Sepeningal lelaki itu kami sama diam. Aku membenamkan tatapan pada gelas yang baru sedikit kusesap. Sedangkan dia meneguk kopinya dengan tidak tenang. Sebenarnya sudah sejauh mana hubungan Akhtar dengan perempuan itu? Jika memang tidak memiliki perasaan khusus seharusnya dia tak perlu terlihat panik seperti itu.“Kenapa diam?” Dia bertanya pelan. Aku menggeleng.“Sudah malam. Sebaiknya kita pulang.” Aku bangkit dengan hati ingin menyangkal bahwa sebenarnya merasa cemburu “Kenapa tiba-tiba. Bahkan kita belum membicarakan apapun, Mai.”“Lain waktu saja. Saya sudah mengantuk.” Aku melangkah meninggalkan dia yang ternganga menatapku dengan mimik bingung.“Maikana?”Sementara aku terus melangkah menuju pintu keluar terdengar dia memanggil pelayan. Membuatku refleks kembali berbalik. Aku baru teringat sesuatu. Seharusnya aku yang mentraktirnya malam ini. “Maaf seharusnya saya yang membayar kopinya,” lirihku. Nyaris menubruknya lantaran mataku tidak fokus menatap ke depan. Tak menyadari d
“Memangnya anak-anak nggak mau ikut?”Aku bertanya dengan nada tidak mengerti sewaktu dia meneleponku di siang menjelang sore. Tepat saat aku baru tiba di rumah. Mengatakan kalau dia hari ini minta di temani berbelanja ke supermarket. Ada barang-barang yang harus dia beli dan dia tidak begitu paham. “Nggak Mai. Mereka ada acara sama Randy. Saya jemput satu jam lagi, ya. Kamu siap-siap sekarang. Jangan lama-lama. Saya sudah nggak sabar mau lihat wajah kamu.” kekehannya timbul tenggelam di selai suara percikan air. Kurasa dia di kamar mandi. Apa dia menelepon saat sedang mandi?“Oke baiklah. Saya mau siap-siap dulu.”“Berdandanlah seadanya, ya. Jangan berlebihan saya takut semakin jatuh canta sama kamu.” “Akhtaarrr ...!!!”Tawanya semakin berderai dan panjang sebelum sambungan telepon terputus.Dasar mulut gombal. ***“Memangnya apa saja yang mau kamu beli?” Aku bertanya ketika kami tiba di lantai pertama supermarket. Dia manarik salah satu troli dan mendorongnya mengikuti langkahku.
"Hal yang tersulit dalam hidup bukanlah memiliki apa yang dicintai. Melainkan tetap setia mencintai apa yang sudah dimiliki. Tak peduli apa pun yang terjadi."______Aku berusaha menenangkan napasku yang masih terengah-engah. Emosiku belum mereda. Belum puas menganiayanya. Bagiku itu belum seberapa. Seharusnya dia mendapatkan perlakuan yang lebih kejam dari pada itu.Siapa dia, Mai. Kenapa kamu memukulinya?”Aku diam sejenak. Menatapnya tajam dengan mata yang masih berkilat marah.“Jawab, Mai.”“Dia perempuan iblis yang sudah menghancurkan hidupku.” Aku bersuara pada akhirnya. Mengalihkan tatapan dari wajahnya. Menahan air mata agar tidak melesak. Merasa geram.“Dia yang merebut suami kamu?” Dia bertanya lagi dengan nada simpati. Tak kujawab. Kupikir dia sudah tahu jawabannya.Dia kemudiam diam. Pun aku. Kami sama-sama diam. Samar kudengar dia mendesah.Hari yang berantakkan. Tapi aku tak menyesal. Aku puas bisa meluapkan dendamku. Seharusnya sejak dulu aku melakukannya. Tapi sayangny
Benar saja. Urat di bagian tengah perutku serasa dipilin dengan kuat. Mendapati apa yang ditangkap oleh penglihatanku. Sebuah Triton hitam bak terbuka sudah terparkir di sana. Bagaimana dia bisa masuk pikirku.Biasanya satpam kompleks tak semudah itu mengizinkan orang asing masuk. Dia benar-benar nekat. Dengan perasaan campur aduk aku keluar kamar menelusur ke pintu depan berjalan dengan langkah yang amat diperhitungkan. Karena cemas membangunkan penghuni rumah terutama papa.“Mai?!”Dia menyongsongku sewaktu aku baru akan melangkah ke luar pekarangan. Menarik tangan tergesa. Kepanikanku bertambah. Kupikir ada apa dengannya. Kenapa terkesan mendesak sekali. “Akhtar, kamu ...?” Kelopak mataku melebar menatapnya dengan dua pertanyaan darurat di kepala. Ada apa dan mau ke mana?“Masuk sekarang. Jangan di sini bicaranya.”Setelah memberi perintah seperti itu dia menarikku masuk dan melajukan mobilnya keluar dari kawasan kompleks. Aneh. Bukannya menginterogasi dengan banyak pertanyaan, se
