“Kenapa dia di sini?” Adhitama heran Sevia sampai datang ke perusahaan, tetapi ekspresi wajahnya sangat datar. Tanpa menunggu jawaban Andre, Adhitama kembali berkata dengan nada sedikit acuh, “Bawa dia pergi dari perusahaan. Katakan padanya aku akan menemuinya, tapi tidak di sini.”“Lalu mau dibawa ke mana, Pak? Nona Sevia sudah berada di sini, kenapa harus diajak ke tempat lain?” tanya Andre bingung.Adhitama mengangkat sebelah alisnya. “Apa masih harus aku yang berpikir?” Andre meneguk ludah menyadari tatapan Adhitama semakin dingin. Andre masih diam ketika atasannya kembali berkata dengan suara yang agak keras, “Kamu yang tentukan, yang penting tidak di perusahaan!”Adhitama tidak ingin menemui Sevia di perusahaan. Pria itu tidak ingin repot mengurus masalah yang mungkin terjadi jika menemui Sevia di sini.Andre terkejut mendengar suara Adhitama yang agak tinggi, tanpa berkata apa pun lagi, Andre pergi dari ruangan dan langsung menemui Sevia.“Bagaimana?” tanya Sevia saat melihat
Adhitama mencengkeram erat kemudi, pedal gas diinjak kencang.Ada perasaan sangat tidak senang di hatinya mengetahui Risha ternyata benar-benar bersama Haris. Jadi, Adhitama cepat-cepat pergi untuk menjemput Risha. Ia tidak bisa membiarkan Risha bersama Haris lebih lama lagi.Saat ini sedang jam makan siang, jalanan ramai, dan itu semakin membuat Adhitama kesal.Adhitama memijat pangkal hidungnya. Tadi, ia butuh hampir dua puluh menit untuk tiba ke kantor ini, dan sekarang ia masih harus menunggu lift?Hatinya benar-benar tidak senang.Di depan pintu lift ada beberapa karyawan yang ingin kembali ke ruangan mereka masing-masing. Akan tetapi, mereka tidak ada yang berani berdiri berdekatan dengan Adhitama. Aura mengancam terasa di sekeliling pria itu.Seluruh karyawan di perusahaan tahu siapa Adhitama, tetapi mereka tidak menyangka Presdir Mahesa Grup akan datang ke kantor mereka.Para karyawan langsung teringat berita hangat pagi tadi tentang istri Adhitama yang juga tiba-tiba datang
Kakek Roi sedang berkunjung ke perusahaan milik mendiang orang tua Risha, beberapa jajaran direksi mengikuti di belakangnya. Pria paruh baya itu sedikit mengernyitkan matanya ketika melihat Risha dan Adhitama dari kejauhan, setelah yakin lantas ia tersenyum kecil dan memanggil keduanya.Risha dan Adhitama terkejut melihat Kakek Roi, keduanya pun langsung bersikap biasa seperti tak terjadi apa-apa.“Kenapa kalian ada di sini?” tanya Kakek Roi setelah sampai di depan Risha dan Adhitama.Risha tersenyum menyembunyikkan rasa canggung, hendak menjawab pertanyaan Kakek Roi, tetapi Adhitama lebih dulu berkata, “Aku baru saja mengantar Risha bertemu Haris,” kemudian menarik tangan Risha sebagai isyarat agar Risha tak membantah ucapannya.Risha terkejut mendengar jawaban Adhitama, hingga suaminya itu kembali berkata, “Sudah lama Risha tidak bertemu Haris. Bagaimana pun mereka ini saudara meski hanya saudara angkat.” Risha hanya diam mendengar semua omong kosong Adhitama, ingin mengelak dan me
Hari itu Arin pergi menemui Sevia. Ini bukan pertemuan pertama, karena sebelumnya mereka sudah pernah bertemu. Arin bertemu Sevia untuk pertama kali saat bersama Rara, mereka tanpa sengaja melihat mobil Adhitama yang saat itu berbelok ke hotel kelas melati. Saat itu Arin sudah sangat optimis dan semangat ingin memergoki Adhitama selingkuh, tetapi sayang ternyata anak tirinya itu hanya menemui Sevia di lobi. Saat itu Arin sedikit kecewa, namun dia juga merasa jika hubungan Sevia dan Adhitama pasti tak biasa karena anak tirinya yang terhormat itu sampai mau menemui wanita di hotel kelas melati. Setelah memastikan Adhitama pergi, Arin nekat menemui Sevia dan mengajak bicara demi tujuannya.Pucuk dicinta ulam tiba, Sevia ternyata menyambut baik ajakannya. Wanita itu bukan wanita baik di mata Arin. “Apa kamu sudah bertemu Tama lagi?” tanya Arin sekadar basa-basi ketika menemui Sevia untuk yang kedua kalinya. “Sudah, tapi Mas Adhitama seperti tak suka dengan keberadaanku di sini, bahk
