Risha tak bisa mengabaikan pesan itu begitu saja. Itu yang membuatnya kini berada di sebuah restoran, duduk berhadapan dengan wanita yang selama ini hanya dia dengar ceritanya dari Niki.
Akan tetapi, Risha tak memandang Sevia, melainkan pada koper yang berada di samping tempat duduk wanita itu.
Mana mungkin Sevia berada di Jakarta tanpa tujuan?
Meski mencoba tenang, tetapi senyum getir tergambar jelas di paras ayu Risha.
Mungkinkah Adhitama berbohong? Keluar kota hanya alasan bagi suaminya itu?
“Maaf kalau aku sudah bersikap lancang meminta bertemu dengan Kakak,” ucap Sevia.
Bicaranya lemah lembut, bahkan memanggil Risha dengan sebutan ‘kak’ padahal Risha tahu kalau mereka seumuran.
Risha hanya menatap tanpa memberi respon, melihat Sevia tampak ingin berbicara lagi.
“Aku mengajak Kakak bertemu karena merasa butuh bicara soal Mas Adhitama.”
Senyum sumbang tergaris di bibir mungil Risha mendengar ucapan Sevia. Bukankah seharusnya dia sudah bisa menebak maksud wanita itu ingin menemuinya?
“Apa Mas Tama tahu kalau kamu bertemu denganku seperti ini?” tanya Risha mencari tahu.
Alisnya mengedik, kaget dengan pertanyaan Risha, namun lekas ia sembunyikan ekspresi wajahnya. “Tentu saja dia tahu,” jawab Sevia bohong.
‘Jadi, pergi ke luar kota untuk urusan penting hanya alasan Mas Tama. Sekarang dia malah terang-terangan mengizinkan selingkuhannya menemuiku,’ gumam Risha dalam hati.
Sevia menatap Risha yang hanya diam kemudian kembali berbicara.
“Kita sama-sama wanita yang dekat dengan Mas Adhitama, tapi apakah Kakak tahu kalau aku yang lebih dulu mengenalnya?” tanya Sevia sambil memperhatikan ekspresi wajah Risha.
Risha terkejut mendengar pertanyaan Sevia. Dia menatap wanita itu tanpa bisa berkata-kata.
“Mas Adhitama tidak bisa menolak menikah dengan Kakak karena ancaman Kakek Roi yang berkata akan mencoretnya dari hak waris, karena itu Mas Adhitama terpaksa menikahi Kakak, dan ….”
Sevia sengaja menggantung ucapannya agar Risha gelisah dan penasaran.
“Sepertinya tidak usah aku jabarkan.”
Apa maksud ucapan wanita ini? Mengapa seolah-olah wanita ini lebih mengetahui segalanya dibanding dirinya?
Ucapan wanita itu membuat Risha terkejut, namun dia tetap berusaha tenang. Lantas Risha memulas senyum tipis. “Sepertinya kamu tahu banyak soal Mas Tama,” ucap Risha.
“Seperti yang kubilang tadi. Aku lebih dulu mengenal Mas Adhitama jauh sebelum dia mengenal Kakak,” balas Sevia penuh percaya diri.
Risha tersenyum miring mendengar balasan Sevia. Wanita ini benar-benar membuatnya muak.
“Jadi, apa sebenarnya maksud tujuanmu meminta bertemu? Apa kamu hanya ingin menunjukkan kalau aku tak lebih tahu tentang suamiku sendiri daripada kamu, atau kamu ingin mengatakan jika aku adalah wanita kedua dalam hidup Mas Tama padahal aku istri sahnya?” tanya Risha dengan tatapan tak senang pada Sevia.
“Kenyataannya memang seperti itu. Kakak memang orang kedua di hati Mas Adhitama,” balas Sevia penuh kesombongan, bahkan ia tersenyum mencibir pada Risha.
Risha mengepalkan telapak tangan erat di atas paha mendengar ucapan Sevia, tak menyangka jika wanita itu malah terang-terangan menunjukkan hubungan gelapnya dengan Adhitama.
Untuk beberapa waktu tidak ada yang berbicara di antara keduanya, hingga tiba-tiba Sevia menutup mulut seperti mual. Lalu, wanita itu berdiri dari kursi dan berlari menuju kamar mandi.
Tubuh Risha membeku.Risha pernah diberitahu Niki soal kemungkinan wanita itu hamil … tetapi, melihat dengan mata kepalanya sendiri membuat Risha kehilangan akal sehatnya.
