Selesai dari toko buku dia melanjutkan ke tujuan berikutnya. “Sebelum ke twenty one sebaiknya kamu isi perut dulu, ya. Biar nggak kelaparan pas nonton adegan-adegan mesra,” katanya seraya meletakkan dua plastik buku yang tadi kami beli di jok belakang.“Kamu mau ngajak saya nonton? Kok nggak ngomong dulu. Padahal saya nggak mau.”“Eits. Malam ini kamu harus menuruti apa pun kemauan saya. Kalau nggak, saya akan memaksa.”“Kok begitu. Itu namanya pemerkosaan kebebasan bersuara.”“Itu hak saya Mai. Kewajiban kamu menaati.”“Apa?” Dalil dari mana itu?! Saya wajib menaati setiap perkataan kamu nanti kalau kamu sudah jadi suami saya, tahu?!” Aku berseru lantang. Membelalakkan mata. Menantang.Tapi sangat terkejut lantas menarik diri sewaktu dia merespons reaksiku dengan mendekatkan wajahnya. Hingga nyaris menyentuh hidungku. Tanganku bergerak cepat. Mendorong dadanya. Dia terjengkang dengan kepala membentur kaca pintu mobil “Aawww ... Mai ....”Dia mengerang panjang. Tertahan memegangi ke
"Mungkin dalam hidup ada hari dimana kita pernah begitu menyesali satu hal. Berharap itu tak pernah terjadi, tak pernah ada atau tak pernah terucap. Tapi betapun besar rasa sesal itu tetap tidak bisa mencegah sesuatu yang memang akan terjadi.Tak ada yang bisa dilakukan. Selain merentangkan tangan dan menerimanya dengan rela.Yang akan pergi biarkan pergi. Pun, yang akan datang dipersilakan untuk datang tak ada yang melarang. Segala hal telah tertulis rapi dalam sebuah catatan. Dan setiap kita hanya bisa menjalani semua. Suka atau tidak.Seperti halnya aku.Selama kau dan aku bersama, setidaknya kita tampak baik-baik saja. Terjalnya jalan akan mampu kita lalui. Jangan ada kata menyerah. Terus saja melangkah sekali pun kita tak pernah tahu sejauh apa jalan yang mesti kita tempuh untuk bisa melihat indah pelangi.Selama iman terjaga tak mengapa tawa dan air mata itu ada. Berjanjilah untuk tetap berpegangan tangan. Jangan terlepas Kita akan sama kuat, sama tegar. Hingga nanti tiba di tu
Lampu-lampu gemerlap ketika melingkupi langit Jakarta. Kota metropolitan itu tampak bercahaya. Cerita berlanjut sampai kami mengisi perut dengan satu mangkuk soto ayam di salah satu kedai makanan yang ada di tempat itu. Mereka tampak bersemangat sekali. Sepertinya ketegangan radi membuat mereka kelaparan. Ah ... Anak-anak. Kami belum memutuskan untuk pulang. Memilih untuk duduk-duduk santai sebuah kursi besi. Membiarkan anak-anak sibuk dengan permainannya. Dia mengucapkan banyak terima kasih karena berhasil membuat Shaila, Shaili berani menghadapi apa yang menjadi ketakutan mereka hari ini. “Sungguh luar biasa,” katanya memuji. Aku hanya mengangguk dan membalas pujiannya dengan senyum terima kasih. Lalu menjeda. Kami sama-sama diam. Hening beberapa lama. Hanya terdengar desah panjang. Menatap mataku agak lama. Hingga aku merasa wajahku kebas lantaran malu di pandangi seperti itu.Dia bilang sangat menyesal tak bisa melamarku sebelum pergi jauh. Kujawab sekenanya bahwa dia bisa melaku
Suatu hari nanti mungkin segala sesuatu tak lagi sama. Segala hal akan berubah seiring perginya waktu. Seperti berputarnya bumi pada porosnya. Pagi mengantar siang, petang menjemput malam. Menuakan usia. Menggerus masa. Melipat cerita dalam lembar yang mungkin tak ingin kembali kita buka.. Membiarkan terlupa lalu terkubur dalam ingatan yang semakin usang. Tetapi tentang kita apakah akan tetap sama seperti sediakala, seperti ketika semua bermula?Akhtar, kita sama tahu dalam hidup sering kali kita tertipu. Menyangka apa yang ada di depan mata. Kepedihan atau pun tawa menjadi awal dan akhir sebuah kisah. Tapi sebenarnya tidak demikian. Mungkin kita terlalu cepat menyimpulkan. Di setiap perjalanan cinta akan datang berserta luka dan air mata. Begitu pun dengan kita. Lalu apa kita memiliki cukup daya untuk menghadapinya?Tak perlu bertanya padaku dan tak ada yang perlu kau cemaskan. Aku cukup tangguh untuk itu. Sejauh apa pun jalan yang harus di tempuh. Berlari atau merangkak sekali pun t
