“Kamu nggak perlu sepanik itu.” Kumiringkan kepala mengembangkan senyum. Melega-legakan hati. Tak benar-benar menertawakannya. Tapi kupikir agak mengherankan aku bisa tertawa setelah apa yang terjadi hari ini.”Nggak apa-apa nanti juga kering sendiri, kok.”Dia tersenyum lega. Tatapannya masih berdiam di wajahku. Mendesirkan darah.“Kamu cantik saat tertawa, Mai,” ujarnya terdengar sungguh-sungguh.“Apa kamu bermaksud menggoda saya?!” Kutinggikan intonasi suaraku saat kudengar dia mengatakan itu. Aku tahu dari nada bicaranya dia sama sekali tidak bermaksud menggodaku. Hanya saja aku tak ingin terlihat malu dengan pujiannya. Padahal aku yakin wajahku semerah tomat.“”Euh, bu ...bukan. Saya nggak bermaksud begitu.”Dia menegakkan punggung. Berusaha meralat ucapannya. Dalam hati aku mengulum senyum.“Apa lelaki itu kekasih kamu, Mai?”Dia kembali mengajukan pertanyaan setelah mengambil posisi duduk di hadapanku. Membuatku merasa agak tertekan.“Dia mantan suami saya.” Aku menyahut dengan
Perkataan papa sewaktu kami duduk di meja makan refleks menghentikan gerakan tanganku yang baru akan memasukan nasi ke dalam mulut. Dua detik tatapanku terpaku di wajah teduh itu. Menelaah kalimat-kalimat yang muluncur dari bibir piasnya. Kemudian aku menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa membuat laki-laki kesayanganku itu kembali mengulang ucapannya.“Papa juga senang seandainya ada Si kembar yang menemani setiap hari. Papa sudah tua dan merasa kesepian. Papa ingin di keliling anak-anak seperti mereka.”Kuangkat kepala menatap papa sekali lagi. Wajahnya tampak begitu mendung. Seakan sebentar lagi akan melesakkan hujan yang sangat deras. Aku di banjiri perasaan gamang. Ingin aku mengatakan padanya masih ada yang mengganjal di hatiku untuk menerima Akhtar sebagai bagian dari diriku. Setidaknya untuk sementara waktu. Ada banyak kesemrawutan yang belum tuntas diselesaikan antara aku dan Ryu dan perasaan-perasaan yang masih tertinggal. Jika benar akhir pelarianku berujung pada Ak
"Barangkali pertemuan kita adalah cara Allah menyembuhkan luka yang ada setelah kita sama-sama kehilangan seseorang."___Mataku terangkat dan terpaku di wajahnya. Dia menunduk. Menyembunyikan separuh wajahnya. Seakan malu.“Hubungan kami sempat sangat dekat sampai suatu hari saya memintanya untuk ta'aruf. Sekalipun dia tidak memberi kepastian. Tapi saya merasa Mas Akhtar memberi perhatian khusus pada saya. Membuat saya berpikir dia membalas perasaan saya.”Andai ada cermin di depanku ingin sekali kulihat raut mukaku saat ini. Bohong jika kukatakan aku tetap tenang. Aku menjadi gugup. Ada perasaan cemburu, iri atau tidak terima atau apa, aku tidak tahu tiba-tiba melingkupiku. Tatapanku nanar. Kutegakkan punggung. Mengatur napas.“Tapi kemudian hubungan kami perlahan merenggang. Sikap Mas Akhtar mendadak berubah bahkan dia nggak mau lagi bicara sama saya. Dan itu semenjak keakraban Mbak Mai dan anak-anak.”Mata beningnya menelaga. Satu tetes melesat di pipinya yang terang. Menjejak di
Sepeningal lelaki itu kami sama diam. Aku membenamkan tatapan pada gelas yang baru sedikit kusesap. Sedangkan dia meneguk kopinya dengan tidak tenang. Sebenarnya sudah sejauh mana hubungan Akhtar dengan perempuan itu? Jika memang tidak memiliki perasaan khusus seharusnya dia tak perlu terlihat panik seperti itu.“Kenapa diam?” Dia bertanya pelan. Aku menggeleng.“Sudah malam. Sebaiknya kita pulang.” Aku bangkit dengan hati ingin menyangkal bahwa sebenarnya merasa cemburu “Kenapa tiba-tiba. Bahkan kita belum membicarakan apapun, Mai.”“Lain waktu saja. Saya sudah mengantuk.” Aku melangkah meninggalkan dia yang ternganga menatapku dengan mimik bingung.“Maikana?”Sementara aku terus melangkah menuju pintu keluar terdengar dia memanggil pelayan. Membuatku refleks kembali berbalik. Aku baru teringat sesuatu. Seharusnya aku yang mentraktirnya malam ini. “Maaf seharusnya saya yang membayar kopinya,” lirihku. Nyaris menubruknya lantaran mataku tidak fokus menatap ke depan. Tak menyadari d
“Memangnya anak-anak nggak mau ikut?”Aku bertanya dengan nada tidak mengerti sewaktu dia meneleponku di siang menjelang sore. Tepat saat aku baru tiba di rumah. Mengatakan kalau dia hari ini minta di temani berbelanja ke supermarket. Ada barang-barang yang harus dia beli dan dia tidak begitu paham. “Nggak Mai. Mereka ada acara sama Randy. Saya jemput satu jam lagi, ya. Kamu siap-siap sekarang. Jangan lama-lama. Saya sudah nggak sabar mau lihat wajah kamu.” kekehannya timbul tenggelam di selai suara percikan air. Kurasa dia di kamar mandi. Apa dia menelepon saat sedang mandi?“Oke baiklah. Saya mau siap-siap dulu.”“Berdandanlah seadanya, ya. Jangan berlebihan saya takut semakin jatuh canta sama kamu.” “Akhtaarrr ...!!!”Tawanya semakin berderai dan panjang sebelum sambungan telepon terputus.Dasar mulut gombal. ***“Memangnya apa saja yang mau kamu beli?” Aku bertanya ketika kami tiba di lantai pertama supermarket. Dia manarik salah satu troli dan mendorongnya mengikuti langkahku.
"Hal yang tersulit dalam hidup bukanlah memiliki apa yang dicintai. Melainkan tetap setia mencintai apa yang sudah dimiliki. Tak peduli apa pun yang terjadi."______Aku berusaha menenangkan napasku yang masih terengah-engah. Emosiku belum mereda. Belum puas menganiayanya. Bagiku itu belum seberapa. Seharusnya dia mendapatkan perlakuan yang lebih kejam dari pada itu.Siapa dia, Mai. Kenapa kamu memukulinya?”Aku diam sejenak. Menatapnya tajam dengan mata yang masih berkilat marah.“Jawab, Mai.”“Dia perempuan iblis yang sudah menghancurkan hidupku.” Aku bersuara pada akhirnya. Mengalihkan tatapan dari wajahnya. Menahan air mata agar tidak melesak. Merasa geram.“Dia yang merebut suami kamu?” Dia bertanya lagi dengan nada simpati. Tak kujawab. Kupikir dia sudah tahu jawabannya.Dia kemudiam diam. Pun aku. Kami sama-sama diam. Samar kudengar dia mendesah.Hari yang berantakkan. Tapi aku tak menyesal. Aku puas bisa meluapkan dendamku. Seharusnya sejak dulu aku melakukannya. Tapi sayangny
Benar saja. Urat di bagian tengah perutku serasa dipilin dengan kuat. Mendapati apa yang ditangkap oleh penglihatanku. Sebuah Triton hitam bak terbuka sudah terparkir di sana. Bagaimana dia bisa masuk pikirku.Biasanya satpam kompleks tak semudah itu mengizinkan orang asing masuk. Dia benar-benar nekat. Dengan perasaan campur aduk aku keluar kamar menelusur ke pintu depan berjalan dengan langkah yang amat diperhitungkan. Karena cemas membangunkan penghuni rumah terutama papa.“Mai?!”Dia menyongsongku sewaktu aku baru akan melangkah ke luar pekarangan. Menarik tangan tergesa. Kepanikanku bertambah. Kupikir ada apa dengannya. Kenapa terkesan mendesak sekali. “Akhtar, kamu ...?” Kelopak mataku melebar menatapnya dengan dua pertanyaan darurat di kepala. Ada apa dan mau ke mana?“Masuk sekarang. Jangan di sini bicaranya.”Setelah memberi perintah seperti itu dia menarikku masuk dan melajukan mobilnya keluar dari kawasan kompleks. Aneh. Bukannya menginterogasi dengan banyak pertanyaan, se
Tapi Kak Sarah tetap keras kepala. Dia tidak mau mendengarkan. Ya sudah. Apa daya. Memang paling sulit menasihati orang yang sedang jatuh cinta. Bagai menghalau kobaran api. Bukannya padam dia justru akan kian menyala dan membakar apa saja yang melintasinya. Aku hanya bisa berharap dia akan sadar suatu hari kelak.“Mai?”Aku tersentak sewaktu suara Kak Sarah menembus pikiranku yang terdalam. Ah, seperti biasa aku terlalu jauh tenggelam. Sampai lupa kalau aku sedang berada pada satu hal yang akan menentukan alur hidupku ke depan.“I ...iy ..iya. Maaf.” Tatapanku teralih pada Kak Sarah sejenak tak lama berpaling pada Akhtar. Tetapi kembali terkejut ketika melihat benda yang dia asongkan padaku.Sebuah cincin.Aku menatap benda melingkar dengan berlian di tengahnya itu ragu-ragu. Aku masih tidak yakin akan secepat ini. Rasanya baru kemarin aku mengikat janji dengan seorang pria. Tapi kenapa harus terjadi lagi.Tidak. Apa yang terjadi? Andai diizinkan ingin sekali aku menapar wajahku kua