Tapi Kak Sarah tetap keras kepala. Dia tidak mau mendengarkan. Ya sudah. Apa daya. Memang paling sulit menasihati orang yang sedang jatuh cinta. Bagai menghalau kobaran api. Bukannya padam dia justru akan kian menyala dan membakar apa saja yang melintasinya. Aku hanya bisa berharap dia akan sadar suatu hari kelak.“Mai?”Aku tersentak sewaktu suara Kak Sarah menembus pikiranku yang terdalam. Ah, seperti biasa aku terlalu jauh tenggelam. Sampai lupa kalau aku sedang berada pada satu hal yang akan menentukan alur hidupku ke depan.“I ...iy ..iya. Maaf.” Tatapanku teralih pada Kak Sarah sejenak tak lama berpaling pada Akhtar. Tetapi kembali terkejut ketika melihat benda yang dia asongkan padaku.Sebuah cincin.Aku menatap benda melingkar dengan berlian di tengahnya itu ragu-ragu. Aku masih tidak yakin akan secepat ini. Rasanya baru kemarin aku mengikat janji dengan seorang pria. Tapi kenapa harus terjadi lagi.Tidak. Apa yang terjadi? Andai diizinkan ingin sekali aku menapar wajahku kua
“Mai, aku minta waktu sebentar.”Aku duduk dengan sikap enggan. Membuang muka. Sebenarnya tidak tega melakukan ini. Tapi sewaktu ingatanku menangkap wajah setan betina itu. Aku mendadak muak.“Maafkan aku untuk kejadian hari itu.” Dia berkata dengan intonasi sangat rendah. Tatapannya nyaris tak berkedip. Memandang tajam.“Kalau aku memaafkan kamu, apa kamu bisa untuk tidak lagi mengangguku?”Dia terpekur sejenak. Menelaah ucapanku. Lantas menunduk. Cahaya matanya menyuram. Kulihat kucewa tergambar di mimik wajahnya. Tapi kucoba untuk tidak peduli.“Apa tidak ada kesempatan lagi untuk kita?”“Jangan menyebut 'kita' karena bagiku aku dan kamu sekarang adalah dua orang asing yang kebetulan pernah saling mengenal.”“Aku mencintai kamu Mai.”“Dan aku mencintai orang lain,” tukasku menegaskan ucapan. Dia tersentak dengan nada bicaraku. Tapi siapa peduli. Apa dia pikir selama ini hatiku tidak tercacah karena perbuatannya?“Maaf, sebentar lagi aku akan menikah. Jadi silakan undur diri.”“Meni
"Ada rasa takut kehilangan. Padahal kita belum saling memiliki. "____“Apa yang membuat kamu begitu khawatir?” Dia bertanya setelah kusampaikan perihal keberatanku jika kami menikah secepat itu. Aku beralasan butuh rencana yang matang membuat momen yang sangat sakral ini agar menjadi sangat berkesan “Maafkan saya Akhtar.” Kupandangi dia lamat-lamat dengan perasaan tak tega. Dia diam sejenak bekerjap-kerjap. Mengembangkan senyum. Meski raut kecewa terpampang jelas di wajahnya.“Tidak perlu meminta maaf. Saya selalu siap memaklumi kamu. Apa pun asalkan itu membuat kamu nyaman.” Dia manarik sudut bibirnya. Tertawa lirih. Menyibak anak-anak rambut yang jatuh di keningku.Aku semakin terpana memandangi matanya yang bercahaya. Mata yang menenteramkan Merasa sangat terharu. Yang terjadi jauh dari prasangka. Aku sempat mengira dia akan menolak usulku sebab dia tahu sejak awal memang bermaksud menunda. Tapi syukurlah dia menjadi sangat pengertian. “Jangan bermuka masam seperti itu. Tersenyu
“Toko buku?” protesku.Dia mengangguk. Justru sebelumnya aku mengira dia akan mengajakku ke suatu tempat yang tak terduga atau bahkan tak terpikirkan olehku. Ya ... Tempat apa, kek.Tapi toko buku. Rasanya-rasa dia salah tebak. Aku tidak terlalu suka gudang eh maksudku toko buku. Memangnya apa yang mau di cari di tempat ini. Aah ... Aku lebih suka baca komik Detektif Connan dari pada novel-novel dengan genre dari A sampai Z.“Memangnya kamu mau cari buku apa?” Aku bertanya dengan bodohnya. Dia keluar terlebih dahulu lalu berputar dan membuka pintu untukku. Aku nyaris seperti anak kecil yang dibujuk oleh bapaknya yang seorang pendiri sebuah komunitas gerakan cinta buku. Agar memiliki minat yang tinggi untuk membaca sejak dini.“Kamu lihat aja nanti.”Sewaktu dia mendorong pintu kaca tebal dan melangkah ke dalam tumpukan buku pada display-display dan rak-rak panjang menyambut kami. Seorang pramuniaga yang berjaga di bagian depan menyunggingkan senyum ramah. Mengucapkan selamat datang. A