Pelan-pelan Risha menyentuh dadanya yang tiba-tiba sesak. Tanpa bisa dicegah, air mata mengalir di sudut mata kirinya.
Risha mengusap kasar air mata itu, seharusnya ia tidak menangis!
Tetapi, dadanya begitu sesak, dan kenyataan kalau wanita itu hamil anak Adhitama membuatnya frustasi.
Risha harus pergi dari sana.
Dengan pandangan kosong, Risha mengambil tas tangan dan beranjak dari tempat duduknya.
Di ujung ruangan, Sevia memulas seringai melihat wajah Risha yang terluka. Sevia hanya bersandiwara tetapi wanita itu memercayainya.
Dia menemui Risha karena sadar Adhitama tak memiliki perasaan padanya kecuali rasa bersalah dan iba. Dia ingin Risha melihatnya sebagai wanita yang paling penting dalam hidup Adhitama agar Risha pergi selamanya dari hidup pria itu.
"Sudah lebih dari dua puluh tahun, tapi hidup Risha masih sama, dia memiliki segalanya."
Sevia memulas seringai setelah lirih bicara.
"Kalau saja aku selangkah lebih cepat bertemu dengan Mas Adhitama, sudah pasti aku yang akan menjadi Nyonya Adhitama Mahesa."
Sudah dua hari sejak Adhitama pergi, Risha memilih tinggal di apartemennya untuk menenangkan diri. Pagi itu dia berada di dapur untuk menyiapkan sarapan sambil melamun. Sejak suaminya pergi hari itu sampai saat ini, ia tidak memberikan kabar apa pun pada Risha. Apakah suaminya itu begitu senang bertemu dengan Sevia hingga ia melupakan istrinya sendiri? “Kenapa aku harus pusing memikirkan mereka?” Risha menggeleng pelan, mencoba menepis rasa penasaran dan kekesalan yang mulai timbul di hati. Risha menarik napas pelan dan memejamkan mata untuk menenangkan diri, tetapi terganggu dengan suara bel pintu apartemennya yang berbunyi. “Siapa yang tahu aku ada di sini?” tanya Risha lantas buru-buru ke depan. Di depan pintu Risha terpaku. Di sana Adhitama berdiri diam menatap padanya. Risha melihat kembali sang suami. Wajahnya yang tampan, rambutnya yang hitam legam, dan mata gelap nan tajam itu pernah membuat Risha begitu mencintai Adhitama. Hingga saat ini. Namun, Risha telah be
Adhitama tidak pernah menyangka bahwa Risha benar-benar ingin bercerai darinya tanpa ragu-ragu. Terlebih, sejak tadi Risha selalu berkata ‘wanita lain’ padanya.Adhitama merasa marah.Dia menatap lekat istri kecilnya di bawahnya.Istri kecilnya ini memang cantik. Adhitama tidak merasa rugi ketika dijodohkan dan harus menikah dengan Risha. Risha juga berasal dari keluarga dengan reputasi yang baik, tetapi Adhitama tidak pernah mencintainya.Cengkeraman Adhitama di lengan Risha cukup keras, membuat Risha meringis. “Lepaskan aku, Mas.”Akan tetapi, alih-alih dilepas, Adhitama justru menggendong Risha dan melemparkan Risha ke sofa duduk ruang tamunya.Adhitama menekan Risha di sofa yang sempit. Adhitama menyatukan keningnya, lalu berpindah ke hidung. Kemudian, Adhitama menggerakkan bibirnya ke belakang Risha dan berbisik, “Kamu tidak mengenalku dengan baik, Risha.”Tubuh Risha bergetar. Sofa yang sempit ini membuat Risha kesulitan bergerak, hingga menyentuh bagian bawah Adhitama yang menge
[Aku tidak bisa menjemputmu. Pergilah naik taksi ke rumah Kakek.]Risha membaca pesan Adhitama lantas buru-buru mengunci layar ponselnya setelah menyambut kedatangan Haris dengan pelukan.Risha tersenyum menyapa Haris. Senyuman untuk menutupi kekecewaan Risha yang kesekiankalinya pada Adhitama.Haris tampak mengerutkan alis melihat adik kecilnya. Curiga meski tidak sempat melihat kata-kata yang tertulis di sana.Haris adalah anak angkat orang tua Risha. "Apa itu suamimu?” tanya Haris.Risha mengangguk lalu menggenggam erat ponselnya.“Apa dia tahu kalau kemarin kamu pingsan dan .... "Risha menggeleng cepat.Kedatangan pria yang sudah Risha anggap kakak kandungnya itu untuk memastikan kondisinya.Ya, setelah bertemu Sevia waktu itu Risha pingsan di jalan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Saat sadar Risha memilih meminta bantuan Haris untuk menjemputnya.Pria itu bahkan sempat membuat dokter mengira sebagai suami Risha. Ucapan selamat dari dokter yang mengatakan Risha tengah hamil ju
