan sebelum pergi meninggalkan gedung Mahesa. Berjalan keluar gedung, hati Mahira mulai was-was dan bingung. Kalau dia pulang, sudah pasti dirinya akan dimarahi oleh ayahnya atau lebih parahnya akan diserahkan kembali pada si tua bangka Dendi. Tetapi, jika dia tidak pulang, ke mana dia harus pergi. Setibanya di rumah, Mahira langsung disambut dengan teriakan keras dari ayahnya. "Kamu ke mana saja, hah? Kenapa kamu nggak pulang-pulang? Kenapa malah kabur? Kamu mau bikin papa celaka?" cecar laki-laki paruh baya itu. Mahira lantas mencoba menjelaskan. "Aku cuma mau cari tempat aman, Pa. Aku nggak mau dipaksa nikah sama Pak Dendi." Namun, Salman - ayah Mahira tidak mau mendengar. "Kamu pikir kamu siapa? Kalau bukan karena aku, kamu nggak akan hidup sampai sekarang!" Emosi Mahira memuncak. "Tapi Pa, aku ini anak papa bukan alat buat bayar hutang. Hutang itu kesalahan Papa sendiri
Sepanjang perjalanan ke kantor Andre dan Mahira sama-sama diam. Sampai di kantor Andre mengantar Mahira ke ruang OB dan berbicara sebentar dengan salah seorang karyawan di sana. Andre meminta Mahira untuk ikut mengerjakan pekerjaan OB, sementara dia pergi menemui Adhitama. "Kenapa baru datang?" tanya Adhitama yang keheranan. Karena tidak biasanya Andre terlambat ke kantor seperti ini. Andre terlihat merasa bersalah. "Maaf, Pak. Ada masalah tadi pagi." Adhitama mengangkat alis. "Masalah apa?" Andre menceritakan semuanya secara singkat. Setelah mendengar penjelasan itu, Adhitama bertanya, "Sekarang gadis itu di mana?" Andre menghela napas. "Saya minta OB kantor untuk kasih dia kerjaan. Setidaknya dia tidak terlunta-lunta menggelandang di jalan dan bermanfaat di sini." Adhitama hanya mengangguk tanpa berkomentar lebih jauh. Sementara itu Mahira sibuk menyapu lantai. Meski pekerjaannya sederhana, dia merasa senang karena setidaknya dia tidak merasa seperti beban. Saat selesa
Setelah bicara berdua, Bu Mira dan Andre kembali ke ruang tengah untuk menemui Mahira. Karena hari sudah malam, Bu Mira meminta Mahira untuk istirahat. "Ini sudah malam, Mahira kamu bisa tidur di kamar Andre malam ini," kata Bu Mira. Andre menghela napas berat. "Terus aku tidur di mana, Ma? Di dapur?" Mendengar itu, Mahira langsung bangkit dari sofa. "Tante, nggak usah repot. Aku tidur di luar saja, di ruang TV. Nggak apa-apa kok." Andre melirik Mahira dengan sinis. "Ya, bagus kalau sadar diri. Sana tidur di luar." Mahira hanya tersenyum kecut. Dia berpamitan pada Bu Mira untuk beristirahat di depan TV. Tanpa sepatah kata lagi, Mahira merebahkan diri di sana, mencoba tidur meski hatinya gelisah. Sementara Bu Mira memelototi Andre yang sudah keterlaluan memperlakukan Mahira dan bersungut masuk ke dalam kamarnya. Andre, meski kesal, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Namun, ia memilih mengabaikannya dan masuk ke kamar. Malam semakin larut tetapi Andre yang se
Rumah Andre malam itu sebenarnya sudah sunyi, tapi Bu Mira dan Mahira masih ada di ruang tengah untuk menonton televisi. Namun, beberapa saat kemudian kedamaian itu terusik ketika terdengar ketukan keras dari pintu depan. "Apa itu Andre pulang? Kok nggak langsung masuk?" gumam Bu Mira, bangkit dari kursi. Bu Mira berjalan menuju pintu, tetapi sebelum membukanya, Mahira tiba-tiba menyusul dengan wajah bingung. "Bentar, Tante. Aku lihat dulu siapa," ujar Mahira sambil melirik ke jendela kecil di dekat pintu. Ketika Mahira mengintip, dia langsung membeku. "Tante, itu si Pak Dendi!" bisiknya dengan nada panik. "Dendi? Ngapain dia di sini malam-malam begini?" tanya Bu Mira heran. Namun sejurus kemudian dia menyadari kalau kedatangan Dendi tentu saja untuk menjemput Mahira. "Jangan dibuka, Tante! Dia pasti mau maksa aku pergi. Dia juga pasti nggak datang sendirian," jawab Mahira sambil melongok ke luar memastikan Dendi tidak membawa orang lain. Sementara itu, ketukan pintu
