"Adakalanya kita berhenti bertahan bukan karena lelah. Tetapi karena terpaksa."_____“Kak, Randy mohon pulanglah secepatnya. Anak-anak kangen sama Kak Mai. Kasihan mereka. Shaila bahkan tiga hari ini mulai nggak mau makan. Dan Shaili terus-terusan merengek minta diantar ke rumah Kak Mai. Meski sudah Rabdy jelasin kalau Kakak sedang tugas ke luar kota. Tapi mereka tetap bersih keres. Dan ...”Suara Randy menjeda. Helaan napasnya terdengar parau. Seakan dia ikut menanggung kesedihan anak-anak .“ .... dua hari lalu terpaksa Randy mengantar mereka ke rumah Kakak. Cuma ada Papa Kak Mai. Mereka sangat kecewa.”Kelopak mataku menghangat tiba-tiba mendengar apa yang disampaikan Randy. Aku juga sangat merindukan mereka. Selama berhari-hari ini suara riang dan celotehan mereka seperti terekam jelas dalam telingaku. Shaila, Shaili. Mungkinkah jika mereka bisa menjadi bagian hidupku andai pun aku dan Akhtar tak menemukan jalan untuk bersama?“Kak Mai Bang Akhtar sudah dua malam ini nggak pulang
“Sayangnya aku nggak butuh apa pun dari kamu. Sekarang pergi!” Dia tercengang menatapku dengan raut kecewa. Apa dia mengira aku akan kembali jatuh padannya di saat aku merasa sangat terpuruk seperti sekarang ini?Jangan berharap.“Mai apa kamu tidak ingat sedikit saja tentang kenangan kita di kota ini?” Matanya menatap lurus ke wajahku. Cahaya matanya redup. Meremangkan perasaan. Hatiku nyaris tersentuh menyaksikan raut yang dipenuhi kepedihan dan rasa bersalah di hadapanku itu. Tapi tidak. Tidak sekali-kali. Sekali dia pergi dari hidupku aku tak akan menyediakan jalan pulang untuknya kembali.“Maaf, aku tidak berminat mengingatnya. Bagiku cerita kita tidak pantas lagi untuk di kenang. Karena sangat mengenaskan sekaligus menjijikkan.”Kupasang wajah sedatar mungkin. Aku tidak ingin dia tahu betapa aku masih mengingat setiap detail jejak-jejak kami di kota ini. Saat kami baru dua bulan menikah dan memilih Jogja sebagai kota berikutnya untuk berbulan madu setelah Singapura. Tapi apa ar
Akhtar meminta ibu dan Randy membawa Shaila pulang. Karena memang tidak baik membiarkan anak-anak berada di tempat seperti ini. Awalnya Shaila keberatan karena masih kangen denganku tapi setelah kubujuk dan berjanji akan menyediakan banyak waktu untuknya setelah ini dia bersedia pulang.Tinggallah aku dan dia di ruangan ini. Sepeninggal dokter dan perawat. Shaili sudah memejamkan mata. Panasnya sedikit berkurang. Efek obat sepertinya mulai bekerja. Dia masih diam. Pun aku. Bahkan kami tidak saling menatap. Sama-sama terhunjam pada tubuh Shaili yang kini tampak tenang. Napasnya terdengar lembut dan teratur. Setelah hampir empat jam diliputi ketegangan aku merasa lelah dan mengantuk. Kucoba memejamkan mata. Sembari tetap di tempat duduk. Dari ekor mata kulihat dia menoleh ke arahku. “Maikana ...”Suaranya merayap perlahan di telinga membuat kelopak mataku kembali terbuka. Menoleh ke arahnya dengan lesu. Dia berdeham. Mengalihkan tatapan dengan ekspresi bersalah. Agak lama mataku berhe
"Apa harus selalu ada kehilangan untuk mempersilakan dia yang datang kemudian?"______“Kenapa nggak membangunkan saya?” ujarku dengan nada menyesal.“Nggak apa-apa. Kamu harus istirahat.”Aku menunduk. “Sebaiknya kamu makan dulu. Makanannya masih hangat. Tadi saya memesan makanan dengan kemasan khusus.” Dia menjelaskan. Kulirik dua paper bag dan satu kantong plastik dengan logo coffe shop di atas meja mayo. Seperti belum tersentuh. Itu berarti dia juga belum makan.“Maaf tapi saya nggak lapar.” Aku bersih keras menolak. “Mai ...” Dia terpaku menatap tajam. Mimiknya menunjukkan kekesalan akan sikap keras kepalaku. Sedangkan aku melempar pandangan ke sudut lain. Menghindari intimidasinya.Untuk beberapa lama kami kembali saling mendiamkan. Dia mimilih menyetel tivi dengan volume rendah. Padahal aku tahu dia sama sekali tidak fous apa yang ada di depannya. Kusingkap selimut dan melanngkah tertatih mendekati meja membuka plastik yang berisi dua kaleng minuman dan dua paper cup kopi.