Adhitama tidak membalas, pria itu hanya menatap Risha dengan ekspresi yang tidak bisa Risha artikan.Mereka masih terus saling tatap dalam diam hingga Risha yang lebih dulu membuang tatapannya dan pergi meninggalkan Adhitama tanpa berkata apa pun lagi.Risha masuk kembali ke ruang makan dan menuju kursinya diiringi tatapan mata semua orang, terutama Kakek Roi. “Kenapa kamu mual? Apa jangan-jangan kamu hamil?” tanya Kakek Roi antusias.Ditanya dan ditatap dengan pandangan harap dari Kakek Roi membuat jantung Risha berdebar. Risha bingung untuk menjawab pertanyaan Kakek Roi. Haruskah ia jujur atau menutupi kehamilannya?“Kalau ada kabar baik pasti akan kami sampaikan pada semua orang terutama Kakek,” Risha menoleh ketika mendengar suara Adhitama yang sudah berdiri di sampingnya. “tapi ini bukan seperti yang Kakek harapkan. Risha hanya kelelahan.”Bibir Risha memulas senyum ironi, jika Adhitama memang menginginkan anak dari pernikahan mereka, bukankah seharusnya pria itu curiga dengan kon
Risha terus berjalan tanpa arah setelah meninggalkan mobil Adhitama. Meskipun di dalam pikiran Risha, Adhitama hanya memikirkan diri sendiri dan tidak mungkin mau repot-repot mengejarnya. Namun, Risha tetap menoleh ke belakang.Risha semakin merutuki kebodohannya sendiri.Untuk apa berharap pada sesuatu yang tidak mungkin?Risha terus berkelahi dengan pikirannya sendiri sambil tetap berjalan, hingga langkahnya terhenti karena dia mulai kelelahan.Risha mengedarkan pandangan, memastikan saat ini sedang berada di mana, tetapi malah kebingungan.“Di mana ini?”Risha merasa asing dengan jalan yang dilaluinya, apalagi saat ini hari mulai gelap. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Perasaan was-was mulai merayapi hatinya.Dari jauh lampu mobil menyilaukan pandangannya membuat Risha menyipitkan mata. Sebuah mobil mulai mendekatinya, tetapi Risha tidak beranjak.Risha masih diam di tempat hingga mobil itu berhenti di dekatnya. Setelah dengan jelas melihat si pengemudi mobil, pandangan awas Risha beru
Sudah beberapa hari ini Risha tetap berada di apartemen, menjalani hari-harinya.Ia tak ingin pulang ke kediaman Adhitama, meski begitu Adhitama tak menghubunginya sama sekali padahal ponselnya dinyalakan agar tak terjadi masalah lagi.“Sepertinya dia memang tak pernah peduli.”Risha tersenyum getir memandang ponselnya, wanita itu mencoba mengabaikan, tak peduli lagi Adhitama akan menghubunginya atau tidak.Lebih baik ia mempersiapakn dirinya untuk bekerja hari ini.Risha tampak memakai setelan kerja, dia mematut diri di depan cermin sambil mengembuskan napas kasar dari mulut.Sebenarnya tak mudah bagi Risha karena perusahaan tempatnya akan bekerja masih berhubungan dengan Adhitama.Dua tahun lalu saat perusahaan orangtua Risha bangkrut, Kakek Roi memilih mengambil alih. Pria tua itu pun memberi kepercayaan pada Haris untuk menjadi direktur, karena tahu bagaimana kemampuan anak angkat orang tua Risha.Sedang Risha sebenarnya tidak memiliki apa-apa, yang ia miliki hanya kemampuan dan m