Dokter mengatakan dia kelelahan. Dan harus beristirahat selama sebulan penuh. Meski begitu dia tetap memaksa untuk melangsungkan pernikahan sesuai waktu yang sudah disepakati. Tapi aku bersih keras bahwa lebih baik ditunda mengingat kondisinya yang semakin lemah.Selama dia dirawat tak sehari pun kulewatkan tanpa mendampinginya. Berusaha setegar mungkin. Menghibur dan mensupportnya agar bisa kembali seperti semula. Tapi ada yang aneh sekali pun dokter mengatakan dia hanya kelelahan, dua minggu itu berat badanya berkurang drastis. Meski dia tak mengeluhkan apa-apa.Dia berangsur pulih setelah satu bulan beristirahat total. Namun samar kudapati perubahan pada sikapnya. Dia semakin jarang tersenyum. Cahaya matanya meredup ketika dia memandangku. Aku menyangka itu sementara saja dikarenakan dia belum benar-benar pulih. Tapi ternyata aku salah.Hari-hari selanjutnya tampak sekali dia menjaga jarak denganku. Semua yang pernah kami rencanakan tak lagi dia bahas. Seakan lenyap dan terlupa beg
Sejak pulang dari Eropa jam kerjanya bertambah padat. Bahkan sering lembur. Meski aku pernah protes. Mengatakan bahwa dia akan kelelahan jika seperti itu. Lagi pula waktu bersama anak-anak menjadi berkurang. Awalnya dia menuruti saranku tapi setelah pulih dari sakit sikapnya berubah dan bekerja tanpa kenal waktu. Berkali-kali kucoba mencari penjelasan atas perubahan itu tapi berkali-kali pula dia mengatakan tidak ada yang berubah semua berjalan sewajarnya. Tapi dari kilat matanya aku melihat ada yang dia sembunyikan.Setelah mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur aku meninggalkan kamar menghampiri ibu yang masih berkutat di ruang tengah membereskan mainan yang terserak di bawah meja. Senyum lembutnya mengulas mendapatiku yang muncul menyibak tirai.“Eh, Nak Mai. Belum tidur?”Dia memintaku duduk di kursi berhadapan dengannya. Aku mengangguk.“Ibu juga kok belum tidur?”“Ibu belum ngantuk.”Aku mengangguk lagi. “Maaf, ngerepotin Nak Mai.”“Ngerepotin apa, Bu? Mai nggak merasa di
Aku mulai terisak. Jemariku merayapi daun pintu lalu tersungkur. Rasa putus asa menghinggapi. Apa yang kulakukan sungguh sia-sia. Meskipun aku memohon dengan tetesan air mata darah, dia akan tetap pada pendiriannya Seharusnya aku menyerah saja. untuk apa meneguhkan tekat untuk orang yang tidak lagi mau peduli. Mungkin dia bukan orang yang pernah aku kenal. Mungkin dia sosok yang lain. Aku saja yang terlambat menyadari.Tetapi sisi lain dari hatiku mencegah untuk menyerah begitu saja. Aku belum melakukan apa-apa. Sebuah cinta memang butuh pengorbanan, butuh perjuangan. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi setelah aku meringkuk di lantai depan kamarnya dan berapa lama aku di sana. Apa aku tertidur? Entalah. Yang kutahu ketika membuka mata aku berada di sebuah kamar. Bukan kamar anak-anak atau kamar ibu tapi ....Kamar Akhtar. Terkesiap aku menyadari itu. Menyibak selimut tebal yang menutupi hingga ke dadaku. Melompat dari tempat tidur mataku nyalang melihat ke sekeliling mencarinya
"Tak selalu seseorang yang menjadi awal dalam kehidupanmu juga akan menjadi akhir."_____Aku memutar badan mendengar pertanyaan Buk Lek. Memandangnya dengan raut bingung.“Bosan kenapa Buk Lek? Mai nggak bosan, kok. Berdiam diri juga menyenangkan.”Suapan ke lima berhasil melewati tenggorokanku. Aku memaksakan diri untuk menghabiskan makan pagi menjelang siang ini. Setidaknya Buk Lek tidak merasa kecewa ketika aku hanya makan beberapa sendok seperti kemarin-kemarin.“Kalau ndak keberatan Buk Lek mau ngajak kamu jalan-jalan ke kebun kentang. Sembari lihat Pak Lekmu menyiangi rumput.“Boleh. Tapi nanti sore aja ya Buk Lek.”“Beneran?” Wanita setengah baya itu tercengang mendengar responsku. Tampak tak percaya.“Beneran ...?”Buk Lek Darti spontan mengantupkan kedua telapak tangannya. Memandangku dengan raut lega.Aku tertawa kecil. Rasanya tidak tega menolak ajakannya yang ke sekian. Hampir setiap ada kesempatan dia membujukku untuk berjalan-jalan ke luar. Menghirup udara segara sembari