Ustazah Nazira. Tiba-tiba aku merasa ada sembilu yang menyayat perlahan di ulu hati. Akhtar berbasi-basi dengan perempuan itu. Sedangkan aku memasang wajah tidak suka.“Mbak Maikana apa kabar?”“Saya baik.” Kujawab sekenanya.“Maaf saya nggak tahu kalau Mbak ada disini. Mas Akhtar nggak ngomong apa-apa semalam.”Kelopak mataku melebar sempurna mendengar penuturannya. Mas Akhtar nggak ngomong apa-apa? Maksudnya apa?“Euh, semalam waktu menelepon Mas Akhtar Cuma bilang kalau Shaili sakit “ Dia menyunggingkan senyum. Memperbaiki ucapannya.Dia menelepon perempuan ini memberitahu kalau Shaili sakit. Sedangkan aku, orang yang sangat dibutuhkan Shaili justru Randy yang mengabariku. Dasar brengsek. Oh, sekarang aku tahu mungkin inilah penyebab segalanya berubah.Mataku nyalang menatap mereka bergantian. Perasaan marah merambati darahku. Udara di dalam ruangan inj mendadak gerah. Padahal sebelumnya adem-adem saja. Pasti karena kedatangan penganggu ini. Menyebalkan. Rupanya dia membawakan mak
“Diiihh ... Antusias banget.”“Besok kita mau kedatangan tamu dari Bandung. Teman Papa dulu waktu kuliah mau memperkenalkan anaknya sama kamu.”“Kenalin sama Mai? Kok ...?”Aku merasa bingung. Menatap bergantian pada papa dan Kak Sarah.“Iya. Sudah tunggu besok aja. Rencananya memang nunggu kamu pulang dari Jogja. Eh, kebetulan Mai udah datang. Jadi tadi nggak lama kamu datang Papa kasih tahu Ustad Husni. Insya Allah besok mereka datang.”“Memangnya ada apa sih, Pa. Kok Mai nggak dilibatkan.”“Nggak ada apa-apa. Cuma silaturhami kekeluargaan. Sudah lama Papa nggak ketemu Ustad Husni. Eh ... Dengar kabar beliau sibuk berdakwah juga mengelola yayasan yatim piatunya.”Aku mengangguk saja. Meski tak paham arah pembicaraan papa. Kak Sarah cengar-cengir saja. Membuatku jengkel._____Sejak subuh buta Kak Sarah meminta segera bersiap-siap. Berpakaian serapi mungkin. Bi Nah tak kalah sibuk menyiapkan suguhan untuk menyambut tamu. Padahal aku masih mengantuk. Lagi pula aku merasa gelisah dan s
"Cinta bukanlah sebuah ketidaksengajaan tetapi satu hal yang telah Allah rencanakan"____“Neng kenapa?”Dia menatapku panik. Aku menggeleng buru-buru. Tentu saja aku tidak ingin mencederai apa yang Papa sudah rencanakan matang-matang.“Nggak apa-apa, Kang. Karena belum sarapan aja mungkin.” Kupaksakan tersenyum menahan sekuat mungkin.Dia tetap menatap cemas. Mimiknya menegang. Meski aku berusaha meyakinkannya Tapi rasa sakit itu bukannya berkurang justru kian mendera. Otot perutku seperti ditarik dengan kuat. Kepalaku serasa berputar. Kali ini dia tak tahan hanya memandangiku yang semakin kesakitan. Dia bangkit menahan bahuku sembari memanggil papa.Menit selanjutnya aku tak sanggup lagi berbicara. Tubuhku gemetar hebat. Keringat dingin bertimbulan membasahi kening dan punggung. Kak Sarah berlari panik memegang pelipisku. Menyusul papa yang berjalan tertatih diikuti ustaz Husni. Keadaan menjadi panik. Kemudian aku menjadi sangat lemas. Terkulai tanpa daya. Dia membopongku masuk k
Menjelang waktu dzuhur kang Imam pamit sebentar ke masjid yang masih satu area dengan rumah sakit untuk melaksanakan salat. Sepeninggalnya, papa mengulang kembali menyampaikan mengenai diri Kang Imam. Ya, aku tahu arah pembicaraan papa. Sebenarnya aku ingin menyatakan keberatan. Maksudnya kenapa Kak Sarah dan papa tidak meminta persetujuanku terlebih dahulu. Tapi perkataan papa selanjutnya membuatku mengurungkan niat.“Dia laki-laki yang baik, Mai. Baik iman juga akhlaknya. Papa berharap dia bisa menjadi pembimbing sekaligus pemimpin untuk kamu.”Senyum papa begitu tulus. Jejak usia di gurat wajahnya menitipkan banyak harapan padaku. Papa ... Tapi aku mencintai sosok yang lain. Seluruh perasaanku telah terhempas pada satu nama, satu hati. Dan itu tidak mudah untuk diubah begitu saja. Kubenamkan kepedihan dalam-dalam. Tak ingin ada air mata yang menetes di hadapan orang yang darahnya mengakir di tubuhku. Biarlah takdir-Nya yang menentukan arah dan langkah Lamunanku beterbangan ketika