“Kenapa dia di sini?” Adhitama heran Sevia sampai datang ke perusahaan, tetapi ekspresi wajahnya sangat datar. Tanpa menunggu jawaban Andre, Adhitama kembali berkata dengan nada sedikit acuh, “Bawa dia pergi dari perusahaan. Katakan padanya aku akan menemuinya, tapi tidak di sini.”“Lalu mau dibawa ke mana, Pak? Nona Sevia sudah berada di sini, kenapa harus diajak ke tempat lain?” tanya Andre bingung.Adhitama mengangkat sebelah alisnya. “Apa masih harus aku yang berpikir?” Andre meneguk ludah menyadari tatapan Adhitama semakin dingin. Andre masih diam ketika atasannya kembali berkata dengan suara yang agak keras, “Kamu yang tentukan, yang penting tidak di perusahaan!”Adhitama tidak ingin menemui Sevia di perusahaan. Pria itu tidak ingin repot mengurus masalah yang mungkin terjadi jika menemui Sevia di sini.Andre terkejut mendengar suara Adhitama yang agak tinggi, tanpa berkata apa pun lagi, Andre pergi dari ruangan dan langsung menemui Sevia.“Bagaimana?” tanya Sevia saat melihat
Adhitama mencengkeram erat kemudi, pedal gas diinjak kencang.Ada perasaan sangat tidak senang di hatinya mengetahui Risha ternyata benar-benar bersama Haris. Jadi, Adhitama cepat-cepat pergi untuk menjemput Risha. Ia tidak bisa membiarkan Risha bersama Haris lebih lama lagi.Saat ini sedang jam makan siang, jalanan ramai, dan itu semakin membuat Adhitama kesal.Adhitama memijat pangkal hidungnya. Tadi, ia butuh hampir dua puluh menit untuk tiba ke kantor ini, dan sekarang ia masih harus menunggu lift?Hatinya benar-benar tidak senang.Di depan pintu lift ada beberapa karyawan yang ingin kembali ke ruangan mereka masing-masing. Akan tetapi, mereka tidak ada yang berani berdiri berdekatan dengan Adhitama. Aura mengancam terasa di sekeliling pria itu.Seluruh karyawan di perusahaan tahu siapa Adhitama, tetapi mereka tidak menyangka Presdir Mahesa Grup akan datang ke kantor mereka.Para karyawan langsung teringat berita hangat pagi tadi tentang istri Adhitama yang juga tiba-tiba datang
Keesokan harinya. Andre sudah bersiap pergi bersama Adhitama untuk mengurus masalah di anak cabang perusahaan Mahesa yang terdapat di Jogja.Mereka sarapan lebih dulu di restoran hotel, ada Risha dan Lily juga di sana.“Semalam Anda pergi ke mana, Pak?” tanya Andre. Dia tampak menekuk bibir saat melihat Adhitama hanya diam seolah tak mendengar pertanyaannya.“Kita jalan-jalan, Om Andre mau, tapi pas diketuk-ketuk pintunya, Om Andre tidak keluar,” jawab Lily.“Hampir saja aku pikir kamu mati di kamar,” ledek Adhitama, “tapi mendengar suara dengkuranmu yang seperti babi, aku yakin kamu hanya tidur,” imbuh Adhitama.Andre memasang wajah masam. Dia malu lalu melihat Risha yang tertawa.“Mana mungkin kamar di hotel bintang lima tidak kedap suara,” balas Andre.Adhitama dan Risha sama-sama menahan tawa.Andre memilih menyantap makanannya, saat itu dia melihat Mahira masuk restoran bersama kedua orang tuanya.Lily melihat Mahira, dia menatap benci karena sudah dibuat menangis oleh gadis itu
Ternyata, saat Andre tidur, Adhitama mengajak Risha dan Lily pergi keluar. Mereka pergi ke alun-alun kidul Jogja dan duduk-duduk di sana.Lily sangat senang. Anak itu sibuk bermain gelembung sabun sampai tertawa begitu bahagia. Dia berlari-lari sambil tertawa senang mengejar gelembung yang berterbangan tertiup angin.“Padahal sudah malam, tapi anak-anak masih betah main begituan,” kata Risha mengamati beberapa anak kecil yang juga bermain gelembung seperti Lily.“Namanya juga anak-anak,” balas Adhitama.Mereka duduk memakai tikar plastik yang tadi dibeli dari penjual seharga sepuluh ribu. Risha hanya tersenyum menanggapi balasan Adhitama dan terus memperhatikan Lily yang sedang bermain.Sudah lama tidak melihat Lily sesenang itu saat berlarian. Risha lega putrinya bisa kembali ceria. Risha masih memandang ke arah Lily, lalu melihat anak itu berbicara dengan anak kecil seusianya.Adhitama juga memperhatikan sang putri, sebelum memalingkan pandangan lalu menyandarkan kepala di pundak Ri