“Nanti malam kalian harus menginap di rumah.” Kak Roi bicara di sela makan siangnya bersama Risha dan Adhitama. Risha sangat terkejut mendengar ajakan Kakek Roi. Baru dia ingin membuka suara untuk menolak, tapi Adhitama sudah menjawab lebih dulu.“Tentu, Kek. Aku bahkan berniat langsung ke rumah kakek setelah dari sini,” Kakek Roi tersenyum senang, hal itu membuat Risha tak berkutik hingga hanya bisa menerima ajakan Kakek Roi dengan pasrah.Dia menoleh pada Adhitama, pria itu tampak dengan tenang menyesap air mineral dari gelas. Ketenangan Adhitama membuat kedongkolan Risha pada suaminya itu makin naik.Selesai makan, Risha terpaksa harus bersama Adhitama sampai di kediaman utama Kakek Roi. Ketika sampai, Risha mencoba untuk tidak bersama dalam satu ruangan yang sama dengan Adhitama, jadi ia lebih memilih menghabiskan waktu siangnya di perpustakaan.Risha baru kembali ke kamarnya ketika hari terlihat gelap dan ia ingin mandi. Wanita itu lega ketika tidak melihat Adhitama di dalam ka
Risha baru turun menuju halaman belakang ketika ia merasa yakin mualnya sudah hilang.Di halaman belakang, tempat keluarga Adhitama berkumpul untuk minum teh. Semua orang sudah ada di sana, termasuk Adhitama dan ayah mertuanya, Roshadi, yang duduk bersama Kakek Roi.Risha melempar senyum untuk membalas senyum Kakek Roi ketika tiba di halaman belakang. Dia melihat salah satu pelayan rumah Kakek Roi yang hendak menuang teh, dengan sopan, ia meminta teko yang berada di tangan pelayan rumah itu dan mengambil alih. “Biar aku saja.”“Kamu itu ya, selalu saja bisa menyenangkan hati kakek,” ucap Kakek Roi saat melihat Risha menuang teh ke masing-masing cangkir.“Risha memang tipe menantu idaman,” timpal Roshadi.Risha hanya membalas ucapan Kakek Roi dan sang mertua dengan senyuman. Risha terus menuang teh pada cangkir-cangkir hingga tiba saat giliran mengisi cangkir Adhitama, meskipun sadar Adhitama sedang memandanginya Risha memilih tak menoleh sama sekali pada suaminya itu.Tak lama setelah
Cukup lama Adhitama menatap wajahnya dalam diam, membuat Risha tertegun sekaligus tidak mengerti. Risha semakin tidak mengerti dengan sikap Adhitama ketika pria itu ternyata pergi begitu saja meninggalkannya.Risha menatap kepergian Adhitama hingga pintu kamarnya tertutup dengan perasaan yang Risha sendiri tidak mengerti.Tiba-tiba dadanya sesak dan rasanya ingin menangis!Air mata muncul di ujung matanya.Risha tidak mengerti kenapa ia ingin menangis, atau mungkin ini karena kehamilannya? Namun, Risha membiarkan dirinya jatuh terduduk di ranjangnya dan menangis dengan pilu.Ketika pagi harinya, Risha terbangun dan tidak menemukan Adhitama di sebelahnya.Ada perasaan yang mengganjal di hatinya ketika tidak menemukan Adhitama di sampingnya, padahal kemarin ia sendiri yang tidak ingin tidur bersama dengan Adhitama, sekarang melihat ranjang sebelahnya kosong, hatinya tetap tidak enak.Risha merutuki dirinya sendiri. Ini pasti karena hormon kehamilan!Risha memilih bangun lebih cepat dan
Malam itu Adhitama menjemput Risha di apartemen, setelah kemarin Risha pergi begitu saja dari rumah tanpa pamit padanya selepas menyiapkan makan siang.“Untung saja kamu tidak meminta Haris menjemputmu malam ini. Kalau iya, Arin dan anak-anaknya pasti akan semakin merasa di atas awan,” ucap Adhitama dingin saat menemui Risha di apartemen.Risha tahu, Adhitama sedang menyindirnya tetapi ia tetap tak senang mendengar sindiran Adhitama. Meskipun begitu, Risha mencoba membalas dengan tenang. “Bahkan cepat atau lambat Kakek juga pasti akan tahu kalau hubungan kita memang tidak harmonis.”Adhitama tiba-tiba menarik tangan Risha, membuat wanita itu terkejut dibuatnya.Adhitama menatap lekat wajah Risha yang malam itu terlihat sangat cantik dengan tubuh kecilnya yang berbalut gaun model backless berwarna silver. Namun, kekagumannya itu enyah ketika rasa kesal lebih mendominasi pikirannya.“Selama ini aku bersikap lunak karena tahu kamu itu cengeng. Tapi siapa sangka, semakin hari sikapmu sema
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin