Suatu hari nanti mungkin segala sesuatu tak lagi sama. Segala hal akan berubah seiring perginya waktu. Seperti berputarnya bumi pada porosnya. Pagi mengantar siang, petang menjemput malam. Menuakan usia. Menggerus masa. Melipat cerita dalam lembar yang mungkin tak ingin kembali kita buka.. Membiarkan terlupa lalu terkubur dalam ingatan yang semakin usang. Tetapi tentang kita apakah akan tetap sama seperti sediakala, seperti ketika semua bermula?Akhtar, kita sama tahu dalam hidup sering kali kita tertipu. Menyangka apa yang ada di depan mata. Kepedihan atau pun tawa menjadi awal dan akhir sebuah kisah. Tapi sebenarnya tidak demikian. Mungkin kita terlalu cepat menyimpulkan. Di setiap perjalanan cinta akan datang berserta luka dan air mata. Begitu pun dengan kita. Lalu apa kita memiliki cukup daya untuk menghadapinya?Tak perlu bertanya padaku dan tak ada yang perlu kau cemaskan. Aku cukup tangguh untuk itu. Sejauh apa pun jalan yang harus di tempuh. Berlari atau merangkak sekali pun t
Dokter mengatakan dia kelelahan. Dan harus beristirahat selama sebulan penuh. Meski begitu dia tetap memaksa untuk melangsungkan pernikahan sesuai waktu yang sudah disepakati. Tapi aku bersih keras bahwa lebih baik ditunda mengingat kondisinya yang semakin lemah.Selama dia dirawat tak sehari pun kulewatkan tanpa mendampinginya. Berusaha setegar mungkin. Menghibur dan mensupportnya agar bisa kembali seperti semula. Tapi ada yang aneh sekali pun dokter mengatakan dia hanya kelelahan, dua minggu itu berat badanya berkurang drastis. Meski dia tak mengeluhkan apa-apa.Dia berangsur pulih setelah satu bulan beristirahat total. Namun samar kudapati perubahan pada sikapnya. Dia semakin jarang tersenyum. Cahaya matanya meredup ketika dia memandangku. Aku menyangka itu sementara saja dikarenakan dia belum benar-benar pulih. Tapi ternyata aku salah.Hari-hari selanjutnya tampak sekali dia menjaga jarak denganku. Semua yang pernah kami rencanakan tak lagi dia bahas. Seakan lenyap dan terlupa beg
Sejak pulang dari Eropa jam kerjanya bertambah padat. Bahkan sering lembur. Meski aku pernah protes. Mengatakan bahwa dia akan kelelahan jika seperti itu. Lagi pula waktu bersama anak-anak menjadi berkurang. Awalnya dia menuruti saranku tapi setelah pulih dari sakit sikapnya berubah dan bekerja tanpa kenal waktu. Berkali-kali kucoba mencari penjelasan atas perubahan itu tapi berkali-kali pula dia mengatakan tidak ada yang berubah semua berjalan sewajarnya. Tapi dari kilat matanya aku melihat ada yang dia sembunyikan.Setelah mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur aku meninggalkan kamar menghampiri ibu yang masih berkutat di ruang tengah membereskan mainan yang terserak di bawah meja. Senyum lembutnya mengulas mendapatiku yang muncul menyibak tirai.“Eh, Nak Mai. Belum tidur?”Dia memintaku duduk di kursi berhadapan dengannya. Aku mengangguk.“Ibu juga kok belum tidur?”“Ibu belum ngantuk.”Aku mengangguk lagi. “Maaf, ngerepotin Nak Mai.”“Ngerepotin apa, Bu? Mai nggak merasa di
Aku mulai terisak. Jemariku merayapi daun pintu lalu tersungkur. Rasa putus asa menghinggapi. Apa yang kulakukan sungguh sia-sia. Meskipun aku memohon dengan tetesan air mata darah, dia akan tetap pada pendiriannya Seharusnya aku menyerah saja. untuk apa meneguhkan tekat untuk orang yang tidak lagi mau peduli. Mungkin dia bukan orang yang pernah aku kenal. Mungkin dia sosok yang lain. Aku saja yang terlambat menyadari.Tetapi sisi lain dari hatiku mencegah untuk menyerah begitu saja. Aku belum melakukan apa-apa. Sebuah cinta memang butuh pengorbanan, butuh perjuangan. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi setelah aku meringkuk di lantai depan kamarnya dan berapa lama aku di sana. Apa aku tertidur? Entalah. Yang kutahu ketika membuka mata aku berada di sebuah kamar. Bukan kamar anak-anak atau kamar ibu tapi ....Kamar Akhtar. Terkesiap aku menyadari itu. Menyibak selimut tebal yang menutupi hingga ke dadaku. Melompat dari tempat tidur mataku nyalang melihat ke sekeliling mencarinya
"Tak selalu seseorang yang menjadi awal dalam kehidupanmu juga akan menjadi akhir."_____Aku memutar badan mendengar pertanyaan Buk Lek. Memandangnya dengan raut bingung.“Bosan kenapa Buk Lek? Mai nggak bosan, kok. Berdiam diri juga menyenangkan.”Suapan ke lima berhasil melewati tenggorokanku. Aku memaksakan diri untuk menghabiskan makan pagi menjelang siang ini. Setidaknya Buk Lek tidak merasa kecewa ketika aku hanya makan beberapa sendok seperti kemarin-kemarin.“Kalau ndak keberatan Buk Lek mau ngajak kamu jalan-jalan ke kebun kentang. Sembari lihat Pak Lekmu menyiangi rumput.“Boleh. Tapi nanti sore aja ya Buk Lek.”“Beneran?” Wanita setengah baya itu tercengang mendengar responsku. Tampak tak percaya.“Beneran ...?”Buk Lek Darti spontan mengantupkan kedua telapak tangannya. Memandangku dengan raut lega.Aku tertawa kecil. Rasanya tidak tega menolak ajakannya yang ke sekian. Hampir setiap ada kesempatan dia membujukku untuk berjalan-jalan ke luar. Menghirup udara segara sembari
Sebatas Itu saja. Selanjutnya benar-benar hening sampai aku masuk ke dalam mobil dan melaju meninggalkan bengkelnya dengan hati seperti kertas yang diremas kuat.Mungkin Randy mengatakan yang sebenarnya. Bahwa dia beberapa kali menemui dokter hanya untuk konsultasi mengenai kesehatannya. Syukurlah aku senang. Meski hari itu harus kulewati dengan air mata seperti hujan di langit malam. Membekukan hati. Mengkristalkan perasaan. Bisa jadi aku memang tak lagi menjadi seseorang yang berarti baginya. Dulu ketika mendapatiku bermuka masam dia akan membujukku dengan berbagai cara. Bahkan sampai melakukan apa pun asalkan aku kembali tersenyum. Tapi setelah hari itu semakin menguatkan prasangkaku bahwa dia ingin melepasku dengan cara yang tak kumengerti.Waktu-waktu selanjutnya bertambah berat dan sesak. Mungkin inilah puncak segala puncak dari semua rentetan kepedihan. Dua puluh lima hari kemudian di sebuah subuh yang dingin oleh embun ponselku berdering. Aku bangkit dari tidurku yang tak lel
Suaramu menarik kesadaranku lebih tajam. Rasa bersalah terpampang jelas di garis wajahmu. Ada luka di sorot matamu. Kau memendam kepedihan yang dalam. Tetapi aku tak bermaksud menggugah rasa ibamu. Kau telah mengatakan apa yang kau inginkan. Melepasku. Bukan berarti dengan kondisiku seperti ini aku berharap kau meralat ucapanmu. Jika memang itu yang kau inginkan aku akan menegarkan hati. Siap menerima apa pun keputusanmu.“Akhtar, apa kamu ingin kita berpisah?”Aku bertanya dengan suara lemah. Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan.Kau tampak terenyak dengan pertanyaanku. Air wajahmu bertambah suram. Cahaya matamu mengeruh memandangiku ragu. Diam tak menjawab.“Jika memang mau kamu seperti itu. Saya akan pergi.”Sudut bibirku berkedut. Nyaris bergetar. Menahan kepedihan yang seolah menyayat lebih dalam.“Maikana ....”“Saya janji tidak akan mengganggu kamu lagi. Terima kasih sudah menjadi bagian dari hari-hari saya. Saya menyangyangi kamu juga anak-anak sampai kapan pun.”Kuulas sen
"Adakalanya kita berhenti bertahan bukan karena lelah. Tetapi karena terpaksa."_____“Kak, Randy mohon pulanglah secepatnya. Anak-anak kangen sama Kak Mai. Kasihan mereka. Shaila bahkan tiga hari ini mulai nggak mau makan. Dan Shaili terus-terusan merengek minta diantar ke rumah Kak Mai. Meski sudah Rabdy jelasin kalau Kakak sedang tugas ke luar kota. Tapi mereka tetap bersih keres. Dan ...”Suara Randy menjeda. Helaan napasnya terdengar parau. Seakan dia ikut menanggung kesedihan anak-anak .“ .... dua hari lalu terpaksa Randy mengantar mereka ke rumah Kakak. Cuma ada Papa Kak Mai. Mereka sangat kecewa.”Kelopak mataku menghangat tiba-tiba mendengar apa yang disampaikan Randy. Aku juga sangat merindukan mereka. Selama berhari-hari ini suara riang dan celotehan mereka seperti terekam jelas dalam telingaku. Shaila, Shaili. Mungkinkah jika mereka bisa menjadi bagian hidupku andai pun aku dan Akhtar tak menemukan jalan untuk bersama?“Kak Mai Bang Akhtar sudah dua malam ini nggak pulang