Sesampainya di Jogja, Adhitama meminta sopir yang menjemput untuk mengantar mereka ke hotel yang sudah Adhitama pesan. “Kenapa tidak ke rumah?” tanya Risha terkejut. Andre tampak biasa. Dia hanya melirik sekilas ke Adhitama yang duduk di belakang bersama Risha dan Lily. “Kemarin kamu bilang pembantumu sedang ke luar kota, jadi tidak ada yang membersihkan rumah. Aku takut rumahnya berdebu dan kalian bisa alergi,” ujar Adhitama menjelaskan. “Aku sudah bilang kalau Si mbok udah balik ke rumah,” kata Risha mengingatkan. “Aku sudah terlanjur booking kamar, sudah menginap saja di hotel, lagi pula hanya beberapa hari,” balas Adhitama tetap kukuh menginap di hotel. Risha menghela napas kasar. Akhirnya dia pasrah saja. Mereka sampai di hotel dan langsung pergi ke kamar yang dipesan. Saat Andre hendak masuk kamar, Adhitama mencegah asistennya itu. “Aku mau bicara sebentar,” kata Adhitama. “Apa, Pak?” tanya Andre. “Aku nitip Lily,” kata Adhitama lalu berlalu pergi. Andre terkejut kar
Pagi itu. Adhitama bersiap-siap untuk pergi ke perusahaan. Dia sedang mengikat dasi, lalu menoleh pada Risha yang sedang mengambilkan jas miliknya. “Oh ya sayang, aku akan pergi ke Jogja untuk mengurus pekerjaan,” kata Adhitama. Risha mengambil jas yang tergantung di lemari, lalu menoleh pada Adhitama sambil bertanya, “Kapan Mas Tama pergi? Aku mau ikut, sekalian melihat kantor di sana.” “Tapi bukan weekend, lusa aku berangkat,” jawab Adhitama. “Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti aku ikut sama Lily juga, sekali-kali Lily libur juga tidak apa-apa. Sepertinya dia juga butuh liburan,” ucap Risha. “Oke kalau begitu. Nanti akan aku minta Andre untuk memesankan tiket untuk kalian juga,” ujar Adhitama sambil mengembangkan senyum. “Iya, tapi jangan beritahu Lily dulu ya Mas, takutnya dia nanti heboh." Risha tahu bagaimana sifat Lily, bisa-bisa anak itu akan menanyakan setiap detik kapan mereka pergi. Adhitama tersenyum penuh arti kemudian mengangguk paham. Adhitama akhirnya berangkat ke
Setelah makan malam yang sedikit menegangkan itu, Haris dan Alma beranjak pulang. Risha dan Adhitama juga memilih mengantar keduanya sampai ke halaman. “Hati-hati di jalan,” ucap Risha bersamaan dengan Haris dan Alma yang berjalan menuju mobil.Alma mengangguk lalu masuk mobil, begitu juga dengan Haris.Haris melajukan mobil meninggalkan rumah Risha. Sepanjang perjalanan, Haris melihat Alma terus saja diam. Sikap Alma membuatnya berpikir, apakah gadis itu marah karena tindakan tegasnya ke staf HRD.“Apa kamu marah?” tanya Haris untuk memastikan.“Tidak,” jawab Alma dengan suara agak lirih.Haris diam sejenak, berpikir jika Alma sudah menjawab seperti itu artinya dia tidak perlu memperpanjang masalah.“Bagaimana tadi, apa kamu sudah dapat baju untuk pernikahan kita?” tanya Haris. Untuk memecah rasa canggung dia memilih membahas hal lainnya.“Belum karena tadi Kak Risha harus menjemput Lily yang sakit,” jawab Alma dengan suara datar.Haris merasa Alma bersikap sedikit aneh. Dia kembal