Andre menekan rem mobilnya dengan geram ketika mereka sampai di depan rumahnya. Dia menoleh ke Mahira yang duduk dengan tenang di sebelahnya. Perempuan itu tampak tenang, seolah situasi ini biasa saja baginya. Andre menarik napas dalam sebelum keluar dari mobil dan berjalan ke pintu rumah. Saat pintu terbuka, Bu Mira berdiri di sana dengan alis terangkat. "Andre, siapa ini?" tanya ibunya, dengan nada terkejut bercampur curiga. Andre mendesah berat. "Ini Mahira, Ma. Panjang ceritanya." Dia menceritakan secara singkat apa yang terjadi. Mulai dari bagaimana Mahira melarikan diri dari pernikahan dengan Dendi hingga keputusan Andre untuk membawanya ke sini. Ibunya mendengarkan dengan wajah yang semakin tegang, lalu menatap Mahira dengan tajam. "Andre, kembalikan anak ini ke rumahnya sekarang juga," tegas Bu Mira. "Enggak mungkin, Ma. Aku mau bawa dia ke polisi saja," jawab Andre datar. Mahira yang sejak tadi diam, tiba-tiba membuka mulut. "Jangan! Tolong jangan bawa aku ke po
Andre mematung di tempat. Di hadapannya, Mahira tampak panik, dengan air mata berlinang. Tanpa diduga, gadis itu berlari ke arahnya, mencengkeram tangannya erat. "Tolong aku ... selamatkan aku dari sini," suara Mahira bergetar, hampir seperti bisikan, tetapi cukup keras untuk membuat Andre mendengar jelas. Andre menatap gadis itu, lalu mengarahkan pandangannya ke pria yang berdiri di ujung ruangan dengan setelah jas hitam dan rangakaian bunga melati yang menggantung di lehernya. Ya tentu saja pria itu adalah Dendi, ayahnya sendiri. Dunia seakan berhenti berputar untuk sesaat. Andre tahu betul riwayat ayahnya yang sering menikah, meninggalkan ibunya, dan sekarang berencana menikahi gadis yang berdiri gemetar di sebelahnya. Andre begitu muak dengan pria itu. "Mahira," kata Andre pelan, berusaha melepaskan cengkeraman tangan Mahira. Tetapi gadis itu menggenggam tangannya semakin erat. Matanya yang berlinang air mata membuat Andre tak sanggup berkata-kata lebih jauh. Tatapan D
Suasana di ruang makan saat sarapan pagi itu cukup suram. Bu Mira makan dengan kepala tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Itulah yang dirasakan Andre. Dia yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran ibunya. "Papa kamu mau nikah lagi." Akhirnya keluar juga suara Bu Mira. Ekspresinya datar, mungkin hanya dibuat-buat saja. Andre sudah tahu akan hal itu jadi dia hanya mencebikkan bibir saja. Hanya suara gumaman kecil yang keluar dari mulutnya. "Kamu kok nggak kaget, Ndre?" tanya Bu Mira keheranan. "Sudah tahu, Ma. Kemarin kami ketemu waktu aku pergi menemani Pak Tama di Jogja." Andre menyuapi dirinya dengan sesendok nasi plus sedikit lauk lalu mengunyahnya dengan pelan. "Oh, jadi kamu juga sudah ketemu sama calonnya papa kamu?" Andre mengangguk pelan. Diraihnya gelas berisi air putih lalu menenggaknya hingga habis. "Iya, tapi wanita itu rada sinting." "Rada sinting gimana?" tanya Bu Mira penasaran. "Ya sedikit nggak waras aja, Ma." "Kenapa kamu bisa bilang g
Rico syok tak karuan. Dia melihat Haris masih terus mengetuk kaca jendela mobil tapi dia tidak mau keluar. “Sialan, kenapa dia bisa tahu,” gerutu Rico. Rico panik dan takut. Dia segera menginjak pedal gas untuk kabur, tapi karena terburu-buru, Rico tidak sadar di depan ada Alma sehingga hampir saja menabrak Alma. Alma terkejut ketika melihat mobil itu melaju, beruntung tangannya langsung ditarik Risha sehingga tidak sampai tertabrak. Haris sangat terkejut karena Rico berusaha kabur. Untung saja saat itu ada sopir mobil box My Lily yang melihat lalu segera memundurkan mobilnya sampai membuat mobil Rico menabrak mobil itu. “Sialan!” gerutu Rico. Dia buru-buru keluar untuk kabur, tapi sayangnya ada satpam Risha yang langsung mencegahnya. “Mau ke mana kamu?” Satpam langsung meringkus Rico. “Lepaskan!” Rico hendak memberontak, tapi satpam menahan kedua tangannya di belakang. Haris sangat terkejut Rico hampir menabrak Alma. Dia langsung menghampiri Alma. “Kamu baik-baik saja, kan