Tanpa memberitahu, Malam harinya Haris menjemput Alma di rumah Risha. Saat sampai di sana, dia pergi ke kamar Lily dan bocah itu langsung meminta gendong karena masih sakit. “Kenapa badannya hangat?” tanya Haris saat menggendong Lily. “Dia demam, makanya tadi dijemput dari sekolah,” jawab Risha. Haris kaget, lalu menoleh Lily yang menyandarkan kepala di pundak. “Lily sakit? Sudah minum obat belum?” tanya Haris. “Sudah,” jawab Lily. "Lily bobok aja ya." Haris membujuk. Lily menggeleng lalu berkata," Lily maunya digendong Paman Haris.” Haris memeluk Lily, membiarkan anak itu bersikap manja, lalu kembali membujuk dan mengajak Lily berbaring di kasur. Haris mengambil buku cerita di nakas kemudian membacakan cerita untuk Lily. Alma juga ada di sana, ikut mendengarkan Haris bercerita. “Aku tinggal sebentar,” kata Risha pamit dan Alma membalasnya dengan anggukan kepala. Risha berjalan keluar dari kamar Lily. Saat menuruni anak tangga, dia melihat Adhitama yang baru
Hari itu Risha mengajak Alma pergi ke butik untuk melihat baju pernikahan. Mereka sudah ada di butik dan sedang melihat-lihat katalog untuk memilih model mana yang cocok.Saat masih memilih, Alma memberanikan diri untuk mengajak Risha mengobrol. “Kak, entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar, tapi aku lihat akhir-akhir ini Lily jadi pemurung, apa ada masalah?” tanya Alma sambil mengalihkan tatapan dari desain gaun di katalog ke Risha. “Bukan masalah besar. Dia hanya sedih karena Audrey sudah tidak bekerja dengan kami lagi dan juga dia kehilangan adiknya,” jawab Risha. Alma mengangguk-angguk paham. Dia merasa bersimpati dan kasihan. “Mungkin nanti kalau anakku lahir, aku akan minta Lily yang memberinya nama supaya Lily senang dan sedikit terhibur,” ujar Alma. Risha terkejut sampai menoleh Alma. “Jangan, bisa-bisa nanti anakmu malah diberi nama yang aneh-aneh Sama Lily.” Alma tertawa kecil mendengar jawaban Risha. Mereka masih sibuk mengobrol sambil melihat-lihat baju
Pagi itu Lily pergi ke rumah sakit untuk menemui Risha. Dia sangat tidak sabar, sampai-sampai berjalan dengan cepat agar bisa segera menemui Risha. “Bunda!” Lily berlari ke arah ranjang ketika sampai di ruang inap Risha. Risha terkejut tapi juga senang karena Lily ada di sana. “Bunda, adiknya Lily sudah tidak ada, ya?” tanya Lily dengan tatapan sedih. Risha mengangguk. “Bunda nggak akan sakit lagi, kan?” tanya Lily lagi. “Iya,” balas Risha sambil memulas senyum. Adhitama mendekat, lalu mengusap rambut Lily dengan lembut. “Kenapa hari ini Lily tidak mau sekolah?” tanya Risha. “Nggak mau, Lily maunya sama Bunda,” jawab Lily sambil memainkan telunjuk di atas sprei. Adhitama dan Risha saling tatap. “Bagaimana di rumah Kakek Roshadi? Apa di sana seru?” tanya Adhitama. Lily hanya diam menunduk, tapi kemudian menjawab, “Iya Kakek Roshadi juga punya kolam ikan.” “Iya, Kakek membuat itu spesial untuk Lily karena Lily suka sama ikan Koi,” balas Adhitama. “Em ... kalau Lily suka di
Alma tak langsung pulang setelah menitipkan barangnya ke mobil Andre. Dia masih menyelesaikan pekerjaannya sampai pukul lima. “Permisi Pak, aku izin pulang dulu,” pamit Alma.“Apa kamu sudah mengecek semuanya? siapa tahu masih ada barang yang tertinggal?” tanya Haris memastikan.Alma menggelengkan kepala.“Sudah tidak ada, semua barangnya sudah aku titipkan ke mobil Andre,” jawab Alma.Haris mengerutkan dahi.“Aku pulang dulu,” kata Alma lagi. Dia merasa sedikit canggung dan tetap memutar tumit pergi dari ruangan Haris.Saat Alma akan meraih gagang pintu, Haris mencegah dan berkata, “Besok lagi tidak ada titip-titip barang ke pria lain.”Alma menoleh dan hanya tersenyum sambil mengangguk. Dia pergi meninggalkan Haris.Alma turun ke lobi, saat sampai di sana sudah ada Andre yang menunggunya.“Ayo pulang,” kata Andre.Alma mengangguk. Dia dan Andre berjalan keluar dari lobi secara bersamaan.Saat mereka sedang berjalan, Alma mendengar ada dua staf yang berbisik-bisik menggunjing diriny